Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.
Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.
Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.
Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya.
"Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."
Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon.
"Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper agak jauh dan memutuskan pergi dari rumah ini.
Ceisya adalah termasuk anak yang menurut kepada orang tua, meskipun harus pergi dari rumah ini juga.
Langkah Ceisya terus berjalan, meski tidak tahu arah dan tujuan.
Sementara itu, Ramon terus memandangi putrinya dari balik gorden. Ia merasa menjadi manusia yang paling jahat karena sudah menyakiti dan menyuruh Ceisya untuk pergi.
"Kenapa kamu tidak mengejarnya?" tanya Sentari merasa pura-pura ikut bersedih atas kejadian ini.
"Biarkan dia menemukan jati dirinya sendiri." Ramon sendiri ragu mengatakan hal itu. Ceisya tidak pernah bisa hidup selain di rumah ini.
"Dia anak kamu satu-satunya."
Ramon menghela napas panjang. "Sekalinya bersalah dan tidak minta maaf, maka perlu diberikan hukuman yang setimpal."
"Atau aku yang mengejarnya?" Sentari bersiap pergi, tetapi dicegah oleh Ramon. Tangan Ramon menahan tangan istrinya.
"Tidak perlu. Rumah ini selalu terbuka untuk orang bersalah yang sudah minta maaf."
Ramon melepaskan tangan Sentari dan bersiap pergi dari ruangan yang sudah tidak lagi hangat akibat pertengkaran.
"Aku izin pergi sebentar," ucap Sentari agak ragu di situasi yang dirasakan sekarang.
Ramon yang masih membelakangi istrinya pun menjawab. "Kemana?"
"Aku akan jenguk Ibas di rumah sakit. Aku juga akan membujuk dia agar tidak melaporkan kasus ini ke kantor polisi.
Ramon tertunduk. "Aku akan mentransfer sejumlah uang untuk biaya pengobatan Ibas."
"Dua puluh lima juta." Sentari langsung menyebutkan nominal.
"Pergilah! Uang itu akan sampai ke rekening kamu sebelum sampai rumah sakit." Ramon pergi menjauh, bukan ke kamarnya, tetapi ke kamar Ceisya.
Sentari langsung menyambar tas kecil karena sudah mempersiapkan pergi menemui Ibas.
"Pergi dengan sopir. Jangan sendirian," ucap Ramon menutup pintu kamar Ceisya. Ia ingin memeriksa apa saja yang sudah dibawa putrinya.
Napas Ramon tersendat ketika melihat kartu ATM milik Ceisya sengaja ditinggalkan di atas meja.
Rencana awal, Ramon akan tetap bertanggung jawab kebutuhan Ceisya di luar sana. Namun, nyatanya putus sudah.
Sementara itu di koridor rumah sakit, Sentari melenggang dengan tenang. Beban di pundak telah sirna sudah.
Di depan sana, sudah ada sosok yang menunggu Sentari. Siapa lagi kalau bukan Ibas.
"Yakin Ceisya memukulimu seperti ini?" Sentari ragu ketika melihat Ibas dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ibas berdecak sambil memegang pipi kanan yang lebam.
"Aku sewa preman untuk memukuli aku," ucap Ibas.
"Apa kamu yakin jika seorang perempuan bisa memukul separah itu?" Sentari bingung.
"Soalnya luka di perut kurang membuat gadis itu dinyatakan bersalah. Jadi aku sewa preman."
"Hemm."
"Sekarang di mana Ceisya? Apa gadis itu bersalah setelah Ramon memarahinya?" tanya Ibas penuh percaya diri.
Sentari diam. Tidak tahu harus menjelaskan pembicaraan dari mana. Ia pun berpikir keras untuk mengalihkan topik masalah.
"Berapa biaya perawatan di rumah sakit dan sewa preman?"
Ibas menghitung semua pengeluaran. "Sepuluh juta."
Dalam hati, Sentari bersorak. Ia masih punya sisa uang pemberian Ramon. Wanita ini langsung mengambil ponsel dan segera mengutak-atik ponselnya.
"Sudah aku transfer sebelas juta."
Ibas terbelalak. "Uang siapa?"
"Pastinya bukan uang aku. Melainkan uang Ramon."
"Kelebihan satu juta."
"Tidak apa," balas Sentari karena masih untung banyak.
"Apakah Ramon memarahi Ceisya gara-gara hal ini?" Ibas kembali mengulang pertanyaan karena tadi belum ada jawaban.
"Iya. Ramon mengusirnya." Sentari memasang wajah datar.
Bukan main terkejutnya mendengar akan hal itu. "Apa? Gadis itu diusir oleh ayahnya?"
Sentari mengangguk.
"Tidak mungkin." Ibas belum bisa percaya.
"Ya. Ceisya sudah pergi. Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu aku untuk menguasai harta Ramon."
Raut wajah Ibas tidak bahagia. Tidak seperti wajah Sentari saat ini.
"Kenapa malah sedih? Bukankah ini tujuan utama kita dengan menyingkirkan Ceisya? Kita tidak akan lagi hidup susah. Kamu tidak perlu lagi kerja keras di proyek." Sentari berbicara panjang lebar.
"Aku terlanjur jatuh cinta kepadanya," ujar Ibas secara lirih.
Sentari sekarang menjadi merasa bersalah karena dia adalah dalang dibalik ini semua.
"Sekarang tunjukkan kepada Ceisya jika kamu peduli dan perhatian kepadanya, di saat orang tua menyuruhnya pergi."
"Di mana sekarang aku harus mencari dia?" Ibas bingung. Apalagi fisiknya yang sekarang sedang babak belur.
"Ceisya pergi tanpa membawa mobil. Mungkin saja dia belum jauh dari kota ini."
Tanpa permisi, Ibas langsung berlari meninggalkan Sentari.
"Semoga kalian tidak bertemu," ucap Sentari kepada diri sendiri.
***
Seorang gadis sedang menempelkan ponsel di telinga sebelah kanan. Wajahnya sangat murung.
"Jadi aku tidak bisa tinggal di tempat kamu hanya beberapa hari saja?"
"Maaf, Sya. Rumah aku sempit dan tidak ada kamar kosong. Kalau kamu mau nanti aku minta izin kepada bibi. Kebetulan di rumah dia ada kamar kosong."
"Tidak, Ya. Aku bisa cari kos dengan harga murah. Terima kasih." Ceisya menutup teleponnya.
Sudah tiga jam berjalan tanpa arah. Awalnya Maya yang bisa membantunya, tetapi ternyata tidak.
Mana uang tinggal beberapa lembar saja. Entah cukup untuk hari ini atau malah kurang.
Jalan terakhir adalah menghubungi Rayanka. Siapa tahu dia bisa membantunya. Komitmen dari Rayanka adalah hubungan mereka hanya melalui chat, tidak ada telepon atau pun video call.
Namun, hari ini Ceisya memberanikan diri untuk video call Rayanka.
"Angkat. Aku mohon," pinta Ceisya yang sudah buntu.
Di luar dugaan, Rayanka di seberang tanpa sengaja menekan tombol panggilan telepon. Alhasil mereka saling terkejut melihat wajah mereka masing-masing. Terutama Ceisya yang kedua lututnya mendadak lemas karena di layar telepon menampilkan laki-laki yang sangat tampan.
"Ada apa menelepon?" tanya Rayanka enggan melihat wajah di sana. Sebenarnya ini bukan pertama kali karena Ceisya sering mengirimkan foto gadis itu.
"Ray, tolong jemput aku. Ayah telah mengusir aku dari rumah. Aku tidak tahu harus kemana."
Rayanka mendengar jika gadis yang amat dicintainya sedang menangis terisak.
"Aku tidak bisa menolong atau menjemput kamu."
Bukan main terkejutnya Ceisya mendengar akan hal itu. "Ray? Please? Jemput aku. Aku tidak tahu harus berlindung kepada siapa. Ibas bisa kapan saja menangkapku."
Rayanka menghirup napas panjang dan menatap gadis yang tengah bersedih. "Maaf. Aku tidak bisa. Aku mohon setelah ini jangan menghubungi aku lagi."
Telinga Ceisya bergetar hebat dengan kata-kata Rayanka yang menginginkan perpisahan tanpa alasan. Kelopak mata bagian bawah milik Ceisya terasa sangat berat. Buliran bening sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. "Apa aku tidak salah dengar?" Ceisya terbata-bata mengatakan hal itu. Ponsel juga ditekankan lebih kuat dengan telinga. Suara embusan napas Rayanka di seberang sana terdengar kuat. "Tidak. Kamu tidak salah dengar." Ceisya mundur beberapa langkah. Sampai pada akhirnya tubuhnya jatuh pada kursi di taman kota. Lampu taman terlihat temaram, layaknya ikut meratapi kesedihan yang dialami Ceisya. "Ray? Apa kamu sedang ada masalah? Jika iya, tolong katakan! Siapa tahu aku bisa bantu kamu," pinta Ceisya penuh harap "Tidak. Kamu salah. Aku baik-baik saja. Aku sedang tidak ada masalah." Ceisya berpikir cepat. "Apa kamu sedang sakit?" "Aku sehat," balas Rayanka memalingkan wajahnya karena Ceisya di sana menatap dengan intens. Ceisya hanya bisa menatap wajah Rayanka dari jauh. Laki
Ibas berjalan kesana kemari sambil menunggu sang Tante datang. Mereka sudah janjian di taman pinggir kota. Benar saja, dalam waktu lima menit datanglah wanita yang menjadi ibu sambung Ceisya. "Ke mana perginya gadis itu?" tanya Ibas kepada Sentari. "Aku sudah mencari sampai ke tempat sahabat Ceisya, tetapi tidak ada." Sentari memasang wajah biasa saja. Entah kenapa Ibas terlalu ambisi dengan anak angkatnya. "Kamu bisa cari lagi sampai ketemu," balas Sentari. Ibas naik pitam. "Harus cari ke mana lagi? Apa perlu teman satu kampus harus aki datangi satu per satu?" Tatapan Ibas sekarang tertuju kepada Sentari. "Apa kamu sengaja melenyapkan Ceisya selamanya?" Sentari panik. "Tidak. Aku hanya memberi pelajaran agar gadis itu menurut saja." "Buktinya sekarang Ceisya pergi entah ke mana." "Besok kita cari bersama. Hari sudah larut malam." Ibas mendengkus kesal. "Keburu gadis itu pergi menjauh." Laki-laki usia matang hatinya sangat kecewa dengan tantenya. Padahal perjanjian awal akan
Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala. Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus. Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung. "Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur. Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah. Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya. 'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya. Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana buk
Ceisya merasa ketakutan hebat ketika berhadapan dengan pasien yang belum membuka mata.'Bagaimana aku membayar ini semua? Bahkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana kalau Kaivan melaporkan ini semua ke polisi?'Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ceisya. Baru kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Mengalahkan ketika berhadapan dengan Ibas atau pun Sentari.Jika waktu kejadian, Ceisya melihat Kaivan secara samar-samar. Sosok sekarang lebih terlihat jelas. Laki-laki berperawakan tinggi, memiliki kulit putih, rambut sedikit berwarna cokelat, tetapi tidak menghapus ketampanan.Tangan Ceisya meraih tangan yang terhubung selang infus. "Aku minta maaf."Seharusnya Ceisya yang berada di IGD. Terbujur tidak sadarkan diri, bukan Kaivan.Melihat Kaivan yang belum membuka mata, Ceisya semakin didera rasa bersalah. Ia pun berniat keluar dari ruangan yang membuatnya semakin bersalah.Ketika Ceisya membuka pintu, sosok gadis itu sangat terkejut. Di depan sana terdapat rombon
Randi mendengkus kesal. Percuma seharian mengkhawatirkan Kaivan jika pada akhirnya laki-laki itu malah lebih peduli kepada perempuan asing."Huft. Seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan masa depan kamu," sindir Randi.Sementara itu, Ceisya yang berada di belakang Randi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Sepertinya Kaivan belum menyadari keberadaan Ceisya."Di mana perempuan itu? Cepat katakan!" Kaivan sampai menyingkap selimut dengan logo rumah sakit.Kaivan hanya bisa menelan pahit setelah mengetahui apa yang terjadi dengan kakinya. Penuh dengan perban. Sia-sia perawatan pedicure dua hari yang lalu. Andai Kaivan tidak menolong gadis itu. Andai Kaivan tidak jatuh pasti sudah bisa bergerak bebas."Tahu sendiri kan sekarang kalau kamu tidak bisa jalan?" Randi paham apa yang sedang dipikirkan aktor tersebut."Jawab pertanyaan aku tadi!" Ceisya yang sudah panas dingin tidak bisa berkutik."Oh. Ternyata kamu lebih mementingkan perempuan itu, dibandingkan dengan masa depan kamu sendiri.
"Siapa perempuan itu?" Laura bertanya secara intens. Ia terus mengingat semua pemain dari inti sampai figuran. Tidak ada yang seperti tadi di ruangan ini. Ada rasa aneh jika Kaivan berteman dengan perempuan seperti tadi."Teman."Laura tidak percaya. "Yakin sekedar teman?" "Iya.""Tapi aku tidak percaya," tukas Laura dengan ketus."Terserah kamu. Aku juga tidak butuh, kamu mau percaya atau tidak." Dari awal, Kaivan terus menghindari kontak mata dengan Laura."Kaiv?" Laura dengan nada tinggi. Ternyata Kaivan sama saja. Tidak di lokasi syuting atau di rumah sakit. Selalu ketus dan terus menghindar.Kaivan yang merasa dipanggil hanya menjawab dengan deheman. Itu malah membuat Laura semakin kesal."Aku takut jika perempuan itu akan mengganggu hubungan kita."Kedua alis Kaivan saling bertaut. "Apa kata kamu? Hubungan kita? Sepertinya aku harus mengingatkan kamu jika kita tidak pernah dekat atau pun menjalin hubungan."Kaivan sampai menekankan di setiap kata-katanya agar Laura sadar. Sebe
Randi sampai pura-pura merangkul Ceisya karena orang yang menggangu masih bolak-balik melihat ke arah mereka. Untung saja Ceisya tidak menolak atau memberontak. Sepertinya perempuan ini masih terpukul."Maaf kalau aku seperti ini," ucap Randi merasa tidak enak."Aku mengerti." Ceisya tidak menolak karena rengkuhan tangan Randi sudah sangat menyelamatkan.Manajer Kaivan akan melepaskan tangan di bahu Ceisya setelah tikungan di depan. Orang jahat tadi tidak akan bisa melihat mereka lagi karena di sana ada pos penjagaan."Siapa orang tadi?" tanya Randi penasaran. Ceisya yang masih gemetar tidak menjawab. Ia memeluk tubuh sendiri dengan erat. Kepala ditundukkan ke bawah. Beberapa helai rambut sengaja untuk menutupi wajahnya."Apa kalian saling mengenal?" Ceisya masih diam karena pikiran yang penuh tidak bisa sampai berkata-kata."Hei tunggu!" Randi sampai menarik bahu Ceisya. Pasalnya orang yang diajak bicara berjalan tergesa-gesa dan hampir meninggalkan Randi.Sekarang Randi benar-bena
"Ikut dengan kamu?" tanya Ceisya gugup.Kaivan mengangguk. "Ya.""Tapi?""Apa yang membuat kamu keberatan? Atau setelah ini kamu harus pergi ke mana?" Kaivan paham kalau orang yang akan mengakhiri hidup biasanya tidak ada satu orang yang peduli dengan orang itu."Tidak. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Sebenarnya aku harus cari pekerjaan." Ceisya terpaksa jujur karena ia tidak tahu mau seperti apa ke depannya."Lulusan sarjana apa?" Siapa tahu setelah tahu keahlian Ceisya, Kaivan bisa membantu mencarikan pekerjaan."Kemarin-kemarin aku masih kuliah, tetapi sekarang aku memutuskan untuk meninggalkannya."Kaivan bingung. "Kenapa?""Ada sesuatu. Aku belum siap menceritakan kepada siapa pun."Kaivan sedikit cerita. "Tinggal dulu di rumah aku. Nanti kita bisa pikirkan lagi pekerjaan yang cocok untuk kamu."Ceisya berpikir kalau aktor ternama pasti rumahnya besar dan mewah. Pasti Ceisya bakal canggung tinggal di sana."Apa sebaiknya aku kos dekat rumah kamu saja. Aku merasa tidak enak."
Ceisya masih berusaha keras membuka pintu dengan bantuan paku itu. Peluh bercucuran ketika otak berkonsentrasi keras bagaimana pintu bisa terbuka."Cring."Bunyi berasal dari paku yang jatuh ke bawah menimbulkan suara. Ceisya sangat panik. Mata langsung menatap ke bawah. Tepatnya paku yang menggelinding keluar melalui celah."Tidak! Jangan!" pekik Ceisya karena benda yang akan menolongnya malah menggelinding keluar melalui celah.Teriakan Ceisya berakhir sia-sia. Benda itu sekarang berada di luar dengan ujung paku yang sedikit menyembul ke dalam.Jari tangan perempuan yang sedang panik berusaha menarik keras agar ujung paku bisa disentuh.Usaha tetap sia-sia. Benda itu semakin menjauh."Bodoh. Bodoh," rutuk Ceisya kepada diri sendiri. Lama-lama air mata itu turun.Mata mengamati ruangan sempit. Sekarang ia bakal bertahan dan sendirian di sini. Ke depannya bakal menjadi sanderaan Ibas. Malang betul nasibnya.Bagaimana dengan Kaivan? Pasti aktor itu sedang kebingungan mencarinya. Setel
"Aku ambil," ucap Ibas setelah berhasil mengambil ponsel dan tas. Laki-laki ini belum paham kalau di dalam sana terdapat uang lumayan banyak.Ponsel itu kembali berdering. Ceisya dan Ibas sama-sama menatap asal bunyi."Sepertinya pacar kamu menginginkan kamu segera datang." Senyum licik Ibas terpancar di wajahnya."Lepaskan. Aku harus pergi."Ceisya bisa menebak kalau Kaivan sangat khawatir sampai harus dua kali menelepon."Jangan harap," jawab Ibas merasa menang. "Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dengan pacar kamu di rumah sakit."Ceisya terbelalak. "Jangan apa-apakan dia."Meski Randi hanya sebatas teman, tetapi Ceisya tidak ingin laki-laki itu mendapat kekerasan lagi dari Ibas."Begitu cintanya hah kamu sama dia!" bentak Ibas dengan sangat keras. Disusul dengan tamparan di pipi. Ceisya terjatuh karena Ibas kembali berbuat kasar kepadanya. Tanpa sadar tangan kanan memegang pipi yang terasa sangat perih. Sementara itu Adi yang berada di luar merasa ketar-ketir. Ia sangat paha
"Yakin dengan rencana yang mau kamu lakukan?" tanya seorang pria kepada temannya dengan ragu. Masalahnya ini baru pertama."Ya.""Apa yakin akan berhasil?""Pastinya.""Apa kamu gak takut ditangkap polisi?" Pria yang membantu temannya juga ragu dengan rencana yang sudah menyerempet ke hal kriminalitas."Gak akan."Pria itu menggeleng karena sifat temannya yang keras kepala."Perempuan itu yang membuat gue brutal seperti ini. Jika cara halus tidak bisa buat dapetin dia, maka terpaksa pakai cara kasar.""Kalau misal lo sampai tertangkap polisi, tolong jangan bawa-bawa gue."Ibas mendelik ke arah temannya."Lo percaya sama gue saja." Ibas meyakinkan temannya."Kita tidak hanya akan ketahuan polisi. Tapi juga bos akan marah gara-gara kita bolos.""Tenang saja. Cuma satu hari. Semoga saja kita berhasil."Keduanya lama termenung. "Yakin Perempuan itu di rumah sakit?" Lagi-lagi Pria yang bernama Adi merasa bimbang. Ia tidak tahu mau sampai kapan bertahan di halaman rumah sakit. Sudah dua jam
Kaivan masih membuka tirai untuk memastikan Ceisya pergi dengan aman-aman. Entah mengapa jantung Kaivan mendadak berdetak lebih kencang ketika melihat perubahan Penampilan perempuan itu.'Kenapa aku jadi seperti ini?' batin Kaivan sembari menurut tirai. Kalau Ceisya beneran pergi ke Jawa, pasti semua nanti akan berjalan seperti biasa. Kaivan harus pulang syuting pagi hari dan siangnya harus kembali ke lokasi.Sekarang Kaivan teringat akan satu hal sebelum dirinya terjatuh."Kapan aku bisa istirahat panjang?" Dan sekarang Tuhan mengabulkan entah sampai kapan.Kata-kata Randi sekarang bagai kembali terekam di telinga Kaivan. Ceisyalah yang menjadi penyebab semuanya. Seharusnya Kaivan membenci perempuan itu."Apakah aku harus mengikuti kata-kata Randi untuk membenci Ceisya?" Kaivan bertanya kepada diri sendiri.Kaivan benar-benar seperti harus mengulang yang sudah-sudah. Jika tadi kata-kata Randi, sekarang raut wajah Ceisya yang ketakutan di tepi jembatan sangat membebas di ingatan Kaiv
"Siapa yang menyerang Randi?" tanya Ceisya terbata-bata. Wajah pun tiba-tiba memucat."Entahlah! Aku tidak paham," balas Kaivan bingung. Pertemanan Kaivan dan Randi sudah cukup lama dan Kaivan paham betul siapa teman-teman Randi."Apa kita harus lapor polisi?" saran Ceisya. Siapa tahu kalau orang yang beneran menyerang Randi adalah Ibas maka itu akan sangat menguntungkan Ceisya."Kita belum cukup bukti. Tidak ada rekaman CCTV saat Randi diserang. Kalau tidak kita tunggu Randi sadar untuk menemukan pelakunya."Ceisya mengangguk paham."Bu dhe tolong ambilkan jaket di kamar!"Orang yang dipanggil merasa kaget. "Mas Kaivan mau kemana?""Mau jenguk Randi di rumah sakit."Jawaban itu cukup mengejutkan Ceisya dan Bu dhe. "Tapi kan Mas Kaivan baru pulang dari rumah sakit?" protes wanita itu."Kasihan Randi." Pikiran Kaivan langsung tertuju kepada Randi. Seharusnya Kaivan selalu berada di sisi Randi tidak sadarkan diri. Sama seperti Kemarin-kemarin saat Kaivan di ruang sakit."Sebaiknya jang
Randi merasakan kepalanya sangat sakit. Apalagi sempat merasakan bagian punggungnya ada yang bolak-balik menendang."Bangun! Tidak perlu pura-pura pingsan segala!" gertak orang itu terus menendang Randi yang masih mengumpulkan nyawa.Berhubung suasana petang, tidak ada orang yang melihat. Meski masih area rumah sakit, tetapi Randi tadi membeli buah di toko paling ujung. Dan Randi memarkir mobi di lahan kosong karena jalanan depan toko buah hanya muat untuk satu mobil."Kalau gue bilang bangun ya bangun!" gertak orang tersebut karena sama sekali tidak melihat pergerakan orang yang dihajar.Dengan tenaga kuat, ditariknya kemeja belakang milik Randi. Dibaliknya tubuh tidak berdosa itu menjadi terlentang."Bangun!" teriak Ibas dengan napas tersendat karena berhasil mengeluarkan tenaga untuk membalikkan tubuh laki-laki dewasa.Tangan Ibas sekarang digunakan untuk menampar pipi Randi dengan keras.Randi berusaha membuka mata. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Entah bagaimana nasib
"Dia ada di mana?" tanya seorang wanita paruh baya mondar-mandir di area parkir rumah sakit."Tadi aku lihat di sini," tukas seorang pemuda yang ikut mencari."Serius itu Cheisya?" Sentari agak ragu karena keponakannya suka mabuk-mabukkan. Takut salah mengenali orang. Siapa tahu itu orang lain, bukan anak tiri Sentari."Iya.""Yakin tidak salah?" Sentari belum sepenuhnya percaya. "Iya. Tadi kita sempet bicara. Tadi aku juga menarik perempuan itu untuk pulang." Ibas menjelaskan panjang lebar."Kamu gak lagi minum, kan?" Sentari mengamati wajah Ibas."Gak. Aku baru pulang kerja. Mana mungkin berani minum alkohol di tempat kerja." Ibas agak tersinggung dengan ucapan tantenya."Ya kirain kamu abis minum. Lagian mana mungkin Ceisya ada di rumah sakit. Dia sehat, gak lagi sakit.""Beneran tadi dia ada di sini." Ibas pun langsung mengingat apa yang telah terjadi di sini."Oh ya aku ingat sesuatu." Ibas sampai berteriak kencang. Sentari pun menatap Ibas. "Apa?""Dia tadi bersama seorang lak
"Ikut dengan kamu?" tanya Ceisya gugup.Kaivan mengangguk. "Ya.""Tapi?""Apa yang membuat kamu keberatan? Atau setelah ini kamu harus pergi ke mana?" Kaivan paham kalau orang yang akan mengakhiri hidup biasanya tidak ada satu orang yang peduli dengan orang itu."Tidak. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Sebenarnya aku harus cari pekerjaan." Ceisya terpaksa jujur karena ia tidak tahu mau seperti apa ke depannya."Lulusan sarjana apa?" Siapa tahu setelah tahu keahlian Ceisya, Kaivan bisa membantu mencarikan pekerjaan."Kemarin-kemarin aku masih kuliah, tetapi sekarang aku memutuskan untuk meninggalkannya."Kaivan bingung. "Kenapa?""Ada sesuatu. Aku belum siap menceritakan kepada siapa pun."Kaivan sedikit cerita. "Tinggal dulu di rumah aku. Nanti kita bisa pikirkan lagi pekerjaan yang cocok untuk kamu."Ceisya berpikir kalau aktor ternama pasti rumahnya besar dan mewah. Pasti Ceisya bakal canggung tinggal di sana."Apa sebaiknya aku kos dekat rumah kamu saja. Aku merasa tidak enak."
Randi sampai pura-pura merangkul Ceisya karena orang yang menggangu masih bolak-balik melihat ke arah mereka. Untung saja Ceisya tidak menolak atau memberontak. Sepertinya perempuan ini masih terpukul."Maaf kalau aku seperti ini," ucap Randi merasa tidak enak."Aku mengerti." Ceisya tidak menolak karena rengkuhan tangan Randi sudah sangat menyelamatkan.Manajer Kaivan akan melepaskan tangan di bahu Ceisya setelah tikungan di depan. Orang jahat tadi tidak akan bisa melihat mereka lagi karena di sana ada pos penjagaan."Siapa orang tadi?" tanya Randi penasaran. Ceisya yang masih gemetar tidak menjawab. Ia memeluk tubuh sendiri dengan erat. Kepala ditundukkan ke bawah. Beberapa helai rambut sengaja untuk menutupi wajahnya."Apa kalian saling mengenal?" Ceisya masih diam karena pikiran yang penuh tidak bisa sampai berkata-kata."Hei tunggu!" Randi sampai menarik bahu Ceisya. Pasalnya orang yang diajak bicara berjalan tergesa-gesa dan hampir meninggalkan Randi.Sekarang Randi benar-bena