Bab 5

Ketika melihat wajah Joshua yang pucat pasi, rasanya semua kekesalan yang selama ini menyesakkan dadaku sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Joshua memakiku, "Wanita jalang!"

Aku tidak memedulikannya. Menghadapi pria seperti dia memang harus dilakukan dengan tegas.

Liana meraih lengan Joshua, lalu berkata dengan nada menyedihkan, "Joshua, jangan marah. Mungkin Nona Sania terlalu mencintaimu sampai nggak mau kehilanganmu. Tadi dia bahkan menyebutku sebagai selingkuhan."

Joshua melirikku sekilas, lalu berujar, "Yang nggak dicintai adalah selingkuhannya!"

Aku tidak menunjukkan ekspresi apa pun, karena aku memang sudah tidak mencintai pria ini.

Jadi, tidak peduli apa pun yang Joshua katakan, dia tidak bisa lagi menyakitiku.

Namun, setelah tamparan itu, akhirnya Joshua bersedia menceraikanku.

Andai aku tahu lebih cepat bahwa dia bisa ditaklukkan dengan tamparan, aku akan menamparnya berkali-kali lebih awal!

Hari ketika aku menerima surat cerai, rasanya aku seperti mendapatkan hidup baru.

Pernikahan yang gagal bukan hal yang menakutkan. Yang penting aku tahu kapan harus berhenti merugi.

Joshua sempat mentransfer uang 20 juta sebagai kompensasi untukku.

Aku menatap angka itu sambil tertawa sampai air mataku keluar.

Dia selalu pelit padaku. Aku sudah tiga tahun bersamanya, tetapi baginya aku hanya pantas dihargai 20 juta saja!

Aku tidak menginginkannya. Aku langsung mentransfer kembali uang ini padanya.

Hidup itu soal harga diri!

Mulai sekarang, aku akan berfokus penuh pada pekerjaanku. Tujuanku sekarang adalah bekerja keras untuk menabung, membeli rumah, lalu membawa ibuku untuk tinggal bersamaku.

Pagi itu, saat aku baru sampai kantor, rekan-rekan kerja langsung berkerumun membawakan gosip segar.

Kabarnya, kemarin Liana tertangkap basah oleh wartawan. Ternyata dia adalah simpanan seorang investor besar. Itulah sebabnya dia bisa mendapatkan begitu banyak koneksi, serta proyek papan atas.

Namun, ketika pacarnya yang kaya itu tahu tentang hal itu, dia langsung memutuskan hubungan dengan Liana.

Aku sendiri sudah lama tidak mengikuti berita tentang Joshua dan Liana. Aku kira mereka sudah menikah.

Ketika mendengar tentang kabar ini, aku hanya menganggapnya sebgai hiburan, tidak ambil pusing dengannya. Itu adalah urusan mereka.

Namun, saat pulang kerja, aku mendapati seorang pria berdiri di samping mobil Ferrari.

Begitu Joshua melihatku, dia langsung berjalan mendekat, lalu berkata dengan penuh semangat, "Sania, aku akan mengantarmu pulang."

Aku memandangnya dengan tatapan dingin tanpa menjawab. Aku tidak mengerti kenapa pria yang menghilang selama dua hingga tiga bulan ini tiba-tiba muncul di hadapanku lagi.

Mungkinkah dia kembali mengincarku setelah putus dengan Liana?

Namun, aku jelas bukan tempat sampah daur ulang.

Saat aku hendak melangkah pergi, Joshua mengulurkan tangan untuk menghadangku.

"Sania, apa kamu masih marah padaku?" tanya pria itu.

Aku menatapnya dengan tatapan dingin, lalu membalas, "Joshua, kita sudah bercerai. Ngggak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita."

Joshua mulai berakting lagi, berpura-pura seolah-olah sangat mencintaiku.

Pria itu berujar, "Sebelumnya, aku memang sudah bersalah. Maafkan aku, Sania. Aku benar-benar minta maaf."

"Setelah semua yang terjadi, aku sadar kalau kamu adalah wanita yang paling mencintaiku. Aku ingin kita bersama lagi. Ayo kita menikah lagi," lanjut Joshua.

Aku menatap pria yang sedang berpura-pura di hadapanku. Aku tidak merasakan apa pun, hanya merasa geli.

Apa dia pikir aku akan kembali ke pelukannya dengan penuh sukacita hanya dengan jentikan jari?

Faktanya, Joshua memang selalu berpikir seperti itu. Dia merasa, dengan sedikit merendahkan diri serta membujukku, aku akan langsung luluh, langsung kembali ke pelukannya.

"Kalau kamu bersamaku, kamu bisa tinggal di vila besar milikku. Namamu akan aku tambahkan di sertifikat rumah. Setiap bulan aku juga akan memberimu uang belanja. Kamu nggak perlu bekerja lagi," ujar Joshua.

Aku menatap Joshua dengan tatapan dingin. Sampai detik ini, dia masih mengira aku adalah wanita yang bisa dibeli dengan uang.

Melihatku masih terdiam, Joshua mengira aku mulai goyah. Dia pun melanjutkan kata-katanya.

"Sania, pikirkan baik-baik. Ini adalah satu-satunya kesempatan dalam hidupmu untuk menjadi orang kaya. Kalau kamu menolaknya, selamanya kamu hanya bisa tinggal di apartemen sempit itu."

Joshua tahu dengan sangat baik bahwa impianku adalah memiliki rumah sendiri.

"Joshua, kamu sangat menjijikkan," balasku.

"Aku beri tahu padamu, sejak aku tahu kalau kamu menipuku, saat itulah aku benar-benar kehilangan rasa untukmu. Enyahlah dari hadapanku, dasar penipu!"