Beranda / Romansa / Aku (Bukan) Istri Pilihan / 3. Kepergok Mama Mertua

Share

3. Kepergok Mama Mertua

last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-17 12:19:29

POV Haga

**

“Kamu tinggal pilih, nikahi  gadis itu  atau lanjut study ke  Australi!” Mama kembali memaksaku.

Pilihan yang sangat sulit. Untuk menyelesaikan S1 saja kemarin aku ketar ketir. Bagaimana mungkin lanjut ngambil Master. Mustahil, bisa ma ti  kelar masa depanku. Gak jadi nikah sama  Ara. Tetapi, Mama terlalu kaku. Pilihan yang diberikannya adalah perintah.  Aku harus memilih salah satunya. Menikahi perempuan udik itu.

Bagaimana mungkin aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak kusukai.  Melihat hi jabnya saja aku sudah enneg. Apa enaknya coba, kalau di tutupi seperti itu.   Kam pungan, bosenin, pokoknya aku gak suka.

“Ok, kamu gak bisa milih? Kalau begitu, mama yang mutusin. Kamu berangkat ke Australi  minggu depan. Mumpung abangmu Barra masih di sana. Jadi dia bisa mengurus segala sesuatunya sebelum kembali ke Indonesia. Kuliahnya udah hampir kelar. Kamu harus ikut jejaknya!”

“Gak mau, Ma! Haga gak bisa disuruh belajar lagi, mumet tau, gak? Ok, aku pilih nikah.” Akhirnya aku menyerah.

“Tinggalkan Ara!”

“Lho, apalagi ini? Tadi pilihannya cuma dua, kan, nikahi perempuan kam pung itu atau lanjut Pasca? Kenapa sekarang ada persyaratan lagi?”

“Mama gak suka kamu berhubungan dengan perempuan ganjen itu! Lagian mana ada perempuan yang mau nikah dengan lelaki yang tukang selingkuh?”

“Haga gak selingkuh, Ma. Ara pacar aku sejak dulu.”

“Pokoknya, kalau kamu milih  nikahi Indri, tinggalkan Ara!”

Aku diam, tak ingin membantah Mama sekarang. Apapun ceritanya, Ara tak akan pernah lepas dari sisiku. Ok, kunikahi perempuan berhijab itu, tetapi hubunganku dengan Ara akan tetap  seperti biasa, di belakang Mama tentu saja.

*

“Gila, ya, nomor kamu gak bisa dihubungi seharian,” sungut Ara sore tadi. Aku menelponnya setelah semua keluarga pulang.

“Kan tadi  nikahnya, Sayang, lanjut resepsi. Ini baru kelar. Untung resepsinya gak sampai malem. Bakal stress aku, Sayang, memasang wajah senyum terus, padahal dongkol,” ucapku menenangkannya.

“Dongkol apa dongkol? Istri kamu itu, kan cantik banget? Pasti kamu senang, kan?”

“Cantik dari hongkong? Udik kek gitu kamu bilang cantik?”

“Bener, nih, kamu gak suka?”

“Bener, lho, Sayang!”

“Awas aja kalau kamu sentuh dia malam ini!”

“Gak akan, gak nafsu.”

“Kamu bisa jamin?”

“Bisa?”

“Apa buktinya kamu gak akan negelakuin malam pertama bersama  dia malam ini?”

“Ra, aku nikahi dia cuma untuk nyenengin hati ortu aku, agar aku gak dipaksa ke luar negeri ikut jejak Mas Barra.”

“Iya, aku mau kamu bisa buktiin, kalau kamu gak bakal nyentuh istri kamu! Secara, kalian tinggal berdua di rumah itu. Hanya berdua, lho.”

“Ada Bik War lho, Ra.”

“Asisten mana tahu apa-apa. Paling tidur di belakang.”

“Ok, kalau begitu apa yang harus aku lakuin, Sayang? Biar kamu percaya?”

“Kamu malam pertamanya bareng aku aja!”

“Ha?”

“Kenapa? Kamu keberatan, kan?”

“Sama kamu udah gak malam pertama lagi, Sayang, malam ke seribu kali, ya!”

“Serah, yang penting kamu ke rumahku  nanti malam, gak boleh sama istri kamu!”

“Baiklah, Cantik. Aku datang nanti, ya. Sekarang mau istirahat sebentar, sakit betis nih, seharian berdiri nyalami tamu.”

“Ya, aku tunggu, jam delapan paling lama, udah sampai di rumah aku!”

“Siaap, Bosqu!”

*

Pukul tujuh  malam aku terbangun. Bayangan wajah kekasihku langsung berkelebat. Ara pasti sudah menungguku.  Segera bangkit, menuju kamar utama.  Semua perlengkapanku masih berada di kamar itu. Rencananya mau aku pindahin saja ke kamar tamu ini. Ogah banget sekamar dengan perempuan udik itu. Kalau dia yang aku suruh tinggal di kamar lain, takut Mama meradang. Biarlah aku mengalah saja. Semoga Ara bisa maklum. Biasanya  dia tidur di kamar itu bila nginap di sini.

Tanpa ragu  kubuka pintu kamar.

Kaget, aku terperangah.  Aku tahu kamar ini sudah ada penghuni baru. Perempuan udik itu. Tetapi, kenapa yang berbaring di ranjang itu wanita lain? Hey, siapa dia?

Rambut panjang sepunggungnya bergerai menutupi sebagian wajah. Meskipun tatapannya tertuju pada layar ponsel yang sedang digenggamnya, aku masih bisa menangkap wajah  jelita itu.  Jemarinya yang lentik menggengam ponsel, sesekali jemari yang lain mengusap layar.

Kutelusuri tubuhnya dari  ujung  rambut hingga ujung kaki. Gaun tidur berwarna sof pink, berlengan pendek. Leher yang putih bersih, lenganya yang berbulu halus, pinggang yang begitu ramping, kakinya, betisnya, jemari kaki itu, sumpah, dia cantik sekali.

Berlian ini kenapa bisa ada kamarku?

Ups!

Dia menatapku, segera aku   menuju kamar mandi, seperti tujuanku semula. Jujur, jantungku berdegup kencang, saat mata bagusnya menangkap basah bola mataku. 

Dia adalah Indri, gadis pilihan Mama untukku. Berlian itu milikku. Tatapan matanya barusan menyadarkanku. Ya, Tuhan, kenapa dia tiba-tiba berubah begitu cantik? Apakah karena hasrat yang tetiba bergejolak ini yang membuat mataku rabun dan mengira dia sangat cantik?

Aaarg! Ini tidak benar. Indri perempuan udik. Dia tak punya tempat di hatiku. Ara telah memenuhi setiap  relung hati ini. Ara yang modis, selalu tampil seksi, gak sok alim seperti perempuan tadi.   Kupercepat ritual mandiku, lalu segera melilitkan handuk di pinggang, ingin cepat cepat  menemui Ara. Sebagai pengantin baru, sudah seharusnya aku melewati malam ini dengan  kenikmatan sempurna.  Bertem pur sampai pagi, ya, itu impianku. Tetapi bukan dengan gadis udik itu, Ara siap menggantikannya untukku.

Tetapi, niatku berubah total. Saat mata perempuan itu kembali menubruk bola mataku. Aku baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan rambut ini basah. Airnya menetes membasahi leher dan bahuku. Gadis itu berpaling kini, kembali fokus menatap layar ponselnya. Sempat kulihat wajahnya merona. Kecantikan itu semakin paripurna.

Tetapi, kenapa dia berpaling saat  bersetatap denganku? Dia malu? Dia menginginkanku? Atau?

Arg! Perasaan apa ini. Kenapa tubuh perempuan itu terlihat begitu seksi? Bulu-bulu halus di lenganya yang terbuka itu betul betul mengganggu pikiranku. Lengan putih  di tumbuhi bulu halus itu mengganggu konsentrasiku, ciptakan debaran hangat  di dalam kalbu, alirkan suatu hasrat liar, semakin lama semakin liar.

Maaf, Ara, pertemuan kita mungkin tertunda sesaat. Aku akan nikmati minuman segar ini terlebih dahulu, minuman yang telah disediakan Mama buatku.

*

Gadis itu tak menolak.  Fix, dia juga menginginkanku, begitu pasrah, seolah ini adalah kewajibannya.  Ya, dia penganut agama yang sangat fanatik. Melayani suami di atas ran jang adalah kewajiban bagi istri. Pinter benar Mama memilihkannya untukku.

Perempuan  udik ini ternyata sangat sempurna. Ibarat sekuntum bunga mawar, dia merekah, begitu indah. Tetapi selama ini hanya dipandang-pandang saja. Tiada seorangpun yang bisa menyentuhnya, karena duri-duri di sekelilingnya, siap menusuk siapapun yang mencoba menjamahnya.

Ya, hijabnya adalah tameng untuknya.  Tapi, sayang sekali. Nasipnya begitu ma lang. Dia justru menyerahkan kesuciannya buatku, lelaki yang sama sekali tak mencintainya, apalagi menginginkannya. Ini hanya nafsu. Ya, kupastikan hanya nafsu. Lelaki mana yang tak tergiur dengan tubuh seksinya. Lelaki mana yang tak bergetar melihat bulu-bulu halus di lengannya.

Aku lelaki normal. Wajar jika aku terang sang. Mudah-mudahan dia  bisa  langsung ha mil, agar kewajibanku pada Papa dan Mama selesai. Aku bisa langsung nikah siri  dengan Ara. Toh, Ara tidak keberatan meski hanya  sebagai istri simpanan.  Wow, betapa sempurnanya hidupku ini.

Gadis  yang kunikahi tadi pagi ini, menjerit kecil, pertanda sesuatu miliknya telah terenggut. Kurasakan sensasi yang luar biasa. Sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ara tak seperti ini, saat pertama kali melakukannya. Inikah yang dinamakan sensasi saat melepas peraw*n.

Indri, kau gadis sempurna sebetulnya, sayang aku tak cinta.

*

Kulepas tubuh penuh peluh itu, bangkit menuju kamar mandi, menyegarkan kembali tubuh  ini. Aku telah kehilangan banyak tenaga, semoga dinginnya air ini bisa  mengembalikannya. Agar Ara tak curiga.

“Iya, Sayang? Maaf, tadi aku di kamar mandi,” ucapku buru-buru menerima panggilan Ara di telepon.

Kembali kekasihku mengingatkan agar aku  segera datang, dan berjanji tak menyentuh istriku.  Aku tersenyum. Bagaimana bisa aku melewati kenikmatan yang begitu spektakuler.

“Iya, aku datang. Tunggu, ya! Enggak ..., enggak mungkinlah aku menyentuhnya! Perempuan kam pung ini, hanya bikin enneg! Gak ada manis-manisnya! Beda, dong, sama kamu. Kamu tenang aja, ya, Sayang!”

Maaf, Araku Sayang, aku telah mendustaimu.

Segera aku  merapikan diri. Tak ingin membuat Ara lebih curiga lagi. Tetapi bayangan pertem puran panas barusan mengaduk benak lagi. Duh, kenapa aku belum pernah merasakan sensasi seperti tadi saat bersama Ara?  Apa bedanya, coba?  Ups! Jangan-jangan, Ara memang tak pera wan lagi saat bersamaku waktu itu. Sebentar, aku akan cari buktinya. Ini penting buatku.

“Boleh geser bentar!” perintahku menyibak selimut penutup tubuh perempuan itu. Dia  beringsut ke sudut ranjang.

“Ini dia,” seruku saat menemukan yang kucari. 

Meraih ponsel, lalu aku mengambil beberapa gambar, tepat di  bercak da rah itu.  

“Aku bangga, aku memang tak menginginkanmu, tapi setidaknya aku bisa merasakan perempuan yang masih pera wan. Aku ucapkan terima kasih, karena jujur, baru pertama kali ini aku merasakan sensasi yang luar biasa. Kuhargai pengorbananmu! Tapi, maaf, aku tak akan bisa menjadi suami yang baik buatmu. Karena aku tak mencintaimu,” tuturku jujur.

Indri membisu. Sepatah katapun tak kudengar dia berucap, apalagi membantah perkataanku.

“Oh, iya, perlu kamu ketahui. Aku sudah punya pacar, namanya Ara. Kami saling mencintai, jujur, memang dia tak sealim kamu.  Dia sudah tak  perawan  saat pertama kami bertemu, meski dia belum pernah menikah. Tapi tak masalah, karena rasa cinta, itu yang utama bagiku.”

Indri memalingkan muka. Dia mungkin mau berteriak atau memakiku. Tetapi, jelas dia tak berani melakukan itu. Dia hanyalah seorang perempuan kam pung yang gak bernyali,  tapi bermimpi jadi ratu di keluargaku.

“Kuharap kamu tak pernah cemburu dan memang kamu tak berhak merasakan hal itu. Karena antara aku dan kamu tak  pernah ada sesuatu, selain ikatan pernikahan ini. Aku terpaksa menikahimu. karena obsesi orang tuaku, yang menginginkan menantu berhijab seperti kamu. Aku telah melaksakan kewajibanku sebagai seorang suami, bukan. Nafkah batinmu sudah kupenuhi.  Tetapi, maaf, mungkin hanya sekali ini saja. Kuharap kamu segera ha mil,  dan berkabar pada Papa dan Mama, tentang calon cucu mereka. Itu impian mereka darimu, bukan? Tetapi, bila ternyata gagal, aku janji, akan memenuhi hak batinmu lagi. Hingga kau benar-benar hamil.”

Perempuan itu  merapatkan kedua lututnya  yang bergetar, meletakkan kepala di atasnya. Sepertinya dia mulai menangis, tapi aku tak peduli.

“Oh, iya, Indri, begitu, kan,  nama kamu tadi? Silahkan kamu nikmati kemewahan di rumah ini.  Itukan yang kamu intai, sehingga kamu mau  menjadi istriku, sama seperti orang tuamu, iya, kan? Tapi ingat jangan  pernah mengganggu masalah pribadiku, ok! Aku mau pergi menjumpai kekasihku, Ara. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?” Aku terkekeh kecil,  meraih kunci mobil, lalu berjalan menuju pintu kamar.

“Tunggu, Mas!” Aku tersentak, perempuan itu akhirnya berani bersuara juga.

Aku  menghentikan langkah, berbalik sambil tersenyum miring. Namun,

“Aaauuu! Indri! Apa yang kau lakukan?”

Secepat kilat sebuah benda melayang menghan tam keningku. Seketika  kurasakan pening, pandangan gelap. Kupegangi  keningku , cairan hangat mengalir de ras di sana.

“Bik War …!” teriakku bingung.

Indri terkekeh.

“Kau perempuan gi la!”   desisku lemah.

“Itu belum apa-apa! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!”  Dia menyeringai.

“Kau! Aku akan penjarakan kau!” ancamku makin lemah.

“Lakukan kalau kau bisa! Kartu ma timu ada di tanganku!  Oh, iya, ini belum apa-apa! Selamat menikmati hari-harimu selanjutnya!” ancamnya  tersenyum dingin, tepat di wajahku,  lalu berjalan  gontai menuju kamar mandi.

Entah apa maksud perkataannya. Yang  jelas aku merasakan api  keben cian dari nada suaranya.  Keben cian yang menciptakan den dam.

Aku juga tak berdaya melawan kehendak Indri, saat Ara datang dan berkeras tidur di kamar utama, bersamaku.  Terpaksa kami harus mengalah, tidur di kamar tamu. Tak  apa, tinggal satu malam lagi saja.  Biar dia puas menikmati ranjang impiannya satu malam ini. Besok pagi, dia akan kembali  tidur di kasur keras di kamar jeleknya.

*

Kupastikan Mama akan menyerah menyukai  menantu pilihannya itu, setelah  peristiwa berda rah semalam.  Aku sang putra kesayangan hampir saja  celaka. Mama tak akan tinggal diam. Detik ini juga, Indri akan terusir dari rumah ini. Begitu pikirku.

Tetapi, yang terjadi sama sekali  tidak seperti  impianku.  Mama malah membela perempuan itu. Bahka meminta agar melakukan hal yang lebih sadis lagi agar aku sadar. Gila! Bagaimana ini. Padahal Ara masih kusembunyikan di kamar tamu.

Kupikir mama akan langsung menyetujui hubunganku dengan Ara. Nyatanya Indri tetap istimewa baginya. Mama pasti akan menyelidiki peristiwa semalam. Bagaimana kalau keberadaan Ara ketahuan?

Kalau Mama ngusir Indri,  aku  yakin Mama pasti  bisa menerima Ara. Tetapi ini? Mama tetap bela Indri, artinya Ara tetap tak  ada tempat di hati Mama. Apalagi kalau ketahuan Ara nginap di sini, di malam pertama pernikahanku.

“Mas Haga!”

Duar!

Bom itu pun meledak. Itu suara Ara, berjalan sambil mengucek mata menuju meja makan di mana kami  sedang berbicara.  Mama terkejut, menatap kekasihku yang berpakaian setengah  telan jang  kian mendekat.

“Mas Haga,  aku laper, padahal mataku masih ngantuk banget, kamu sih, mainnya maksa sampai pagi, telat, kan aku bangunnya. Mas Haga ….”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Irizka RA Yusuf
jiiaaah, nggak ush pake POV kak kalo cuma ngulang aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   4. Selingkuhan Suamiku Istri Orang

    ***“Mas!” Ara terbelalak. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang menempel di tubuhnya. Namun, bagaimanapun usahanya, tetap saja, baju kurang bahan itu tak bisa sempurna menutupi seluruh tubuhnya.Mama mertuaku juga masih terbelalak. Wajahnya begitu tegang. Semoga dia tidak terlalu kaget, bisa gawat, dong, kalau tetiba dia pingsan. Eh, tapi beliau sepertinya udah tahu semua kok, kelakuan anaknya. Sayangnya, dia tak pernah cerita sebelumnya padaku tentang hal ini.Jujur, aku kecewa. Mertuaku ini ternyata tidak jujur. Saat melamarku dulu, dia tidak berterus terang semua tentang keburukan Mas Haga.“Haga itu manja, gak mandiri, kurang bertanggung jawab. Sepertinya hanya kamu yang bisa merubah sifat jeleknya itu, In. Jadikanlah dia seorang suami yang bertanggung jawab, gak kolokan lagi seperti sekarang!” Begitu katanya waktu itu.Sama sekali dia tidak mengatakan kalau putranya itu ternyata seorang pezina. Parahnya, tak menunggu esok atau lusa, dia bahkan bisa berzina di malam pertama

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-22
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   5. Kedatangan Bang Ipar

    ****Lelaki itu menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan. Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!” panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan pelipis sang majikan.Aku hanya berdiri mematung.“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.“Buat apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”Aku tersenyum miring. “Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya menid

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-22
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   6. Jebakan Suami Ara

    ===“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. Di lantai tiga, pintu lif

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-22
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   7. Aku Menantu Idaman Tapi Bukan Istri Pilihan

    7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   8. Talak Dari Suamiku

    ===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   9. Hamil Setelah Ditalak

    ===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   10. Bara Memaksa Rujuk

    ===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-24
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   11. Rahasia Perceraian Terbongkar

    ****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-24

Bab terbaru

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   78. Sepenggal  Asa Buat Indri  Dan Bara  (Tamat)

    POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   77. Ada Johana Pengganti Indri di Hati  Bayu

    “Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   76. Surat Pernyataan Sebelum Perceraian

    Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   75. Bayiku Diambil Keluarga Mantan Suami

    “Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   74. Bayiku Dilarikan Mama Mertua

    “Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   73. Selamat Menjadi Ibu, Juga Menjelang Pengantin Baru

    ====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   72. Bara Dan Bayu Di Rumah Indri

    ======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   71. Siapa Yang Menelepon Mas Arga  Saat Acara Lamaran

    POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   70. Hukuman Ara,  Keputusan Bella Menikah,

    =====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status