Tuan Kenzo adalah ketua sekaligus pemilik agensi tempat Maria bernaung, jadi mau tidak mau Chio harus mengangkat teleponnya.“Hallo?” suaranya semendayu biasanya.“Mana Maria?” pria dibalik telepon itu bertanya spontan, “Aku sudah menghubunginya sejak semalam, tepat saat rekaman itu viral. Tapi dia tidak kunjung menjawab.”Chio menelan salivanya mendengar suara dingin pria itu, “Maaf Tuan, kondisi Maria memang tidak baik semalam, tapi pagi ini baru saja dia berkata akan menemui Anda nanti.”“Bilang padanya, aku akan menunggu di tempat biasa pukul delapan malam. Hari ini jangan datang ke kantor, banyak rekan-rekan lain yang ikut geram dengan tingkah polah Maria. Kau mengerti bukan maksudku?” kata Tuan Kenzo memberitahu.Kepala Chio refleks mengangguk, “Baik Tuan.”Ponselnya menjauh dari telinga setelah ada suara denging sambung yang terputus. Chio menghembuskan napas panjang sembari memandang layar ponselnya yang menghitam. Akan ada banyak pekerjaan berat yang memenuhi hari-hari diriny
Siang itu orang tua Sahara meminta dia bersama Sagara untuk berkunjung ke rumahnya. Gadis itu sudah menebak maksud dari perintah kunjungan itu, pasti orang tuanya hendak membahas berita yang sedang panas dimana-mana. Terlebih kedua orang tua Sagara juga akan berada di sana, semakin menambah kuat dugaannya.“Aku takut sekali...”Sagara yang sedang memakaikan sepatu kasual di kedua kakinya lantas menatap gadis yang tengah duduk di tepi ranjang dengan air muka gelisah.“Apa yang kau takutkan? Ini hanya kunjungan biasa, mereka pasti sedang merindukan kita, makanya meminta untuk berkumpul ke sana.” kata lelaki itu berusaha menenangkan kegelisahan yang dirasakan istrinya. “Tapi mungkin akan sedikit membahas tentang video itu. Jangan takut, mereka tidak akan menyalahkanmu.”Kepala gadis itu menggeleng cepat, “Bukan aku, tapi kau kak!”Setelah semua yang mereka lakukan belakangan ini, Sagara memang meminta istrinya itu untuk memanggil dirinya dengan sebutan 'Kakak' seperti permintaannya di aw
Liana mengejar Brata yang dengan kekerasan hati meninggalkan para tamunya. Wanita itu meminta maaf penuh kerendahan hati untuk memberikan waktu bagi suaminya menenangkan diri.“Mama!” Sahara menghamburkan diri dalam pelukan Viona ketika ibu mertuanya itu berpindah ke sampingnya. “Aku tidak mau berpisah, Ma!”Viona merasakan bahu Sahara bergetar, menenggelamkan pada dadanya dengan wajah basah. “Sayang, kau tenanglah dulu. Semuanya akan baik-baik saja.” berusaha menyalurkan ketenangan melalui sapuan di rambut sebahu gadis itu.“Hanum, kau bantulah putramu. Lakukan sesuatu.” pinta Viona pada suaminya yang tetap bergeming di sofa besar itu, kepala wanita itu dipenuhi rasa resah yang menyiksa diri.“Apa yang harus aku lakukan, Viona? Sejak awal kita turut andil dalam masalah ini, menikahkan paksa Saga disaat dia masih memiliki kekasih. Lalu kita malah menyembunyikan fakta itu.” kata Hanum menggelengkan kepalanya merasa skeptis. Melirik putranya yang hanya bisa menunduk di sana.Seluruh tub
Malam ini langit terlihat sangat gelap pekat, tidak ada setitik cahaya dari bulan juga tidak berbintang, justru awan-awan hitam yang bergulung siap menumpahkan isinya. Pria muda dengan stelan jaket Hoodie hitam dan celana jeans berwarna sama nampak mendongakkan kepalanya untuk menatap langit, memperkirakan kapan hujan akan turun.Setelahnya dia menekan ujung topi pet-nya agar melesak lebih dalam hingga menutupi sebagian matanya. Lalu tangannya terulur untuk membuka pintu kendaraan beroda empat ini, duduk dibalik kemudi bersiap menjalankan kaleng berjalan tersebut, namun dering ponsel yang memekakkan telinga menghentikan niatnya.“Hallo?”“William, aku sudah mengecek email darimu. Apa kau bisa memastikan semua informasi itu benar?” suara dari seberang telepon itu terdengar berat. William mengangguk yakin, sangat yakin, “Informasi itu benar, Tuan. Seperti yang Tuan Hanum minta, saya sudah mengerjakannya dengan sangat teliti.”Ada helaan napas dingin dari tuannya. “Jadi wanita itu benar
Kelebatan-kelebatan kenangan memenuhi kepala wanita bernama Nana, menyatu layaknya potongan puzzle. Sebelumnya tidak pernah ada keyakinan dalam diri wanita berusia dua puluh lima tahun itu akan bertemu kembali dengan lelaki yang telah meninggalkan dirinya dengan sejuta kenangan.Masih segar ingatan tentang lelaki yang pernah memenuhi hatinya lima tahun lalu. William selalu mengisi hari-hari Nana ketika wanita itu masih berstatus mahasiswi, lelaki yang penuh kesederhanaan, membuatnya tersenyum dengan cara sederhana namun terkesan hingga detik ini.“Will...” Wanita itu melirih, tidak menemukan kekuatan untuk sekedar menyuarakan isi kepalanya. Di bawah hujan, bulir bening keluar dari sudut matanya menjadi satu dengan air yang terus di tumpahkan dari langit.Banyak pertanyaan mencucuk dalam kepala Nana, menuntut untuk di lontarkan, misalnya; mengapa William meninggalkan dia tanpa kejelasan? Lalu menghilang bak di telan bumi. Namun yang dilakukannya hanya berdiri diam dengan kepala tertu
Hari pengumuman kelulusan itu telah tiba, Sahara menatap gerbang sekolah dari mobil yang di kendarai Sagara. Suaminya itu sudah memutuskan hubungan dengan Maria secara resmi beberapa hari lalu. Mereka berpikir akan ada drama yang di mainkan Maria sebagai bentuk ketidak terimaan dirinya atau kekecewaan karena Sagara memutuskan hubungannya. Diluar dugaan itu, Maria justru menerima keputusan tersebut dengan santai. Seolah Sagara bukanlah sosok yang penting baginya.“Kau yakin akan melakukan pekerjaan itu, kak?” tanya Sahara seraya melirik suaminya yang mengenakan stelan rapi.“Tentu, aku sudah berjanji pada Papa.”“Tapi, kau 'kan tak menyukai pekerjaan kantor, juga tidak ada pengalaman mengurus perusahaan. Pekerjaanmu sebelumnya terbilang santai.” “Masih ada waktu untuk belajar. Melakukan pekerjaan ini adalah harga yang harus kubayar karena Papa membantuku meyakinkan Papimu.” jawab pria itu tersenyum simpul. Mengusap lembut surai gadis itu. “Sudah, mau sampai kapan kau disini, tidak m
Jarum jam terus berputar. Matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat, menciptakan warna jingga yang menghiasi cakrawala. Disebuah kamar yang di dominasi warna putih, Sahara nampak tidak sadarkan diri diatas ranjang berukuran sedang. Dering ponsel menggema di ruangan itu, membangunkan Sahara dari ketidaksadarannya.Pelupuk mata Sahara membuka. Gamang. Penglihatannya masih menyesuaikan dengan sinar lampu. Ketika kesadarannya pulih, gadis itu terhenyak dan terduduk secara spontan saat menyadari dia berada di tempat asing.Sahara semakin terkejut ketika melihat tubuhnya tanpa busana dan hanya terbungkus selimut. Seragam sekolah yang penuh coretan dan pakaian dalamnya berceceran di lantai, tidak hanya itu ada alat kontrasepsi disana. Di tengah-tengah kepanikan yang mulai menderanya, gadis itu mencoba untuk menggali ingatan.Ingatan terakhirnya adalah ketika dia membuka mobil putih yang di duga milik Sagara, namun sebelum sempat dia melihat orang yang berada di dalam mobil itu, kepalan
William mengamati gedung sekolah yang megah itu dari balik kaca mobil. Sesekali dia melirik jam hitam di pergelangan tangannya. Hanum memintanya untuk memantau Sahara selama Sagara sedang bekerja di kantornya.Menurut William pekerjaan yang diberikan kali ini terbilang cukup santai. Sebagai kaki tangan tuan Hanum sekaligus orang kepercayaan pria tua itu, William merasa pekerjaan ini yang paling mudah dia lakukan. Setidaknya begitulah anggapannya, sebelum Sahara keluar dari gerbang dengan wajah antusias dan langkah cepat menghampiri mobil di depannya.Pekerjaan yang William anggap mudah itu justru di patahkan begitu saja saat bola matanya melihat bagaimana gadis itu dibekap dan dibius lalu di bawa pergi tanpa ada yang menyadari. William menginjak pedal gas-nya dalam-dalam. Berusaha mengejar mobil yang membawa Sahara melaju sangat kencang.Kejar-kejaran William antara si penculik itu tak terelakkan lagi. Jalanan yang di penuhi kaleng berjalan ini menyulitkan William untuk menyalip mobil
“Baiklah, karena kalian sudah datang kemari, kita langsung saja.” Liana berkata seraya memandang wajah orang-orang yang duduk bersamanya bergantian, lalu berhenti tepat di wajah Saga. Dia menatap lekat wajah menantunya itu. “Saga, bagaimana masalahmu dengan wanita itu?”Saat itu, Saga sedang menatap istrinya yang terus menunduk, lantas terkesiap ketika Liana bertanya dengan tatapan tajam. Bukan hanya Liana, Saga merasakan semua mata sedang menatap padanya. Hal itu sedikit membuatnya gugup.Setelah menghela napas panjang, Saga balas menatap wanita yang menjadi mertuanya dengan tegas namun tetap berusaha sesopan mungkin.“Masalah kami sudah selesai, Mam. Aku sudah menepis gosip-gosip bohong yang dibuat oleh wanita itu. Dan, Maria sudah kubuat menyesal sekaligus menjadi bulanan masyarakat.” terang Saga dengan senyum puas. Dia kembali melirik Sahara yang tersenyum manis padanya, lalu dibalas dengan kedipan sebelah mata dan seketika membuat gadis itu tersipu merona.“Oh, kenapa dengannya?”
“Selamat sore nona Maria.” sapa Dokter seraya tersenyum dan menghampiri pasiennya.Maria tak membalas sapaan sang Dokter, kedua matanya masih tertuju pada dua orang polisi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu setelah di tutupnya. Maria bertanya-tanya sendiri, untuk apa polisi itu berada di ruangannya? Mungkinkah karena skandal yang di sebarkan William? Atau Saga masih dendam padanya lalu melaporkan dirinya mengenai kasus penculikan istrinya? Tapi, itukan sudah lama!“Nona?” panggil Dokter itu lagi seraya menyentuh lengan Maria.“Eh, iya Dok?” sahut wanita itu akhirnya. Dia menatap sang Dokter dengan raut wajah yang pias bercampur cemas.“Kita cek kondisi nona terlebih dahulu, ya.” kata Dokter yang Maria ketahui bernama Sheina. Dr. Sheina memeriksa detak jantung Maria sejenak, lalu dilanjutkan dengan alat vital lainnya. “Dokter, apa yang terjadi padaku?” Maria bertanya setengah berbisik, berusaha mengabaikan dua polisi yang berdiri di sana. Dia sendiri sangat penasaran dengan kondi
“Darren datang untuk meminta maaf pada Nana, Lucas. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalahnya berdua dulu.” ucap Winona menatap sang suami yang pandangannya masih tertuju pada Darren dan Nana di tepi kolam.“Masalah apa? Bukankah semuanya sudah selesai ketika lelaki itu mencampakkan anakku?” balas Lucas dengan nada yang dingin. Masih segar dalam ingatannya tentang malam itu, Nana dipulangkan oleh Darren tanpa perasaan, tanpa memberikan kesempatan, tidak peduli Nana bersimpuh di kaki Darren agar di beri kesempatan untuk menjelaskan. Darren seolah tertutup mata dan hatinya hanya karena merasa ditipu soal keperawanan. Sebagai seorang ayah melihat bagaimana putrinya dicampakkan sebegitu jahatnya, tentu saja hal itu melukai harga dirinya dengan membiarkan Darren menginjakkan kaki di rumahnya.“Lucas, tenangkan dirimu.” ujar Winona mencegat Lucas yang ingin menghampiri Darren dan Nana. “Biarkan mereka bicara berdua dulu, sekarang kita kembali ke dalam. Ada yang akan aku bicarakan dengan
Liana menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Bertanya-tanya sendiri, siapa yang mengetuk di luar sana kali ini. Mungkinkah putrinya lagi?Pintu itu kembali di ketuk, kini disertai suara pelayan yang berkata membawakan makanan untuknya. Liana melirik pada benda yang di sebut sebagai mesin waktu, jam makan siang sudah lewat cukup lama. Dia memang masih enggan keluar kamar. Melewatkan makan malam, sarapan pagi, dan sekarang Liana pun melewatkan makan siangnya.Meski tetap membukakan pintu untuk pelayan yang datang membawa makanan, tidak ada satu pun makanan yang di sentuhnya. Sampai membuat sang pelayan kebingungan dibuatnya.“Nyonya, anda tidak sarapan?” tanya pelayan perempuan yang umurnya lumayan muda. Dia melihat menu sarapan yang di antarnya pagi tadi masih tetap utuh di atas nampan.“Aku tidak lapar, Alma.” jawab Liana seraya memandang pelayan yang bernama Alma dengan senyum tipis.“Tapi, Nyonya ... anda harus makan.” ujar Alma dengan kepala tertunduk di depan sang
“Mau apa dia ke sini?”Terkejut. Tentu saja, tetapi Nana sebisa mungkin membuat raut wajahnya terlihat tenang dan terkendali. Pandangannya sempat menunduk beberapa saat , namun buru-buru dia mendongak kembali ketika Winona menyentuh tangannya.“Dia bilang ingin bicara denganmu.” jawab Winona kemudian, wanita itu menggeser duduknya agar lebih merapat pada sang putri. “Kau baik-baik saja, Sayang? Kalau tidak mau menemuinya, ibu akan menyuruhnya pergi.”Kepala Nana menggeleng pelan seraya menggigit bibir bagian dalamnya. “Apa ayah tahu Darren kemari?” tanyanya setengah berbisik.“Belum,” Winona menggeleng dengan kedua alis yang tertaut, “Sengaja ibu tidak bilang, ayahmu pasti akan marah kalau tahu dia kemari.”“Lalu, kenapa ibu ... tidak marah?” tanyanya lagi, sudut mata Nana sesekali melirik ke arah pintu ruang baca, khawatir tiba-tiba Darren keluar seolah menyadari keberadaannya.“Ibu marah, Nana. Tentu saja, marah. Bahkan ibu sempat mengusirnya, tetapi dia memohon agar diijinkan berte
Saga memutuskan kembali ke kantornya, namun saat sampai di sana dia menemukan kerumunan di depan lobi kantor. Puluhan orang wartawan serta Cameraman-nya tampak berkumpul menantikan kedatangan dirinya untuk diliput.“Papa, kenapa banyak wartawan di bawah sini?” Saga memilih menghubungi sang papa dan mengamati para wartawan itu dari dalam mobil.“Tidak apa-apa temui saja, mereka memang menunggumu untuk buka suara soal postingan klarifikasi serta bantahan yang dibuat William. Katakan saja yang sebenarnya.” balas Hanum dengan santai, membuat Saga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.“Baiklah.” setelah itu Saga memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar dari mobil yang langsung diambil alih oleh petugas.Saga berjalan gagah di tengah-tengah barikade yang dibuat oleh sekuriti serta para petugas keamanan di kantornya. Mereka menggiring Saga hingga memasuki lobi dan membiarkan tuannya diwawancarai di sana, seraya terus menjaganya.“Tenang semuanya, bertanyalah satu-satu
“Tuan, saya sudah menemukan keberadaan Maria. Dia ada di pusat perbelanjaan, mungkin sedang berbelanja.” lapor William pada Saga melalu telepon, lelaki berwajah oval itu terus memantau Maria dari balik kaca mobil.“Terus pantau dan ikuti, kalau wanita itu menuju ke apartemennya pastikan kau yang lebih dulu tiba di sana. Aku akan menunggumu di dalamnya.” balas Saga, menatap lurus pada jalanan dan berusaha mengemudi dengan perhatian penuh. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Maria dan membuat wanita itu menyesal sudah berani bermain-main dengan dirinya.Kini, Saga tengah berdiri tegak dengan raut wajah yang dingin, melayangkan tatapan setajam belati pada wajah Maria yang berubah pias. Wanita itu sesekali melirik William yang mulai bangkit dari sofa dan berjalan di belakangnya. Seolah memastikan William tidak berbuat sesuatu yang mengancam nyawanya seperti dulu.“Takut, eh?” tanya pria itu dengan seringai mengejek, Saga sendiri merasa puas dengan reaksi dari wanita yang tengah hamil mud
“Sayang, kau belum menunjukkan rekaman itu pada orang tuamu?” Saga melakukan panggilan telepon dengan istrinya setelah kepergian ayah mertuanya, dia berada di ruang kerjanya sendiri saat ini dan berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit.“Emm, belum ... kenapa?” balas Sahara tersenyum salah tingkah di seberang telepon. Jari telunjuknya menggaruk ujung alis dengan canggung.Terdengar helaan napas berat dari mulut Saga, dia mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan. “Tadi, papi kemari.” desisnya.“Oh, ya? Mau apa?” tanyanya terkejut dan sedikit cemas. “Apa papi menghajarmu?”“Tidak, papi menghargai permintaanmu agar tidak menyentuhku.” jawabnya disertai gelengan, kemudian tersenyum mengingat permintaan itu adalah bukti cinta istrinya pada dirinya. “Terima kasih sudah mencintaiku begitu besar, saking besarnya sampai mampu menutupi kemarahan seorang Brata yang konon dikenal memiliki watak keras dan tegas.” godanya terkekeh.Sa
Hanum menyambut dengan ramah dan mempersilahkan Brata duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dia tidak hanya berdua, Saga pun ada di antara mereka. Putranya itu mengulurkan tangan hendak bersalaman dengan mertuanya, tetapi Brata mengabaikannya dengan dingin. Membuat Saga menghela napas pelan, dan memakluminya sama sekali tidak merasa tersinggung.Brata datang ke kantor Hanum bukan untuk beramah tamah, dia ingin membuat perhitungan pada menantu dan besannya. Yang sedari awal sudah membohongi dirinya.“Aku merasa terhormat kau mau bertandang kemari.” ujar Hanum tersenyum pada Brata yang sudah mendudukan dirinya tepat berseberangan dengannya. “Aku benar-benar meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan putraku.”Dia menoleh, memandang Saga yang berusaha mempertahankan senyumnya ketika Brata juga ikut menatapnya. Lalu, Hanum menepuk pundak putranya dengan tegas dan kembali menatap pada besannya yang menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa dengan sorot mata yang tajam.“Kalau kedatanganmu