7
Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.
===
Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.
“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.
Terpksa langkahku terhenti.
“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.
“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.
“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.
“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”
“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”
“Sok hebat banget kamu, ultimatum aku seperti itu! Ini rumahku, kamu itu hanya numpang. Kebetulan aja, Mama dan Papa menyukaimu. Palingan sudah kamu sogok dengan sikap sok alim dan gamis murahanmu itu.”
“Kamu mau berbicara atau mengatai aku? Waktumu tinggal setengah menit!”
“Gak usah sok ngatur aku! Terserah aku mau berbicara berapa lama denganmu!”
“Maaf, waktumu habis!”
“Indri!” Kembali tangannya mencekal lenganku saat aku hendak bergerak pergi.
Kali ini aku tidak diam. Kukibaskan cengkramannya dengan kasar. Bersyukur sekali dulu aku sempat dipaksa Bapak ikut latihan bela diri. Meski hanya menguasai tingkat dasar, setidaknya tubuhku tidak kaku untuk melawan dalam keadaan terdesak.
Lelaki itu terkejut, gerakanku yang spontan mampu membuatnya agak limbung. Mendengkus kasar, dia menatapku dengan sorot mata aneh. Aku tak peduli.
Kuteruskan langkah masuk ke dalam.
“Jangan cerita pada Papa dan Mama tentang peristiwa tadi!” serunya.
Jadi, hal itulah yang ingin dikatakannya rupanya. Dia khawatir rahasianya kubongkar.
“Hemh, dasar pengecut!” ketusku sinis menoleh ke arahnya. “Kalau kau tidak mau Papa dan Mamamu mati tiba-tiba! Jaga sikapmu!” sergahku kasar! Tak perlu menjaga kesopanan pada lelaki itu, karena dia yang memulai bersikap seperti ini.
“Kau!” teriaknya melotot.
Aku tersenyum miring lalu berjalan cepat. Kutinggalkan dia yang menatapku dengan geram.
Mungkin dia berpikir, aku akan menyerah kalah dengan sikap dan mulut kasarnya. Lalu memilih keluar dari rumah ini. Kupastikan tidak! Orang tuanya telah memintaku untuk merubah sifat buruknya. Dan aku telah berjanji menyanggupi. Akan kubuktikan, bahwa aku bisa. Meski pada akhirnya, aku akan meninggalkannya juga. Dia bukan jodohku, aku yakin itu.
==
“Indri! Kamu sudah pulang, Nak? Katanya mau ke butik tempat kamu kerja dulu? Kamu bertemu dengan manajernya yang bernama Johana?” Papa mertua memberondong dengan kalimat itu, saat melihatku berjalan menghampiri mereka di halaman samping. Sepasang suami istri itu tengah berjemur, menikmati hangatnya sinar matahari di pagi cerah itu.
“Maaf, Pa. Saya kurang suka dengan cara Papa,” ucapku hati-hati. Aku tahu, kewajibanku bersikap hormat pada mertuaku. Tetapi, jika cara mereka dalam menyikapi suatu masalah kurang tepat, apalagi sampai melindas orang bawah, aku akan mencoba meluruskan. Semoga mereka bisa terima. Keluarga kaya raya ini, harus bisa berubah menjadi manusia yang punya hati. Harta bukan segala-galanya.
“Ma … maksud, kamu, Sayang?” Mama mertuaku terkejut dengan reaksiku, sama seperti suaminya.
“Papa membeli butik itu secara paksa, saya tahu itu. Maaf, jika saya dianggap kurang sopan. Tetapi, jujur, saya tidak suka cara Papa menguasainya. Saya tahu Papa orang hebat. Bagi Papa, membeli butik itu hanya seperti membeli sebungkus kacang goreng di pinggir jalan. Begitu gampang dan mudah. Apalagi Papa bisa membayar dengan harga di atas yang mereka minta. Tetapi, pernahkah Papa berpikir bagaimana nasip para karyawan yang bekerja di butik itu? Mereka akan kesulitan cari kerja lagi, Pa. Kenapa Papa memerintahkan mereka agar mengosongkan butik segera?”
“Maaf, Indri. Papa hanya ingin menyenangkan hatimu, Nak. Kamu bilang mau bekerja lagi. Kami malu bila menantu kami bekerja di bawah perintah orang lain. Makanya kami beli saja butik itu untukmu!” Papa menerangkan.
“Terima kasih banget, kalau Papa membeli itu untuk saya. Tetapi bukankah kita bisa mendirikan butik sendiri tanpa harus menguasai butik orang lain, Pa? Kita tak perlu menginjak orang lain agar kita bisa berdiri, bukan? Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan kalau bisa menjalin kerja sama, iya, kan, Pa?”
“Kamu benar, Nak. Tetapi di dalam menjalankan bisnis yang selama ini Papa geluti, tidak bisa seperti prinsip seperti kamu itu. Pemenang itu hanya satu. Agar bisa menang, yang lain harus disingkirkan. Kalau tidak, selamanya dia akan membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita harus bisa tampil menjadi satu-satunya pemenang.”
“Terus, Apakah Papa bahagia, jika Papa sukses sementara saingan Papa menderita? Keluarganya terancam tidak bisa melanjutkan hidup?”
“Indri, sejauh itu pemikiran kamu, Sayang?”
“Iya, dong, Pa. Kesuksesan itu hanya milik Allah semata. Jika Allah ingin mencabutnya, maka detik ini juga, itu bisa terjadi. Tidak melulu hidup ini masalah siapa yang pemenang dan siapa yang paling sukses. Perlu juga kita pikirkan bagaimana ratapan orang-orang yang tertindas karena perbuatan kita!”
“Kamu benar, Sayang. Papa sering mendengar kalimat itu di pengajian. Tetapi, hanya lewat bagai angin lalu. Tak pernah bisa Papa wujudkan dalam kehidupan nyata. Kami memang tidak salah memilihmu menjadi bagian keluarga ini. Ingatkan Papa dan Mama bila salah bersikap, ya Sayang.”
Tangan lelaki itu terjulur, aku mendekat. Dia memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Istrinya ikut tersenyum penuh haru. Sedang putranya mengintip dari balik tirai gapura tengah. Sempat kulihat mulutnya mencibir.
“Jadi, bagaimana menurutmu tentang butik itu, Sayang?” Mama menatapku lembut.
“Kalau Papa dan Mama izinkan, semua karyawan yang bekerja di situ, biarlah tetap bekerja, meski pemiliknya sudah berganti,” jawabku hati-hati.
“Papa ikut apa keputusan kamu, Sayang. Butik itu milikmu! Silahkan kamu kelola! Kalau butuh suntikan dana, kamu jangan segan bilang Papa, ya, Nak!”
“Makasih, Pa.”
Kuraih dan kucium punggung tangan ke dua mertuaku.
“Saya ke sana sekarang, untuk menenangkan mereka, ya, Pa, Ma!” izinku kemudian.
“Sama siapa? Diantar Haga, ya! Haga …!” Wanita itu berteriak. Mas Haga datang menghampiri.
“Tidak usah, Ma! Saya naik taksi saja!” tolkku halus.
“Tidak, Haga sedang tidak bekerja di kantor, bukan. Biar dia yang mengantar kamu!”
“Haga capek, Ma. Mau istirahat.” Mas Haga berlalu dengan angkuhnya.
Aku menelan saliva. Andai dia mau pun aku pasti akan menolak. Tetapi melihat sikapnya seperti itu, membuat harga diriku tertantang. Tetpi, apa yang bisa kulakukan sekarang? Tenang! Ya, harus tenang. Belum saatnya bertindak.
“Indri nyetir sendiri aja, bawa mobil Papa, Nak!” usul Mama kemudian.
Lelaki itu berbalik.
“Apa? Mama bilang apa? Gak salah ucap? Dia Mama suruh stir sendiri?” tanyanya sembari mengangkat telunjuknya ke arahku sambil terkekeh sinis.
“Iya, kenapa? Tapi kamu capek, mau istirahat, kan? ” jawab ibunya geram.
“Perempuan miskin, perempuan kampung kayak dia, bisa nyetir? Hahahaha ….”
Aku membeku. Ya, daripada aku emosi dan terbakar mendengar penghinaannya, lebih baik kubekukan hatiku agar dingin. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kulakukan berulang kali.
“Jaga mulutmu, Haga! Kalau Indri tidak bisa nyetir, siapa yang menyelamatkan Papamu saat pingsan di lampu merah waktu itu?”
“Apa?” Mas Haga tercekat. Matanya membulat menatapku kami bergantian.
“Papa harap kamu bisa bersikap lebih baik pada istrimu, Ga! Tolong kau hargai dia! Berhenti menyebutnya perempuan kampung!” Papa mertua berkata penuh tekanan.
“Maaf, Pa. Haga gak bermaksud menghina dia, kok. Tadi itu keceplosan aja, canda, Pa.” Mas Haga membela diri, namun aura terkejut dan meremehkan masih terlihat jelas di sorot matanya.
“Candanya kelewatan, Nak. Bisa menyakiti perasaan istrimu.”
“Iya, Pa. Maaf, ayo, aku antar!” Mas Haga menarik lenganku.
Segera kutepis dengan halus, karena mata kedua mertuaku tak lepas mengawasi kami.
“Maaf, sebenarnya saya lebih nyaman naik taksi aja. Tapi, kalau Papa dan Mama merasa gengsi menantu kalian naik taksi, saya nyetir sendiri saja. Pinjam mobil Papa,” ucapku pelan.
“Baik, Sayang. Ini kuncinya! Hati-hati, ya! Dan kalau memang kamu butuh mobil, besok pagi, sudah ada, Nak.”
“Tidak usah, Pa.” Aku terperangah. Gila keluarga kaya ini, beli mobil seperti beli bakwan saja.
“Kamu menantu kami, semua yang ada pada dirimu adalah harga diri kami, Nak.”
Aku hanya bisa menurut. Terserahlah. Kuraih kunci mobil milik Papa mertuaku. Lalu berjalan menuju port-car, di mana mobil mewah itu terparkir. Mas Haga mengikutiku.
“Aku belum yakin, kamu bisa nyetir. Ini mobil mewah, lho, bukan angkot!” cecarnya menjejeri langkahku.
Aku tak selera melayani ucapannya.
Gegas kubuka pintu mobil, dan melemparkan tubuhku dengan kasar di jok depan, tepat di belakang stir.
“Oh, ya, aku juga penasaran. Jujur, baru hari ini aku dengar kalau kamulah yang sok jadi pahlawan, yang langsung melarikan mobil Papa ke rumah sakit, saat dia tiba-tiba pingsan waktu itu. Aku tahu, kalau kamu yang menolong Papa dan Mama. Tapi gak nyangka, kamu juga yang nyetir mobil.
Tak merespon, aku mulai menstater mobil.
“Dia pingsan karena penodong itu mengarahkan pisau lipat ke leher Mama, dan kau berteriak, sehingga warga berdatangan. Hehehe strategi yang jitu,” ejeknya kemudian.
“Apa maksud kamu?” Aku melotot tajam menatap tepat ke manik-manik matanya.
“Kamu dan penodong itu sekomplotan, iya, kan? Sengaja mengatur drama itu, agar Papa dan Mamaku simpati, sangkin terobsesinya kamu menjadi menantu orang kaya, iya, kan?” tandasnya.
Darahku menggelegak.
“Sepertinya luka di kening kamu itu belum kering, Mas. Apakah kamu mau ditambah lagi?” ketusku menahan amarah. Sakit sekali rasa hatiku, di hina lagi seperti ini. Kembali harta yang dia bangga-banggakan, menuduhku lagi dengan alasan yang sama. Harta.
“Oh, ya? Kamu mau melukaiku lagi? Hehehe … perempuan tak tahu malu! Kemarin vase bunga, kali ini apa? Pisau lipat seperti milik teman kamu penodong itu?”
“Tak perlu senjata tajam, pakai ini saja, puah!”
Lelaki itu terkejut, meraba wajahnya yang kini basah dengan semburan air ludahku.
“Kau! Karena ada Papa, kalau tidak!” Giginya menggeretak menahan murka. Aku tersenyum miring.
“Kalau tidak kenapa? Kau mau tampar aku? Pengecut! Kau tahu, mulut kotormu itu, sama busuknya dengan ludah basiku! Permisi!”
Kulajukan mobil Papa menuju pintu gerbang. Meninggalkannya yang terlihat makin geram. Security langsung membuka melebarkan pintu gerbang untukku, begitu di aspal hitam, kupacu mobil dengan kecepatan tinggi.
Kulampiaskan kesal ini, amarah ini terasa mencekik.
Peristiwa di lampu merah beberapa bulan lalu melintas di benak. Saat netraku tak sengaja menyaksikan tindak penodongan yang dilakukan oleh seseorang pengemis terhadap sepasang orang kaya. Aku berdiri tak jauh dari situ, karena sedang menunggu Bapak datang menjemput sepulang aku kerja di butik.
Tak ada yang menyadari penodongan itu, karena si penodong awalnya berpura-pura membersihkan kaca depan mobil mereka. Cara yang banyak dilakukan pengemis untuk mengais rezaki di lampu merah.
Ibu mertuaku merasa iba, dia membuka pintu mobil, secepat itu pula sebuah pisau lipat di arahkan ke lehernya. Mungkin merasa ngeri melihat kilatan pisau, Papa terkena serangan jantung. Dia jatuh pingsan. Aku berteriak, seketika suasana ramai. Tanpa pikir panjang kularikan mobil mereka ke rumah sakit terdekat.
Kuminta Bapak menjemputku ke rumah sakit, sungguh tak kusangka, ternyata orang kaya itu mengenal Papa. Perjodohan ini tak bisa kuelakkan. Hingga aku terjebak sekarang.
Astagfirullah! Sabar!
Kuhibur diri, bukankah semburan air ludah itu sudah cukup sepadan dengan mulut kotor lelaki itu? Ok, tenang. Ingin sekali kutinggalkan keluarga itu sekarang juga. Tetapi, aku tak bisa. Janjiku pada kedua mertuaku, juga janjiku pada kedua orang tuaku, harus kupikirkan. Aku tak ingin menjadi anak yang mengecewakan.
Selama Mas Haga masih bisa kuhadapi, aku harus bertahan. Namun, entah bagaimana dengan Mas Bara besok. Semoga dia tak lebih parah dari adiknya.
===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu
===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran
===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu
****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba
===“Jadi, kamu diam-diam sudah pisah dengan Haga?” Mama mertua berjalan masuk.“Tenang, Ma! Tenang! Mama salah dengar sepertinya.” Mas Bara menyongsong ibunya.“Mama dan Papa sudah dengar semuanya. Tak perlu kalian tutup-tutupi lagi!”Ok, tapi Mama harus bisa tenang! Kalau Mama saja seperti ini, bagaimana dengan Papa?”“Stop Bara! Berhenti mengkhawatirkan Papa dan Mama. Kami baik-baik saja. Cukup sudah perbuatan Haga menghancurkan semuanya. Berhenti menutupi kesalahannya!”Aku terperangah. Mama terlihat begitu tegar. Awalnya dia memang tampak sangat terkejut, tetapi setelahnya aku dan Mas Bara yang dia buat terkejut. Apalagi melihat reaksi Papa mertuaku. Lelaki paruh baya itu malah berjalan tenang menghampiri kami, meraih sebuah kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tepat di sebelah kanan kepalaku.“Papa dan Mama baik-baik saja?” Mas Bara masih tak percaya.“Haruskah kami menghembuskan napas terakhir hanya karena ulah adikmu? Haga sudah kelewatan. Semua kami lakukan demi kebaika
****“Kita duduk, Pa! Papa tenang, ya!” Mas Bara memapah ayahnya menuju kursi di teras itu.“Baik, baik. Papa baik-baik saja! Tolong jelaskan, siapa perempuan itu!” ulang Papa menunjuk ke arah Mas Haga dan Ara.“Gak usah pura-pura terkejut Om!”Mas Arga yang menjawab.“Om sudah tahu sebetulnya kebusukan putra Om, sengaja menikahkannya dengan adik saya untuk menutupi kebejatannya. Agar keluarga Om tetap terhormat di mata masyarakat. Dengan menikahi putri seorang Ustadz, maka masyarakat akan menilai kalau Haga laki-laki baik, terhormat. Padahal busuk, pezina! Berzina dengan pelacur busuk! Dasar keluarga munafik!” maki Mas Arga kian emosi.“Hentikan Arga! Tutup mulutmu!” Bapak mengguncang bahu Mas Arga.“Aku sudah lama menyelidiki ini. Laki-laki busuk ini bahkan sudah menikah siri dengan perempuan itu! Adikku yang baik, ternyata bernasip begitu malang! Dia diselingkuhi, bahkan di madu dengan seorang perempuan murahan, dimadu dengan seorang lont*!”Mas Arga meradang lagi.“Arga! K
POV Haga===“Mas ke sini? Tumben?” tanya Ara.Wanitaku ini langsung berseri saat melihatku telah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang. Terlihat dereten gigi rapi mengintip di antara bibir tipis nan ranum menggiurkan itu.“Gak boleh aku ke sini? Atau kamu sedang menunggu si Leo, mantan suamimu yang impot*n itu” godaku seraya mengelus pipinya.Seketika tangan lembutnya mendaratkan pukulan manja di dadaku. Kutangkap dan langsung mendorong tubuhnya masuk. Segera kututup pintu dengan sebelah kakiku sambil berjalan memapahnya menuju kamar.“Pintunya gak dikunci, Sayang?” desisnya manja.“Biar aja, kelamaan!” sergahku memeluk pinggangnya.“Gimana keadaan Indri? Kenapa dia pingsan tiba-tiba tadi?” selidiknya sembari bergelayut manja di bahuku.“Kami bertengkar, aku tampar dia! Eh, pingsan!” ucapku berdusta.Dusta untuk menyenangkan hati wanita yang sangat kucintai ini. Tak mungkin kuberitahu dia kalau Indri pingsan karena ternyata dia tengah mengandung anakku. Bisa kiamat n
****“Biar aku saja yang membuka pintunya,” usulku sambil bangkit dan berjalan menuju pintu.Tanpa ragu kubuka pintu.“Auw!” Aku menjerit kaget dan langsung terjungkal kesakitan. Sebuah tendangan langsung mendarat di tulang kering kakiku. Mas Arga, kakak kandung Indri mantan istriku telah berdiri dengan menyeringai di hadapanku.“Kenapa? Kaget? Bangsat kau!” kembali dia menghajarku.“Ampun, Mas!” teriakku menghiba.Bukan karena aku takut melawannya. Tetapi, rasa kaget ini membuatku kehilangan tenaga. Bagaimana bisa Mas Arga menemukan kontrakan ini? Gawat, rahasia pernikahan siriku dengan Ara pasti akan terbongkar sekarang. Bagaimana ini.“Ampun? Ampun kau bilang? Ini ampun!” Kakinya kembali menendang tubuhku.“Hentikan! Tolooooong!” Ara histeris.“Jangan teriak, Ra! Dia kakak iparku!” perintahku menghentikan teriakan Ara.“Kakak iparmu, Mas? Dia yang aku ceritakan tadi, yang selalu mengintai aku dari kejauhan, Mas!”“Jelaskan siapa perempuan ini!” Mas Arga menatap tajam Ara.“D
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak