Hari sudah menjelang siang. Audrey sampai di depan rumah Fandi."Assalaamu'alaikum, Pak, Bu?" salamnya, sambil mengetuk pintu.Dia mengembuskan napas panjang, merasa lega seolah beban yang di pundak hilang begitu saja, meski baru melihat pelataran rumah di mana dia dibesarkan.Seorang perempuan keluar sambil menjawab, "Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaah. Eh, kamu, Nak?" Audrey menjabat dan mencium tangan ibunya. "Iya, Bu. Alhamdulillaah perjalanan lancar.""Loh, mana suamimu?" tanya Lia, sambil celingukan."Tadi diantar sampai terminal. Mas Edwin keburu kerja, ada meeting penting. Jadi, aku naik G**b sampai sini," sahut Audrey.Ibunya menatap dengan tatapan kasihan. "Pasti capek, ya? Ayo istirahat dulu!""Nggak terlalu, kok, Bu. Biasanya malah sering naik G**b buat beli bahan kain di kota.""Ya, yang penting kamu sampai di sini dengan sehat dan selamat," timpal Lia, mengantarkan putrinya ke ruang tamu."Duduk di sini aja, Bu. Aku mau cerita," ajak Audrey.Lia mengerutkan kening. "Loh,
Audrey menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Bagaimana dengan hari tua Ibu dan Bapak nanti? Lebih baik, ini disimpan saja. Kalau aku sama Mas Edwin, kan, masih muda. InsyaaAllaah bisa mengandalkan kesehatan fisik untuk bekerja dalam mencari rezeki-Nya." "MaasyaaAllaah. Bapak kagum sama kamu, Nak. Semakin hari, semakin bertambah dewasa," timpal Fandi, lalu tersenyum lebar. "Iya, Audrey itu perempuan baik dan tulus. Ibu heran, kenapa mertuamu itu bisa berbuat sejahat ini sama kamu. Kurang sabar apa coba?" kesal Lia."Sudah, Bu. Nggak usah diperpanjang. Kalau kita terus mengotori hati dengan kebencian, apa bedanya kita sama mereka yang membenci? Aku cuma mau minta doa sama Bapak dan Ibu, agar aku bisa lebih sabar dalam menghadapi setiap ujian yang Allah berikan," pinta Audrey, dengan suara lembut.Pria yang rambutnya telah berubah itu mengelus pucuk kepala putrinya. "Pasti, Nak. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."Lia menatap sendu pada anak semata wayangn
"Sudah bangun, Nak? Makan dulu, gih!" perintah Audrey yang duduk di ruang tamu dan melihat putrinya melintas."Mau makan di rumah Oma aja. Assalaamu'alaikum," pamit Dianti, sambil menghentikan langkahnya.Mamanya menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Nak, Mama udah capek-capek masakin buat kamu, loh!"Gadis itu memaksakan senyum di bibir. "Maaf, Ma, tapi aku belum lapar. Nanti kalau nggak lupa. Maaf, hatiku masih sakit atas perkataan Papa tadi pagi.""Oh, ya sudah. Hati-hati. Wa'alaikumussalaam." Audrey tak mampu berkata apa-apa jika sudah menyangkut dengan penghasilan sang suami.Dianti berjalan cepat sambil bersungut-sungut. Sampai di depan rumah Omanya, dia berhenti sejenak."Assalaamu'alaikum. Oma!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dia segera masuk ke ruang tamu karena memang sudah biasa seperti itu, lalu memanggil Omanya. Dari atas tangga, muncul Zofia yang tampak seperti baru bangun tidur."Ada apa, Nak?" tanya wanita yang sudah tua itu, sambil mengucek matanya. Dia
Beberapa bulan kemudian , kinerja Edwin di kantor mulai menurun. Dia tak begitu semangat menjalani hidup. Mulai dari sedikitnya penghasilan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, menghadapi protes para mantan karyawan yang di-PHK, sampai perasaan gagal sebagai ayah yang terus saja menghantui.Edwin ingin sekali protes pada Juna atau Zofia, tetapi dia tak percaya diri karena tidak mampu mewujudkan keinginan Dianti untuk kuliah. Perkataannya pada sang Papa dan Mama untuk memberikan pendidikan terbaik kepada Dianti, walaupun dengan keterbatasan ekonomi, tidak bisa dia buktikan. Semua omong kosong belaka.Audrey terus berusaha menyemangati suaminya, sambil menikmati peran sebagai penjual yang dagangan gamisnya sudah sangat laris. Dia sudah tak mempedulikan tentang Dianti, karena hanya akan menambah beban pikiran. Dia fokus untuk bahu-membahu bersama Edwin dalam mencukupi biaya hidup, serta menabung untuk hari tua.Dua bulan pertama, Edwin masih bisa bertahan. Namun, bulan selanjutnya, dia j
Sudah dua jam lamanya Dianti tak bisa tidur, karena khawatir sekaligus takut. Mana mungkin perempuan belia seperti dia menikah? Seperti yang dia tahu, menikah itu bukan hanya soal mengikat janji antara dua insan yang saling mencintai. Namun, bagaimana menghadapi ujian rumah tangga yang akan datang, seperti yang sering dia lihat dari postingan reels Insta***m. Diam-diam, dia menangis meratapi nasibnya yang begitu buruk, menurutnya. Dia ingin kembali ke pelukan sang Mama, tinggal di rumah Papanya. Namun, itu artinya menjadi pecundang, yang menelan ludah sendiri."Aku sendiri yang memilih keluar dari rumah itu dan tinggal bersama Opa. Apapun yang terjadi, aku harus siap dengan segala konsekuensi. Kenapa juga, dulu main janji-janji, sebelum tahu peraturan apa yang harus kuturuti," gumamnya, dengan suara parau.Dia pun berusaha untuk memejamkan mata, sambil berdoa dan berzikir. Teringat, bagaimana sang Mama mengajarkannya dulu.Pagi harinya, Dianti bangun, mandi dan mengenakan pakaian san
Beberapa hari kemudian, Dianti melakukan aktivitas seperti biasanya di rumah Juna. Bedanya, pagi hari dia menjenguk Edwin. Anehnya, Opa, Oma serta semua Om dan Tantenya sama sekali tidak menengok meski hanya sekali. Audrey mencoba tabah akan hal itu.Pagi harinya, Juna dan Zofia menyuruh Dianti agar dandan yang cantik, karena sebentar lagi, mereka akan mengenalkan seorang pemuda tampan dan kaya, dengan cara mengundangnya untuk datang ke rumah. Dianti hanya menurut, karena sudah dipengaruhi sejak kecil.Tak hanya itu. Evan dan Joe bahkan rela izin tak masuk kantor untuk membelikan ponsel keluaran terbaru untuk Dianti, karena mau menerima perjodohan itu. Sementara Sinta dan Natasha membuat camilan serta memasak berbagai makanan yang enak untuk menjamu tamu yang akan datang.Memang, ini adalah rencana terbesar yang sudah disiapkan sejak dulu, saat Dianti masih sekolah. Masing-masing tersenyum licik, akhirnya berhasil juga setelah menunggu sekian lama, demi melihat Audrey sengsara.Semua
Audrey baru selesai Salat Isya'. Dia membuka ponselnya. Edwin sudah tertidur setelah tadi dibantunya, untuk salat dengan duduk, makan dan minum obat. Ada beberapa pesan dari Dianti dan puluhan panggilan tak terjawab."Dianti? Ada apa ini?" Audrey merasa khawatir.Saat membuka pesan, Dianti menceritakan semuanya tentang pertemuan dengan Dino dan perasaannya yang berbunga-bunga. Di akhir chat, gadis itu memohon doa yang terbaik dari sang Mama dan Papa. "Ya Allah, anak ini. Papanya lagi sakit, malah main terima perjodohan gitu aja. Astagfirullaah. Mama juga keterlaluan!" kesalnya, sambil mengelus dada.Dia mengunci ponsel dan menyimpannya di tas. Diam-diam menangis di keheningan malam, karena sudah jam istirahat rumah sakit. Hanya ada satu-dua perawat yang lalu-lalang untuk memeriksa pasien. Audrey membaringkan tubuhnya di atas sofa yang tersedia, sambil mengenakan selimut yang dibawanya. Dia berusaha untuk tidur, meski sulit, karena merasa sudah tak dianggap sebagai ibu.**"Allaahu ak
Sepulang dari rumah sakit, Audrey membersihkan kamar dan Edwin menunggu sejenak di teras.Setelah selesai, Audrey mengantar Edwin untuk istirahat di kamar. Mamanya Dianti itu menuju ruang makan untuk membuka makanan yang tadi dibeli di sebuah warung dan memindahkannya ke mangkuk. "Oke! Udah siap buat dimakan," gumamnya, sambil menghampiri sang suami."Makan di depan aja. Aku udah sembuh, kok," ujar Edwin, saat melihat sang istri melintasi pintu kamar."Nggak papa, Mas. Nikmati dulu makanannya. Aku mau tutup pintu kamar dari luar, buat membersihkan rumah. Udah pengap dan kotor banget. Minumnya aku taruh sini, ya? Kalau butuh apa-apa, panggil aja!" ujar Audrey.Papanya Dianti mengembangkan senyum. "Makasih banyak, Sayang. Kamu juga, jangan lupa makan!" Audrey mengangguk, lalu keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Dia segera membersihkan rumah yang tampak kotor, karena sudah lama tak dihuni selama dia menginap di rumah sakit untuk merawat Edwin. Setengah jam berlalu, akhirnya selesai j