Sahara datang ke Birthday party Yuri dengan perasaan resah yang berkecamuk, benaknya mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang terjadi di tengah-tengah pesta. Entah hal apa yang akan terjadi, dia tidak memiliki gambarannya dan kegundahan itu terus mengusik hati dan pikiran. Membuat dia tidak bisa menikmati pesta seperti teman-temannya.“Mau minum?”Cairan merah yang berbau manis dalam gelas bertangkai tinggi, Sahara menerimanya setelah menggumamkan terima kasih pada Selly. Setelah mengecapnya sedikit dia melirik Selly sekilas dan berkata, “Kau datang dengan siapa?”“Sendiri.” kata Selly dengan pendek, bola matanya berpendar dengan warna-warni yang berasal dari pantulan Lamp Tumblr.“Kau datang kemari bersama cowok itu, kan? Memangnya Sagara mengijinkan?”“Hah?” Sahara agak terhenyak mendengar nama suaminya disebut. “Aku tidak meminta ijinnya.” katanya, memaksakan senyum.“Bisa begitu, ya?” Selly menautkan alisnya, merasa heran.“Aku tak perlu ijinnya kok, memangnya dia akan peduli? Tidak
Sagara merasakan darahnya mendidih sampai ke kepala saat melihat seorang pemuda dengan lancang mencium istrinya didepan matanya sendiri. Dia sudah banyak menahan diri sejak mengikuti mobil yang di tumpangi Sahara dan Edward. Menahan kuat-kuat keinginan agar tidak menyalip dan menghadang mobil mereka.Pria itu agak kesulitan ketika hendak masuk ke pesta saat tidak bisa menunjukan undangan di meja penerima tamu, dia tidak di ijinkan masuk. Namun itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menguntit kegiatan istrinya di pesta yang belakangan dia ketahui sebagai pesta ulang tahun teman istrinya itu, Sagara menyelinap di antara rombongan pemuda dan gadis-gadis sampai berhasil menginjakkan kakinya ke dalam pesta.Sejenak Sagara merasa lega, melihat Sahara hanya kedapatan bersama temannya yang bernama Selly. Namun itu tak bertahan lama, setelah acara dansa dimulai pria itu kembali merasakan kemarahan yang dingin. Tangannya terkepal kuat saat melihat Sahara berdansa dengan pemuda sama yang d
“Asshhh...” Suara ringisan menahan sakit memenuhi ruangan. Edward menolak untuk di bawa ke rumah sakit, sebagai gantinya dia meminta untuk diobati oleh Yuri dan Selly disalah satu rungan dalam rumah Yuri. Pemuda itu ada yang ingin dia tanyakan pada dua gadis di depannya.“Apa sangat sakit, Ed?” tanya Yuri dengan polos, meski tetap telaten mengompres luka Edward menggunakan air hangat.“Ck!” Selly mendecak lidah, lalu menunjuk wajah Edward yang penuh lebam. “Dengan luka separah ini, tidak mungkin tidak sakit, kan?” katanya, seraya mengusap wajah Yuri. Seperti kebiasaannya.“Ish...” Yuri mendesah jengkel. “Aku 'kan hanya bertanya. Dan bisakah kau tidak mengusap wajahku seperti itu untuk saat ini? Kau tidak lihat aku sedang sangat cantik hari ini?!”“Ya, ya, baiklah.” pasrah Selly, mengangkat telapak tangan lagak menyerah. Lalu terkekeh geli melihat Yuri yang menggembungkan pipinya cemberut. “Benar. Hari ini kau cantik dan menggemaskan, tanganku gatal.” katanya lagi dengan seringai men
Sahara langsung menutup pintu kamarnya rapat-rapat setelah menginjakkan kakinya di apartemen Sagara, mereka melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan yang canggung. Jantung gadis itu bahkan masih berdegup ribut didalam dada sana, padahal ciuman singkat itu sudah terlewat beberapa puluh menit lalu. Setelah pria itu menciumnya, Sahara merasakan sekujur tubuhnya seolah bergetar hebat lalu dipenuhi keringat dingin di setiap pori-pori kulitnya.Dan yang paling dia ingat, sensasinya sangat berbeda saat Edward menciumnya. Temannya itu hanya sekedar menempelkan bibirnya, tidak lebih. Sedangkan Sagara mengecup, melumat, lalu memainkan bibirnya dengan lembut, dan terakhir... Menggigit bibir bawahnya. Gadis itu melangkah menuju cermin, mendudukkan dirinya di kursi rias. Mengamati lekat-lekat bibirnya yang masih berwarna pink segar, memeriksanya baik-baik.“Apa katanya tadi? Untuk menghapus jejak?” kedua pipi Sahara langsung bersemu kemerahan mengingat kalimat terakhir yang dikatakan suaminy
Lamat-lamat telinga Sahara mendengar suara perdebatan pagi ini, saat dia keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Meski penasaran dan ingin menguping, Sahara lebih memilih melakukan prioritasnya. Mencari kaos t-shirt dan celana panjang untuk dipakainya berolahraga. Setelah menemukan dia bergegas mempersiapkan diri.“Pergi sekarang, Ria...”Sagara mengusir Maria untuk yang kesekian kalinya, entah apa yang ada dipikiran wanita itu. Datang menemuinya di pagi buta seperti ini. Maria terus merengek bertanya mengapa pesannya semalam tidak dibalas satu pun.Pria itu sengaja mengabaikan pesan kekasihnya, dia sedang tidak ingin memikirkan apapun hal yang menyangkut Maria untuk saat ini. Perbuatan Maria sangat keterlaluan, Sagara tidak bisa mentoleransinya dengan mudah.Maria menggeleng dengan raut wajah sedih “Setidaknya katakan, kenapa kau mengabaikanku?”Biasanya Sagara akan luluh ketika melihat raut wajah Maria yang seperti itu, namun sekarang tidak lagi. Entahlah, semua rasa pada
Gadis itu mengusap keringat di kening, membungkukkan badan dengan kedua tangan tertumpu pada lutut untuk menyangga tubuhnya. Napasnya masih terengah, semburat kemerahan muncul di kedua pipinya. Membuat gadis itu terlihat sangat cantik, meski di banjiri peluh keringat.“Satu putaran lagi cukup.” ucapnya pada diri sendiri untuk menyemangati. Lalu senyum manis muncul di bibirnya, bersiap untuk kembali berlari. Namun langkahnya tertahan oleh sebotol air mineral yang disodorkan di depan dadanya.“Kenapa kau ada disini, sih?” Sahara bertanya dengan nada ketus, melirik orang yang menyodorkan air mineral dingin yang membuat tenggorokannya semakin kering.“Olahraga.” jawab orang itu singkat, pakaiannya memang khas orang yang berolahraga.Melihat Sahara yang terus menatapnya, dia kembali menawarkan minum. “Tidak mau?” menggoyangkan botol air dingin ditangannya. “Ya sudah.” Sahara menyambar botol air itu dengan cepat, lalu membuka tutupnya sedikit kesusahan. Sekatnya cukup keras, jari dan tel
Setelah berlari satu putaran, Sahara mengeluh lapar. Jadi, mereka memutuskan untuk mencari makanan yang bisa dijadikan pilihan menu sarapannya pagi ini.Sebuah kedai kecil yang menjual bubur ayam menjadi pilihan mereka, banyak pelanggan yang mengisi kedai tersebut, membuat mereka agak sulit mencari tempat duduk duduk. Sahara dan Sagara harus ikut mengantri diantara antrian yang lumayan longgar, sedikit bersabar untuk bisa mendapatkan kursi kosong setelah ditinggalkan seseorang.“Kau tidak apa-apa makan di sini?” tanya gadis itu membuka percakapan. Sudah mendapatkan dua kursi kosong dan juga bubur yang di pesannya.Sagara mengedarkan pandangannya ke sekeliling, melihat pelanggan yang lumayan ramai dan menyantap bubur dengan santai. “Kau sendiri?”“Aku sudah terbiasa makan di tempat seperti ini bersama teman-temanku.” jawabnya seraya mengangkat kedua bahunya ringan.Kepala Sagara mengangguk singkat lalu mulai menyantap hidangan bubur di tangannya, walau sebenarnya pria itu merasa agak
“Aku sangat yakin suamimu itu pasti mengikuti dirimu sampai ke pestaku.”Yuri mengungkapkan pendapatnya dengan keyakinan penuh, seolah gadis itu yang melakukan kegiatan menguntit Sahara.“Tepat! Aku sependapat denganmu.” sahut Selly, mengangguk pada Yuri dengan sorot mendukung. Lalu kembali menatap Sahara, “Saat kau mengatakan bahwa kau pergi ke pesta bersama Edward, walaupun kau tidak meminta izin darinya, dia pasti mengetahui kau pergi bersama pria lain. Lalu, bisa saja dia membuntuti tanpa sepengetahuan dirimu.”Sahara mengesah pelan mendengar spekulasi dari teman-temannya, dan mencoba untuk menyangkal, “Harusnya dia tidak tahu aku pergi ke pesta, malam itu Edward menjemputku di rumah orang tuaku.”“Loh! Mengapa bisa begitu?” Selly terlihat bingung. “Memangnya selama ini kalian tinggal dimana?”“Di rumah orang tuaku...” Sahara mencicit pelan, lalu melirik canggung temannya bergantian. “Hanya aku...”“Hanya kau?” tanya Yuri memastikan, “Kalian pisah rumah atau apa?”Sahara menganggu
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu