Sungguh kali ini hati Arga benar-benar melow. Dia berada di masjid itu sampai waktu Maghrib. Setelah sholat Maghrib, ada kajian di masjid yang dia singgahi itu. "Rasulullah SAW bersabda "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku" (HR. At-Tirmidzi no 3895, Ibnu Majah no 1977. Disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sahihah no 285).""Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda; "Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya" (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)"Hadist yang disampaikan oleh penceramah seolah menampar Arga. Dia yang selama ini bersikap cuek bahkan cenderung kasar pada Nirmala semakin merasa bersalah setelah mendengarkan ceramah itu."Astaghfirullah al'adzim! Ternyata memang selama ini aku sangat dzalim pada Nirmala. Astaghfirullah!" Berulang kali Arga mengu
Saat menunggu mobilnya selesai diganti ban, tanpa sengaja Raga mendengar bunyi perut Arga. Dia pun menoleh ke arah Arga yang tengah memegangi perutnya yang lapar."Kamu lapar? Mau makan dulu? Yuk!" ajak Raga. Sungguh, tidak ada kata dendam ataupun kebencian dari mulut Raga. Bahkan dia merasa prihatin dengan kondisi Arga saat ini.Karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar, Arga menerima ajakan Raga walaupun dia sedikit malu. Kebetulan tak jauh dari tempat mereka saat ini ada warung Padang. Di sanalah mereka makan bersama.Selesai mereka makan, ternyata mobil Raga juga sudah siap. Berangkat lah mereka bersama-sama naik mobil Raga. Tak ada sedikitpun percakapan diantara keduanya. Hingga sampailah mereka di tempat tinggal Raga yang dulu. Tempat tinggal Tante Ria juga."Kenapa kemari?" tanya Arga lirih."Ayo turun! Nanti kamu juga akan tahu," pinta Raga sembari melepas sabuk pengaman yang dia kenakan. Arga pun mengikuti dibelakang Raga. Sungguh, seperti flashback ke masa lalu dimana d
Hari yang ditunggu Nirmala telah tiba. Hari ini sidang perceraiannya yang pertama. Tentu saja dia sangat gugup karena dia baru pertama kali menghadapi persidangan."Tenang, gak usah gugup, Dek. Abang dan Kakakmu akan selalu bersamamu," ujar Kak Aisyah memberikan semangat untuk Nirmala."Terima kasih, ya, Kak. Tanpa kalian, Nirmala gak akan kuat untuk berdiri lagi." Nirmala memeluk erat kakak iparnya itu. "Ya sudah, ayo kita berangkat!" ajak Ridwan memecah keharuan kedua perempuan itu.Semakin dekat dengan pengadilan agama, jantung hati Nirmala semakin berdetak kencang. Dia takut jika nantinya, Arga akan mempersulit Nirmala."Bismillahirrahmanirrahim! Semoga Mas Arga tidak akan membuat masalah dan semoga Mas Arga mau datang. Aamiin!" Doa Nirmala dalam hati. Ridwan sudah menyewa pengacara untuk membantu perceraian adiknya itu. Dan pengacara itu sudah menunggu mereka.Karena banyaknya bisnis yang digeluti Ridwan, mudah baginya meminta bantuan temannya yang punya kenalan pengacara."Nan
"Bismillahirrahmanirrahim! Ini memang keputusan yang tepat agar Nirmala bisa bahagia. Ayo Arga, kamu jangan lemah!" ucap Arga pada dirinya sendiri.Dengan langkah mantap, Arga masuk ke pengadilan agama seorang diri tanpa didampingi oleh pengacara. Saat masuk ke dalam ruang sidang, matanya menatap sosok istri yang sudah sejak lama dia tinggal. Bahkan sejak masih tinggal bersama selalu dia sakiti secara verbal.Mata mereka beradu tapi tak sedikitpun ada pembicaraan di antara mereka berdua. Sidang pun berjalan lancar. Tak ada tuntutan apapun dari kedua belah pihak dan mereka berdua sepakat untuk bercerai."La, maafkan semua kesalahanku, ya. Aku harap setelah ini, kamu akan lebih bahagia," ucap Arga. Dia menghampiri Nirmala setelah sidang selesai."Maafkan kesalahanku juga selama menjadi istrimu, Mas. Semoga tidak ada dendam setelah ini dan Mas Arga bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Aamiin!""Aamiin!" sahut Arga. Setelah itu, Arga berpamitan untuk pulang lebih dahulu. Satu Minggu la
Arga benar-benar sudah ikhlas dengan nasib pernikahannya dengan Nirmala. Dia sudah tidak ingin membuat Nirmala menderita tanpa kejelasan status.Saat sidang berlangsung, Arga tidak begitu banyak bicara. Bahkan dia juga ikut setuju untuk mempercepat proses perceraian itu.Setelah meminta maaf pada Nirmala, Arga pamit terlebih dahulu meninggalkan ruang sidang itu. Baru saja dia hendak keluar dari kantor pengadilan agama, ada yang memanggilnya."Mas Arga!" Suara laki-laki terdengar dari belakangnya.Arga menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Terlihat ada seorang laki-laki yang berjalan menghampirinya."Kamu, kan ....?" Ucapan Arga menggantung.Laki-laki itu tersenyum dan berkata," Iya, saya pengacara Nirmala tadi."Ternyata Farhan buru-buru berpamitan pada Nirmala karena hendak menyusul Arga. Ada hal yang ingin dia sam
"Mas Arga! Tolong, Pak! Tolong, Bu! Tolong panggilkan ambulans!" seru Nirmala."Bang ... Bang Ridwan!" Nirmala berlari ke arah kakaknya dengan tak kuasa menahan air mata."Kamu kenapa, La? Ada apa? Di sana ada apa? Kenapa kamu sampai nangis begini?" tanya Ridwan yang panik melihat adiknya menangis."Iya, La, kenapa kamu menangis?" sambung Aisyah yang tak kalah panik."Mas Arga, Bang ... Mas Arga!" Tangisan Nirmala semakin kencang. Tangannya menunjuk ke arah kerumunan."Dek, tenangkan Nirmala. Abang mau lihat ke sana," kata Ridwan pada istrinya."Iya, Bang."Setelah tahu yang terjadi di sana, Ridwan juga ikut terkejut. Tak lama kemudian ada mobil ambulans datang dan membawa Arga ke rumah sakit.***"Pasien atas nama Arga!" seru seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang tindakan
"Pasien saat ini masih belum sadarkan diri. Luka tusukannya cukup dalam dan korban kehilangan banyak darah. Kita tunggu saja sampai kami observasi perkembangan selanjutnya," terang Dokter berbadan tambun itu."Astaghfirullah al'adzim! Baik, Dok, terima kasih."Nirmala tak bisa berkata-kata. Dia turut prihatin dengan kejadian yang menimpa yang menimpa Arga. Alhamdulillah kakaknya mau membantu Arga dengan membayar biaya rumah sakit.Nirmala membantu Arga bukan karena masih cinta padanya. Sebagai seseorang yang pernah mengisi hatinya, dia melakukan hal itu sebagai wujud kemanusiaan saja.Dua jam setelah tindakan, Arga tak kunjung sadar. Bahkan dia sempat kejang dan membuat Nirmala panik."Dok! Dokter ... tolong!" teriak Nirmala keluar dari ruangan Arga.Dokter dan perawat berhamburan ke dalam dan Nirmala diminta untuk menunggu lagi di luar ruangan.
Sementara di ruangan Arga, dia masih belum sadarkan diri. Dalam kondisi tidak sadar, Arga bermimpi. Dalam mimpinya itu, Arga bertemu seorang wanita yang dulu pernah dia kenal."Dara?" seru Arga. Dia tak percaya bertemu kembali dengan Dara.Dara tersenyum sambil menangis pada Arga. Wajah Dara masih sama seperti dulu saat Arga pertama kali bertemu dengannya."Kenapa kamu menangis?" Arga mencoba duduk dekat dengan Dara di sebuah bangku berwarna putih.Dara menggunakan gaun berwarna putih pula. Wajahnya tampak pucat dan rambut panjangnya tergerai."Kamu apa kabar, Dara? Maafkan aku yang pergi meninggalkanmu," ucap Arga.Saat Arga mencoba memegang tangan Dara. Tangan Dara sangat dingin seperti es. Tiba-tiba, Dara menarik tangannya yang dipegang oleh Arga."Kamu kenapa, Dara? Kamu tidak apa-apa, kan? Kenapa tanganmu dingin?"
Fano mengutarakan niatnya mempersunting Ana lebih cepat. Dia merasa tidak baik menunda hal baik. Apalagi hampir setiap hari Fano dan Ana bertemu. "Apa mama dan Mas Zaki tidak keberatan? Mengingat kita belum lama kehilangan Mbak Nirmala," ungkap Fano yang masih memikirkan perasaan Zaki. "Alhamdulillah!" Mama Zoya dan Zaki secara bersamaan mengucap syukur. "Tentu saja tidak, Fan. Mas malah bahagia jika kamu sudah menemukan tambatan hati. Niat baik itu memang harus disegerakan. Menikahlah! Kapan rencana kalian?" balas Zaki. "Kalau memang semuanya setuju, rencananya akhir bulan di bulan depan, Ma, Mas. Iya, kan, An?" Ana menunduk karena tersipu malu. Kini dia dan Nirmala punya nasib yang sama. Tanpa orang tua, dia harus merencanakan pernikahannya sendiri bersama keluarga calon suaminya. Dulu, Ana memang kagum pada Zaki karena pandangan pertama. Tapi lambat-laun saat dia bekerja di rumah Mama Zoya, hatinya tertarik pada Fano. Gayung pun bersambut. Ternyata Fano juga men
Sudah empat bulan kepergian Nirmala. Dan selama itu pula Zaki masih belum bisa menerima kepergiannya. "Ki, kamu gak mau lihat anakmu? Dia sudah empat bulan dan kamu belum memberinya nama," ucap Mama Zoya suatu hari. Zaki menjadi sangat g*la bekerja. Tak jarang dia tidur di rumah sakit karena enggan untuk pulang ke rumah. Rumahnya terlalu menyimpan banyak kenangan bersama Nirmala. Selama empat bulan itu pula, Mama Zoya bekerjasama dengan Ana menjadi dan merawat bayi yang belum diberi nama itu. Mereka berdua sangat telaten dan satu sama lain saling membantu. Kehadiran bayi itu sedikit banyak mengobati rasa kehilangan Mama Zoya. Apalagi bayi itu semakin hari semakin mirip dengan Nirmala. "Ti, apa sebaiknya dipikirkan lagi soal menjual usaha Mbak Nirmala?" kata Ana. Ya, Ana memanggil Mama Zoya dengan sebutan uti untuk membahasakan anak Nirmala. Sekarang prioritas Mama Zoya adalah membesarkan anak Nirmala. Sehingga dirinya sudah jarang sekali ke tempat usaha Nirmala yang sebelumnya d
Situasi di dalam ruang ICU sangat tegang. Semua tenaga medis yang ada di dalam berusaha untuk memberikan pertolongan kepada istri dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Tak ada berada di luar ruangan, Zaki ikut masuk ke dalam ICU. Tak ada yang menghalangi Zaki kali ini. Dengan memegang tangan Nirmala, Zaki berkata, "Aku tunggu kamu pulang, Sayang. Anak kita sangat tampan dan dia sehat. Ayo pulang, Yang!" Setelah Zaki bicara seperti itu, mata Nirmala terbuka dan melotot. Tapi, setelah itu bunyi alat yang terpasang di tubuh Nirmala menjadi datar. Zaki terkejut dan melihat ke arah dokter dan perawat. Mereka semua menggelengkan kepala. Air mata Zaki sudah tak bisa dibendung lagi. "Gak! Gak mungkin! Bangun, Sayang! Ayo kamu bangun! Anak kita sudah menunggu, La. Kamu harus lihat wajah anak kita. Aku mohon, Sayang!"Suasana ICU menjadi haru. Nirmala menghembuskan nafas terakhir dengan didampingi oleh Zaki. Wajah Nirmala tampak cantik dan bibirnya tersenyum. Seolah-olah mengisya
Air mata Zaki terus saja mengalir kala melihat sang istri terbaring dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuh Nirmala. Saat ini Nirmala ada di ruang ICU. Pendarahan Nirmala memang sudah bisa diatasi. Tapi, kondisi Nirmala tak lantas membaik. Dia koma. Lengkap sudah kesedihan Zaki saat ini. Istri dan anaknya tengah berjuang di ruangan yang sangat ditakuti itu. "Ya Allah, tolong izinkan aku untuk bisa membahagiakan istriku! Tolong!" rintihnya dalam hati. "Ki ... jangan patah semangat dan terus berdoa, ya. Mama akan selalu mendoakan untuk kesembuhan Nirmala dan cucu mama. Mama ingin kita berkumpul lagi bersama-sama." Mama Zoya menguatkan. Zaki mengangguk walaupun ragu. "Mas, Fano bawa mama pulang dulu, ya. Nanti Fano akan kembali lagi ke sini. Mas Zaki mau nitip apa?"Hari memang sudah terlalu larut. Mama Zoya terlihat kelelahan dan memang seharusnya istirahat di rumah. Fano tak mau jika nantinya Mama Zoya ikut sakit. "Iya. Mama memang harus istirahat. Tolong bawakan saja p
"Mbak Nirmala!" pekik Fano. Dia melihat Nirmala merintih kesakitan dengan darah yang keluar dari kedua kakinya. Di sana ada Ana yang tengah menahan beban tubuh Nirmala yang berat. "Tolong, Mas!" kata Ana lirih. Fano dengan cepat dan hati-hati menggotong Nirmala. Dibelakangnya ada Ana yang sigap mengikuti. Tangannya masih gemetar karena menyaksikan langsung Nirmala yang kesakitan. "Ayo cepat, Ana!" seru Fano. "Astaghfirullah! Nirmala! Mbakmu kenapa, Fano?" tanya Mama Zoya saat mereka berpapasan di ruang tamu. "Gak tahu, Ma. Ayo kita cepat bawa ke rumah sakit, Ma!" jawab Fano panik. "Iya. Tapi tunggu dulu mama mau ambil tas Nirmala dulu. Dia udah siapkan tas ke rumah sakit," kata Mama Zoya. "Biar saya ambilkan, Bu. Dimana kamar Mbak Nirmala?" Ana menawarkan diri. Dia merasa bisa lebih cepat mengambil daripada Mama Zoya. Setelah diarahkan oleh Mama Zoya, Ana lari ke kamar Nirmala dan mengambil tas yang dimaksud. Lalu, dia dengan berlari juga kembali lagi ke depan. Nirmala dan
Nirmala dan Zaki keluar secara bersama-sama. Di ruang tamu, ada seorang perempuan yang tengah menunggu kehadirannya. "Ana?" lirih Nirmala. Melihat Ana di rumahnya, tentu Zaki terkejut. Tapi, dia lebih terkejut lagi setelah mengetahui jika Nirmala mengenal Ana. "Kamu kenal dengan dia, Sayang?" tanya Zaki setengah berbisik. Nirmala mengangguk. Nirmala terlihat mempersilahkan Ana untuk duduk lagi. Dia bersama Zaki ikut duduk berhadapan dengannya. Nirmala sudah mendengar soal ayah Ana. Bahkan dia juga yang melunasi tagihan rumah sakit ayah Ana. Hanya saja memang Nirmala belum sempat mengucapkan belasungkawa secara langsung karena kondisinya tidak memungkinkan untuk bepergian. "Saya sudah mendengar soal ayahmu. Saya ikut berdukacita, Ana. Semoga ayahmu diterima di sisinya oleh Allah SWT. Aamiin. Kamu yang tabah, ya." Nirmala memulai pembicaraan. Ana mengangguk. Sebenarnya dia menahan air matanya dan itu rasanya tidak nyaman sama sekali. Walaupun sudah berlalu beberapa minggu, tetap
"Aku tahu kamu butuh biaya besar untuk ayahmu di sini. Aku bisa bantu itu. Tapi, aku juga butuh bantuanmu," ucap Nirmala kemudian. "Bantuan? Bantuan apa?" tanya Ana yang penasaran. "Saya akan menjamin biaya ayahmu di rumah sakit ini. Kamu kerja denganku," sahut Nirmala. Ana terkejut ketika Nirmala menawarkan pekerjaan padanya. Saat ini memang dia sedang butuh pekerjaan karena uang pegangannya sudah menipis. Apalagi ayahnya masih butuh banyak biaya. Walaupun dokter sudah angkat tangan dan menyarankan untuk melepas alat bantu, Ana belum mau. Ada keyakinan dalam dirinya jika sang ayah akan pulih kembali seperti sedia kala. Hanya saja saat ini Ana dihadapkan dengan biaya rumah sakit yang sangat besar. Isi kepalanya hampir keluar karena pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Kerjanya apa? Apa aku masih bisa merawat ayahku di sini?" tanya Ana ragu. "Jadi asisten pribadiku. Kamu hanya perlu ikut saya kalau saya sedang butuh teman saja. Mudah bukan?"Nampaknya Ana sedang berpikir keras.
"Lalu kamu mau apa? Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusi urusan tidak penting ini. Saya sudah minta maaf dan kamu pun tidak terluka. Lalu apa lagi?" Zaki dibuat sedikit kesal oleh perempuan muda itu. "Gak penting katamu? Gara-gara kamu, aku jadi terlambat memberi makanan pada ayahku. Jadi, kamu harus tanggung jawab!" Perempuan yang belum diketahui namanya itu tak kalah kesal. Zaki menghela nafas panjang. Waktunya terbuang percuma hanya untuk menanggapi orang yang tak dikenal. "Kamu harus ikut aku dan minta maaf langsung sama ayahku!" sambungnya lagi. "Maaf saya tidak ada waktu." Zaki pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan perempuan tadi. Langkahnya hampir sampai di ruangan rawat inap Nirmala. Dia merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar suara perempuan tadi. Namun, prediksinya salah. Ternyata perempuan itu mengikutinya sampai di depan ruangan Nirmala.Perempuan itu mencegat Zaki. "Kamu harus ikut aku!" serunya. "Gak sopan! Kamu dari tadi mengikuti ku?"
Mama Zoya yang tertidur dengan kepala berbaring ke ranjang Nirmala pun terkejut mendengar suara Nirmala. Spontan Mama Zoya langsung bangun dan memastikan Nirmala sudah sadar. Lalu, Mama Zoya lari keluar untuk memanggil perawat jaga. Setelah perawat jaga memeriksa Nirmala, Mama Zoya baru lah lega karena menurut perawat, semuanya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk penanganan lebih lanjut, menurut kata perawat akan menunggu instruksi dari dokter yang menangani Nirmala. Dokter yang memeriksa Nirmala belum mengatakan apapun pada mertua Nirmala itu. Alasannya karena menunggu suami Nirmala. "Aku dimana, Ma? Kok mama di sini?" tanya Nirmala yang masih tak sadar kalau dia di rumah sakit. Fano sudah kembali bertugas dan Zaki juga sudah diberitahu kalau Nirmala ada di rumah sakit. Sekarang, Zaki sedang ada di perjalanan. Dia juga baru selesai menangani dua operasi yang sangat darurat. Setelah melihat sekeliling dan mengingat kejadian terakhir, Nirmala baru ingat kal