Akhirnya Kumenemukanmu 2
Apa ini? Apa yang sedang menimpaku ini? Bertemu dengan Mas Risky di rumah yang sedang membutuhkan tenaga untuk mengasuh bayi?
Benarkan yang kuasuh ini adalah anak Mas Risky? Lantas kemana ibunya hingga membutuhkan pengasuh untuk bayinya?
Ah aku lupa. Bagi orang kaya, pengasuh tidak hanya untuk ibu yang bekerja. Bisa saja mereka butuh pengasuh untuk membantu merawat bayi mereka karena enggan berlelah-lelah merawat bayinya, sekalipun itu anak kandungnya sendiri.
Aku mendesah lirih untuk menghalau debar yang tak bisa kuatur ritmenya agar seimbang.
Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Pun dengan keningku yang ujungnya kubalut dengan hijab panjang. Aku berharap ini memang jalan takdir baik untukku setelah kepergian almarhum Mas Yudha. Sekalipun rasanya menyesakkan bertemu dengannya dikesempatan seperti ini.
Bagaimana aku nanti harus menguasai diriku ketika melihat sepasang suami istri yang suaminya selalu kusebut dalam doaku? Allahu Rabbi. Berulang kali kuembuskan napas agar jantungku berdetak normal.
"Silahkan duduk," ujar seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja datang dan duduk di kursi depanku.
Kesadaranku pulih setelah mendengar suara perempuan itu. Seketika aku menatap wajah keriput tetapi masih tampak ayu di depanku itu. Tetapi tak lagi kudapati lelaki yang baru saja membuat keringat dingin ini tiba-tiba mengucur membasahi selurih tubuh.
"Terima kasih, Nyonya," ujarku seraya kembali duduk.
Nyonya, kata yang tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku akan menjadi pesuruh seperti ini. Aku harus menyebut atasan dengan sebutan Nyonya dan Tuan. Terlebih tuan yang harus kusebut adalah dia yang pernah hadir dalam hidupku setahun yang lalu dan beberapa tahun sebelumnya, yang bahkan namanya masih tersimpan rapi di lubuk hati.
Bukan maksudku mengkhianati Mas Yudha dengan menyimpan semua tentangnya. Aku hanya menyimpan rasa yang tak seharusnya hadir dalam sebuah ikatan suci. Entahlah, apa itu bisa disebut dengan cinta.
"Saya Maria, nenek dari bayi yang akan kamu asuh. Sebelumnya, perkenalkan diri kamu?"
"Saya Sania, Nyonya," ucapku terbata.
"Sudah pengalaman mengasuh bayi?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Kepalaku reflek mendongak. Aku mengikuti arah sumber suara di depanku. Bibirku kelu untuk bisa menjawab dengan gamblang pertanyaan yang seharusnya dengan mudah bisa kujawab.
Kepalaku lantas mengangguk cepat. Mataku menatap wajah ayu itu dengan sedikit rasa takut dan tangan berkeringat dingin.
"Jangan tegang. Santai saja. Saya bukan orang jahat. Hanya saja saya tidak suka berbasa basi," ujarnya dengan sedikit menurunkan nada suaranya. Segaris senyum terbit setelah ia menyampaikan bagaimana sifat dirinya.
Jemari yang lentik nan bercat mengkilat menunjukkan bahwa perempuan ini adalah nyonya di rumah ini. Gaya pakaian dan bahasa tubuhnya sangat elegan. Berbeda denganku yang berpakaian apa adanya. Asal bersih dan rapi.
"Iya, Nyonya. Maaf. Ini pertama kali saya bekerja setelah menjadi ibu rumah tangga di desa," ujarku lirih. Aku memainkan tali tas jinjing yang kuletakkan di atas pangkuanku. Kugenggam tali itu dan kuremas untuk melampiaskan rasa yang baru kali ini kudapatkan.
"Pagi, Tante," sapa seorang wanita cantik dengan rambut disanggul modern khas pegawai bank. Ada sebuah logo yang terletak di dada sebelah kirinya dan name tag di dada sebelah kanannya. Aroma melati menguar sejak kedatangan wanita cantik itu.
"Pagi juga," jawab perempuan di depanku itu.
Mataku tak lepas dari wanita yang sedang mencium pipi perempuan paruh baya yang sedang menanyaiku ini. Kecupan bergantian di pipi kanan dan kirinya membuatku tak henti mengamati tingkah keduanya. Baru datang bukannya salaman dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu tetapi langsung cipika-cipiki. Ah mungkin ini kebiasaan orang kota saat baru berjumpa.
"Aku bawain baju baru buat Kiaa. Aku sengaja mampir sebentar sebelum berangkat kerja, kangen sama bayi mungil, lucu nan menggemaskan itu," ujarnya sambil terkekeh.
"Repot-repot aja. Langsung bawa masuk ke kamar. Kiaa lagi sama Papanya," jawab perempuan paruh baya itu. Mungkin Kiaa adalah bayi mungil yang tadi di bawa oleh Mas Risky. Aku hanya menebak karena ibu di depanku ini belum memperkenalkan bayi yang akan kuasuh.
Tanpa menyapaku, perempuan yang kubaca di name tag-nya bertuliskan Adinda itu langsung masuk ke dalam. Ia membawa satu paper bag besar di tangan kanannya sedangkan di tangan kirinya menenteng sebuah tas jinjing.
Dari bahannya, sepertinya tas dan pakaian yang dipakai itu bukan barang murah. Karena aku tak pernah menemukan bahan yang sama di toko biasa aku membeli tas dan pakaian.
Jelas saja, aku lupa bahwa mereka ini adalah orang kaya. Sedangkan aku hanya perempuan rumahan yang tinggal di desa dengan pekerjaan suami sebagai buruh pabrik.
Bagiku pekerjaan Mas Yudha dulu sudah baik dan lumayan menyejahterakan kehidupan kami. Gaji yang diperoleh sudah lebih dari cukup untuk hidup di desa. Entah jika digunakan untuk hidup di kota dengan berbagai tren pakaian dan makanan kekinian. Mungkin tak akan cukup.
Tunggu, papanya? Berarti bayi mungil dalam dekapan Mas Risky tadi adalah anaknya. Lantas siapa perempuan tadi? Mengapa menyebut perempuan di depanku ini dengan Tante? Kemana ibu bayi itu? Sayangnya aku hanya bisa menyimpan banyak tanya dalam hati saja.
"Mari ikut saya ke dalam. Saya mau lihat bagaimana kamu memandikan cucu saya," ajaknya setelah Adinda berlalu dari hadapan kami.
Mendengar permintaannya membuat aliran darahku kembali bergerak dengan cepatnya. Bagaimana tidak, di dalam sana sedang ada Mas Risky yang bisa saja membuat konsentrasiku untuk merawat bayi itu terpecahkan. Belum lagi badan yang gemetar tak menentu begini. Jelas ini mempengaruhi keluwesan tanganku dalam merawat bayi mungil itu.
"Bismillah, ayo Sania, kamu bisa," ujarku menyemangati diri sendiri dalam hati.
Langkah kakiku mengikuti pergerakan kaki milik perempuan paruh baya dengan dress selutut itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Dilihat dari ruang tengahnya, rumah Bu Maria tampak besar. Tak banyak perabotan bececeran, semuanya tertata rapi dan bersih.
Ada sebuah lemari berisi gelas dan benda-benda dari keramik yang tertata rapi di atas raknya. Di sebelah lemari itu terdapat sofa panjang menghadap televisi yang menempel di dinding.
Mataku menyapu sekeliling sambil sesekali menatap punggung wanita tua itu agar tak kehilangan jejaknya.
Ada sebuah foto yang menempel di ujung ruang tengah itu. Tampak wajah Mas Risky terpampang di dalam pigura itu beserta seorang perempuan berkebaya putih gading dengan rambut disanggul modern. Mataku sekilas menelisik wajah perempuan yang terbingkai di dalam pigura itu. Itu bukan wajah Adinda.
Langkah kaki Bu Maria berhenti tepat di depan sebuah kamar. Aku pun mengekor di belakangnya menunggu ia membuka sendiri kamar yang hendak dituju.
Badan Bu Maria terperanjat kaget saat pintu itu terbuka sedikit. Dari celah itu tampak sebuah adegan yang tak seharusnya dilihat orang lain. Tangan Adinda tepat berada di atas pundak Mas Risky dengan tatapan mata yang sarat dengan sebuah rasa. Pandangan itu bersambut. Tangan Mas Risky sudah berada di pinggang Adinda yang ramping.
Suara derit pintu terbuka membuat Mas Risky dan Adinda reflek melepas gerakan tangannya. Ada rasa canggung saat kedua pasang mata itu melihat wajah dua wanita yang tengah berada di balik pintu ini.
Aku pun terperanjat kaget melihat sepasang manusia di dalam kamar itu. Entah apa yang terjadi jika kami berdua tak membuka pintu itu. Tak usah ditanya bagaimana, dari pandangan mata keduanya saja sudah bisa dilihat bahwa ada rasa yang menggebu menuntut balas.
Bersambung 🌷🌷🌷
Akhirnya Kumenemukanmu 3Bak tumbuh dimusim semi, kembang-kembang bermekaran di taman hati. Tetapi ada yang membuat semuanya menjadi layu dan kemudian mati. Aku tak bisa mengatasi itu karena aku tak punya hak untuk memaksa kembang-kembang itu terus tumbuh. Aku hanya bisa menikmati setiap geraknya, meskipun terasa menyakitkan."Sayang aku berangkat kerja dulu ya? Jangan lupa besok kita harus fitting baju pengantin." Suara Adinda membuat gerakan tanganku terhenti.Kukira pertemuan ini akan membawaku pada cinta yang sekian lama terpendam dan tak henti kusebut namanya dalam doaku. Tetapi Allah berkehendak lain. Aku berada diantara jurang yang mengerikan. Rasa yang menyakitkan."Astagfirullah," batinku berucap. Tanganku tetap dengan hati-hati memegang bayi yang sedang kubilas dalam bak mandi yang diletakkan di atas meja. Bayi cantik nan imut membuat mataku tak henti memandangnya.Dari suara Adinda, aku paham bahwa keduanya tengah berada di dekatku tetapi posisiku yang membelakangi suara me
Akhirnya Kumenemukanmu 4"Bi, saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku pada Bi Siti yang masih sibuk dengan kompor dan panci. Aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya hingga masakan itu matang sebelum dia mengantar ke kamar yang akan kutempati."Boleh. Tanya apa memang?" jawabnya cepat. Ia meletakkan sendok yang digunakan untuk mencicipi makanan dalam panci itu ke dalam wastafel. Kemudian menggandengku berjalan menuju ruangan di sebelah dapur.Ada dua kamar yang berbatasan dengan dinding dapur. Dua kamar itu sepertinya sama besarnya. Satu kamar pintunya tertutup rapat, mungkin sudah ada penghuninya. Satu lagi yang hendak dibuka oleh Bi Siti."Mamanya Kiaa kemana?" tanyaku setelah Bi Siti membuka dengan lebar satu pintu untukku masuk.Bi Siti refleks menoleh ke arahku. Ada rasa kaget dari sorot matanya yang sendu. Kemudian sepersekian detik sebuah garis lengkung tercipta dari dua sudut bibirnya."Mamanya Kiaa meninggal sebulan lalu. Beberapa hari setelah melahirkan ia kecelakaan dan mengal
Akhirnya Kumenemukanmu 5Hari-hari berlalu seperti biasanya. Sikap dingin Mas Risky semakin menjadi. Tak peduli bagaimanaa baiknya aku merawat putri tunggalnya dia tetap dingin. Sedingin es.Perlahan hatiku mulai kebal. Kebal akan wajahnya yang tak pernah bersahabat denganku. Hanya bicara seperlunya saja. Aku pun belajar tak peduli. Tak peduli akan dinginnya sikap pria yang masih menjadi pemilik separuh hatiku itu padaku.Benarkah rasanya padaku sudah menguap seiring dengan jarak dan waktu yang membatasi? Entahlah, aku pun belajar tak peduli. Tetapi sisi terdalam hatiku tak mau berhenti menyebut namanya dalam setiap doa yang kugaungkan tiap sepertiga malam.Dalam hati aku selalu berharap akan ada kesempatan dimana kami bisa meluapkan rasa satu sama lain. Bisa jadi sisa rasa itu ada dan aku ingin suatu saat rasa itu tersampaikan padaku.Tapi siapa aku? Pantaskah aku memiliki keinginan seperti itu? Lancang.Siang ini kami sedang berada di ballroom sebuah hotel bintang lima untuk melaksa
Akhirnya Kumenemukanmu 6Prosesi akad sedang berlangsung dengan khidmat. Banyak tamu undangan yang menyaksikan prosesi itu yang turut larut dalam khidmat dan sakralnya pernikahan. Ada juga yang beberapa kali kulihat mengusap air mata.Saat khutbah nikah dikumandangkan, aliran darahku rasanya mengalir deras. Aliran darahnya bak air terjun yang jatuh ke dasar sungai dengan cepatnya. Ada rasa cemas dan tak rela yang bergelayut dalam hatiku.Beruntung Bi Siti mengambil alih Kiaa dari gendonganku. Kami duduk bersisihan di belakang deretan kursi untuk keluarga inti. Tetapi mataku bisa menangkap dengan jelas proses akad yang sedang berlangsung itu. Sungguh hatiku bak ditusuk sembilu. Perih melihat tangan kekar yang kuharapkan dengan penuh cinta membelai wajahku kini pupus sudah.Kudengar suara Penghulu membaca ijab qabul dengan lantang membuat hatiku semakin perih. Siapalah aku ini? Berulang kali hatiku berdebat. Sisi baik dan sisi buruknya kembali mencari pembenarannya sendiri. Aku mendesah
Akhirnya Kumenemukanmu 7"Bi, permisi ke depan dulu ya? Ini waktunya Kiaa minum susu, biar kuberi susu sambil kugendong keluar," pamitku pada Bi Siti. Tempat duduk Bu Maria tepat di depan tempat duduk Bi Siti, aku takut mengganggu jika harus meminta izin lebih dulu padanya. Biarlah nanti Bi Siti yang menyampaikan.Aku berjalan mewati tamu undangan menuju pintu keluar. Suasana bising sound system di dalam ruangan tidak bisa membuat Kiaa tertidur pulas. Aku harus membawa Kiaa keluar ruangan ini.Aku berdiri di depan pintu masuk. Terdapat satu kursi panjang yang di atasnya sedang terduduk dua gadis dengan kebaya yang membalut tubuh keduanya. Mungkin mereka tamu undangan yang sedang menunggu temannya di luar."Enak bener ya jadi Adinda, jadi temen deket dari mantan istri Risky, eh malah disuruh gantiin posisinya. Mujur banget nasibnya, padahal Adinda ngga deket-deket amat sama Alisya," ujar salah satu dari gadis yang duduk di atas kursi itu. Tepat di samping kiri tempat kuberdiri. Mereka
POV. Ar Risky GunawanAku tak mengira bahwa rumah tangga yang sedang kuperjuangkan di tengah kemelut rasa yang membuncah dalam hatiku tetap harus berakhir. Bukan karena perceraian tapi karena usia istriku yang tak lagi bisa membersamaiku.Betapa hancur hatiku saat aku memandangi wajah ayu Azkiaa yang harus menjadi piatu diusia yang masih bisa dihitung jari. Air mataku mengalir saat harus terjaga untuk menemaninya menghabiskan susu dalam botol yang telah kusiapkan. Gadis kecilku mengisap karet botol itu dengan kuatnya. Lehernya naik turun menelan air yang keluar dari lubang kecil diujung karet yang ada di dalam mulutnya. "Malang sekali nasibmu, Nak," lirihku sambil memandangi wajahnya.Hari berganti hari, perlahan Adinda mulai menggantikan posisi Alisya dalam keseharianku. Wanita yang ditunjuk oleh Alisya untuk merawat anaknya kini mulai menepati janjinya. Gadis yang bekerja di bank konvensional itu selalu meluangkan waktunya setiap hari setelah kepergian Alisya. Dia berusaha keras u
Akhirnya Kumenemukanmu 9"Eh tumben kayak bapak-bapak bener omonganmu?" tanyaku heran. Tak biasanya dia bisa sebijak ini. "Kan aku lagi bijak, jangan menghancurkan martabatku sebagai lelaki yang bijak," ujarnya sambil membenarkan kerah baju, bergaya sok."Hilih, biasanya juga kamu yang doyan!" balasku sambil melempar rokok ke arahnya. Dengan sigap tangan Adam menerima lemparanku itu."Haisss jangan main lempar-lemparan, hancur rokokku!" sungutnya pura-pura marah."Berapa sih harga rokok? Ngajakin kencan cewek keluar modal banyak juga biasa aja," selaku sambil mencebik. Adam malah tertawa renyah. "Jangan keras-keras, ini kafe ada cctvnya, hancur sudah rumah tanggaku kalau dia dengar," bisiknya."SSTI." "Apaan itu?""Suami-suami takut istri," jawabku sambil tertawa."Bukan takut istri, tapi sayang istri. Ngawur aja kalau sampai dia tahu, bisa tidur di luar aku," sengitnya.Setelah ngobrol dengan Adam, aku kembali pulang dengan hati berkecamuk. Pernikahan sudah didepan mata tapi hatik
Akhirnya Kumenemukanmu "Sa, siapin baju-baju kamu sama barang-barang Kiaa ya? Kalian ikut pindah ke rumah Risky yang di perumahan Grand Kencana," ujar Bu Maria saat aku sedang membuatkan susu untuk Kiaa. "Pindah, Nyonya?" tanyaku kaget. Aku refleks menghentikan gerakan tanganku memindahkan susu bubuk ke dalam botol susu milik Kiaa."Iya. Setelah pulang dari hotel Risky dan Adinda langsung pindah ke rumahnya," jawab Bu Maria cepat. Ia tengah duduk di bibir ranjang dan menepuk paha Kiaa yang mengantuk. Bayi mungil itu menggeliat karena lapar.Astaga, aku pun ikut pindah? Bagaimana hidupku di sana nanti? Bagaimana kikuknya sikapku saat hanya tinggal berempat di sana dengan keluarga kecilnya? Astagfirullah. "Kenapa, Sa? Kok bengong?" tanya Bu Maria saat aku terdiam sambil menggenggam susu Kiaa yang belum kuaduk.Mataku terperanjat saat mendengar pertanyaan Bu Maria. Perempuan paruh baya itu rupanya mengamatiku."Hei, Bayi kecil," sapa Dimas tiba-tiba. Ia baru saja masuk ke kamar Kiaa t
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia