Home / Romansa / Akibat Sumpah Sebelum Menikah / Akhir Sebuah Penantian

Share

Akibat Sumpah Sebelum Menikah
Akibat Sumpah Sebelum Menikah
Author: Dwrite

Akhir Sebuah Penantian

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2023-01-20 09:34:57

"Kalau dalam kurun waktu satu tahun dia masih belum juga datang, Suci janji bakal nerima siapa pun yang datang melamar."

Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.

Di sisi pembaringan, dari balik jendela kenangan. Wajah teduhnya masih lekat dalam ingatan, suara beratnya masih terngiang memintaku menunggu untuk sebuah kepastian. Kepastian yang berubah menjadi ketidakpastian, ketidakpastian yang berakhir menjadi perpisahan paling menyakitkan.

Hari telah berganti pekan, pekan berganti bulan, sampai tak terasa lima tahun penantian umurku sudah menginjak dua puluh delapan. Entah sudah berapa banyak lelaki yang datang, entah sudah berapa kali berbagai macam bentuk pinangan kuurungkan. Sampai hari itu akhirnya tiba, hari di mana ikatan yang berkian tahun membelenggu, mampu untuk dilepaskan.

"Nduk, Keluarga H. Jamal udah datang!"

Suara Ibu menarikku dari lamunan. Ia melangkah perlahan menghampiri, lalu duduk tepat di sampingku. "Ibu yakin keputusan ini pasti berat bagimu, tapi inilah jalan yang telah kamu pilih. Cobalah untuk melupakannya." Kalimat itu terdengar pasti, tapi sulit untuk diikuti. Melupakan jelas tak semudah memulainya. Bagaimana pun situasinya sekarang, lelaki itu pernah meninggalkan kesan yang amat mendalam dan cukup sulit untuk dienyahkan.

"Siapa aja yang datang?" Pertanyaan itu terlontar. Kutatap Ibu dengan ekspresi datar. Berharap raut wajah itu mampu menutup kenyataan bahwa sejak pinangan ini kuterima, sudah membuktikan bahwa aku adalah seorang wanita yang menyedihkan.

"Calon suamimu, Bapak, Ibu, dan adiknya."

"Berarti dia juga datang?!"

" .... "

Tak ada jawaban, kuanggap diamnya Ibu sebagai bentuk pernyataan. Bahwa hari ini, aku harus siap dihadapkan dengan masa lalu dan masa depan.

***

Dengan enggan, kuseret langkah keluar dari kamar, meneguhkan diri agar hati dan pikiranku sejalan untuk bertemu dengan lelaki yang akan menjadi sosok calon imam. Calon Imam yang tak pernah kuharapkan, calon imam yang kebetulan datang saat perasaanku benar-benar berantakan.

Anak sulung H. Jamal, lelaki berusia tiga puluh dua tahun dengan kepribdian yang sama sekali tak bisa kudeskripsikan. Kabarnya dia pernah kabur saat akan dimasukan ke pesantren, ikut balapan motor liar, bahkan masuk penjara karena memukuli orang dalam keadaan tak sadar atau dipengaruhi minuman. Entah apa yang ada di pikiranku saat memilih dia di antara dua kandidat lainnya. Mungkin karena sifatnya berbanding terbalik dengan lelaki nyaris sempurna yang berhasil menorehkan luka. Atau mungkin karena dia kakak dari istri lelaki yang amat kucinta.

Kudongakkan dagu, ketika Ibu menuntunku duduk di hadapan para tamu. Menguatkan mental ketika memerhatikan pasangan suami istri yang terlihat sangat bahagia dengan putra kecil mereka, dan calon anak kedua yang ada di kandungan wanita itu. Lima tahun lalu lelaki itu milikku, tapi sekarang ia milik wanita lain. Wanita yang tak pernah tahu bahwa posisi yang dia tempati seharusnya milikku.

Dirasa perih mulai menjalar kala memerhatikan keduanya, kualihkan pandangan pada lelaki yang duduk tepat di hadapan. Berbeda nyaris 90° dari sang ipar. Calon suamiku berperawakan lebih tinggi dan lebih besar, bahkan terkesan agak sangar. Rambutnya panjang terikat dengan potongan mohak di samping kiri-kanan. Rahangnya dipenuhi rambut-rambut halus yang kuyakin bila disentuh akan terasa kasar. Meskipun pakaiannya sopan, tapi penampilannya sudah cukup menggambarkan bahwa ia lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan.

Lihatlah bagaimana cara dia memerhatikan sekeliling, sesekali bahkan mengipasi tubuh dengan kerah kemeja yang entah sejak kapan sudah terbuka dua kancing teratasnya.

"Masih lama nggak, sih, Ma? Panas banget di sini. Mana nggak ada AC-nya lagi." Lelaki itu bergumam pada wanita paruh baya berpakaian syar'i di sebelahnya. Yang bodohnya masih bisa kudengar. Bahkan mungkin Ibu dan Bapak juga.

"Fariz!" Hj. Nurul melotot lalu mencubit perut putranya.

"Maaf, ya, Nak Fariz. Saya alergi AC, makanya larang Bapak buat pasang," cetus Ibu menjelaskan dengan keramahtamahan khas orang Desa kebanyakan.

"Nggak apa-apa, Bu. Justru saya yang minta maaf kalau-kalau ucapan Fariz yang terkesan nggak sopan." Hj. Nurul terlihat begitu sungkan, bisa kulihat wanita paruh baya itu mendorong tengkuk dan pundak putranya agar merunduk. Minta maaf.

"I-iya, Bu. Saya yang salah. Maaf," ucapnya kemudian.

"Kalau begitu bisa langsung kita mulai saja, ya!" Bapak mulai angkat bicara. Suaranya yang sangat berwibawa selalu berhasil menjadi pusat perhatian siapa saja. "Saya kenalkan kembali. Mungkin Nak Fariz belum sempat melihatnya saat lamaran pertama diajukan. Putri semata wayang kami. Suci Puspitasari."

"Cakep," gumam lelaki itu sesaat setelah kami berpandangan.

"Riz!" tegur ibunya lagi sembari menyikut lengan Mas Fariz.

"Sebenarnya kami tak menyangka Nak Suci akan menerima pinangan ini setelah mengetahui riwayat hidup Fariz. MasyaAllah, saat Pak Aziz menghubungi kami sangat terkejut sekaligus senang. Kalau bukan sekarang saya tak yakin kapan anak ini akan menikah, dia bahkan sudah dilangkahi adiknya. Farah, dan ini menantu saya Ali."

Senyumku memudar, tanpa perlu menjelaskan kami sudah sangat mengenal siapa Ali Abdullah. Dia yang pernah datang meminta izin pada Bapak untuk menikahiku lima tahun silam, dia yang menjadi alasanku menolak semua lamaran yang datang hingga di-cap sebagai wanita paling jual mahal, dia pula yang telah mencoreng arang di wajah ini saat memilih mengkhianati kepercayaan yang sudah bertahun-tahun kusematkan, setelah kabar tersebar bahwa dia telah menikahi seorang gadis kota. Anak bungsu seorang saudagar, pemilik perkebunan kelapa sawit. H. Jamal.

Lima tahun waktu kuhabiskan dalam penantian, sementara dia menikmati kehidupan pernikahan yang membahagiakan bersama istri cantik dan anak yang lucu. Di mana letak keadilan itu, Tuhan ....

Kuremas kuat gamis yang dikenakan ketika perih yang mati-matian kuredam kembali muncul ke permukaan. Mataku memanas, rahangku mengeras. Semua kecamuk perasaan yang datang bersamaan ini hanya bisa kutahan dalam dada. Aku harus tetap kuat meski dalam keadaan paling hancur sekalipun.

"Jadi, kapan pihak laki-laki siap untuk melangsungkan pernikahan?" Bapak mengajukan pertanyaan untuk mempercepat proses lamaran. Meskipun tegas dan terkadang dingin, beliau yang paling paham tentang perasaanku. Sepanjang prosesi, tangan besarnya bahkan tak henti menggenggam jemari ini.

H. Jamal menoleh pada istri dan anaknya. Meminta pendapat mereka.

"Kalau itu sepertinya kami kembalikan lagi ke pihak perempuan. Siapnya ka--"

"Kalau begitu secepatnya!" tukasku yang membuat semua orang lantas terdiam. Kecuali Mas Fariz yang tiba-tiba nyeletuk santai.

"Ebuset ... rupanya dia udah nggak tahan."

"Fariz!"

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Malam Pertama

    "Astagfirullahaladzim." Kulihat Mas Fariz putar balik ke kamar mandi sembari mengalihkan pandangan saat melihatku telentang di atas ranjang dengan pakaian kekurangan bahan."Kenapa, Mas? Bukannya ini yang tiap lelaki inginkan setelah pernikahan disahkan." Aku beranjak, duduk bersandar di kepala ranjang, menatapnya dengan nyalang."I-ya nggak salah, sih. Ta-tapi ... duh, Ci, please pake baju lu sekarang! Daripada masuk angin entar." Dia melirik sesekali. Curi-curi pandang walaupun aku tak yakin hal itu cukup mampu untuk menyembunyikan wajahnya yang telah berubah merah padam."Saya udah pake baju, Mas." Aku bangkit berdiri, lalu perlahan menghampiri."Itu bukan baju, Ci. Tapi, saringan tahu!" pekiknya panik sembari berlari melewati. Dia menyambar selembar selimut, lalu melingkarkannya di tubuhku.Mendengar itu, ada semacam perasaan geli. Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat. Padahal suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja kini. Namun, entah kenapa sejak mengenalnya dua pekan lal

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Perjalanan Pulang

    "Yang pertama Candra, anaknya Pak Hilman, orangnya santun, S2 jurusan perguruan. Kalau yang kedua Damar, anaknya temen mancing Bapak, orangnya juga gampang bergaul, murah senyum dan taat juga agamanya. Kalau yang terakhir--" Terdapat jeda cukup panjang. Ibu memeriksa dengan saksama catatan yang ada di tangan, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Kalau yang ini nggak, deh. Kayaknya kamu juga nggak bakalan suka. Katanya orangnya selengean, pernah masuk bui, langganan diuber polisi karena sering balapan liar, rambutnya gondrong dan brewokan, pokoknya beran--""Siapa tadi, Bu?" Interupsiku, memotong penjelasan Ibu, saat mendengar tentang tiga kandidat yang akhir-akhir ini datang melamar."Yang mana?" Ibu mengulang pertanyaan. "Candra atau Damar?"Kini giliran aku yang menggeleng, karena dua nama yang dimaksud bukan orang yang membuatku penasaran."Yang terakhir, yang katanya slengean, rambut gondong dan brewokan. Siapa namanya?" ulangku meng-copy semua penjelasan ibu tentang kandidat terak

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Tak Sesempurna yang Dipikir

    "Laper nggak?" Mas Fariz menoleh padaku yang sejak tadi memeluk diri, sembari memerhatikan lalu-lalang orang dan kendaraan yang hilir-mudik di hadapan.Saat ini kami tengah menunggu jemputan sambil duduk di salah satu bangku terminal. Kata Mas Fariz, sopir yang hendak menjemput kami terjebak macet di jalan. "Dikit," jawabku sekenanya."Kalau laper bilang aja laper. Dikit atau banyak intinya sama-sama pengen makan," tukasnya menekankan.Aku menoleh, menatapnya tajam, lalu balik bertanya. "Jadi, saya salah kalau bilang cuma laper dikit? Salah kalau kenyataannya emang nggak terlalu lapar? Mas bisa bedain, kan mana lapar pengen makan, sama laper cuma pengen camilan?""Oke, gue yang salah. Fine!" Mas Fariz mengacak rambut gondrongnya, kemudian mengusap wajah kasar, sebelum memaksakan seulas senyuman. "Gorengan mau?" Dia menunjuk tukang gorengan yang kebetulan gerobaknya hanya berjarak dua meter dari tempat duduk kami."Boleh." Aku mengangguk mengiyakan."Ya, udah, tunggu bentar."Dia bera

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Adaptasi

    "Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi."Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi."Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!" Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya."Sorry." "Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"Ibu satu anak itu diam membisu. "Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati.""Ci!" L

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Alergi

    Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi. Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sek

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Kabur Tengah Malam

    "Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang

    Last Updated : 2023-02-11
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Boncengan

    "Djalu, pakabar, lu? Kangen gue nggak?" Aku mengangkat sebelah alis saat Mas Fariz mengeluarkan sebuah motor Yamaha XSR 155 yang sepertinya sudah banyak dimodifikasi, dari dalam garasi. Kendaraan roda dua yang memang tren di kalangan anak motor karena penampilannya maskulin itu dia elus penuh sayang tak ubahnya kekasih sendiri."Maaf kalau dua bulan ini lu dimusiumkan. Tahu sendiri gimana bokap gue. Gimana keadaan di dalem sini? Apa Mang Dani perlakuin lu dengan lembut sama kek motor dan mobil papa yang laen?" Dia masih bicara sendiri pada benda mati berwarna gabungan hitam dan cokelat muda itu."Mas, kapan kita berangkat? Kalau terus-terusan kangen-kangenan sama pacar besimu. Keburu subuh nanti," tegurku yang membuat Mas Fariz menoleh seketika."Sorry. Gue cuma sedikit terharu tadi. Soalnya udah cukup lama nggak ketemu Djalu. Dua bulan terakhir cuma duduk manis di balik kemudi. Soalnya ademnya AC beda sama ademnya angin alami," paparnya seraya memasang helm.Aku mengangguk memaklumi

    Last Updated : 2023-02-11
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Sok Peduli

    Sepanjang perjalanan Mas Fariz sesekali teriak panik saat aku berhasil mendahului truk-truk besar dengan kecepatan tinggi. Pertama kali sejak tujuh tahun terakhir aku benar-benar merasakan sebebas ini. Jujur, menghabiskan waktu di rumah dan di balik meja kasir toko Bapak yang kukelola, memang kadang mengundang rasa bosan. Meski sesekali keluar menyusuri jalan pedesaan dengan motor matix yang dikenakan. Rasanya jelas jauh berbeda dengan saat mengendarai XSR 155, menyusuri jalanan ibukota, di tengah malam dengan ditemani lelaki bertubuh tinggi besar yang teriak-teriak sejak tadi.Hingga sampai di lokasi, aku melihat dengkul Mas Fariz masih gemetar dengan gemelatuk gigi yang beradu. Menggigil. "Nggak, pokoknya gue nggak mau lagi." Dengan napas yang masih terengah Mas Fariz menunjuk wajahku. "Gue pikir cewek sarap yang bawa motor gila-gilaan cuma Si Mona, ternyata ada yang lebih parah."Aku mengernyitkan dahi."Siapa Mona?""Temen gue. Satu-satu cewek di genk ini." Bersamaan dengan kuli

    Last Updated : 2023-02-11

Latest chapter

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Doa yang Menyertai

    "Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Pensiun Dini

    DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Sebuah Rencana

    Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Melorot

    Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Nasehat Keluarga

    "Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Salah Paham

    Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Gara-Gara Burung

    Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Simpanan Bapak

    Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Dirawat di Rumah

    Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"

DMCA.com Protection Status