Akhirnya Kumenemukanmu
[Maafkan aku. Aku terlalu cinta istriku. Tak bisa kubayangkan jika istriku tahu kalau aku berhubungan denganmu. Walaupun hanya sebatas berkirim pesan tapi itu jelas akan menggoreskan luka dalam hatinya.]
Aku membaca pesan dari seseorang yang spesial buatku selama setahun ini dengan tangan gemetar. Darinya aku mendapatkan sebongkah perhatian yang tak kudapatkan dari suamiku. Meskipun hanya dalam dunia maya tapi itu cukup buatku merasa berbeda dan bahagia.
Lagi kugeser ke atas chat yang belum kuhapus.
[Pagi Sayang. Sudah sarapan?]
[Jangan lupa istirahat ya?]
[Kamu sudah salat?]
Ada beberapa chat lagi di atasnya tapi aku tak sanggup membacanya.
Setelah itu aku tak lagi bisa membalas pesannya. Tak ada pilihan lain untukku selain menerima. Pun juga aku tak ingin mendapat gelar pelakor dari masyarakat apabila aku terus memaksanya menuruti egoku.
Cukup menjadikannya penghuni hatiku yang selalu kusebut dalam doaku. Minimal jika ia tak dapat kumiliki, cintaku untuknya berupa sebuah doa kebaikan yang selalu kuminta pada Rabbku. Sang Pemilik Kehidupan.
Kuhela napas panjang dan dalam untuk melepaskan semua yang memang tak ditakdirkan untukku. Rasa getir dalam hati harus kuubah menjadi sebuah keikhlasan demi hidup yang terus berlanjut. Kumasukkan semua kenangan antara kami dalam hati dan kukunci rapat. Jika dia bisa berbahagia dengan pasangannya, mengapa aku tidak?
Keputusan ini cukup menjadi bukti bahwa Risky adalah pasangan yang baik. Lelaki yang mampu menjaga hati pasangannya sekalipun hatinya telah terbagi untukku. Ah bahagia sekali yang menjadi istrinya.
Kulihat wajah suamiku yang tampak letih tengah tertidur dengan dengkuran halus yang keluar dari bibirnya. Ia baru saja menikmati secangkir teh yang kusiapkan setelah kembali dari tempat kerjanya. Tubuhnya yang lelah karena menafkahiku tak patut kubalas dengan sebuah luka. Penghianatan.
Aku pun turut berbaring di sebelahnya dan memaksa mataku untuk melihat betapa sosok di sebelahku adalah anugerah yang Tuhan beri dalam bentuk nyata dengan segala ketidaksempurnaannya. Bukannya aku juga memiliki kekurangan?
"Sudah dibilas, Dek? Biar kujemur bajunya. Letakkan saja di situ," ujarnya saat melihatku tengah memindah baju terakhir yang baru kubilas ke dalam tabung pengering.
"Iya." Aku pun beranjak dari depan mesin cuci lalu mengambil sepiring nasi serta lauk dan kuajak Caca untuk sarapan. Gadis kecilku itu mengikuti langkahku menuju ruang tengah untuk makan bersamaku.
Sekilas kulirik suamiku dengan telaten memindah baju kering dari tabung ke dalam ember besar. Lalu membawa ember itu ke halaman belakang untuk menggantungnya ke atas tali jemuran.
"Bukannya apa yang dilakukan suamimu itu juga termasuk sebuah bentuk perhatian?" Sebuah suara memporak-porandakan hatiku yang masih sedikit merasakan luka akibat perpisahan. Ya, hatiku bergejolak. Sisi baik dan buruk dalam diriku sedang bertarung mencari pembenaran.
Aku terdiam sambil memangku piring yang berisi nasi dan mujair goreng kesukaan Caca. Seketika mataku mengembun, merasai hati yang telah menodai ikatan suci pernikahan yang sudah kubina selama lima tahun ini. Ya, aku salah.
"Sudah makannya? Yuk ikut ayah, biar Mama mandi. Habis ini kita ke rumah nenek," ujarnya tanpa menunggu persetujuanku.
"Sudah, Yah." Caca bangkit lalu berlari kecil menuju sang ayah. Keduanya lantas sibuk dengan ayam dalam kandang di halaman belakang.
Lagi, sebuah suara memporak-porandakan hatiku.
"Perhatian dalam rumah tangga bukan hanya sekedar dalam bentuk kata-kata, tapi lebih dalam bentuk perbuatan yang nyata." Suara itu lagi yang berhasil menampar pikiran dan hatiku.
Aku menangis dalam kamar mandi. Sungguh aku adalah istri yang tak tahu diri. Suami yang perhatian kubalas dengan sebuah luka. Beruntung Allah masih sayang padaku dengan membuat Risky menjauh dari kehidupanku dengan sendirinya tanpa kuminta.
Mulai hari ini aku bertekad untuk tak lagi membuka kenangan akan hubungan yang hanya sebatas bayangan semu itu. Aku berjanji untuk mengubur semua kenangan saat kita masih bersama dalam dunia nyata. Ya, Risky adalah mantan kekasih hati yang terpisah karena takdir tak merestui kami.
"Nduk, makan dulu. Ibu tadi masak nasi jagung sama pepes pindang pencit." Sambutan ibu mertua saat aku, Mas Yudha dan Caca baru saja bergantian melepas uluran tanganku darinya. Meja yang penuh dengan nasi dan lauk menjadi pemandangan yang biasa ketika aku berada di rumah mertua. Ya, mertuaku memang selalu meminta kami makan ketika kami baru sampai.
"Sudah, Bu. Tadi sebelum ke sini sudah sarapan." Aku menolak dengan halus.
"Ya sudah, itu buatkan kopi suamimu," ucapnya. Ibu yang sedang menjahit kancing baju pelanggan itu memintaku untuk melayani suamiku sendiri. Hal yang biasa ketika aku berada di rumah mertua.
Mas Yudha langsung masuk ke dalam ruangan khusus jahit milik Ibu. Dinamo mesin jahitnya rusak, sengaja Ibu meminta Mas Yudha datang untuk melihat apa yang salah dalam dinamo itu. Mungkin minta diganti yang baru karena mesin itu sudah lama sekali.
"Pedalnya rusak, Bu. Ini nggak bisa diperbaiki. Kayaknya harus beli yang baru." Mas Yudha menunjukkan pedal dinamo pada Ibu.
Ibu menurunkan kaca mata yang dipakainya untuk melihat kondisi pedal yang dibawa Mas Yudha. Mata Ibu mengamati tiap inci dinamo dari tangan Mas Yudha.
"Ya sudah belikan yang baru saja. Maklum sudah lama, sudah waktunya ganti." Ibu berdiri lalu berjalan menuju lemari untuk mengambil uang.
Selembar seratus ribuan diberikan Ibu pada Mas Yudha. Tanpa banyak bertanya lagi, Mas Yudha berangkat membeli dinamo yang baru.
Ya, begitulah suamiku. Perhatiannya dalam bentuk perbuatan. Jika diminta tolong langsung dikerjakan ketika ia sedang tidak sibuk.
Hari berganti hari. Hitungan minggu berubah menjadi bulan. Hatiku mulai legowo menerima perhatian dalam bentuk nyata yang diberikan suamiku. Bukankah janji Allah adalah akan menambah nikmat ketika kita bersyukur?
Sedikit demi sedikit hatiku mulai merasakan nikmat yang Allah janjikan. Ikhlas yang kucoba paksakan berbuah manis. Hidupku terasa sempurna kembali. Hari ini aku sungguh bersyukur telah menikah dengan Mas Yudha terlepas dari segala kekurangannya.
Perlahan aku mulai melupakan kisah yang pernah terjalin antara aku dengan Risky meskipun aku masih menyimpan sebuah foto miliknya dalam ponselku yang kusimpan di file yang kusembunyikan.
Dering ponsel membuat istirahatku terganggu. Sebuah suara yang tak kukenal terdengar dari nomor milik suamiku.
"Malam, Ibu. Apa benar anda istri dari pemilik ponsel ini?"
"Iya, ada yang bisa saya bantu, Pak?" jawabku geragapan. Otakku masih mengumpulkan kesadaran dari puing-puing mimpi yang buyar karena getaran ponsel.
"Pemilik ponsel ini mengalami sebuah kecelakaan. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit. Silahkan Ibu datang ke rumah sakit untuk melihat kondisinya juga menyelesaikan administrasinya."
"Astaghfirullah," pekikku. Dengan cepat aku berganti pakaian dan berangkat ke rumah sakit daerah setelah membangunkan salah satu kerabat yang tinggal di sebelah rumah.
Air mataku tak henti mengalir mengingat kabar yang baru saja kudapatkan. Suami yang kucintai kini mendapat musibah, semoga keadaannya baik-baik saja.
"Kepalanya mengalami benturan keras. Banyak darah mengalir dari kepalanya. Ini harus segera dilakukan tindakan operasi untuk membersihkan gumpalan darah dalam kepalanya." Sebuah suara dari seorang petugas rumah sakit membuatku terduduk lemas. Kabar yang menyakitkan.
Harapan antara hidup dan mati seketika berkelindan dalam kepalaku. Resiko yang dipaparkan ketika operasi itu berhasil juga cukup untuk menampar hatiku. Sungguh ini kenyataan terpahit dari sekedar perhatian yang sejak dulu kuelu-elukan darinya.
Sebuah nisan bertuliskan "Yudha Pratama" sudah terpasang diantara gundukan tanah merah yang baru saja menimbun jasadnya.
Air mataku dan Caca tak kunjung mengering melihat tubuh suamiku tercinta kini sudah terbujur kaku dalam liang lahat.
Suami yang belum lama ini baru kusadari betapa ia sangat perhatian padaku, kini Allah ambil dariku. Mengapa Allah ambil dia ketika hatiku mulai legowo menerima dirinya dengan segala kekurangannya?
Para pelayat sudah kembali dari area pemakaman. Hanya tersisa aku, Ibu mertua dan Caca. Kami sama-sama terpukul atas takdir yang baru saja memaksa kami menerimanya.
"Bagaimana aku akan melanjutkan hidup setelah ini, Mas?" tanyaku dalam hati. Sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya aku bingung mencari pekerjaan untuk menopang kehidupan kami setelah ini.
"Bolehkah jika aku titip Caca pada Ibu?" tanyaku pada Ibu mertua saat aku baru saja menerima kabar dari saudara jauh Ibu bahwa ada temannya yang sedang membutuhkan seorang yang bersedia merawat bayi.
Bagiku saat ini, tak apalah pekerjaan apapun yang penting bisa menghasilkan uang untuk membesarkan Caca tanpa harus merepotkan Ibu mertua karena aku sudah tak lagi punya orangtua.
"Pergi saja jika itu inginmu. Jangan khawatir soal Caca, Ibu akan merawatnya dengan baik." Ibu mertua menitikkan air mata. Wajah Caca mewarisi wajah ayahnya yang membuat Ibu selalu merasa bahwa Mas Yudha masih ada di sisinya dalam bentuk kecil.
"Terima kasih, Ibu. Sania janji pada Ibu akan rutin mengirim uang bulanan untuk Ibu dan Caca," ucapku sambil merengkuh Ibu dalam pelukan.
Sebuah travel membawaku menuju rumah majikan yang sedang membutuhkan tenagaku.
Dengan bibir basah oleh dzikir aku menata hati sebelum tanganku mengetuk pintu rumah minimalis bercat putih ini.
Setelah beberapa saat menunggu seorang ibu paruh baya membukakan pintu untukku. Dengan ramah ia mempersilahkanku masuk.
"Mbaknya yang mau merawat bayi Den Bagus, ya? Tunggu sebentar saya panggilkan Nyonya dulu." Perempuan paruh baya itu melesat pergi tanpa menunggu jawaban dariku.
Kepalaku tak sanggup kudongakkan. Aku hanya sanggup menunduk pilu. Bagaimana tidak, aku mengorbankan waktu dengan putriku untuk merawat bayi yang lain yang katanya tak punya ibu. "Bismillah, demi masa depan Caca," lirihku dalam hati.
Seorang lelaki baru saja keluar dari balik pintu. Ia berdiri mematung dengan pandangan lurus ke arahku sambil menggendong bayi mungil dalam dekapannya.
Aku lantas melihat wajah sosok yang sedang berdiri tak bergerak itu. Bayi mungil dalam dekapannya menggeliat seraya menangis.
Mata kami seketika beradu. "Mas Risky?" lirihku.
🌷🌷🌷
Akhirnya Kumenemukanmu 2Apa ini? Apa yang sedang menimpaku ini? Bertemu dengan Mas Risky di rumah yang sedang membutuhkan tenaga untuk mengasuh bayi?Benarkan yang kuasuh ini adalah anak Mas Risky? Lantas kemana ibunya hingga membutuhkan pengasuh untuk bayinya?Ah aku lupa. Bagi orang kaya, pengasuh tidak hanya untuk ibu yang bekerja. Bisa saja mereka butuh pengasuh untuk membantu merawat bayi mereka karena enggan berlelah-lelah merawat bayinya, sekalipun itu anak kandungnya sendiri.Aku mendesah lirih untuk menghalau debar yang tak bisa kuatur ritmenya agar seimbang.Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Pun dengan keningku yang ujungnya kubalut dengan hijab panjang. Aku berharap ini memang jalan takdir baik untukku setelah kepergian almarhum Mas Yudha. Sekalipun rasanya menyesakkan bertemu dengannya dikesempatan seperti ini. Bagaimana aku nanti harus menguasai diriku ketika melihat sepasang suami istri yang suaminya selalu kusebut dalam doaku? Allahu Rabbi. Berulang ka
Akhirnya Kumenemukanmu 3Bak tumbuh dimusim semi, kembang-kembang bermekaran di taman hati. Tetapi ada yang membuat semuanya menjadi layu dan kemudian mati. Aku tak bisa mengatasi itu karena aku tak punya hak untuk memaksa kembang-kembang itu terus tumbuh. Aku hanya bisa menikmati setiap geraknya, meskipun terasa menyakitkan."Sayang aku berangkat kerja dulu ya? Jangan lupa besok kita harus fitting baju pengantin." Suara Adinda membuat gerakan tanganku terhenti.Kukira pertemuan ini akan membawaku pada cinta yang sekian lama terpendam dan tak henti kusebut namanya dalam doaku. Tetapi Allah berkehendak lain. Aku berada diantara jurang yang mengerikan. Rasa yang menyakitkan."Astagfirullah," batinku berucap. Tanganku tetap dengan hati-hati memegang bayi yang sedang kubilas dalam bak mandi yang diletakkan di atas meja. Bayi cantik nan imut membuat mataku tak henti memandangnya.Dari suara Adinda, aku paham bahwa keduanya tengah berada di dekatku tetapi posisiku yang membelakangi suara me
Akhirnya Kumenemukanmu 4"Bi, saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku pada Bi Siti yang masih sibuk dengan kompor dan panci. Aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya hingga masakan itu matang sebelum dia mengantar ke kamar yang akan kutempati."Boleh. Tanya apa memang?" jawabnya cepat. Ia meletakkan sendok yang digunakan untuk mencicipi makanan dalam panci itu ke dalam wastafel. Kemudian menggandengku berjalan menuju ruangan di sebelah dapur.Ada dua kamar yang berbatasan dengan dinding dapur. Dua kamar itu sepertinya sama besarnya. Satu kamar pintunya tertutup rapat, mungkin sudah ada penghuninya. Satu lagi yang hendak dibuka oleh Bi Siti."Mamanya Kiaa kemana?" tanyaku setelah Bi Siti membuka dengan lebar satu pintu untukku masuk.Bi Siti refleks menoleh ke arahku. Ada rasa kaget dari sorot matanya yang sendu. Kemudian sepersekian detik sebuah garis lengkung tercipta dari dua sudut bibirnya."Mamanya Kiaa meninggal sebulan lalu. Beberapa hari setelah melahirkan ia kecelakaan dan mengal
Akhirnya Kumenemukanmu 5Hari-hari berlalu seperti biasanya. Sikap dingin Mas Risky semakin menjadi. Tak peduli bagaimanaa baiknya aku merawat putri tunggalnya dia tetap dingin. Sedingin es.Perlahan hatiku mulai kebal. Kebal akan wajahnya yang tak pernah bersahabat denganku. Hanya bicara seperlunya saja. Aku pun belajar tak peduli. Tak peduli akan dinginnya sikap pria yang masih menjadi pemilik separuh hatiku itu padaku.Benarkah rasanya padaku sudah menguap seiring dengan jarak dan waktu yang membatasi? Entahlah, aku pun belajar tak peduli. Tetapi sisi terdalam hatiku tak mau berhenti menyebut namanya dalam setiap doa yang kugaungkan tiap sepertiga malam.Dalam hati aku selalu berharap akan ada kesempatan dimana kami bisa meluapkan rasa satu sama lain. Bisa jadi sisa rasa itu ada dan aku ingin suatu saat rasa itu tersampaikan padaku.Tapi siapa aku? Pantaskah aku memiliki keinginan seperti itu? Lancang.Siang ini kami sedang berada di ballroom sebuah hotel bintang lima untuk melaksa
Akhirnya Kumenemukanmu 6Prosesi akad sedang berlangsung dengan khidmat. Banyak tamu undangan yang menyaksikan prosesi itu yang turut larut dalam khidmat dan sakralnya pernikahan. Ada juga yang beberapa kali kulihat mengusap air mata.Saat khutbah nikah dikumandangkan, aliran darahku rasanya mengalir deras. Aliran darahnya bak air terjun yang jatuh ke dasar sungai dengan cepatnya. Ada rasa cemas dan tak rela yang bergelayut dalam hatiku.Beruntung Bi Siti mengambil alih Kiaa dari gendonganku. Kami duduk bersisihan di belakang deretan kursi untuk keluarga inti. Tetapi mataku bisa menangkap dengan jelas proses akad yang sedang berlangsung itu. Sungguh hatiku bak ditusuk sembilu. Perih melihat tangan kekar yang kuharapkan dengan penuh cinta membelai wajahku kini pupus sudah.Kudengar suara Penghulu membaca ijab qabul dengan lantang membuat hatiku semakin perih. Siapalah aku ini? Berulang kali hatiku berdebat. Sisi baik dan sisi buruknya kembali mencari pembenarannya sendiri. Aku mendesah
Akhirnya Kumenemukanmu 7"Bi, permisi ke depan dulu ya? Ini waktunya Kiaa minum susu, biar kuberi susu sambil kugendong keluar," pamitku pada Bi Siti. Tempat duduk Bu Maria tepat di depan tempat duduk Bi Siti, aku takut mengganggu jika harus meminta izin lebih dulu padanya. Biarlah nanti Bi Siti yang menyampaikan.Aku berjalan mewati tamu undangan menuju pintu keluar. Suasana bising sound system di dalam ruangan tidak bisa membuat Kiaa tertidur pulas. Aku harus membawa Kiaa keluar ruangan ini.Aku berdiri di depan pintu masuk. Terdapat satu kursi panjang yang di atasnya sedang terduduk dua gadis dengan kebaya yang membalut tubuh keduanya. Mungkin mereka tamu undangan yang sedang menunggu temannya di luar."Enak bener ya jadi Adinda, jadi temen deket dari mantan istri Risky, eh malah disuruh gantiin posisinya. Mujur banget nasibnya, padahal Adinda ngga deket-deket amat sama Alisya," ujar salah satu dari gadis yang duduk di atas kursi itu. Tepat di samping kiri tempat kuberdiri. Mereka
POV. Ar Risky GunawanAku tak mengira bahwa rumah tangga yang sedang kuperjuangkan di tengah kemelut rasa yang membuncah dalam hatiku tetap harus berakhir. Bukan karena perceraian tapi karena usia istriku yang tak lagi bisa membersamaiku.Betapa hancur hatiku saat aku memandangi wajah ayu Azkiaa yang harus menjadi piatu diusia yang masih bisa dihitung jari. Air mataku mengalir saat harus terjaga untuk menemaninya menghabiskan susu dalam botol yang telah kusiapkan. Gadis kecilku mengisap karet botol itu dengan kuatnya. Lehernya naik turun menelan air yang keluar dari lubang kecil diujung karet yang ada di dalam mulutnya. "Malang sekali nasibmu, Nak," lirihku sambil memandangi wajahnya.Hari berganti hari, perlahan Adinda mulai menggantikan posisi Alisya dalam keseharianku. Wanita yang ditunjuk oleh Alisya untuk merawat anaknya kini mulai menepati janjinya. Gadis yang bekerja di bank konvensional itu selalu meluangkan waktunya setiap hari setelah kepergian Alisya. Dia berusaha keras u
Akhirnya Kumenemukanmu 9"Eh tumben kayak bapak-bapak bener omonganmu?" tanyaku heran. Tak biasanya dia bisa sebijak ini. "Kan aku lagi bijak, jangan menghancurkan martabatku sebagai lelaki yang bijak," ujarnya sambil membenarkan kerah baju, bergaya sok."Hilih, biasanya juga kamu yang doyan!" balasku sambil melempar rokok ke arahnya. Dengan sigap tangan Adam menerima lemparanku itu."Haisss jangan main lempar-lemparan, hancur rokokku!" sungutnya pura-pura marah."Berapa sih harga rokok? Ngajakin kencan cewek keluar modal banyak juga biasa aja," selaku sambil mencebik. Adam malah tertawa renyah. "Jangan keras-keras, ini kafe ada cctvnya, hancur sudah rumah tanggaku kalau dia dengar," bisiknya."SSTI." "Apaan itu?""Suami-suami takut istri," jawabku sambil tertawa."Bukan takut istri, tapi sayang istri. Ngawur aja kalau sampai dia tahu, bisa tidur di luar aku," sengitnya.Setelah ngobrol dengan Adam, aku kembali pulang dengan hati berkecamuk. Pernikahan sudah didepan mata tapi hatik
Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.
Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia
Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se
Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b
"Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be
Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.
Melihat wajah Mas Risky yang cemberut, aku malah tertawa. Lucu saja melihat wajah tampannya dibuat jelek dengan bibir yang maju beberapa senti. Namun saat aku tergelak, tanpa aba-aba Mas Risky berdiri dan mengangkat tubuhku hingga aku memekik kaget."Mas," pekikku. Dengan cepat tanganku mengalung ke lehernya. Mataku membulat sempurna menatap wajahnya yang tepat berada di depanku. Tapi tak urung, aku menyandarkan kepalaku ke bahunya."Salah sendiri. Dibilang Mas lagi rindu malah cekikikan," kesalnya. Tapi tak urung wajah itu akhirnya tersenyum juga.Mas Risky meletakkan bobot tubuhku ke atas ranjang sederhana yang menjadi tempat bersatunya kami setelah akad beberapa waktu lalu. Ranjang yang menjadi saksi bahwa lelaki yang kerap kusebut dalam doaku benar-benar menyentuhku dengan segenap cinta dan kasih yang dia miliki."Habis Mas lucu sih." Aku masih saja tak bisa menahan bibirku untuk tidak tertawa."Kok lucu?" sela Mas Risky. Ia mengunci tubuhku di bawah tubuh gagahnya. Kedua tangann
Akhirnya Ku Menemukanmu 57"Mama sakit, Sayang." Mas Risky berujar setelah meletakkan ponselnya. Ia menatapku dalam tak berkedip."Kita ke sana?" tawarku pelan."Tidak."Aku terkejut. Mataku membulat menatap wajah suamiku yang duduk di sebelahku. Begitu tegasnya ia menolak."Mas, Ibumu sedang sakit, bagaimana mungkin Mas tidak mau datang ke sana?" tanyaku tak percaya."Tidak akan datang sebelum Mama mau menerimamu sebagai menantunya." Mas Risky berujar tanpa menatapku.Aku tertegun mendengar ucapan Mas Risky. Sebegitu kerasnya ia berusaha untuk memaksa Bu Maria untuk menerima kehadiranku."Mas sudah lelah menuruti apa kemauan Mama. Sudahlah, biarkan ini jadi pelajaran buat dia. Biar Mama juga sadar kalau anaknya juga punya kemauan, ngga harus selalu menuruti kemauan Mama saja."Mas Risky kembali meraih sendok yang sebelum menerima telepon ia letakkan. Ia mulai melahap masakanku yang menurutku setelah mendengar kabar ini semua makanan di depanku ini jadi hambar. Padahal sebelumnya aku
"Kamu ngga apa-apa, Dek?" tanya Mas Risky setelah ia terbangun. Gurat kekhawatiran terlihat jelas dari pandangan matanya yang tak lepas menatapku. Telapak tangannya berulang kali memegang dahiku.Hatiku berbunga mendapati perhatian dari lelaki yang telah lama berpisah denganku."Aku ngga apa-apa, Mas. Jangan khawatir." Aku menenangkan. Kuubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang."Jangan puasa ya?" pintanya sedikit memaksa."Enggak, Mas. Aku puasa aja. Sayang lebaran kurang beberapa hari lagi. Aku juga sudah bolong banyak." Aku mengelak. "Kamu lagi sakit, Dek.""Enggak. Langsung sembuh pas ketemu Mas di sini," elakku. "Nih lihat sudah sembuh," sambungku sambil kupegang dahiku sendiri.Mas Risky terdiam menatapku sambil mengerjap. Perlahan seulas senyuman terkembang dari bibirnya yang kemerahan. Dimataku ketampanannya meningkat drastis karena lama tak berjumpa. Lebay ya? Biar saja. Aku cinta.Tangan Mas Risky yang kokoh itu meraih jemariku dengan lembut, lalu ia