Beberapa hari kemudian, Dianti melakukan aktivitas seperti biasanya di rumah Juna. Bedanya, pagi hari dia menjenguk Edwin. Anehnya, Opa, Oma serta semua Om dan Tantenya sama sekali tidak menengok meski hanya sekali. Audrey mencoba tabah akan hal itu.Pagi harinya, Juna dan Zofia menyuruh Dianti agar dandan yang cantik, karena sebentar lagi, mereka akan mengenalkan seorang pemuda tampan dan kaya, dengan cara mengundangnya untuk datang ke rumah. Dianti hanya menurut, karena sudah dipengaruhi sejak kecil.Tak hanya itu. Evan dan Joe bahkan rela izin tak masuk kantor untuk membelikan ponsel keluaran terbaru untuk Dianti, karena mau menerima perjodohan itu. Sementara Sinta dan Natasha membuat camilan serta memasak berbagai makanan yang enak untuk menjamu tamu yang akan datang.Memang, ini adalah rencana terbesar yang sudah disiapkan sejak dulu, saat Dianti masih sekolah. Masing-masing tersenyum licik, akhirnya berhasil juga setelah menunggu sekian lama, demi melihat Audrey sengsara.Semua
Audrey baru selesai Salat Isya'. Dia membuka ponselnya. Edwin sudah tertidur setelah tadi dibantunya, untuk salat dengan duduk, makan dan minum obat. Ada beberapa pesan dari Dianti dan puluhan panggilan tak terjawab."Dianti? Ada apa ini?" Audrey merasa khawatir.Saat membuka pesan, Dianti menceritakan semuanya tentang pertemuan dengan Dino dan perasaannya yang berbunga-bunga. Di akhir chat, gadis itu memohon doa yang terbaik dari sang Mama dan Papa. "Ya Allah, anak ini. Papanya lagi sakit, malah main terima perjodohan gitu aja. Astagfirullaah. Mama juga keterlaluan!" kesalnya, sambil mengelus dada.Dia mengunci ponsel dan menyimpannya di tas. Diam-diam menangis di keheningan malam, karena sudah jam istirahat rumah sakit. Hanya ada satu-dua perawat yang lalu-lalang untuk memeriksa pasien. Audrey membaringkan tubuhnya di atas sofa yang tersedia, sambil mengenakan selimut yang dibawanya. Dia berusaha untuk tidur, meski sulit, karena merasa sudah tak dianggap sebagai ibu.**"Allaahu ak
Sepulang dari rumah sakit, Audrey membersihkan kamar dan Edwin menunggu sejenak di teras.Setelah selesai, Audrey mengantar Edwin untuk istirahat di kamar. Mamanya Dianti itu menuju ruang makan untuk membuka makanan yang tadi dibeli di sebuah warung dan memindahkannya ke mangkuk. "Oke! Udah siap buat dimakan," gumamnya, sambil menghampiri sang suami."Makan di depan aja. Aku udah sembuh, kok," ujar Edwin, saat melihat sang istri melintasi pintu kamar."Nggak papa, Mas. Nikmati dulu makanannya. Aku mau tutup pintu kamar dari luar, buat membersihkan rumah. Udah pengap dan kotor banget. Minumnya aku taruh sini, ya? Kalau butuh apa-apa, panggil aja!" ujar Audrey.Papanya Dianti mengembangkan senyum. "Makasih banyak, Sayang. Kamu juga, jangan lupa makan!" Audrey mengangguk, lalu keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Dia segera membersihkan rumah yang tampak kotor, karena sudah lama tak dihuni selama dia menginap di rumah sakit untuk merawat Edwin. Setengah jam berlalu, akhirnya selesai j
Dua hari kemudian, Dianti meminta alamat lengkap rumah Dino. Setelah mendapatkannya, Edwin dan Audrey pergi ke sana bersama sang anak. Ternyata jaraknya dekat, sehingga mudah untuk menemukan rumah pemuda itu. "Syukurlah kalau kamu dapat calon suami yang rumahnya dekat sama kita. Nanti bisa sering-sering jenguk Papa dan Mama," kata Edwin pada Dianti, sebelum turun dari mobil."Iya, Pa. Makanya itu, aku udah jatuh cinta sama Dino. Ganteng, kaya, rumahnya deket lagi!" seru gadis itu.Sementara di jok depan samping Edwin, Audrey merasa gelisah, karena tak suka anaknya harus menikah di usia yang masih sangat muda. Namun, dia tak punya kuasa apa-apa, selain menurut pada sang suami dan mertua.Mereka turun dari mobil, menuju gerbang sebuah rumah mewah."Permisi!" sapa Edwin pada satpam yang sedang berjaga."Iya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu.Suami Audrey menyampaikan maksud kedatangannya, lalu satpam menelepon anak majikannya yang tak lain adalah Dino. Setelah beberapa saat,
Tiba malam saat lamaran akan dilaksanakan. Ruangan di rumah Zofia didekorasi dengan indah, dihiasi bunga warna-warni. Dianti memakai gaun serta jilbab yang mewah dan wajahnya di-make up dengan sangat cantik.Juna dan Zofia duduk di tengah ruangan. Sementara Edwin, Audrey serta Dianti di sisi kanan mereka. Sementara di sisi kiri ada Evan, Joe, Natasha, Sinta, Sean dan Syifa. Sanak saudara lainnya, juga tetangga terdekat sudah berkumpul di ruang tamu. Tinggal menunggu pihak keluarga Dino datang."Kamu cantik sekali, Nak! Dino pasti terpesona melihatmu. Gaun dan make up mahal dari Oma," puji Zofia pada Dianti, lalu melirik sinis ke arah Audrey."Eh? I-iya, Oma. Terima kasih. Tapi, tolong jangan memujiku berlebihan. Nanti terbang lagi!" seloroh Dianti, membuat semua yang hadir terkekeh.Tak lama kemudian, terdengar deru beberapa mobil berhenti di halaman rumah Zofia. Semua mata tertuju ke arah pintu depan. "Assalaamu'alaikum," salam Atmaja, Dino, sanak saudaranya dan mungkin tetangga ter
Audrey merasa malas untuk melakukan pekerjaan apapun pagi ini. Dia hanya duduk di dekat jendela ruang tamu rumah suaminya, menatap kosong ke arah jalanan. Di luar sedang hujan deras. Lebih tepatnya, wanita itu sedang melamun."Sayang, kamu lagi ngapain? Nggak masak?" tanya Edwin dari ruang tengah.Tak ada sahutan. Audrey tak mendengarnya sebab sedang asyik dengan pikiran yang berkecamuk.Edwin hanya membuang napas kasar saat menemukan istrinya. "Dicariin, aku kira ke mana. Ternyata di sini?"Wanita itu tersadar, lalu menoleh. "Eh? Iya, Mas. Ada apa?""Tuh, aku tanya apa juga kamu nggak dengar. Keasyikan melamun pasti," jawab Edwin, sambil berjalan mendekat."Maaf, tanya apa, Mas?""Aku lapar. Di dapur atau ruang makan, nggak ada lauk. Kamu belum masak?" tanya suaminya lagi.Audrey menggeleng. "Nggak, Mas. Kita beli makanan di luar aja, yuk! Malas banget rasanya.""Ada yang sedang kamu pikirkan? Ayo cerita! Aku siap mendengarkan." Pria itu menangkupkan tangan di kedua pipi sang istri.
Audrey merasa gelisah. Siapa yang bisa menolongnya di saat genting seperti ini? Dianti tak juga mengangkat teleponnya. "Ya Allah, gimana ini? Dianti, angkat telepon Mama, Nak!" gumamnya, sambil mondar-mandir di depan ruang rawat inap yang ditempati Edwin. Terbesit untuk minta tolong pada Fandi dan Lia. Ya, hanya mereka yang bisa membantunya. Semua kakak ipar kini bersikap berbeda, seolah kembali jahat padanya."Bismillaah," gumam wanita berhijab panjang itu, lalu menghubungi nomor Lia.Tak lama kemudian, telepon tersambung."Assalaamu'alaikum. Bu, tolong aku, Bu!" ujar Audrey, sambil mulai menangis.Lia yang mendengar suara sedih itu, menjawab, "Wa'alaikumussalaam. Ada apa, Nak? Dianti lagi?""Bukan, Bu. Tapi Mas Edwin. Beliau dirawat di rumah sakit, sedangkan aku hanya sendiri, melayani semua kebutuhan beliau sekaligus mengurus administrasinya di sini. Hanya saja, uangku kurang," keluh putrinya, dengan suara parau."Edwin sakit? Sejak kapan? Kenapa nggak memberi tahu Ibu, Nak? Ya u
"Sebentar!" ujar Lia, lalu masuk."Bu!" panggil Audrey, yang masih penasaran.Ibunya tak menyahut."Ada apa?" tanya Fandi.Lia menggeleng sambil tersenyum. "Nggak papa. Tadi suster memberi tahu jadwal dokter yang mau mengobati penyakit Edwin. Mm, Ibu lapar, nih!""Di sini ada kantin, Bu," ujar menantunya."Tadi sebelum ke sini, Ibu lihat ada warung makan yang murah tapi kelihatannya enak. Ibu ajak Audrey ke sana, ya, Win?" sahut Lia."Oh, iya. Silakan, Bu." Fandi menimpali, "Bapak belikan nasi goreng bungkus aja yang pedas, Bu. Kalau nggak ada, sate lontong aja nggak papa."Istrinya mengacungkan jempol. "Oke. Siap, Pak!""Aku mau ikut Ibu dulu. Pesan apa, Mas?" pamit Audrey.Papanya Dianti menjawab, "Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Teh hangat aja. Jatah dari rumah sakit udah dingin, nih.""Baik. Assalaamu'alaikum," salam Audrey.Lia berjalan mendahului, diikuti putrinya di belakang. Fandi dan Edwin kembali bercakap, dengan memilih obrolan yang ringan. **Lia dan Audrey berjalan men