"T-tunggu...."Ucapan Shena langsung dibungkam Mahendra menggunakan mulut. Ciuman itu begitu lembut, seperti biasa, terasa panas, basah, berhasil menyulut gairah keduanya. Walau makannya digantung di tengah jalan, Mahendra tetap tak kapok mencium Shena yang telah berhasil menyalakan gairah kedewasaannya, dan setelahnya dia akan kesusahan sendiri demi memadamkan panasnya api yang mengamuk dalam diri sendiri. Begitu pula dengan Shena, ia pikir akan terbiasa dengan ciuman itu, dan tidak akan ada yang terjadi setelahnya. Kenyataannya, dia tidak jauh berbeda dengan Mahendra. Keinginan liar dalam dirinya yang ia tak pernah sadari, kini muncul setiap kali dia di sentuh oleh lelaki panas di belakangnya tersebut. Seolah-olah Mahendra sengaja merayunya dengan sabar, dan dia dibiarkan kewalahan oleh keinginan hewani yang meraung-raung ingin dipuaskan. Akan tetapi, integritas yang dimiliki senantiasa jadi pengekang agar dia ingat bahwa melakukan sex harus bersama dengan orang yang dicintai. "H
"Aku jadi lapar sekarang hanya karena menonton kalian berdua." kata Jessica berkomentar sinis seraya memutar kedua matanya malas. Akhirnya dia percaya, kalau orang seperti Mahendra yang katanya sedingin kulkas pun dapat berubah jinak dan romantis bila didekat sang kekasih. Ia bahkan mulai merasa muak dengan senyum yang terus bersinar di wajah pria itu.Mahendra mengangkat tangannya, memanggil pelayan lalu memesan hidangan selagi mereka kembali melanjutkan mengobrol.Shena hampir tersedak ketika mengetahui hubungan dua orang ini. "Kau bilang ... kalian, hanya sandiwara?""Aku yang meminta bantuannya lebih dulu, Shena. Awalnya, kekasihmu menolak dengan tegas usulanku itu, tapi aku memaksa," kata Jessica menjelaskan. Sebelum pertemuan ini diadakan, Mahendra telah menyatakan dengan jelas maksud kedatangannya untuk bertemu Shena. Tak lain dan tak bukan adalah untuk menjelaskan hubungan sebenarnya antara dia dan Mahendra.Dia tidak keberatan, lagi pula dia pun paham betul akan konsekuensi
Selepas menyelesaikan pekerjaannya, Mahendra memutuskan pulang langsung ke apartemen demi menemui Shena. Ketika dia membuka pintu apartemennya, dia melihat sang wanita sedang berada di balkon.Mahendra mengamati cuaca di luar, memang mendung, jadi sepertinya tidak masalah kalau wanita itu bersantai di luar. Ia pun berjalan menghampiri, menggeser pintu kaca.Karena aksinya itu membuat Shena yang menyibukkan diri dengan laptop di atas meja seketika menoleh. Raut wajahnya nampak terkejut mendapati Mahendra berada di rumah di jam kerja."Kenapa Anda sudah pulang?" tanyanya kebingungan."Aku dengar kakekku datang kemari tadi pagi. Kau tidak apa-apa?" tanya Mahendra balik seraya duduk di depan Shena."Ya, memang benar kalau tadi ayah Anda datang kemari. Tapi hanya itu saja. Tidak ada yang terjadi." beritahunya. Ia pun menghentikan pekerjaannya demi bisa fokus bicara pada Mahendra."Jadi, karena alasan itu Anda pulang lebih awal?" lanjutnya. "Aku hanya khawatir kau merasa tak nyaman. Kau yak
Rossa menarik lengan Mahendra menuju ke ruangan samping, meninggalkan Shena sendirian di ruang keluarga. "Sayang, yang kau bawa itu siapa?" tanya wanita anggun itu penasaran."Calon mantu keluarga ini," balasnya singkat."Aduh, kok bukannya Jessica yang kamu bawa kemari? Perempuan itu siapa ... ah, maksud bibi, kenapa malah dia?""Sedari awal memang seharusnya dia yang aku perkenalkan pada publik." sahut Mahendra lagi sabar."Terus yang di berita itu?""Tidak benar. Untuk masalah ini, bisakah bibi dengarkan penjelasanku dulu?" kata Mahendra dengan tatapan serius. "Apa penting?"Mahendra mengangguk."Yah, baiklah. Mau bicara di mana?" "Bibi tunggu saja di kamar tamu. Aku mau bicara sebentar pada Shena."Rossa pun setuju. Wanita itu kemudian berjalan menuju ke kamar tamu yang ada di lantai satu. Ketika dia melewati Shena, dia hanya melirik penasaran tapi tidak menyapa. Melihat tingkah kekanakan sang bibi, Mahendra cuma bisa menghela napas pasrah."Tolong, jangan marah dan salah paha
Ditinggal seorang diri di ruang keluarga, tidak membuat Shena merasakan kesepian. Justru karena perlakuan para pelayan di rumah itu yang sangat perhatian dan baik padanya, ia tidak kekurangan apa pun. Di hadapannya, di atas meja terdapat banyak camilan ringan serta jus buah yang pelayan buatkan untuknya. Katanya, Mahendra lah yang menyuruh mereka agar memerhatikan dia. Mendengar betapa baiknya Mahendra padanya, masih ingat untuk memerhatikan dia sebelum pria itu pergi, semakin menghangat hatinya kini. Suara TV yang dinyalakan menjadi satu-satunya sumber suara di ruangan itu selagi Shena sibuk mengunyah setiap camilan ringan di atas meja maupun buah-buahan yang telah dikupas. Mulutnya tidak berhenti mengunyah dan pemandangan inilah yang ditemui oleh Mahendra tatkala pria itu selesai bicara dengan Rossa. Pria itu duduk di samping Shena, melirik beberapa piring di atas meja yang telah kosong isinya, lalu melirik pada wanita di sampingnya yang masih fokus menonton TV dan makan. "Kau m
Para pelayan telah selesai menyiapkan makan malam. Bersamaan dengan hidangan terakhir diletakkan di atas meja, Kakek Olsen bersama dengan asistennya masuk ke dalam rumah.Rossa bangun dari duduk, wajahnya masih berseri-seri kala dia menyambut pulang kakek Olsen.“Pa, cepat duduk. Makan malam sudah siap.” Kakek Olsen mengangguk, “Di mana Mahendra?”“Ada di dalam juga bersama Shena. Jangan tunjukkan ekspresi menakutkan begini, nanti Shena takut melihat papa.” Ujar Rossa mengingatkan Kakek Olsen agar mengubah raut wajahnya jadi agak ramah.Bagaimanapun yang menunggu mereka di dalam sana itu bukanlah orang asing, melainkan calon mantu rumah ini.Mendengar nasehat Rossa, kakek Olsen menampilkan senyuman. “Begini?”“Ya, jangan begitu juga dong. Tulus sedikit, memang tidak bisa.” Komentar Rossa lagi. Bahkan untuk masalah sepele pun akan dia ributkan di rumah ini. Baik Mahendra maupun kakek Olsen sudah terbiasa, malah kalau tiba-tiba Rossa itu bersikap lebih pendiam, mereka justru khawatir
Hera baru saja selesai memasak saat dia mendengar suara pintu diketuk. "Edwin, tolong buka pintu!" teriaknya dari dapur pada sang putra yang ada di kamar. Mendengar suara teriakan ibunya, Edwin keluar dari kamar. Hari ini dia libur kuliah, dan berencana ingin menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat sebelum siangnya berangkat kerja. "Ya, Ma," sahutnya lalu pergi membuka pintu. Ketika pintu telah dibuka, ia terkejut mendapati sang kakak lah yang datang. "Kak?" "Hai, Win. Ngapain bengong di situ?" tanya Shena pada Edwin yang kini nampak membeku. "Kau tidak memberitahuku kalau hari ini bakal pulang," ucap Edwin terdengar menggerutu. Sesekali tatapannya akan melirik ke arah Mahendra yang mana berada di belakang Shena. "Halo," Mahendra menyapa singkat. "Ayo, Mahendra, masuk." Sebelum Shena berhasil mempersilahkan Mahendra agar duduk di sofa di ruang tamu, tangannya lebih dulu ditarik oleh Edwin, dan dibawa ke dapur. "Pria itu siapa?" tanya Edwin dengan sepasang mata melotot
Setibanya Mahendra di kantor, hal pertama yang pria itu perintahkan pada Hedy ialah disuruh pergi ke kantor sipil untuk mengurus surat pernikahannya bersama Shena. Agar setidaknya saat nanti dia ke sana, semuanya sudah siap. Dan yang perlu dia lakukan adalah menikahi wanita itu. "Hannah, ke ruanganku sekarang." Panggil Mahendra melalui telepon. Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian rapi masuk ke kantor Mahendra. "Ya, Pak.""Selagi Hedy tidak ada, aku mau kau temani aku dalam pertemuan kali ini. Alihkan pekerjaanmu pada sekretaris yang lain, minta padanya supaya mengatur ulang jadwalku untuk satu Minggu itu. Hari Jum'at dan Sabtu, kosongkan semua jadwal, pindah ke hari lain." Hannah mencatat dengan serius segala instruksi bos tampannya tersebut. "Mengenai pesta ulang tahun direktur Dippo, aku akan datang. Tidak perlu kau cancel. Apa kau sudah menghubungi pihak mereka?" Tanpa mengangkat kepalanya, Mahendra bertanya. "Belum, Pak. Saya baru saja menyiapkan hadiah seperti yang