Malam harinya, Farhan tak bisa tidur. Perasaan bersalahnya semakin menjadi. Bahkan dia tidak tahu keadaan Arga setelah dia tusuk. "Apa dia selamat? Kalau dia sampai meninggal, betapa berdosanya aku," gumam Farhan seorang diri. Saat menjelang subuh, Farhan akhirnya bisa terlelap. Dalam tidurnya, Farhan bermimpi bertemu dengan ayahnya. Ayah yang selalu mengajarinya berbuat baik dan tidak pendendam. "Ayah ..." lirih Farhan.Ayah Farhan saat itu mengenakan pakaian yang serba putih dengan peci putih di kepalanya. "Kamu sudah berbuat salah, Nak. Tak sepantasnya kamu berbuat seperti itu," ucap sang Ayah."Berbuat apa, Yah?" Farhan seolah tak paham maksud ayahnya."Membalas perbuatan jahat orang lain kepada itu tidaklah dibenarkan, Farhan. Sadarlah dan bertobatlah!"Tiba-tiba sang Ayah menghilang dari pandangannya. Saat itu juga Farhan terbangun dengan wajah penuh keringat.Farhan bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tenggorokannya kering dan untuk menenangkan hatinya."B
Nirmala tidak begitu menanggapi ucapan Zaki yang mau datang ke rumahnya kalau sudah pulang kerja. Dia menganggap hal itu biasa saja karena memang sekarang Zaki lebih sering ke rumahnya untuk mengantar cucian.Nirmala sempat mengatakan pada Zaki untuk langsung mengantar ke outlet barunya. Tapi dia selalu menolak dengan alasan tidak sempat.Jadilah setiap pagi Nirmala ke outlet dengan membawa pakaian kotor milik Zaki. Zaki memang masih tinggal di tempat kos. Tapi, beberapa hari yang lalu, Mama Zoya memintanya untuk pulang lewat Fano. "Ada apa, sih, Fan? Aku sudah nyaman tinggal di sini," tolak Zaki saat itu."Katanya ada yang penting, Mas. Tadi Mama juga nangis lho, Mas. Pulang lah, Mas! Sebentar aja, ya?" bujuk Fano. Dengan segala pertimbangan, akhirnya Zaki mau pulang ke rumah tapi hanya untuk menemui Mama Zoya saja. Untuk tinggal di sana lagi, Zaki masih belum memikirkan hal itu, walaupun itu rumahnya sendiri."Baiklah." Jadilah malam itu Zaki pulang ke rumahnya bersama Fano. Hany
Zaki melewati hari-hari selanjutnya penuh kebahagiaan lagi. Hubungannya dengan Mama Zoya semakin harmonis, sehingga dia memutuskan untuk kembali lagi ke rumah.Suatu hari, Zaki bertemu dengan Nirmala di rumah sakit. Dia pun berjanji untuk datang ke rumah Nirmala karena hendak membicarakan sesuatu.Sore itu, Zaki menepati janjinya. Sepulang dari rumah sakit, dia tidak langsung pulang. Sebelum sampai di rumah Nirmala, dia tidak lupa membeli buah tangan berupa buah dan juga kue."Semoga kamu suka, La," ucapnya sembari tersenyum.Niatan yang sudah lama dia pendam, hari ini akan diungkapkan oleh Zaki. Dengan harapan dia mendapat jawaban yang membahagiakan. Terlebih lagi Zaki tahu jika Nirmala sebentar lagi resmi bercerai dari suaminya."Lho, bukannya itu mobilnya Raga, ya? Ada apa dia kemari?" gumam Zaki.Saat Zaki sampai di depan rumah Nirmala, ada sebuah mobil yang sangat dia kenal. Rasa penasaran muncul dalam hati Zaki karena sudah lama dia tidak mendengar kabar Raga setelah kematian Nu
Nirmala menatap abangnya bingung. Dia seolah memberi kode agar Ridwan menjawab pertanyaan Zaki itu. "Abang menyambut niat baik Zaki itu. Tapi, mohon maaf sekali Zaki, untuk saat ini, Nirmala tengah dilamar oleh seseorang juga dan Nirmala belum memberikan jawabannya. Jadi, tidak elok dan kurang pantas rasanya jika Nirmala dilamar lagi oleh orang lain," ujar Ridwan menjelaskan tanpa menyebut nama Raga sebagai orang yang melamar Nirmala.Wajah Zaki tiba-tiba berubah dengan cepat saat Ridwan berkata seperti itu."Raga?" Kata itu keluar dari mulut Zaki.Alasan kuat yang membuatnya menyebut nama itu perkataan Raga sebelum pulang. "Iya, Mas. Mohon maaf sekali," sahut Nirmala."Gak apa-apa aku paham, La. Tidak boleh seorang perempuan yang sedang dalam proses lamaran, dilamar lagi oleh orang lain. Aku hanya bisa mendoakan semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik. Aamiin!" Walaupun kecewa, Zaki tetap mendoakan yang terbaik untuk Nirmala. Mungkin memang Zaki belum berjodoh dengan Nirmala, b
"Aduh, sakit! Tuh, kan, Ma ... Mas Zaki suka gitu orangnya," adu Fano. Lidahnya dijulurkan ke arah Zaki bermaksud mengejek kakaknya."Sudah ... sudah! Kok malah kalian yang berantem, sih? Kamu juga Fano, sukanya ikut campur. Kamu sendiri gimana sama Nadira? Jadi nikah gak? Mama sekarang gak masalah mau siapa dulu diantara kalian berdua yang menikah duluan.""Ntar dulu aja, deh, Ma. Fano masih ada kasus besar yang harus diungkap. Setelah itu, nanti Fano pikirkan lagi," balas Fano sambil meringis menunjukkan giginya yang putih dan tersusun rapi."Kasus besar? Kasus apa, Fan? Kamu yang hati-hati kalau berbuat apapun. Jangan sampai kamu kenapa-napa, ya, Fan," sahut Mama Zoya.Tiba-tiba Mama Zoya merasa khawatir dengan keselamatan Fano. Bukan tidak percaya dengan polisi, tapi sebatas khawatirnya seorang ibu."Zaki berangkat, ya, Ma!" pamit Zaki menyudahi pembicaraan pagi itu.Selang beberapa menit kemudian, Fano juga ikut menyusul kakaknya berangkat kerja. Dan hanya tinggal Mama Zoya sendi
"Iya, ini saya Dokter Zaki." Perempuan itu menunduk tak berani menatap Zaki."Kamu beneran Cindi?" ucap Zaki setengah tak percaya.Cindi yang dikenal Zaki, bukanlah Cindi seperti yang ada dihadapannya saat ini. Pakaiannya lusuh, rambutnya tidak tertata rapi dan juga wajahnya tidak semulus dulu."Kamu kenapa? Dan ibu hamil itu siapa kamu?" sambung Zaki."Ceritanya panjang. Tapi, saya mohon, Dok, lakukan yang terbaik untuk teman saya itu. Hanya —" Ucapan Cindi terhenti. Matanya mengedar keberbagai arah seperti orang yang bingung."Kamu gak perlu pikirkan itu. Yang penting kamu setuju kalau temanmu kita operasi, ya?" Seakan paham maksud Cindi, Zaki menyahut. "Terima kasih, Dok."Cindi merasa sangat malu dengan Zaki. Setelah apa yang dia perbuat, Zaki masih mau membantu temannya. Cindi paham betul kalau rumah sakit itu juga pemiliknya adalah Zaki. "Baiklah kalau begitu. Saya akan siapkan ruang operasi segera," ucap Zaki.Cindi pun keluar dari ruangan Zaki. Dengan harap-harap cemas, dia
Rasanya sungkan untuk meminta bantuan lagi kepada Zaki. Zaki sudah banyak membantunya. Dia pun memutuskan untuk mencari cara agar bisa menyewa satu kamar kos agar bayi Intan tidak hidup di jalanan.Dia pun teringat lagi kalau Intan memberinya sebuah dompet yang Cindi sendiri tidak tahu isinya."Isinya apa ini?" Saat itu, Cindi berisitirahat di sebuah masjid setelah berjalan lumayan jauh dari rumah sakit."Subhanallah, Ya Allah, Intan! Kenapa kamu gak bilang dari dulu kalau kamu punya perhiasaan?" Cindi kaget karena dompet itu berisi kalung, gelang dan juga cincin emas beserta surat-suratnya."Apa mungkin ini sudah kamu siapkan, Intan? Apa kamu punya firasat akan pergi? Aku janji akan gunakan ini untuk keperluan yang penting-penting saja. Dan aku janji akan merawat anakmu setulus hatiku," gumam Cindi seorang diri.Cindi lalu berjalan lagi mencari toko emas untuk menjual salah satu perhiasan milik Intan itu. Hasil penjualan itu, akan digunakan oleh Cindi menyewa kos dan juga membeli su
"La, tidak baik terlalu lama menunda jawaban lamaran Raga. Kamu harus segera memutuskannya. Abang tidak bermaksud apapun, La. Tapi ini semua demi kebaikanmu sendiri," nasehat Ridwan pada adiknya."Iya, Bang, Nirmala ngerti."Nirmala memang sudah punya jawaban atas lamaran Raga. Hanya saja dia masih ingin meyakinkan lagi jawaban itu."Bang, Nirmala besok mau ke rumah sakit, ya. Mau lihat Mas Arga," kata Nirmala."Yaudah gak apa-apa. Abang hanya berpesan kamu jangan terlalu dekat lagi Arga lagi. Sebentar lagi putusan cerai kalian akan keluar. Oh iya, Abang sama kakakmu mau pulang juga. Kasihan kakakmu sekarang gampang capek.""Iya, Bang. Hati-hati di jalan, ya, Bang."Ridwan dan Aisyah pamit pulang karena hari juga sudah malam. Nirmala pun ikut pergi melihat outlet laundrynya. Jam operasional laundry milik Nirmala sampai jam sembilan malam. Dan sekarang baru jam delapan malam. "Gimana laundry hari ini? Ramai?" tanya Nirmala pada Odi, salah satu karyawan laki-laki di laundryannya. "Alh