Gadis itu mengusap keringat di kening, membungkukkan badan dengan kedua tangan tertumpu pada lutut untuk menyangga tubuhnya. Napasnya masih terengah, semburat kemerahan muncul di kedua pipinya. Membuat gadis itu terlihat sangat cantik, meski di banjiri peluh keringat.“Satu putaran lagi cukup.” ucapnya pada diri sendiri untuk menyemangati. Lalu senyum manis muncul di bibirnya, bersiap untuk kembali berlari. Namun langkahnya tertahan oleh sebotol air mineral yang disodorkan di depan dadanya.“Kenapa kau ada disini, sih?” Sahara bertanya dengan nada ketus, melirik orang yang menyodorkan air mineral dingin yang membuat tenggorokannya semakin kering.“Olahraga.” jawab orang itu singkat, pakaiannya memang khas orang yang berolahraga.Melihat Sahara yang terus menatapnya, dia kembali menawarkan minum. “Tidak mau?” menggoyangkan botol air dingin ditangannya. “Ya sudah.” Sahara menyambar botol air itu dengan cepat, lalu membuka tutupnya sedikit kesusahan. Sekatnya cukup keras, jari dan tel
Setelah berlari satu putaran, Sahara mengeluh lapar. Jadi, mereka memutuskan untuk mencari makanan yang bisa dijadikan pilihan menu sarapannya pagi ini.Sebuah kedai kecil yang menjual bubur ayam menjadi pilihan mereka, banyak pelanggan yang mengisi kedai tersebut, membuat mereka agak sulit mencari tempat duduk duduk. Sahara dan Sagara harus ikut mengantri diantara antrian yang lumayan longgar, sedikit bersabar untuk bisa mendapatkan kursi kosong setelah ditinggalkan seseorang.“Kau tidak apa-apa makan di sini?” tanya gadis itu membuka percakapan. Sudah mendapatkan dua kursi kosong dan juga bubur yang di pesannya.Sagara mengedarkan pandangannya ke sekeliling, melihat pelanggan yang lumayan ramai dan menyantap bubur dengan santai. “Kau sendiri?”“Aku sudah terbiasa makan di tempat seperti ini bersama teman-temanku.” jawabnya seraya mengangkat kedua bahunya ringan.Kepala Sagara mengangguk singkat lalu mulai menyantap hidangan bubur di tangannya, walau sebenarnya pria itu merasa agak
“Aku sangat yakin suamimu itu pasti mengikuti dirimu sampai ke pestaku.”Yuri mengungkapkan pendapatnya dengan keyakinan penuh, seolah gadis itu yang melakukan kegiatan menguntit Sahara.“Tepat! Aku sependapat denganmu.” sahut Selly, mengangguk pada Yuri dengan sorot mendukung. Lalu kembali menatap Sahara, “Saat kau mengatakan bahwa kau pergi ke pesta bersama Edward, walaupun kau tidak meminta izin darinya, dia pasti mengetahui kau pergi bersama pria lain. Lalu, bisa saja dia membuntuti tanpa sepengetahuan dirimu.”Sahara mengesah pelan mendengar spekulasi dari teman-temannya, dan mencoba untuk menyangkal, “Harusnya dia tidak tahu aku pergi ke pesta, malam itu Edward menjemputku di rumah orang tuaku.”“Loh! Mengapa bisa begitu?” Selly terlihat bingung. “Memangnya selama ini kalian tinggal dimana?”“Di rumah orang tuaku...” Sahara mencicit pelan, lalu melirik canggung temannya bergantian. “Hanya aku...”“Hanya kau?” tanya Yuri memastikan, “Kalian pisah rumah atau apa?”Sahara menganggu
Sagara melirik jam di pergelangan tangan kirinya, katanya Ardi sudah menunggu dirinya di tempat ini sepuluh menit lalu. Tapi ternyata batang hidungnya pun tidak terlihat sama sekali di mata Sagara.Padahal partnernya itu tidak pernah terlambat dan membuatnya menunggu. Sagara memindai sekitar, suasana restoran lumayan ramai, karena memang tempat ini terkenal memiliki menu-menu yang sangat enak.“Hei, maaf membuatmu menunggu.” sapa seseorang yang berhasil mengembalikan fokus Sagara, wajah Ardi menampakkan raut sesal. “Aku ke belakang barusan, sudah lama?”“Sepuluh menit aku menunggu.” jawab pria itu sedikit dingin.“Jangan merajuk seperti itulah, aku 'kan belum pernah membuatmu menunggu, sekali-sekali tidak apalah kau sedikit membuang waktumu untukku.” cerocos pria jangkung itu tertawa renyah.Sagara sebenarnya ingin mengumpati temannya itu, tetapi urung saat matanya tidak sengaja menangkap ada sedikit keributan disalah satu meja pengunjung.Sebelumnya dia tidak terlalu memperhatikan de
Jantung Sagara berdetak cepat dengan kedua mata terkunci pada meja istrinya. Maria yang mengepalkan kedua tangan dan rahang mengeras, tepat saat kekasihnya itu meraih gelas penuh berisi minuman, tubuh pria itu seketika bangkit dari kursi saat melihatnya. Jarak meja tempatnya dan meja Sahara lumayan agak jauh, tanpa pikir panjang dia mengambil langkah lebar menuju ke sana. Mengabaikan Ardi yang bertanya keheranan padanya. Langkahnya semakin cepat, tidak tahu seberapa cepat dia melangkah sampai tiba-tiba punggungnya terasa dingin dan jasnya basah saat minuman yang di siramkan Maria mengenai punggung dirinya.“Aaakk!”“Kyaaa.”Sagara mengabaikan pekikan kaget dari mulut Yuri dan Selly, juga tidak peduli dengan jasnya yang basah dan kulit punggungnya terasa lengket. Pria itu masih merentangkan tangan dan melebarkan sebagian jasnya untuk melindungi gadis yang sedang merapatkan matanya dengan wajah takut namun tetap terlihat cantik, dibawah kungkungannya. “Kau aman...” Sagara berbisik l
Sahara membuka pintu kamar saat indera penciumannya membaui masakan yang membuat perutnya bergejolak. Mendudukkan diri di kursi dapur, melihat suaminya sangat terampil dalam membuat makanan lezat.“Baru bangun?” pria itu bertanya ketika menyadari ada seseorang yang memperhatikannya.Mendengar pertanyaan itu seketika kelopak mata Sahara mengerjap lembut, lalu mengangguk ringan. Pipinya kembali memanas saat mengingat kejadian siang tadi saat dalam perjalanan pulang, setelah ciuman penuh perasaan itu terlepas, beberapa menit kemudian Sahara merasakan kantuk lalu tanpa sadar terlelap. Begitu membuka mata dia mendapati dirinya berada di dalam kamarnya sendiri dan hari sudah gelap.“Makanlah.” titah Sagara seraya menghidangkan hasil masakannya.Suaminya itu memasak aneka pasta dengan wangi yang menguar. Sahara mencomot potongan Lasagna, jenis pasta yang dipanggang dalam oven dan berisi banyak daging. Begitu gigitan pertama masuk ke mulutnya, Sahara merasakan letupan-letupan lezat pada lidah
Tuan Kenzo adalah ketua sekaligus pemilik agensi tempat Maria bernaung, jadi mau tidak mau Chio harus mengangkat teleponnya.“Hallo?” suaranya semendayu biasanya.“Mana Maria?” pria dibalik telepon itu bertanya spontan, “Aku sudah menghubunginya sejak semalam, tepat saat rekaman itu viral. Tapi dia tidak kunjung menjawab.”Chio menelan salivanya mendengar suara dingin pria itu, “Maaf Tuan, kondisi Maria memang tidak baik semalam, tapi pagi ini baru saja dia berkata akan menemui Anda nanti.”“Bilang padanya, aku akan menunggu di tempat biasa pukul delapan malam. Hari ini jangan datang ke kantor, banyak rekan-rekan lain yang ikut geram dengan tingkah polah Maria. Kau mengerti bukan maksudku?” kata Tuan Kenzo memberitahu.Kepala Chio refleks mengangguk, “Baik Tuan.”Ponselnya menjauh dari telinga setelah ada suara denging sambung yang terputus. Chio menghembuskan napas panjang sembari memandang layar ponselnya yang menghitam. Akan ada banyak pekerjaan berat yang memenuhi hari-hari diriny
Siang itu orang tua Sahara meminta dia bersama Sagara untuk berkunjung ke rumahnya. Gadis itu sudah menebak maksud dari perintah kunjungan itu, pasti orang tuanya hendak membahas berita yang sedang panas dimana-mana. Terlebih kedua orang tua Sagara juga akan berada di sana, semakin menambah kuat dugaannya.“Aku takut sekali...”Sagara yang sedang memakaikan sepatu kasual di kedua kakinya lantas menatap gadis yang tengah duduk di tepi ranjang dengan air muka gelisah.“Apa yang kau takutkan? Ini hanya kunjungan biasa, mereka pasti sedang merindukan kita, makanya meminta untuk berkumpul ke sana.” kata lelaki itu berusaha menenangkan kegelisahan yang dirasakan istrinya. “Tapi mungkin akan sedikit membahas tentang video itu. Jangan takut, mereka tidak akan menyalahkanmu.”Kepala gadis itu menggeleng cepat, “Bukan aku, tapi kau kak!”Setelah semua yang mereka lakukan belakangan ini, Sagara memang meminta istrinya itu untuk memanggil dirinya dengan sebutan 'Kakak' seperti permintaannya di aw
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu