Esok pagi yang dingin sangat dingin, pekerjaan adalah pekerjaan. Arfan harus tetap berangkat ke rumah sakit untuk bekerja, ada pasien yang kritis di rumah sakit sehingga ia harus segera sampai ke tempat kerja pagi ini.Pria itu sangat terburu-buru berjalan menuju pintu keluar hingga melupakan banyak hal. "Arfan, tunggu!" Panggilan Rea menahan langkah kaki Arfan, pria itu menoleh dan melihat Rea datang berlari menghampirinya. "Kamu melupakan mantel dan juga sarapanmu, ini ambillah." Rea memberikan sebuah mantel tebal dan juga kotak makanan kepada pria itu, lantas segera Arfan terima."Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum, Arfan menatap Rea, ingin sekali ia mengecup kening wanita itu seperti layaknya suami dan istri saat akan pergi bekerja, tapi lagi-lagi Arfan harus sadar kalau itu belum bisa ia lakukan."Tunggu apa lagi? Ayo cepat pergi, Fan!" kata Rea membuyarkan lamunan Arfan hingga pria itu tersadar.Pria itu tersenyum dan sedikit mengangguk canggung. "I-iya, Re. Aku pergi dulu,
Kini keduanya sudah berada di satu meja makan yang sama, menikmati makan malam berdua seperti biasa. Setelah selesai Arfan segera meraih gelas dan meminum air putih di dalamnya, begitupun dengan Rea.Arfan kemudian meletakan kembali dan mengambil tissue dari tempatnya untuk menyeka bibir, pria itu lantas menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Apakah kamu sudah memikirkan pembicaraan kita kemarin malam, Re?" Pertanyaan Arfan membuat gerak tangan Rea yang akan membereskan peralatan makan pun berhenti, wanita itu lalu mengangkat pandangan kepada Arfan. "Aku belum siap bertemu dengan Ray, Fan. Aku juga takut kembali ke Indonesia sekarang," jawab Rea seraya menundukan pandangannya.Siapa yang tidak rindu anak? Semua ibu pasti akan sangat merindukan putranya, tapi Rea masih memiliki luka lama dan trauma yang tak kunjung sembuh sampai saat ini. Mendengar hal itu Arfan mengangguk, apa pun itu keputusan Rea, pria itu akan setuju karena ia hanya bisa menasehati saja. "Baiklah, aku tidak aka
"Dengar, Fan. Bibi tidak pernah memaksa Rea untuk memberikan seluruh karyanya kepada bibi. Dia sendiri yang sukarela melakukannya, kan?" Rena Lu tampak kesal kepada keponakannya sendiri saat malam begini Arfan menelefon dan meminta bibinya itu untuk berhenti meminta desain pakaian terbaru dari Rea."Itu karena dia orang yang baik dan tahu caranya balas budi. Akan tetapi, Bibi. Sebuah karya akan lebih baik jangan diakui hak ciptanya, Bibi lebih baik akui jika semua itu adalah milik Rea, bukan milik Bibi--""Arfan! Kamu pikir aku tidak bisa membuat karyaku sendiri, hah! Jadi hanya untuk ini malam-malam menelefonku untuk mengganggu tidurku saja! Dengarkan aku, Fan--"Arfan mengerutkan kening saat omelan bibinya terjeda, yang ternyata di sana Rena Lu mendengar ketukan di pintu. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah pintu tanpa mematikan telefon lebih dulu. "Iya, ada apa kamu datang malam-malam begini, Pengasuh?" tanya Rena Lu dengan nada sedikit ketus karena masih kesal dengan percakapann
Keadaan Rayan saat ini sudah cukup membaik setelah dokter memberikan suppositoria dan infus pada anak kecil itu, kini suhu tubuhnya lebih baik dan dia tampak tertidur pulas.Rena Lu mengusap puncak kepala Rayan lantas tersenyum. "Syukurlah kini kamu sudah membaik, Ray. Nenek lega kamu sudah baik-baik saja," kata Rena Lu pelan, lantas wanita itu pun melangkah menuju sofa, duduk di sana dan melipat kedua tangan di bawah dada.Jam menunjukan tengah malam, wanita paruh baya itu tampak lelah setelah bekerja seharian dan malah sekarang Rayan sakit, terpaksa untuk malam ini Rena Lu akan tidur di rumah sakit menunggui cucunya.Karena lelah Rena Lu akhirnya memejamkan mata, menunggu fajar menyingsing membawa cahaya pagi. Saat di rasa pagi telah tiba, Rena Lu bangun dari tidurnya lantas mengusap wajahnya yang lelah karena semalaman dia tidur berbaring miring di sofa.Rena Lu melihat Rayan masih tertidur, perlahan ia berjalan mendekat dan kembali mengecek suhu tubuh anak kecil itu. Tak lama pint
"Akh!" Jeno sampai berdiri membungkukkan sedikit punggung seraya memegangi dadanya sebelah kiri membuat semua orang juga ikut berdiri dari duduknya.Arya segera memegangi kedua bahu sang Bos dan merasa panik karena Jeno tiba-tiba seperti ini. "Tuan, apa yang terjadi?" tanya Arya cemas, tentu saja semua orang juga panik melihat keadaan Jeno yang demikian di tengah-tengah jalannya meeting.Jeno menggeleng, dia juga tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Mengapa jantungnya berdenyut sangat kuat, dia tidak punya riwayat sakit jantung. Andaipun dia kena serangan jantung, apakah seperti ini sakitnya?Ini terasa sesak, debarannya beda, sulit dijelaskan. Lantas tiba-tiba di benak Jeno memikirkan satu nama, dia tiba-tiba teringat wanita terkasihnya, wanita yang setiap saat ia pikirkan, tapi tak pernah hadir di dalam mimpinya sekali pun.Ya, wanita itu terlalu marah, dia terlalu membencinya!"Rea!" bisik Jeno, pandangannya terangkat dan setetes bening jatuh begitu saja dari sepasang mata e
Keduanya berjalan menuju pintu, Arfan mengetuk pintu tiga kali dan pembantu rumah yang membukanya. Dia terkejut saat melihat Arfan ada di hadapannya. "Tu-tuan Arfan? Anda ada di sini, ayo silakan masuk," sambutnya ramah, meski ia terlihat shock tapi pembantu rumah tersebut terlihat bahagia karena sang Tuan rumah akhirnya kembali."Terima kasih, Bi," jawab Arfan, pria itu lantas merangkul pundak Rea dan mengajaknya untuk ikut serta.Rea dan Arfan pun masuk ke ruang tamu dan ternyata Rena Lu baru saja menurunkan Rayan dari gendongannya. Iya, mereka juga baru sampai dari rumah sakit. "Siapa yang datang, Bi?" tanya Rena Lu yang membelakangi pintu, saat ia mendudukkan Rayan di sofa wanita paruh baya itu pun menoleh dan terkejut melihat Arfan dan Rea berada di sana.Sepasang mata Rea dan sepasang mata kecil lucu itu pun saling temu, Rea terpaku dalam diam kala memandang manik mata kecil milik Rayan yang jernih dan wajah yang sangat tampan. "Ra-ray!" bisik hati Rea, bibirnya terkatup tak dap
Malam pun tiba, Rayan terlihat sedang ditidurkan oleh pengasuh. Rayan masih dalam proses pemulihan, jadi besok sampai beberapa hari ke depan tidak sekolah dulu. Namun, di balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup itu ada Rea yang tengah mengintip ke dalam. Ingin rasanya ia yang menidurkan Rayan, berbaring di sampingnya dan membacakan buku dongeng. Memeluk dan mencium putranya sampai mereka tertidur bersama.Entah apa yang ada di pikiran Rea dulu, semua seolah terjadi begitu cepat. Hatinya masih terluka, ia baru pulih dari operasi yang ia jalani lalu tak lama ia dinyatakan hamil dari benih pria yang sangat ia benci.Tidak ada jeda sedikit pun, bagi Rea yang masih sensitive benar-benar membuatnya tidak dewasa sama sekali. Kini ia menyesali sikap ketidak dewasaannya itu dulu. Saat ini, dia telah menyadari. Kalau Rayan adalah hidupnya, dia hidup karena bayang Rayan meski ia tak bersamanya selama ini.Jauh di dalam lubuk hati paling dalam dari seorang Ibu iyalah, ingin melihat putranya tum
Pagi yang cerah, sehabis sarapan Rea hanya duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya. Wanita itu memegangi sebuah bingkai foto, di mana ada potret dirinya dan Rayan saat bayi.Rea mengelus gambar itu, senyumnya terukir meski air mata juga ikut mengiringi. Rayan kini ada begitu nyata di hadapannya, tapi dia takut untuk mendekat. Beberapa waktu berlalu Rea hanyut dalam lamunan, wanita itu mendengar suara tawa dari bawah.Wanita itu lantas berdiri dan melihat ke arah taman di bawah sana, terlihat Rayan sedang bermain bola dengan Arfan. Rea tersenyum melihatnya, ingin rasanya dia juga ke sana untuk bergabung.Arfan mendunga melihat Rea di balkon kamarnya, pria itu lantas berseru memanggil wanita itu. "Rea! Kemarilah, kita bermain bersama!"Rayan juga menatap Rea, wanita itu juga memandang Rayan. Dua pasang mata itu saling pandang, Rea tidak tahu apa yang ada di pikiran anak kecil itu. Dia tidak tersenyum atau apa pun, Rayan hanya diam memandanginya saja.Rea jadi ragu, dia harus turun at
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama