“Aku mau pergi menjumpai kekasihku. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?” Suamiku berucap.
Aku menggigil. Merasa terhina, menyesal, dan prustasi mulai mencekik. Tubuh bergetar hebat, jiwa berontak, emosi mengaduk, mencipta energy yang mulai membakar membuat darahku menggelegak.
Baru sekali gerakan, lelaki itu langsung terjerembab dengan cairan merah bersimbah.
“Itu belum apa-apa! Nikmati hari-harimu selanjutnya! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!” Aku menyeringai.
***
Lelaki itu tampak sangat dingin. Setelah Ijab Kabul berlangsung, resepsi mewah digelar, hingga pesta bubar, belum sekalipun dia menatap wajahku. Terasa gamang di kalbu, bagaimana aku akan menjalani hari hariku bersamanya, menjalankan peran sabagai istri untuknya.
“Kami pulang, In. Baik-baik di sini, ya, Nak! Jadilah istri yang terbaik buat suamimu!” Ibu memeluk dan mengusap punggungku.
“Indri takut, Buk,” bisikku pelan.
“Jangan takut, Sayang. Haga juga pasti bisa menjadi suami yang baik buatmu. Kamu adalah wanita pilihan orang tuanya. Haga juga menyukaimu, buktinya dia mau menikahimu, iya, kan? Pernikahanmu ini sangat sempurna, Sayang.”
“Tetapi,”
“Jangan resah begitu, In! Tersenyumlah! Kamu harus selalu tersenyum di depan keluarga barumu, terutama di depan suamimu!”
“Baik, Bu.”
“Begitu, dong! Lihat, Papa mertuamu tampak sangat bahagia. Penyakit jantungnya langsung sembuh. Begitupun dengan Mama mertuamu, iya, kan?”
Aku mengangguk.
Ibu melepas pelukan, kini Ayah yang gantian memelukku. Mengulang nasihat yang telah disampaikan oleh Ibu, aku mengangguk lagi.
“Tolong jagain Haga, ya, Sayang! Mama tahu, awal awal ini, pasti akan sangat sulit bagimu. Haga bukan lelaki yang baik. Mama sengaja memilihmu karena mama yakin hanya kamu yang bisa merubahnya. Mama mohon, agar kamu bersabar! Dampingi dia dan tolong segera beri kami kabar tentang kehadiran calon cucu!” ucapnya menangkup kedua pipiku.
Aku tersenyum, semoga aku bisa mewujudkan impiannya. Meski sangat ragu. Aku mengenal anaknya baru beberapa minggu. Jarang bertemu apalagi saling mengenali diri. Perkenalan pertama, Mas Haga langsung setuju menikahiku. Sedikitpun dia tak membantah keinginan orang tuanya. Meski kami hanya sekedar tau nama, belum paham watak dan kelemahan masing masing.
Begitupun dengan aku.
Didikan Ayah begitu ketat terhadapku. Terutama di bidang agama. Haram hukumnya berpacar-pacaran, kalau memang sudah sampai waktunya untuk menikah, Allah pasti mempertemukan jodoh. Begitu prinsipnya.
Darma Wijaya, adalah temannya saat masih mondok di sebuah pesantern modern di Jawa tengah. Memiliki perusahaan tambang pasir terbesar di kota ini. Mereka terhubung kembali karena bertemu di sebuah pengajian. Entah ini yang dinamakan jodoh, keluarga kaya raya itu ingin mempererat tali silaturahmi. Ayah menyambut dengan suka cita. Dan hari ini Ijab Kabul itu telah terlaksana.
Usai resepsi pernikahan, keluarga besar langsung mengantar kami ke rumah ini. Rumah yang telah disediakan oleh mertuaku sebagai hadiah pernikahan untuk. Rumah yang telah ditempati oleh Mas Haga sendirian setahun belakangan ini.
Mertuaku memilih tinggal di daerah pegunungan. Itu bagus untuk kesehatan Papa mertua, agar terhindar dari kebisingan dan beban pikiran.
Semua keluarga sudah kembali. Rumah besar ini tetiba terasa sepi. Mas Haga langsung menghilang, entah ke ruangan yang mana, sedikitpun tak memperdulikan aku. Aku tak berani mengikuti, atau sekedar menyapa. Termangu aku berdiri di ruangan tengah, bagai orang asing tak tersesat tak tau arah.
“Kenapa Ibuk tidak masuk ke kamar, dan membersihkan diri!?”
Aku tercekat, wanita paruh baya itu mengangetkanku.
“Nama saya Bik War, saya asisten di rumah ini. Kalau ada apa-apa, Ibuk panggil saja saya. Mari saya antar ke kamar Ibuk!”
Aku mengikuti langkahnya. Bik War menyeret koper pakaianku.
“Ini kamar Ibuk. Silahkan masuk, saya akan menyusun pakaian ini, Ibuk mandi saja!”
“Biar saya saja yang nyusunin, Bik,” tukasku meraih koper.
“Jangan! Ini tugas saya, Ibuk mandi saja!”
Aku mengalah.
===
Aku kaget, saat lelaki itu masuk begitu saja ke dalam kamar. Hampir saja aku menjerit. Namun, karena menyadari kini dia adalah suamiku, membuat jeritanku tertahan.
Tanpa menoleh ke arahku, dia langsung menuju kamar mandi. Gerah, risih, takut, dan entah perasaan tak enak apa lagi berkecamuk di benak. Kualihkan gamang ini dengan memainkan ponselku.
Lima menit, dia kembali. Handuk melilit tubuhnya sebatas pinggang. Rambut ikalnya basah, titik titik air menetes membasahi leher dan pundak. Dia terlihat begitu tampan. Aku segera berpaling, saat mata tajamnya mulai mengarah ke padaku.
Tanpa sepatah kata, lelaki itu menghampiri. Aku beringsut ke sudut ranjang. Ketakutan.
Teringat cerita novel yang sering kubaca, kalau malam pertama itu akan berlangsung sangat romantis, ternyata tidak seperti yang aku rasakan. Dalam impianku, suamiku akan tersenyum lembut, mencoba menyentuh tanganku, menggengam, lalu membisikkan kata cinta, berikrar setia, lalu mulai merengkuh tubuhku, menggendong, dan membawaku terbang ke langit biru.
Ternyata impian itu tidak terjadi, tidak seperti di dalam cerita novel itu. Lelaki itu menatapku dingin dengan sorot mata penuh kebencian. Bahkan kulihat ada dendam membara di sana. Kenapa, apa salahku? Bukankah dia setuju dengan pernikahan ini, meskipun aku adalah pilihan orang tuanya? Pernikahan ini tak akan terjadi tanpa kata iya dari mulutnya, bukan?
Tangan kekarnya mulai terjulur, meraihku yang mengkerut ketakutan di sudut ranjang. Tak berani melawan, aku pasrah dan menyerahkan diri ini utuh padanya.
Tiba-tiba dia menghentikan semuanya. Aku tak mengerti sama sekali. Ini kali pertama aku mengalami. Kurasakan dia menarik bagian tubuhnya dari dalam tubuhku, aku hanya diam.
Pria yang tadi pagi telah menghalalkanku itu langsung bangkit, berjalan menuju kamar mandi. Kuraih selimut untuk menutupi tubuh ini. Tubuh yang dia abaikan kini.
Ponsel di atas nakas berdering, itu miliknya. Sedikitpun aku tak berani menyentuhnya.
Pria itu keluar dari kamar mandi, masih dengan lilitan handuk sebatas pinggang. Titik-titik air masih menempel di dada bidangnya. Kulirik tubuh atletis itu sekilas, tubuh yang sempat kusentuh sesaat tadi. Tubuh yang telah halal, tetapi masih begitu asing.
“Iya, Sayang?” Dia mulai berbicara, setelah mengusap layar ponselnya. Aku terpana. Dia memanggil si penelepon dengan sebutan ‘Sayang’. Itu artinya dia sudah punya seseorang yang lain? Kalau iya, kenapa dia mau menikahi aku?
“Maaf, tadi aku di kamar mandi,” lanjutnya dengan nada begitu lembut. Kenapa dadaku seperti teriris?
“Iya, aku datang. Tunggu, ya! Enggak, enggak mungkinlah aku menyentuhnya! Perempuan kampung ini, hanya bikin enneg! Gak ada manis-manisnya! Beda, dong, sama kamu. Kamu tenang aja, ya, Sayang!”
Aku membeku. Suamiku mengatakan ‘enneg’ terhadapku. Padahal baru saja dia menyentuhku. Apa arti semua ini?
Lelaki itu kembali meletakkan ponsel. Lalu berjalan menuju lemari besar, mengeluarkan pakaiannya dari sana. Tanpa risih sedikitpun, dia bertelanjang di hadapanku. Mengenakan pakaiannya satu persatu. Mematut diri di depan cermin, menyemprotkan parfum ke leher dan pergelangan tangan, lalu dia menoleh ke arahku.
“Maaf, siapa nama kamu?”
Astaga!
Dia bahkan tak tahu namaku? Jadi saat Ijab Kabul tadi dia menyebut nama siapa? Barusan dia meniduri tubuh siapa?
[Saya terima nikahnya Indri Hayati Binti Usman dengan mahar seperangkat perhiasan emas seberat 100 gram di bayar tunai.]
Bukankah dia menyebut namaku saat menghalalkanku? Tuhanku, ternyata dia menyebut namaku bukan dari hati. Tetapi, sekedar mengulang kalimat yang diucapkan oleh Penghulu.
“Boleh geser bentar!” perintahnya menyibak selimut penutup tubuhku. Segera kupertahankan kain tebal itu, lalu beringsut memenuhi perintahnya.
Lelaki itu menunduk, memindai seluruh permukaan ranjang. Entah apa yang sedang dicarinya.
“Ini dia,” serunya kemudian. Kutatap bagian yang ditemukannya. Ada bercak di sana, sepertinya itu bercak darah. Darah apa itu? Apakah itu yang dimaksud darah malam pertama? Saat aku melepas kegadisanku?
Dia meraih ponselnya, lalu mengambil beberapa gambar, tepat di bercak darah itu. Lelaki itu terkekeh.
“Aku bangga, aku memang tak menginginkanmu, tapi setidaknya aku bisa merasakan perempuan yang masih perawan. Aku ucapkan terima kasih, karena jujur, baru pertama kali ini aku merasakan sensasi yang luar biasa. Kuhargai pengorbananmu! Tapi, maaf, aku tak akan bisa menjadi suami yang baik buatmu. Karena aku tak mencintaimu.”
Petir itu menyambar. Tubuhku rasa terbakar, tercampak, sakit sekali.
“Oh, iya, perlu kamu ketahui. Aku sudah punya pacar, namanya Ara. Kami saling mencintai, jujur, memang dia tak sealim kamu. Dia sudah tak perawan saat pertama kami bertemu, meski dia belum pernah menikah. Tapi tak masalah, karena rasa cinta, itu yang utama bagiku.”
Aku membisu, memalingkan muka dari tatapannya.
“Kuharap kamu tak pernah cemburu dan memang kamu tak berhak merasakan hal itu. Karena antara aku dan kamu tak pernah ada sesuatu, selain ikatan pernikahan ini. Aku terpaksa menikahimu. karena obsesi orang tuaku, yang menginginkan menantu berhijab seperti mu.”
Sesak ini semakin menyeruak di dada. Serasa aku tak bisa bernapas. Ingin sekali kupinta agar dia berhenti berucap. Tetapi, aku tak sanggup berkat, meski hanya sepatah.
“Aku telah melaksakan kewajibanku sebagai seorang suami, bukan. Nafkah batinmu sudah kupenuhi. Tetapi, maaf, mungkin hanya sekali ini saja. Kuharap kamu segera hamil, dan berkabar pada Papa dan Mama, tentang calon cucu mereka. Itu impian mereka darimu, bukan? Tetapi, bila ternyata gagal, aku janji, akan memenuhi hak batinmu lagi. Hingga kau benar-benar hamil.”
Tak sanggup lagi. Kurapatkan kedua dengkul yang bergetar, kujatuhkan kepala ini di atasnya.
“Oh, iya, Indri, begitu, kan, nama kamu tadi? Silahkan kamu nikmati kemewahan di rumah ini. Itukan yang kamu intai, sehingga kamu mau menjadi istriku, sama seperti orang tuamu, iya, kan? Tapi ingat jangan pernah mengganggu masalah pribadiku, ok!”
Lelaki itu tidak hanya menginjak-injak harga diriku, kini dia mulai menyeret harga diri orang tuaku. Bapak dan Ibu bukan orang seperti yang dia tuduhkan. Aku tidak terima ini. Tetapi, apa yang bisa kuperbuat sekarang?
Prustasi ini mulai mencekik. Tubuhku bergetar, dengkulku bergetar, dan jiwaku mulai meronta. Emosi mengaduk, menciptakan energy panas, mulai membakar dan membuat darahku menggelegak.
“Aku mau pergi menjumpai kekasihku, Ara namanya. Jangan tunggu aku pulang! Kau tidur saja! Nikmati ranjang mewah itu! Belum pernah kamu tidur di ranjang semewah itu, bukan?”
Aku mendongah, cukup sudah.
Lelaki itu terkekeh kecil, meraih kunci mobilnya, lalu berjalan menuju pintu kamar.
“Tunggu, Mas!” Kudengar suaraku bergetar.
Lelaki itu mengehentikan langkah, berbalik menatapku. Senyum miring masih terukir di sudut bibirnya.
“Aaauuu! Indri! Apa yang kau lakukan?”
Vase bunga itu pecah di ke palanya, pe cahan kaca itu bahkan tertancap tepat di kening. Cairan me rah merembes deras. Lelaki itu terjerembab di lantai.
“Bik War …!” Teriakannya menggema.
Gantian, kini aku yang terkekeh.
“Kau perempuan gi la!” desisnya memegangi kepala. Wajahnya memucat, pria itu semakin lemas.
“Itu belum apa-apa! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Tuan muda!” Aku menyeringai.
“Kau! Aku akan penjarakan kau!” Suaranya mulai melemah.
Bik War muncul dengan wajah kebingungan, mencoba menyelamatkan sang majikan.
“Lakukan kalau kau bisa! Kartu matimu ada di tanganku! Oh, iya, ini belum apa-apa! Selamat menikmati hari-harimu selanjutnya!” ancamku tersenyum dingin, tepat di wajahnya, lalu berjalan gontai menuju kamar mandi.
***“Tolong bersihkan darahnya, Bik!” Kudengar Mas Haga memohon pada Bik War. Saat aku berjalan gontai menuju kamar mandi dengan sehelai selimut membalut tubuh.“Pe cahan ka canya menancap di kening, Bapak. Saya gak berani cabut, takut darahnya muncrat. Kita ke rumah sakit saja, ya, Pak?” Wanita itu terdengar panik.“Rumah sakit? Gak usah! Kita ke klinik terdekat saja. Bantu saya ke mobil!” Suara lelaki itu semakin lirih.Aku tak peduli.Kututup pintu kamar mandi, memutar kran shower sampai habis. Aku berdiri mematung di bawah curahannya. Kubiarkan air dingin itu mengguyur seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Noda yang telah melekat ini, harus lekang, begitu inginku.Entah mengapa aku merasa tubuh ini kotor, jujur aku merasa kalau baru saja aku diperko sa secara hina. Meski pelakunya adalah suamiku sendiri, aku tetap merasa terno da. Cukup sekali, kupastikan kejadian ini hanya sekali seumur hidupku. Selanjutnya kau tunggu saja balasanku. Akan kubuat kau mengemis
POV Haga**“Kamu tinggal pilih, nikahi gadis itu atau lanjut study ke Australi!” Mama kembali memaksaku.Pilihan yang sangat sulit. Untuk menyelesaikan S1 saja kemarin aku ketar ketir. Bagaimana mungkin lanjut ngambil Master. Mustahil, bisa ma ti kelar masa depanku. Gak jadi nikah sama Ara. Tetapi, Mama terlalu kaku. Pilihan yang diberikannya adalah perintah. Aku harus memilih salah satunya. Menikahi perempuan udik itu.Bagaimana mungkin aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak kusukai. Melihat hi jabnya saja aku sudah enneg. Apa enaknya coba, kalau di tutupi seperti itu. Kam pungan, bosenin, pokoknya aku gak suka.“Ok, kamu gak bisa milih? Kalau begitu, mama yang mutusin. Kamu berangkat ke Australi minggu depan. Mumpung abangmu Barra masih di sana. Jadi dia bisa mengurus segala sesuatunya sebelum kembali ke Indonesia. Kuliahnya udah hampir kelar. Kamu harus ikut jejaknya!”“Gak mau, Ma! Haga gak bisa disuruh belajar lagi, mumet tau, gak? Ok, aku pilih nikah.” Akhirnya
***“Mas!” Ara terbelalak. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang menempel di tubuhnya. Namun, bagaimanapun usahanya, tetap saja, baju kurang bahan itu tak bisa sempurna menutupi seluruh tubuhnya.Mama mertuaku juga masih terbelalak. Wajahnya begitu tegang. Semoga dia tidak terlalu kaget, bisa gawat, dong, kalau tetiba dia pingsan. Eh, tapi beliau sepertinya udah tahu semua kok, kelakuan anaknya. Sayangnya, dia tak pernah cerita sebelumnya padaku tentang hal ini.Jujur, aku kecewa. Mertuaku ini ternyata tidak jujur. Saat melamarku dulu, dia tidak berterus terang semua tentang keburukan Mas Haga.“Haga itu manja, gak mandiri, kurang bertanggung jawab. Sepertinya hanya kamu yang bisa merubah sifat jeleknya itu, In. Jadikanlah dia seorang suami yang bertanggung jawab, gak kolokan lagi seperti sekarang!” Begitu katanya waktu itu.Sama sekali dia tidak mengatakan kalau putranya itu ternyata seorang pezina. Parahnya, tak menunggu esok atau lusa, dia bahkan bisa berzina di malam pertama
****Lelaki itu menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan. Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!” panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan pelipis sang majikan.Aku hanya berdiri mematung.“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.“Buat apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”Aku tersenyum miring. “Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya menid
===“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. Di lantai tiga, pintu lif
7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So
===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu
===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran
POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.
“Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang
Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri
“Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene
“Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,
====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang
======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu
POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan
=====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak