Arga benar-benar sudah ikhlas dengan nasib pernikahannya dengan Nirmala. Dia sudah tidak ingin membuat Nirmala menderita tanpa kejelasan status.
Saat sidang berlangsung, Arga tidak begitu banyak bicara. Bahkan dia juga ikut setuju untuk mempercepat proses perceraian itu.
Setelah meminta maaf pada Nirmala, Arga pamit terlebih dahulu meninggalkan ruang sidang itu. Baru saja dia hendak keluar dari kantor pengadilan agama, ada yang memanggilnya.
"Mas Arga!" Suara laki-laki terdengar dari belakangnya.
Arga menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Terlihat ada seorang laki-laki yang berjalan menghampirinya.
"Kamu, kan ....?" Ucapan Arga menggantung.
Laki-laki itu tersenyum dan berkata," Iya, saya pengacara Nirmala tadi."
Ternyata Farhan buru-buru berpamitan pada Nirmala karena hendak menyusul Arga. Ada hal yang ingin dia sam
"Mas Arga! Tolong, Pak! Tolong, Bu! Tolong panggilkan ambulans!" seru Nirmala."Bang ... Bang Ridwan!" Nirmala berlari ke arah kakaknya dengan tak kuasa menahan air mata."Kamu kenapa, La? Ada apa? Di sana ada apa? Kenapa kamu sampai nangis begini?" tanya Ridwan yang panik melihat adiknya menangis."Iya, La, kenapa kamu menangis?" sambung Aisyah yang tak kalah panik."Mas Arga, Bang ... Mas Arga!" Tangisan Nirmala semakin kencang. Tangannya menunjuk ke arah kerumunan."Dek, tenangkan Nirmala. Abang mau lihat ke sana," kata Ridwan pada istrinya."Iya, Bang."Setelah tahu yang terjadi di sana, Ridwan juga ikut terkejut. Tak lama kemudian ada mobil ambulans datang dan membawa Arga ke rumah sakit.***"Pasien atas nama Arga!" seru seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang tindakan
"Pasien saat ini masih belum sadarkan diri. Luka tusukannya cukup dalam dan korban kehilangan banyak darah. Kita tunggu saja sampai kami observasi perkembangan selanjutnya," terang Dokter berbadan tambun itu."Astaghfirullah al'adzim! Baik, Dok, terima kasih."Nirmala tak bisa berkata-kata. Dia turut prihatin dengan kejadian yang menimpa yang menimpa Arga. Alhamdulillah kakaknya mau membantu Arga dengan membayar biaya rumah sakit.Nirmala membantu Arga bukan karena masih cinta padanya. Sebagai seseorang yang pernah mengisi hatinya, dia melakukan hal itu sebagai wujud kemanusiaan saja.Dua jam setelah tindakan, Arga tak kunjung sadar. Bahkan dia sempat kejang dan membuat Nirmala panik."Dok! Dokter ... tolong!" teriak Nirmala keluar dari ruangan Arga.Dokter dan perawat berhamburan ke dalam dan Nirmala diminta untuk menunggu lagi di luar ruangan.
Sementara di ruangan Arga, dia masih belum sadarkan diri. Dalam kondisi tidak sadar, Arga bermimpi. Dalam mimpinya itu, Arga bertemu seorang wanita yang dulu pernah dia kenal."Dara?" seru Arga. Dia tak percaya bertemu kembali dengan Dara.Dara tersenyum sambil menangis pada Arga. Wajah Dara masih sama seperti dulu saat Arga pertama kali bertemu dengannya."Kenapa kamu menangis?" Arga mencoba duduk dekat dengan Dara di sebuah bangku berwarna putih.Dara menggunakan gaun berwarna putih pula. Wajahnya tampak pucat dan rambut panjangnya tergerai."Kamu apa kabar, Dara? Maafkan aku yang pergi meninggalkanmu," ucap Arga.Saat Arga mencoba memegang tangan Dara. Tangan Dara sangat dingin seperti es. Tiba-tiba, Dara menarik tangannya yang dipegang oleh Arga."Kamu kenapa, Dara? Kamu tidak apa-apa, kan? Kenapa tanganmu dingin?"
"Ra, Mas janji akan membuat Arga menderita lebih dari yang dia lakukan padamu," ucap Farhan di sebuah batu nisan yang bertuliskan nama Dara Adinda.Dara Adinda adalah adik satu-satunya yang dia miliki setelah kepergian kedua orang tua Farhan. Dara anak yang baik dan penurut. Tapi, semua berubah ketika Dara mengenal Arga saat masih sekolah menengah dulu.(Flashback)"Maafkan Dara, Yah! Jangan usir Dara dari sini, Yah!" Dara bersimpuh di kaki cinta pertamanya itu.Dara baru saja ditampar berkali-kali oleh ayahnya karena dia hamil padahal saat itu Dara kelas tiga SMA.Sang Ibu tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menyaksikan kebrutalan suaminya menghajar Dara. Saat itu Farhan tidak ada di rumah. Dia tengah menempuh pendidikan sarjana hukumnya di luar kota."Sudah, Yah! Kasihan Dara. Bagaimanapun juga Dara itu anak kita, Yah," rengek Ibu Dara kar
'Untuk Mas Farhan dan Ibu.Maafkan Dara karena sudah menjadi penyebab kematian Ayah. Dara sangatlah menyesal karena hal itu. Keb*dohan Dara membuat keluarga ini menderita. Dara janji setelah ini kalian tidak akan kesulitan lagi merawat Dara. Maafkan Dara, Mas Farhan! Dara sayang sama Mas Farhan dan juga Ibu. Dara titip anak Dara, ya Mas.Mas ... suatu hari nanti, jika Mas Farhan bersedia, carilah orang yang bernama Arga. Fotonya ada di dalam dompet Dara yang ada di laci meja. Dia adalah ayah dari anak Dara. Laki-laki br*ngs*k itu yang telah menodai Dara.Dara sudah mencoba menghubungi dan mendatanginya di rumah kontrakannya. Tapi ternyata, mereka sudah pindah dan tak ada satupun tetangga yang tahu keberadaan mereka.Terima kasih untuk kasih sayang Ibu dan juga Mas Farhan. Maafkan Dara jika Dara harus pergi dengan cara seperti ini.'Air mata Farha
Farhan semakin tak sabar menunggu sidang pertama klien barunya itu. Dia gak sabar ingin tahu jika Arga yang ada dalam surat itu samakah dengan Arga yang dia cari selama ini."Aku harus bersiap untuk besok," gumam Farhan.Semalaman, Farhan pun tidak nyenyak karena memikirkan jika Arga itu Arga yang sama dengan yang dimaksud Dara.Pikirannya melayang dan memikirkan akan berbuat apa jika memang itu Arga yang telah menghamili Dara. Farhan pun sudah berkomunikasi dengan Ridwan. Mereka janjian akan langsung bertemu di pengadilan. Keesokan harinya, Farhan sudah siap pagi-pagi sekali karena memang semalaman tidak bisa tidur. Farhan pergi ke pengadilan dengan mengendarai mobilnya seorang diri. Semuanya sudah siap dan dia yakin kalau urusan kliennya ini akan selesai tanpa hambatan.Sesampainya di pengadilan agama, Farhan bertemu dengan Ridwan dan juga Nirmala. Setelah basa-basi sebentar, mereka masuk ke dalam ruang sidang."Arganya sudah datang, Mbak Nirmala?" tanya Farhan basa-basi. "Belum
Malam harinya, Farhan tak bisa tidur. Perasaan bersalahnya semakin menjadi. Bahkan dia tidak tahu keadaan Arga setelah dia tusuk. "Apa dia selamat? Kalau dia sampai meninggal, betapa berdosanya aku," gumam Farhan seorang diri. Saat menjelang subuh, Farhan akhirnya bisa terlelap. Dalam tidurnya, Farhan bermimpi bertemu dengan ayahnya. Ayah yang selalu mengajarinya berbuat baik dan tidak pendendam. "Ayah ..." lirih Farhan.Ayah Farhan saat itu mengenakan pakaian yang serba putih dengan peci putih di kepalanya. "Kamu sudah berbuat salah, Nak. Tak sepantasnya kamu berbuat seperti itu," ucap sang Ayah."Berbuat apa, Yah?" Farhan seolah tak paham maksud ayahnya."Membalas perbuatan jahat orang lain kepada itu tidaklah dibenarkan, Farhan. Sadarlah dan bertobatlah!"Tiba-tiba sang Ayah menghilang dari pandangannya. Saat itu juga Farhan terbangun dengan wajah penuh keringat.Farhan bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tenggorokannya kering dan untuk menenangkan hatinya."B
Nirmala tidak begitu menanggapi ucapan Zaki yang mau datang ke rumahnya kalau sudah pulang kerja. Dia menganggap hal itu biasa saja karena memang sekarang Zaki lebih sering ke rumahnya untuk mengantar cucian.Nirmala sempat mengatakan pada Zaki untuk langsung mengantar ke outlet barunya. Tapi dia selalu menolak dengan alasan tidak sempat.Jadilah setiap pagi Nirmala ke outlet dengan membawa pakaian kotor milik Zaki. Zaki memang masih tinggal di tempat kos. Tapi, beberapa hari yang lalu, Mama Zoya memintanya untuk pulang lewat Fano. "Ada apa, sih, Fan? Aku sudah nyaman tinggal di sini," tolak Zaki saat itu."Katanya ada yang penting, Mas. Tadi Mama juga nangis lho, Mas. Pulang lah, Mas! Sebentar aja, ya?" bujuk Fano. Dengan segala pertimbangan, akhirnya Zaki mau pulang ke rumah tapi hanya untuk menemui Mama Zoya saja. Untuk tinggal di sana lagi, Zaki masih belum memikirkan hal itu, walaupun itu rumahnya sendiri."Baiklah." Jadilah malam itu Zaki pulang ke rumahnya bersama Fano. Hany
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal