Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala.
Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus.
Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung.
"Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur.
Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah.
Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya.
'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya.
Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana bukan menampilkan seorang dokter atau perawat, melainkan seorang laki-laki muda yang berpakaian begitu rapi menghampiri Ceisya.
'Apa itu pengacara aku? Lantas kalau iya, nanti aku akan membayar dengan apa? Aku sama sekali tidak punya uang.'
Ceisya bertanya dalam hati. Kedua mata terus menatap laki-laki itu yang terus berjalan ke arahnya.
"Kamu sudah sadar," ucap Randi menarik kursi yang digunakan untuk duduk. Suara kursi ditarik membuat bulu kuduk merinding.
"Siapa kamu sebenarnya?" Ceisya langsung memberikan pertanyaan kepada orang yang baru ditemuinya.
"Bukankah aku yang seharusnya bertanya siapa sebenarnya kamu?"
Randi tidak mau kalah. Ia sangat penasaran dengan gadis yang menjadi korban kecelakaan bersama Kaivan.
Selama Randi mengenal Kaivan, laki-laki ini tidak pernah menceritakan siapa sosok yang baru ditemui Randi. Biasanya hanya kalangan artis, itu pun Randi pasti kenal. Jadwal Kaivan yang padat, membuat aktor yang sedang naik daun itu hampir tidak punya waktu untuk mengenal orang-orang.
Ceisya mencengkeram seprei yang sedang ia duduki. Lidah kelu menyebutkan nama sendiri. Sampai saat ini, Ceisya tidak tahu siapa laki-laki ini. Apakah orang suruhan ayah Ceisya atau malah bisa jadi suruhan Ibas.
"Apa hubungannya kamu dengan Kaivan?" seloroh Randi didera penasaran luar biasa. Pasalnya, orang di hadapan Randi sulit untuk diajak bicara.
'Jadi namanya Kaivan?' batin Ceisya.
"Aku sama sekali tidak mengenal orang itu," balas Ceisya sambil memalingkan pandangan ke arah jendela.
"Masa tidak kalian tidak kenal?" Randi terperanjat kaget. Laki-laki itu berdiri dan berjalan ke arah jendela.
Tatapan Ceisya dan Randi sempat bertemu, tetapi buru-buru gadis itu segera berpaling.
"Aku tidak kenal dengan orang yang menolongku."
Kedua alis Randi saling bertautan. "Kamu semobil dengan Kaivan?"
Ceisya menggeleng. "Tidak."
"Lantas di mana kalian bertemu?"
Gadis itu diam. Rasanya berat mengatakan akan hal yang sudah terjadi. Inginnya mengubur rapat-rapat, pasalnya Ceisya telah gagal mengakhiri hidupnya.
"Kami tidak bertemu."
"Terus bagaimana bisa Kaivan tidak sadar di dekat kamu? Coba ceritakan lebih detail. Jangan terpotong-potong seperti itu." Ubun-ubun Randi mulai panas. Rasanya hampir meledak. Laki-laki ini sangat penasaran dengan kasus yang sudah terjadi.
Tiba-tiba Ceisya teringat satu hal. Ia sama sekali tidak tahu siapa laki-laki ini. "Untuk apa kamu tahu semua ini?"
Tidak mungkin jika Ceisya telah salah orang untuk berbagi cerita yang telah terjadi.
"Aku Randi—manajer Kaivan." Dengan percaya diri Randi memperkenalkan dirinya sendiri. Bahkan tangan kanan terulur ke depan Ceisya.
Gadis itu berpaling dan mengabaikan uluran tangan Randi. Sejak Rayanka memutuskan secara sepihak, Ceisya lebih berhati-hati kepada laki-laki. Apalagi sekarang Ceisya sama sekali tidak mengenali orang di depannya.
Randi segera menarik tangan setelah tahu jika Ceisya malah melipat kedua tangan di depan dada.
"Terserah kalau kamu tidak mau menceritakan secara detail. Setelah kamu sadar siapa aku, pasti kamu sangat menyesal," tutur Randi secara tegas.
Kedua mata Ceisya menyipit dan menatap orang yang tengah sedikit mengancamnya.
Randi sengaja mengatakan seperti itu untuk sengaja memberikan pelajaran. Pasalnya orang yang hendak mendekati atau ada urusan dengan Kaivan harus melalui dirinya.
"Artis baru?" Tiba-tiba Randi melayangkan pertanyaan setelah keduanya terlibat suasana diam seribu bahasa.
Ceisya tidak paham apa yang dikatakan orang yang bernama Randi. Ia pun memberikan sikap yang sama yaitu membuang muka.
"Baiklah kalau seperti ini. Aku tidak mau membuang waktu untuk hal yang percuma." Randi tipe orang yang taat dengan waktu. Oleh sebab itu Kaivan mempercayakan semua jadwal kepada Randi.
Laki-laki itu berjalan tergesa-gesa menuju pintu.
"Tunggu!" pekik Ceisya karena tiba-tiba memikirkan orang yang bernama Kaivan.
Randi menoleh ke belakang. "Apa?"
"Di mana orang itu?" Ceisya menatap bawah karena rasanya malu bertanya tentang kepada Randi. Pasalnya mereka berdua terlibat percakapan lumayan tegang.
"Dia masih di IGD. Belum sadar."
"Rumah sakit mana?" Ceisya masih menyangka jika dirinya berada di penjara.
"Rumah sakit inilah," tukas Randi sangat ketus.
"Ini rumah sakit di penjara atau umum?" Pertanyaan di luar nalar keluar dari mulut Ceisya.
"Sepertinya otak kamu tidak beres." Randi pun hendak kembali menuju pintu.
Sayangnya langsung dicegah oleh Ceisya karena menarik lengan Randi cepat.
Randi mendengus kesal karena ulah gadis misterius ini. "Apa lagi?"
"Dia ada di sini?"
Randi membalas dengan deheman.
"Bagaimana dengan kondisi dia?" Raut wajah Ceisya memancarkan kekhawatiran.
"Sampai saat ini belum sadar. Luka di wajahnya parah. Tulang di kaki patah dan harus dioperasi."
Ceisya sangat terkejut. Tangannya digunakan untuk menutup mulut karena efek terkejut. "Kamu tidak bohong?"
"Untuk apa aku harus berbohong sama kamu? Tidak ada untungnya." Dari awal Randi memang tidak menyukai Ceisya. Sebenernya Randi tahu nama ini dari data perawat.
"Bisa antarkan aku ke sana?" pinta Ceisya untuk memastikan ucapan Randi.
"Ikut aku!" Randi berjalan di depan dan Ceisya berjalan sedikit tertatih. Luka di kaki terkena celana panjang yang dikenakan Ceisya. Terasa perih dan menyulitkan untuk berjalan.
Setelah melewati lorong panjang dan berjumpa dengan beberapa pengunjung rumah sakit, Ceisya memastikan kalau dirinya aman dan bebas. Gadis itu telah salah sangka kalau berada di penjara.
"Masuklah! Nanti kamu akan tahu betapa tidak beruntungnya Kaivan." Randi membukakan pintu untuk Ceisya.
Laki-laki ini sengaja tidak masuk karena isi kepala yang sangat banyak. Ia tidak tahu apakah karier sebagai manajer akan berhenti di sini?
"Aksa Kaivan," lirih Ceisya membaca data nama pasien.
Rasanya Ceisya pernah mendengar nama itu, tetapi entah di mana?
Mata Ceisya tidak berkedip melihat orang yang paling menyedihkan berbaring sambil menutup mata. Luka yang ditutup perban ada di kepala dan tubuh Kaivan. Paling parah di bagian kaki yang mengharuskan digips.
Setetes air mata jatuh di pipi Ceisya. Kali ini ia percaya dengan ucapan Randi.
Ceisya merasa ketakutan hebat ketika berhadapan dengan pasien yang belum membuka mata.'Bagaimana aku membayar ini semua? Bahkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana kalau Kaivan melaporkan ini semua ke polisi?'Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ceisya. Baru kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Mengalahkan ketika berhadapan dengan Ibas atau pun Sentari.Jika waktu kejadian, Ceisya melihat Kaivan secara samar-samar. Sosok sekarang lebih terlihat jelas. Laki-laki berperawakan tinggi, memiliki kulit putih, rambut sedikit berwarna cokelat, tetapi tidak menghapus ketampanan.Tangan Ceisya meraih tangan yang terhubung selang infus. "Aku minta maaf."Seharusnya Ceisya yang berada di IGD. Terbujur tidak sadarkan diri, bukan Kaivan.Melihat Kaivan yang belum membuka mata, Ceisya semakin didera rasa bersalah. Ia pun berniat keluar dari ruangan yang membuatnya semakin bersalah.Ketika Ceisya membuka pintu, sosok gadis itu sangat terkejut. Di depan sana terdapat rombon
Randi mendengkus kesal. Percuma seharian mengkhawatirkan Kaivan jika pada akhirnya laki-laki itu malah lebih peduli kepada perempuan asing."Huft. Seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan masa depan kamu," sindir Randi.Sementara itu, Ceisya yang berada di belakang Randi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Sepertinya Kaivan belum menyadari keberadaan Ceisya."Di mana perempuan itu? Cepat katakan!" Kaivan sampai menyingkap selimut dengan logo rumah sakit.Kaivan hanya bisa menelan pahit setelah mengetahui apa yang terjadi dengan kakinya. Penuh dengan perban. Sia-sia perawatan pedicure dua hari yang lalu. Andai Kaivan tidak menolong gadis itu. Andai Kaivan tidak jatuh pasti sudah bisa bergerak bebas."Tahu sendiri kan sekarang kalau kamu tidak bisa jalan?" Randi paham apa yang sedang dipikirkan aktor tersebut."Jawab pertanyaan aku tadi!" Ceisya yang sudah panas dingin tidak bisa berkutik."Oh. Ternyata kamu lebih mementingkan perempuan itu, dibandingkan dengan masa depan kamu sendiri.
"Siapa perempuan itu?" Laura bertanya secara intens. Ia terus mengingat semua pemain dari inti sampai figuran. Tidak ada yang seperti tadi di ruangan ini. Ada rasa aneh jika Kaivan berteman dengan perempuan seperti tadi."Teman."Laura tidak percaya. "Yakin sekedar teman?" "Iya.""Tapi aku tidak percaya," tukas Laura dengan ketus."Terserah kamu. Aku juga tidak butuh, kamu mau percaya atau tidak." Dari awal, Kaivan terus menghindari kontak mata dengan Laura."Kaiv?" Laura dengan nada tinggi. Ternyata Kaivan sama saja. Tidak di lokasi syuting atau di rumah sakit. Selalu ketus dan terus menghindar.Kaivan yang merasa dipanggil hanya menjawab dengan deheman. Itu malah membuat Laura semakin kesal."Aku takut jika perempuan itu akan mengganggu hubungan kita."Kedua alis Kaivan saling bertaut. "Apa kata kamu? Hubungan kita? Sepertinya aku harus mengingatkan kamu jika kita tidak pernah dekat atau pun menjalin hubungan."Kaivan sampai menekankan di setiap kata-katanya agar Laura sadar. Sebe
Randi sampai pura-pura merangkul Ceisya karena orang yang menggangu masih bolak-balik melihat ke arah mereka. Untung saja Ceisya tidak menolak atau memberontak. Sepertinya perempuan ini masih terpukul."Maaf kalau aku seperti ini," ucap Randi merasa tidak enak."Aku mengerti." Ceisya tidak menolak karena rengkuhan tangan Randi sudah sangat menyelamatkan.Manajer Kaivan akan melepaskan tangan di bahu Ceisya setelah tikungan di depan. Orang jahat tadi tidak akan bisa melihat mereka lagi karena di sana ada pos penjagaan."Siapa orang tadi?" tanya Randi penasaran. Ceisya yang masih gemetar tidak menjawab. Ia memeluk tubuh sendiri dengan erat. Kepala ditundukkan ke bawah. Beberapa helai rambut sengaja untuk menutupi wajahnya."Apa kalian saling mengenal?" Ceisya masih diam karena pikiran yang penuh tidak bisa sampai berkata-kata."Hei tunggu!" Randi sampai menarik bahu Ceisya. Pasalnya orang yang diajak bicara berjalan tergesa-gesa dan hampir meninggalkan Randi.Sekarang Randi benar-bena
"Ikut dengan kamu?" tanya Ceisya gugup.Kaivan mengangguk. "Ya.""Tapi?""Apa yang membuat kamu keberatan? Atau setelah ini kamu harus pergi ke mana?" Kaivan paham kalau orang yang akan mengakhiri hidup biasanya tidak ada satu orang yang peduli dengan orang itu."Tidak. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Sebenarnya aku harus cari pekerjaan." Ceisya terpaksa jujur karena ia tidak tahu mau seperti apa ke depannya."Lulusan sarjana apa?" Siapa tahu setelah tahu keahlian Ceisya, Kaivan bisa membantu mencarikan pekerjaan."Kemarin-kemarin aku masih kuliah, tetapi sekarang aku memutuskan untuk meninggalkannya."Kaivan bingung. "Kenapa?""Ada sesuatu. Aku belum siap menceritakan kepada siapa pun."Kaivan sedikit cerita. "Tinggal dulu di rumah aku. Nanti kita bisa pikirkan lagi pekerjaan yang cocok untuk kamu."Ceisya berpikir kalau aktor ternama pasti rumahnya besar dan mewah. Pasti Ceisya bakal canggung tinggal di sana."Apa sebaiknya aku kos dekat rumah kamu saja. Aku merasa tidak enak."
"Dia ada di mana?" tanya seorang wanita paruh baya mondar-mandir di area parkir rumah sakit."Tadi aku lihat di sini," tukas seorang pemuda yang ikut mencari."Serius itu Cheisya?" Sentari agak ragu karena keponakannya suka mabuk-mabukkan. Takut salah mengenali orang. Siapa tahu itu orang lain, bukan anak tiri Sentari."Iya.""Yakin tidak salah?" Sentari belum sepenuhnya percaya. "Iya. Tadi kita sempet bicara. Tadi aku juga menarik perempuan itu untuk pulang." Ibas menjelaskan panjang lebar."Kamu gak lagi minum, kan?" Sentari mengamati wajah Ibas."Gak. Aku baru pulang kerja. Mana mungkin berani minum alkohol di tempat kerja." Ibas agak tersinggung dengan ucapan tantenya."Ya kirain kamu abis minum. Lagian mana mungkin Ceisya ada di rumah sakit. Dia sehat, gak lagi sakit.""Beneran tadi dia ada di sini." Ibas pun langsung mengingat apa yang telah terjadi di sini."Oh ya aku ingat sesuatu." Ibas sampai berteriak kencang. Sentari pun menatap Ibas. "Apa?""Dia tadi bersama seorang lak
Randi merasakan kepalanya sangat sakit. Apalagi sempat merasakan bagian punggungnya ada yang bolak-balik menendang."Bangun! Tidak perlu pura-pura pingsan segala!" gertak orang itu terus menendang Randi yang masih mengumpulkan nyawa.Berhubung suasana petang, tidak ada orang yang melihat. Meski masih area rumah sakit, tetapi Randi tadi membeli buah di toko paling ujung. Dan Randi memarkir mobi di lahan kosong karena jalanan depan toko buah hanya muat untuk satu mobil."Kalau gue bilang bangun ya bangun!" gertak orang tersebut karena sama sekali tidak melihat pergerakan orang yang dihajar.Dengan tenaga kuat, ditariknya kemeja belakang milik Randi. Dibaliknya tubuh tidak berdosa itu menjadi terlentang."Bangun!" teriak Ibas dengan napas tersendat karena berhasil mengeluarkan tenaga untuk membalikkan tubuh laki-laki dewasa.Tangan Ibas sekarang digunakan untuk menampar pipi Randi dengan keras.Randi berusaha membuka mata. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Entah bagaimana nasib
"Siapa yang menyerang Randi?" tanya Ceisya terbata-bata. Wajah pun tiba-tiba memucat."Entahlah! Aku tidak paham," balas Kaivan bingung. Pertemanan Kaivan dan Randi sudah cukup lama dan Kaivan paham betul siapa teman-teman Randi."Apa kita harus lapor polisi?" saran Ceisya. Siapa tahu kalau orang yang beneran menyerang Randi adalah Ibas maka itu akan sangat menguntungkan Ceisya."Kita belum cukup bukti. Tidak ada rekaman CCTV saat Randi diserang. Kalau tidak kita tunggu Randi sadar untuk menemukan pelakunya."Ceisya mengangguk paham."Bu dhe tolong ambilkan jaket di kamar!"Orang yang dipanggil merasa kaget. "Mas Kaivan mau kemana?""Mau jenguk Randi di rumah sakit."Jawaban itu cukup mengejutkan Ceisya dan Bu dhe. "Tapi kan Mas Kaivan baru pulang dari rumah sakit?" protes wanita itu."Kasihan Randi." Pikiran Kaivan langsung tertuju kepada Randi. Seharusnya Kaivan selalu berada di sisi Randi tidak sadarkan diri. Sama seperti Kemarin-kemarin saat Kaivan di ruang sakit."Sebaiknya jang
Ceisya masih berusaha keras membuka pintu dengan bantuan paku itu. Peluh bercucuran ketika otak berkonsentrasi keras bagaimana pintu bisa terbuka."Cring."Bunyi berasal dari paku yang jatuh ke bawah menimbulkan suara. Ceisya sangat panik. Mata langsung menatap ke bawah. Tepatnya paku yang menggelinding keluar melalui celah."Tidak! Jangan!" pekik Ceisya karena benda yang akan menolongnya malah menggelinding keluar melalui celah.Teriakan Ceisya berakhir sia-sia. Benda itu sekarang berada di luar dengan ujung paku yang sedikit menyembul ke dalam.Jari tangan perempuan yang sedang panik berusaha menarik keras agar ujung paku bisa disentuh.Usaha tetap sia-sia. Benda itu semakin menjauh."Bodoh. Bodoh," rutuk Ceisya kepada diri sendiri. Lama-lama air mata itu turun.Mata mengamati ruangan sempit. Sekarang ia bakal bertahan dan sendirian di sini. Ke depannya bakal menjadi sanderaan Ibas. Malang betul nasibnya.Bagaimana dengan Kaivan? Pasti aktor itu sedang kebingungan mencarinya. Setel
"Aku ambil," ucap Ibas setelah berhasil mengambil ponsel dan tas. Laki-laki ini belum paham kalau di dalam sana terdapat uang lumayan banyak.Ponsel itu kembali berdering. Ceisya dan Ibas sama-sama menatap asal bunyi."Sepertinya pacar kamu menginginkan kamu segera datang." Senyum licik Ibas terpancar di wajahnya."Lepaskan. Aku harus pergi."Ceisya bisa menebak kalau Kaivan sangat khawatir sampai harus dua kali menelepon."Jangan harap," jawab Ibas merasa menang. "Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dengan pacar kamu di rumah sakit."Ceisya terbelalak. "Jangan apa-apakan dia."Meski Randi hanya sebatas teman, tetapi Ceisya tidak ingin laki-laki itu mendapat kekerasan lagi dari Ibas."Begitu cintanya hah kamu sama dia!" bentak Ibas dengan sangat keras. Disusul dengan tamparan di pipi. Ceisya terjatuh karena Ibas kembali berbuat kasar kepadanya. Tanpa sadar tangan kanan memegang pipi yang terasa sangat perih. Sementara itu Adi yang berada di luar merasa ketar-ketir. Ia sangat paha
"Yakin dengan rencana yang mau kamu lakukan?" tanya seorang pria kepada temannya dengan ragu. Masalahnya ini baru pertama."Ya.""Apa yakin akan berhasil?""Pastinya.""Apa kamu gak takut ditangkap polisi?" Pria yang membantu temannya juga ragu dengan rencana yang sudah menyerempet ke hal kriminalitas."Gak akan."Pria itu menggeleng karena sifat temannya yang keras kepala."Perempuan itu yang membuat gue brutal seperti ini. Jika cara halus tidak bisa buat dapetin dia, maka terpaksa pakai cara kasar.""Kalau misal lo sampai tertangkap polisi, tolong jangan bawa-bawa gue."Ibas mendelik ke arah temannya."Lo percaya sama gue saja." Ibas meyakinkan temannya."Kita tidak hanya akan ketahuan polisi. Tapi juga bos akan marah gara-gara kita bolos.""Tenang saja. Cuma satu hari. Semoga saja kita berhasil."Keduanya lama termenung. "Yakin Perempuan itu di rumah sakit?" Lagi-lagi Pria yang bernama Adi merasa bimbang. Ia tidak tahu mau sampai kapan bertahan di halaman rumah sakit. Sudah dua jam
Kaivan masih membuka tirai untuk memastikan Ceisya pergi dengan aman-aman. Entah mengapa jantung Kaivan mendadak berdetak lebih kencang ketika melihat perubahan Penampilan perempuan itu.'Kenapa aku jadi seperti ini?' batin Kaivan sembari menurut tirai. Kalau Ceisya beneran pergi ke Jawa, pasti semua nanti akan berjalan seperti biasa. Kaivan harus pulang syuting pagi hari dan siangnya harus kembali ke lokasi.Sekarang Kaivan teringat akan satu hal sebelum dirinya terjatuh."Kapan aku bisa istirahat panjang?" Dan sekarang Tuhan mengabulkan entah sampai kapan.Kata-kata Randi sekarang bagai kembali terekam di telinga Kaivan. Ceisyalah yang menjadi penyebab semuanya. Seharusnya Kaivan membenci perempuan itu."Apakah aku harus mengikuti kata-kata Randi untuk membenci Ceisya?" Kaivan bertanya kepada diri sendiri.Kaivan benar-benar seperti harus mengulang yang sudah-sudah. Jika tadi kata-kata Randi, sekarang raut wajah Ceisya yang ketakutan di tepi jembatan sangat membebas di ingatan Kaiv
"Siapa yang menyerang Randi?" tanya Ceisya terbata-bata. Wajah pun tiba-tiba memucat."Entahlah! Aku tidak paham," balas Kaivan bingung. Pertemanan Kaivan dan Randi sudah cukup lama dan Kaivan paham betul siapa teman-teman Randi."Apa kita harus lapor polisi?" saran Ceisya. Siapa tahu kalau orang yang beneran menyerang Randi adalah Ibas maka itu akan sangat menguntungkan Ceisya."Kita belum cukup bukti. Tidak ada rekaman CCTV saat Randi diserang. Kalau tidak kita tunggu Randi sadar untuk menemukan pelakunya."Ceisya mengangguk paham."Bu dhe tolong ambilkan jaket di kamar!"Orang yang dipanggil merasa kaget. "Mas Kaivan mau kemana?""Mau jenguk Randi di rumah sakit."Jawaban itu cukup mengejutkan Ceisya dan Bu dhe. "Tapi kan Mas Kaivan baru pulang dari rumah sakit?" protes wanita itu."Kasihan Randi." Pikiran Kaivan langsung tertuju kepada Randi. Seharusnya Kaivan selalu berada di sisi Randi tidak sadarkan diri. Sama seperti Kemarin-kemarin saat Kaivan di ruang sakit."Sebaiknya jang
Randi merasakan kepalanya sangat sakit. Apalagi sempat merasakan bagian punggungnya ada yang bolak-balik menendang."Bangun! Tidak perlu pura-pura pingsan segala!" gertak orang itu terus menendang Randi yang masih mengumpulkan nyawa.Berhubung suasana petang, tidak ada orang yang melihat. Meski masih area rumah sakit, tetapi Randi tadi membeli buah di toko paling ujung. Dan Randi memarkir mobi di lahan kosong karena jalanan depan toko buah hanya muat untuk satu mobil."Kalau gue bilang bangun ya bangun!" gertak orang tersebut karena sama sekali tidak melihat pergerakan orang yang dihajar.Dengan tenaga kuat, ditariknya kemeja belakang milik Randi. Dibaliknya tubuh tidak berdosa itu menjadi terlentang."Bangun!" teriak Ibas dengan napas tersendat karena berhasil mengeluarkan tenaga untuk membalikkan tubuh laki-laki dewasa.Tangan Ibas sekarang digunakan untuk menampar pipi Randi dengan keras.Randi berusaha membuka mata. Ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit. Entah bagaimana nasib
"Dia ada di mana?" tanya seorang wanita paruh baya mondar-mandir di area parkir rumah sakit."Tadi aku lihat di sini," tukas seorang pemuda yang ikut mencari."Serius itu Cheisya?" Sentari agak ragu karena keponakannya suka mabuk-mabukkan. Takut salah mengenali orang. Siapa tahu itu orang lain, bukan anak tiri Sentari."Iya.""Yakin tidak salah?" Sentari belum sepenuhnya percaya. "Iya. Tadi kita sempet bicara. Tadi aku juga menarik perempuan itu untuk pulang." Ibas menjelaskan panjang lebar."Kamu gak lagi minum, kan?" Sentari mengamati wajah Ibas."Gak. Aku baru pulang kerja. Mana mungkin berani minum alkohol di tempat kerja." Ibas agak tersinggung dengan ucapan tantenya."Ya kirain kamu abis minum. Lagian mana mungkin Ceisya ada di rumah sakit. Dia sehat, gak lagi sakit.""Beneran tadi dia ada di sini." Ibas pun langsung mengingat apa yang telah terjadi di sini."Oh ya aku ingat sesuatu." Ibas sampai berteriak kencang. Sentari pun menatap Ibas. "Apa?""Dia tadi bersama seorang lak
"Ikut dengan kamu?" tanya Ceisya gugup.Kaivan mengangguk. "Ya.""Tapi?""Apa yang membuat kamu keberatan? Atau setelah ini kamu harus pergi ke mana?" Kaivan paham kalau orang yang akan mengakhiri hidup biasanya tidak ada satu orang yang peduli dengan orang itu."Tidak. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Sebenarnya aku harus cari pekerjaan." Ceisya terpaksa jujur karena ia tidak tahu mau seperti apa ke depannya."Lulusan sarjana apa?" Siapa tahu setelah tahu keahlian Ceisya, Kaivan bisa membantu mencarikan pekerjaan."Kemarin-kemarin aku masih kuliah, tetapi sekarang aku memutuskan untuk meninggalkannya."Kaivan bingung. "Kenapa?""Ada sesuatu. Aku belum siap menceritakan kepada siapa pun."Kaivan sedikit cerita. "Tinggal dulu di rumah aku. Nanti kita bisa pikirkan lagi pekerjaan yang cocok untuk kamu."Ceisya berpikir kalau aktor ternama pasti rumahnya besar dan mewah. Pasti Ceisya bakal canggung tinggal di sana."Apa sebaiknya aku kos dekat rumah kamu saja. Aku merasa tidak enak."
Randi sampai pura-pura merangkul Ceisya karena orang yang menggangu masih bolak-balik melihat ke arah mereka. Untung saja Ceisya tidak menolak atau memberontak. Sepertinya perempuan ini masih terpukul."Maaf kalau aku seperti ini," ucap Randi merasa tidak enak."Aku mengerti." Ceisya tidak menolak karena rengkuhan tangan Randi sudah sangat menyelamatkan.Manajer Kaivan akan melepaskan tangan di bahu Ceisya setelah tikungan di depan. Orang jahat tadi tidak akan bisa melihat mereka lagi karena di sana ada pos penjagaan."Siapa orang tadi?" tanya Randi penasaran. Ceisya yang masih gemetar tidak menjawab. Ia memeluk tubuh sendiri dengan erat. Kepala ditundukkan ke bawah. Beberapa helai rambut sengaja untuk menutupi wajahnya."Apa kalian saling mengenal?" Ceisya masih diam karena pikiran yang penuh tidak bisa sampai berkata-kata."Hei tunggu!" Randi sampai menarik bahu Ceisya. Pasalnya orang yang diajak bicara berjalan tergesa-gesa dan hampir meninggalkan Randi.Sekarang Randi benar-bena