Anak kecil itu berhenti makan, dia lantas mengerutkan kening. "Apa yang Paman lihat?" tanyanya waspada."Siapa namamu, Nak?" tanya Jeno."Rayan Lee," jawabnya, lantas kembali makan dan mengabaikan tatapan Jeno yang terus memperhatikan fitur wajah anak itu, Rayan benar-benar mirip seperti Jeno kecil."Apa kamu ingat di mana rumahmu?" tanya Jeno lagi.Anak kecil bernama Rayan itu mengangguk. "Aku tinggal di Green House Asri Nomor A5," jawab Rayan lalu lanjut makan.Jeno pun sedikit terkejut, ada anak kecil yang begitu pintar seperti ini. "Bagus sekali, kamu mengingat tempat tinggalmu sendiri. Habiskan makanmu, nanti Arya akan mengantarkanmu pulang," kata Jeno."Umm!" jawab Rayan seraya mengangguk cepat. Rayan anak yang pintar dan pemberani, buktinya dia tidak sedikit pun menangis atau merengek memanggil ibu dan ayahnya seperti anak-anak pada umumnya."Kalau boleh tahu siapa nama mama dan papamu?" Jujur saja Jeno penasaran dengan orang tua anak ini, terlebih pada nama ibunya. Entah menga
Seperti janji yang sudah disepakati kemarin, hari ini Rena Lu mengajak cucunya untuk pergi ke rumah orang yang telah baik hati menyelamatkan Rayan dari penculik. Mereka berjalan keluar dari rumah nenuju mobil. "Pak, antarkan kami ya," pinta Rena Lu kepada supirnya."Baik, Nyonya." Supir itu mengangguk dan membukakan pintu belakang. Rayan dan Rena Lu pun masuk mobil lantas supir menutup pintu kembali, pria paruh baya itu juga masuk mobil dan kendaaran itu melaju meninggalkan rumah yang cukup megah itu.Di tengah perjalanan Rayan terus memperhatikan jalan, dia harus fokus mengingat karena jangan sampai salah alamat. 'Anggrek House Elite' saat Rayan membaca plang besar di depan jalan ia pun menujuk. "Kita masuk gang besar itu, Pak!" seru Rayan memberi tahu.Supir itu pun mengangguk dan mengikuti arahan dari Rayan, sementara Rena Lu hanya tersenyum saja, dia benar-benar bangga memiliki cucu sepintar Rayan. Wanita paruh baya itu mengelus kepala anak kecil itu. "Apakah masih jauh, Ray?" Ra
Maryam berjalan menaiki anak tangga dan melangkah menuju suatu kamar tidur, sore tadi putranya sudah pulang dari kantor dan sudah pasti setelah itu Jeno tidak akan keluar lagi meski hanya untuk makan malam.Mungkin hanya sesekali saja putranya mau turun makan malam itu pun jika Maryam memaksa. Sejak kepulangan Jeno ke rumahnya 6 Tahun lalu, putranya itu berubah menjadi sangat tertutup.Jeno tidak pernah menceritakan sedikit pun permasalahan dirinya dengan istrinya, Maryam hanya tahu kalau menantunya meninggalkan Jeno karena Jeno yang salah. Ya, Jeno hanya mengatakan kepada ibunya kalau Rea meninggalkan dia karena kesalahannya.Maryam tentu menyalahkan putranya sendiri, Maryam juga menduga kalau Rea sakit hati karena pasti Jeno berselingkuh dengan Aruna yang kini entah berada di mana wanita murahan itu. Maryam juga hanya tahu Jeno sakit ginjal dan diharuskan dioperasi sehingga putranya itu kini hanya memiliki satu ginjal saja.Maryam mengetuk pintu kamar putranya beberapa kali, tapi s
Esok pagi yang dingin sangat dingin, pekerjaan adalah pekerjaan. Arfan harus tetap berangkat ke rumah sakit untuk bekerja, ada pasien yang kritis di rumah sakit sehingga ia harus segera sampai ke tempat kerja pagi ini.Pria itu sangat terburu-buru berjalan menuju pintu keluar hingga melupakan banyak hal. "Arfan, tunggu!" Panggilan Rea menahan langkah kaki Arfan, pria itu menoleh dan melihat Rea datang berlari menghampirinya. "Kamu melupakan mantel dan juga sarapanmu, ini ambillah." Rea memberikan sebuah mantel tebal dan juga kotak makanan kepada pria itu, lantas segera Arfan terima."Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum, Arfan menatap Rea, ingin sekali ia mengecup kening wanita itu seperti layaknya suami dan istri saat akan pergi bekerja, tapi lagi-lagi Arfan harus sadar kalau itu belum bisa ia lakukan."Tunggu apa lagi? Ayo cepat pergi, Fan!" kata Rea membuyarkan lamunan Arfan hingga pria itu tersadar.Pria itu tersenyum dan sedikit mengangguk canggung. "I-iya, Re. Aku pergi dulu,
Kini keduanya sudah berada di satu meja makan yang sama, menikmati makan malam berdua seperti biasa. Setelah selesai Arfan segera meraih gelas dan meminum air putih di dalamnya, begitupun dengan Rea.Arfan kemudian meletakan kembali dan mengambil tissue dari tempatnya untuk menyeka bibir, pria itu lantas menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Apakah kamu sudah memikirkan pembicaraan kita kemarin malam, Re?" Pertanyaan Arfan membuat gerak tangan Rea yang akan membereskan peralatan makan pun berhenti, wanita itu lalu mengangkat pandangan kepada Arfan. "Aku belum siap bertemu dengan Ray, Fan. Aku juga takut kembali ke Indonesia sekarang," jawab Rea seraya menundukan pandangannya.Siapa yang tidak rindu anak? Semua ibu pasti akan sangat merindukan putranya, tapi Rea masih memiliki luka lama dan trauma yang tak kunjung sembuh sampai saat ini. Mendengar hal itu Arfan mengangguk, apa pun itu keputusan Rea, pria itu akan setuju karena ia hanya bisa menasehati saja. "Baiklah, aku tidak aka
"Dengar, Fan. Bibi tidak pernah memaksa Rea untuk memberikan seluruh karyanya kepada bibi. Dia sendiri yang sukarela melakukannya, kan?" Rena Lu tampak kesal kepada keponakannya sendiri saat malam begini Arfan menelefon dan meminta bibinya itu untuk berhenti meminta desain pakaian terbaru dari Rea."Itu karena dia orang yang baik dan tahu caranya balas budi. Akan tetapi, Bibi. Sebuah karya akan lebih baik jangan diakui hak ciptanya, Bibi lebih baik akui jika semua itu adalah milik Rea, bukan milik Bibi--""Arfan! Kamu pikir aku tidak bisa membuat karyaku sendiri, hah! Jadi hanya untuk ini malam-malam menelefonku untuk mengganggu tidurku saja! Dengarkan aku, Fan--"Arfan mengerutkan kening saat omelan bibinya terjeda, yang ternyata di sana Rena Lu mendengar ketukan di pintu. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah pintu tanpa mematikan telefon lebih dulu. "Iya, ada apa kamu datang malam-malam begini, Pengasuh?" tanya Rena Lu dengan nada sedikit ketus karena masih kesal dengan percakapann
Keadaan Rayan saat ini sudah cukup membaik setelah dokter memberikan suppositoria dan infus pada anak kecil itu, kini suhu tubuhnya lebih baik dan dia tampak tertidur pulas.Rena Lu mengusap puncak kepala Rayan lantas tersenyum. "Syukurlah kini kamu sudah membaik, Ray. Nenek lega kamu sudah baik-baik saja," kata Rena Lu pelan, lantas wanita itu pun melangkah menuju sofa, duduk di sana dan melipat kedua tangan di bawah dada.Jam menunjukan tengah malam, wanita paruh baya itu tampak lelah setelah bekerja seharian dan malah sekarang Rayan sakit, terpaksa untuk malam ini Rena Lu akan tidur di rumah sakit menunggui cucunya.Karena lelah Rena Lu akhirnya memejamkan mata, menunggu fajar menyingsing membawa cahaya pagi. Saat di rasa pagi telah tiba, Rena Lu bangun dari tidurnya lantas mengusap wajahnya yang lelah karena semalaman dia tidur berbaring miring di sofa.Rena Lu melihat Rayan masih tertidur, perlahan ia berjalan mendekat dan kembali mengecek suhu tubuh anak kecil itu. Tak lama pint
"Akh!" Jeno sampai berdiri membungkukkan sedikit punggung seraya memegangi dadanya sebelah kiri membuat semua orang juga ikut berdiri dari duduknya.Arya segera memegangi kedua bahu sang Bos dan merasa panik karena Jeno tiba-tiba seperti ini. "Tuan, apa yang terjadi?" tanya Arya cemas, tentu saja semua orang juga panik melihat keadaan Jeno yang demikian di tengah-tengah jalannya meeting.Jeno menggeleng, dia juga tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Mengapa jantungnya berdenyut sangat kuat, dia tidak punya riwayat sakit jantung. Andaipun dia kena serangan jantung, apakah seperti ini sakitnya?Ini terasa sesak, debarannya beda, sulit dijelaskan. Lantas tiba-tiba di benak Jeno memikirkan satu nama, dia tiba-tiba teringat wanita terkasihnya, wanita yang setiap saat ia pikirkan, tapi tak pernah hadir di dalam mimpinya sekali pun.Ya, wanita itu terlalu marah, dia terlalu membencinya!"Rea!" bisik Jeno, pandangannya terangkat dan setetes bening jatuh begitu saja dari sepasang mata e