"Dengar, Fan. Bibi tidak pernah memaksa Rea untuk memberikan seluruh karyanya kepada bibi. Dia sendiri yang sukarela melakukannya, kan?" Rena Lu tampak kesal kepada keponakannya sendiri saat malam begini Arfan menelefon dan meminta bibinya itu untuk berhenti meminta desain pakaian terbaru dari Rea."Itu karena dia orang yang baik dan tahu caranya balas budi. Akan tetapi, Bibi. Sebuah karya akan lebih baik jangan diakui hak ciptanya, Bibi lebih baik akui jika semua itu adalah milik Rea, bukan milik Bibi--""Arfan! Kamu pikir aku tidak bisa membuat karyaku sendiri, hah! Jadi hanya untuk ini malam-malam menelefonku untuk mengganggu tidurku saja! Dengarkan aku, Fan--"Arfan mengerutkan kening saat omelan bibinya terjeda, yang ternyata di sana Rena Lu mendengar ketukan di pintu. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah pintu tanpa mematikan telefon lebih dulu. "Iya, ada apa kamu datang malam-malam begini, Pengasuh?" tanya Rena Lu dengan nada sedikit ketus karena masih kesal dengan percakapann
Keadaan Rayan saat ini sudah cukup membaik setelah dokter memberikan suppositoria dan infus pada anak kecil itu, kini suhu tubuhnya lebih baik dan dia tampak tertidur pulas.Rena Lu mengusap puncak kepala Rayan lantas tersenyum. "Syukurlah kini kamu sudah membaik, Ray. Nenek lega kamu sudah baik-baik saja," kata Rena Lu pelan, lantas wanita itu pun melangkah menuju sofa, duduk di sana dan melipat kedua tangan di bawah dada.Jam menunjukan tengah malam, wanita paruh baya itu tampak lelah setelah bekerja seharian dan malah sekarang Rayan sakit, terpaksa untuk malam ini Rena Lu akan tidur di rumah sakit menunggui cucunya.Karena lelah Rena Lu akhirnya memejamkan mata, menunggu fajar menyingsing membawa cahaya pagi. Saat di rasa pagi telah tiba, Rena Lu bangun dari tidurnya lantas mengusap wajahnya yang lelah karena semalaman dia tidur berbaring miring di sofa.Rena Lu melihat Rayan masih tertidur, perlahan ia berjalan mendekat dan kembali mengecek suhu tubuh anak kecil itu. Tak lama pint
"Akh!" Jeno sampai berdiri membungkukkan sedikit punggung seraya memegangi dadanya sebelah kiri membuat semua orang juga ikut berdiri dari duduknya.Arya segera memegangi kedua bahu sang Bos dan merasa panik karena Jeno tiba-tiba seperti ini. "Tuan, apa yang terjadi?" tanya Arya cemas, tentu saja semua orang juga panik melihat keadaan Jeno yang demikian di tengah-tengah jalannya meeting.Jeno menggeleng, dia juga tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Mengapa jantungnya berdenyut sangat kuat, dia tidak punya riwayat sakit jantung. Andaipun dia kena serangan jantung, apakah seperti ini sakitnya?Ini terasa sesak, debarannya beda, sulit dijelaskan. Lantas tiba-tiba di benak Jeno memikirkan satu nama, dia tiba-tiba teringat wanita terkasihnya, wanita yang setiap saat ia pikirkan, tapi tak pernah hadir di dalam mimpinya sekali pun.Ya, wanita itu terlalu marah, dia terlalu membencinya!"Rea!" bisik Jeno, pandangannya terangkat dan setetes bening jatuh begitu saja dari sepasang mata e
Keduanya berjalan menuju pintu, Arfan mengetuk pintu tiga kali dan pembantu rumah yang membukanya. Dia terkejut saat melihat Arfan ada di hadapannya. "Tu-tuan Arfan? Anda ada di sini, ayo silakan masuk," sambutnya ramah, meski ia terlihat shock tapi pembantu rumah tersebut terlihat bahagia karena sang Tuan rumah akhirnya kembali."Terima kasih, Bi," jawab Arfan, pria itu lantas merangkul pundak Rea dan mengajaknya untuk ikut serta.Rea dan Arfan pun masuk ke ruang tamu dan ternyata Rena Lu baru saja menurunkan Rayan dari gendongannya. Iya, mereka juga baru sampai dari rumah sakit. "Siapa yang datang, Bi?" tanya Rena Lu yang membelakangi pintu, saat ia mendudukkan Rayan di sofa wanita paruh baya itu pun menoleh dan terkejut melihat Arfan dan Rea berada di sana.Sepasang mata Rea dan sepasang mata kecil lucu itu pun saling temu, Rea terpaku dalam diam kala memandang manik mata kecil milik Rayan yang jernih dan wajah yang sangat tampan. "Ra-ray!" bisik hati Rea, bibirnya terkatup tak dap
Malam pun tiba, Rayan terlihat sedang ditidurkan oleh pengasuh. Rayan masih dalam proses pemulihan, jadi besok sampai beberapa hari ke depan tidak sekolah dulu. Namun, di balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup itu ada Rea yang tengah mengintip ke dalam. Ingin rasanya ia yang menidurkan Rayan, berbaring di sampingnya dan membacakan buku dongeng. Memeluk dan mencium putranya sampai mereka tertidur bersama.Entah apa yang ada di pikiran Rea dulu, semua seolah terjadi begitu cepat. Hatinya masih terluka, ia baru pulih dari operasi yang ia jalani lalu tak lama ia dinyatakan hamil dari benih pria yang sangat ia benci.Tidak ada jeda sedikit pun, bagi Rea yang masih sensitive benar-benar membuatnya tidak dewasa sama sekali. Kini ia menyesali sikap ketidak dewasaannya itu dulu. Saat ini, dia telah menyadari. Kalau Rayan adalah hidupnya, dia hidup karena bayang Rayan meski ia tak bersamanya selama ini.Jauh di dalam lubuk hati paling dalam dari seorang Ibu iyalah, ingin melihat putranya tum
Pagi yang cerah, sehabis sarapan Rea hanya duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya. Wanita itu memegangi sebuah bingkai foto, di mana ada potret dirinya dan Rayan saat bayi.Rea mengelus gambar itu, senyumnya terukir meski air mata juga ikut mengiringi. Rayan kini ada begitu nyata di hadapannya, tapi dia takut untuk mendekat. Beberapa waktu berlalu Rea hanyut dalam lamunan, wanita itu mendengar suara tawa dari bawah.Wanita itu lantas berdiri dan melihat ke arah taman di bawah sana, terlihat Rayan sedang bermain bola dengan Arfan. Rea tersenyum melihatnya, ingin rasanya dia juga ke sana untuk bergabung.Arfan mendunga melihat Rea di balkon kamarnya, pria itu lantas berseru memanggil wanita itu. "Rea! Kemarilah, kita bermain bersama!"Rayan juga menatap Rea, wanita itu juga memandang Rayan. Dua pasang mata itu saling pandang, Rea tidak tahu apa yang ada di pikiran anak kecil itu. Dia tidak tersenyum atau apa pun, Rayan hanya diam memandanginya saja.Rea jadi ragu, dia harus turun at
Rea pun menurut, wanita itu turun lebih dulu dan barulah Rayan. Dilihatnya anak nakal itu dicium oleh sang Mama lantas melambaikan tangan saat hendak meninggalkan. "Bye, Vero! Belajar yang baik, Love you!" seru sang Mama dari anak nakal itu.Ya, semua itu tidak lepas dari perhatian Rayan. Rea bingung apa yang sedang diperhatikan sang Putra. Sampai ia melihat ke arah mana pandangan anak kecil itu tertuju. Hati Rea seperti dicubit sesuatu, dia berpikir apakah Rayan merasa iri pada temannya?Ya Tuhan!Rea menatap putranya kembali dengan sedih, ingin rasanya ia memeluk Rayan dan mengatakan 'aku ibumu, jangan iri, karena kamu juga punya ibu' tapi Rea tidak mungkin mengatakan itu semua. Dia takut Rayan malah justru kecewa karena kenapa ibunya baru muncul sekarang? Bukankah seorang Ibu harusnya tetap ada bersama anaknya? Lalu kenapa ibunya malah baru datang? Ke mana saja? Apakah dia ditinggalkan? Atau dia dibuang?Ya, Rea takut anak kecil itu berpikiran buruk, dan akan memperkeruh situasi.A
Rea, Rayan dan pengasuh naik eskalator ke lantai dua mall. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran pizza, ketiganya pun masuk dan Rea memesan."Nyonya, Tuan Rey ingin berjalan-jalan dulu," kata Pengasuh menyampaikan keinginan anak asuhnya itu.Rea yang berada di depan pelayan pun menoleh. "Pesanannya mungkin akan sedikit lama datang. Kalau begitu tolong temani Ray bermain dulu, hati-hati jaga dia. Aku akan cari kalian jika pesanan sudah siap," jawab Rea.Pengasuh pun mengangguk seraya tersenyum. "Baik, Nyonya," jawabnya lantas menoleh pada Rayan. "Ayo, Tuan Ray," ajaknya mengulurkan tangan.Rayan pun mengangguk dan menyambut uluran tangan pengasuhnya, mereka lalu berjalan keluar restoran dan Rea tersenyum melihatnya. "Jadi, ini sudah pesanannya, Nyonya?" tanya Pelayan.Rea menoleh dan mengangguk. "Iya, sudah," jawabnya."Baik, mohon ditunggu beberapa waktu, Nyonya," pinta Pelayan dengan suara dan senyuman ramah.Rea mengangguk dan berjalan ke salah satu meja yang kosong. W