Bab 5 Mencintai Dengan Segenap Hati
“Bagaimana kalau aku mencintai Teala, lebih besar dari yang kalian tahu?”
Ucapan marvin membuat Jenandra menoleh dengan cepat. Ada ekspresi tidak suka di wajah pria itu. Jenandra terang-terangan menampilkan raut wajah kesal sekaligus marah dan hal itu membuat Marvin mengerutkan kening heran.
“Ada apa? Kau tidak menyukainya? Bukankah menyenangkan kalau aku bisa bersama dengan Teala? Jadi kita bisa melakukan kencan ganda seperti yang Yasha ucapkan,” ujar Marvin.
Menyadari hal itu membuat Jenandra melengos. Menghindari tatapan menuntut dari Marvin. Sebab, ia sendiri tidak mengerti, mengapa ada perasaan tidak suka saat Marvin mengatakan bahwa pria itu begitu mencintai Teala.
“Bukan begitu. Aku hanya terkejut karena selama ini kau selalu mengelak setiap kali Yasha memintamu mendekati Teala secara pasti. Aku pikir kau tidak memiliki perasaan apa pun dengan Teala. Jadi, aku terkejut waktu kau mengatakan kalau kau mencintainya sebegitu besar,” elak Jenandra.
“Aku tidak pernah mengatakan kalau aku tidak menyukai Teala. Namun, gadis itu yang tidak pernah menanggapi ucapan Yasha. Hal itu membuatku sadar kalau bukan aku yang dia inginkan,” jawab Marvin.
“Maksudmu, Teala menyukai orang lain?” tanya Jenandra.
“Entah dia menyukai orang lain atau dia memang hanya tidak ingin denganku, aku tidak tahu. Aku hanya mencintainya, selebihnya, tentang perasaannya, itu bukan tanggung jawabku.” Marvin menyesap soda di genggamannya. Sementara Jenandra memikirkan ucapan sahabatnya tersebut. Menerka apakah Teala menyukai orang lain atau memang tidak ingin menjalin hubungan dengan Marvin.
“Jen, bagaimana persiapan pernikahanmu dengan Yasha?” tanya Marvin mencoba mencairkan suasana.
“Sudah selesai. Kami tinggal mengambil undangan saja dan menyebarkannya. Setelah itu tidak ada lagi. Cincin, gaun, makanan, suvenir, semuanya sudah siap,” jelas Jenandra.
“Syukurlah. Semoga kedepannya nanti semuanya lancar. Aku harap Yasha tidak mendadak kesal karena alasan sepele lagi karena dia mudah sekali kesal dan tidak memberikan kesempatan kedua,” kekeh Marvin yang dianggukki Jenandra.
“Sangat berbeda dengan Teala. Gadis itu akan kesal sebentar, tapi tetap melakukan tugasnya dengan profesional,” tutur Jenandra.
“Karena Teala adalah orang yang sangat tidak enakan,” lanjut Marvin.
Kedua pria tersebut melanjutkan obrolan hingga pukul tiga pagi. Mengulang kembali cerita lama saat mereka masih SMA. Sampai akhirnya Jenandra sampai pada separuh perjalanan hidupnya untuk menikahi orang yang sangat dicintainya. Marvin begitu bahagia. Ia merasa terharu sudah melewati banyak hal dengan sahabatnya tersebut dan tidak ada doa paling baik yang ia panjatkan selain kebahagiaan Jenandra.
***
Keesokan paginya, Jenandra datang ke rumah Yasha karena mereka akan mengambil undangan.
Jenandra bisa melihat Teala sudah duduk di depan laptop dengan segelas susu di sampingnya. Gadis itu tampak serius hingga abai dengan kehadiran Jenandra.
“Jenan, sudah sarapan belum? Kalau belum makan dulu. Itu Yasha sedang sarapan karena bangun kesiangan,” ucap Safa.
“Sudah, Ma. Aku sudah makan di rumah. Yasha pasti capek karena kemarin pulang hingga larut,” bela Jenandra. Lelaki itu sesekali melirik ke arah Teala yang kini tangan kanannya sibuk memegang wafer.
“Tea sedang sibuk sekali ya Ma sepertinya,” lanjutnya.
“Iya, Tea kalau hari kerja dan tidak keluar ya begitu. Pagi-pagi setelah selesai pekerjaan rumah pasti langsung di depan laptop. Menghitung hasil penjualan, melihat email masuk, apa pun dikerjakan. Kalau sudah sakit, baru istirahat,” ujar Safa.
“Tea, sarapan dulu,” lanjut Safa.
“Sebentar, Ma,” jawab Teala tanpa menoleh.
“Tea,” panggil Jenandra dan berhasil mengejutkan gadis itu.
“Astaga, aku kira siapa,” jawab gadis itu.
“Serius sekali pagi-pagi. Makan dulu nanti makin kurus,” tutur Jenandra.
“Aku baru menghabiskan susu dan makan satu toples wafer kalau kau belum lihat. Mana mungkin bisa sarapan,” jawab gadis itu.
“Jangan sering melewatkan sarapan. Nanti tenaga kamu hilang,” peringat Jenandra.
“Iya, kakak ipar,” sahut Teala.
“Kamu sibuk apa? Sampai aku datang saja tidak sadar,” tanya Jenandra.
“Aku sedang melihat konsep dan gaun yang dikirim Marvin. Besok kami sudah mulai pemotretan. Jadi, aku harus cepat mempersiapkan diri juga,” jelas Teala.
“Bukankah Marvin baru menerima portofoliomu semalam? Kenapa secepat itu?” heran Jenandra.
“Pemilik tokonya sudah setuju aku yang menjadi model. Dia meminta portofolioku hanya untuk menyusun konsep saja. Jadi, pagi ini, begitu portofolioku masuk, pemilik toko mengabari bahwa besok sudah siap pemotretan,” tutur Teala.
“Kamu mengatakan toko seolah brand yang akan bekerjasama denganmu hanya label biasa,” decih Jenandra.
“Kalau sudah masuk produksi ya tetap namanya toko, bukan? Mau dia label besar atau kecil, namanya tetap toko. Oke, aku ganti supaya lebih keren. Store, bagaimana?” sahut Teala yang membuat Jenandra terkekeh.
“Baik, toko saja.”
Teala berdecih sekilas kemudian melihat kakaknya yang tampak sedang sibuk mencari sesuatu.
“Kak, cari apa?” tanya Teala.
“Tea, kamu lihat tas tangan milikku, tidak?”
“Kakak meninggalkannya di rumah Tante. Pakai punyaku saja, ambil di kamar,” jawab Teala dan segera dianggukki Yasha. Gadis itu menggeleng kecil melihat kelakuan kakaknya.
“Kak Yasha itu senang meletakkan barang-barang semaunya, kemudian lupa meletakkan barang itu di mana. Jadi, kalau kalian menikah nanti, pastikan Kak Yasha meletakan barang miliknya di tempat semula. Dia akan marah-marah dan kesal seharian kalau barangnya tidak ditemukan, padahal dia sendiri yang melupakannya,” ujarnya.
“Jenan, ayo berangkat,” ajak Yasha.
“Tea, kamu tidak ikut?” lanjutnya.
“Tidak, Kak. Aku harus ke toko juga setelah ini,” jawab Teala.
“Baiklah. Ayo, Jenan, sudah siang,” Yasha berujar kembali.
Pria itu berpamitan pada Safa dan Teala sekilas sebelum menuju mobilnya. Sepasang kekasih tersebut meninggalkan pelataran rumah keluarga Safa.
Menghela napas panjang, Teala menepuk-nepuk pelan dadanya, mencoba menenangkan diri. Rasanya masih begitu sakit dan ia belum terbiasa. Walaupun sudah berusaha dengan maksimal bahwa ia bisa, kenyataannya, Teala belum sekuat itu.
Menatap layar laptopnya dengan pandangan datar, Teala kembali menghela napas panjang. Ia harus benar-benar membiasakan diri atau hatinya akan semakin sulit dikendalikan.
“Nak,” panggil Safa.
Teala menoleh dan melihat mamanya duduk di hadapannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Kamu benar-benar belum punya kekasih?” tanya Safa yang membuat kening Teala berkerut samar.
“Belum, kenapa, Ma?” Teala balas bertanya.
Safa terdiam cukup lama, kemudian kembali menghembuskan napas singkat.
“Apa pun yang kamu lakukan, Mama selalu mendukungmu. Kamu tahu itu, ‘kan? Mama tidak pernah melarang kamu melakukan apa yang kamu inginkan, tapi, Nak, kamu juga harus mementingkan kebahagiaan dan perasaanmu karena selama ini, Mama hanya melihat kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaan orang lain,” ujar Safa.
Teala tidak menjawab. Ia memilih diam karena apa yang dikatakan mamanya adalah benar.
“Sayang, seandainya ada seseorang atau sesuatu yang kamu inginkan, maka dapatkan. Dapatkan untukmu dan untuk kebahagiaanmu. Sesekali menjadi egois dengan hanya fokus pada diri sendiri bukan kesalahan. Kamu berhak atas semua itu,” lanjut perempuan paruh baya tersebut.
“Tea, kamu menyukai Jenandra, bukan?”
Bab 6 Persoalan Rasa“Tea, kamu menyukai Jenandra, bukan?”Teala tersentak mendengar pertanyaan mamanya. Gadis itu menatap wajah perempuan paruh baya di depannya tersebut dengan pandangan penuh tanya.“Sayang, kalau kamu lupa, seumur hidup kamu, Mama selalu bersamamu. Mama tahu apa yang kamu suka dan tidak suka. Apa yang kamu rasakan dan apa yang sebenarnya kamu pilih. Tatapan mata yang kamu berikan pada Jenandra jelas berbeda dengan tatapan yang kamu berikan pada Marvin. Mungkin orang lain tidak paham, tapi Mama sangat tahu,” jelas Safa.“Mama, aku memang menyukai Jenandra, tapi tidak pernah ada sedikit pun pikiran untuk merebutnya. Aku juga sudah merancang kedepannya nanti. Setelah pernikahan mereka, aku akan menjauh karena dengan begitu, aku yakin aku bisa melupakannya. Walaupun butuh waktu yang tidak sebentar, aku yakin aku bisa melepaskannya,” jujur Teala.“Nak, kenapa kamu selalu mend
Bab 7 Tentang Perasaan Kita“Tea, kamu sangat cantik.”Teala mendongak mendengar ucapan Marvin. Keduanya sempat saling bertatapan sebentar sebelum Teala akhirnya tertawa kecil.“Terima kasih pujiannya, Tuan Marvin.”Marvin ikut tertawa kecil. Padahal pria itu serius mengatakannya namun Teala menganggapnya sebagai candaan.“Besok jemput aku, ya?” pinta Teala.“Tentu saja. Mana mungkin aku meninggalkan modelku sendirian. Kalau ada yang menculikmu bagaimana? Aku bisa rugi karena harus mencari model pengganti dan sudah pasti harus kena amuk pemilik butik,” jawab Marvin yang membuat Teala berdecih.“Ujung-ujungnya uang juga.”“Tentu saja. Hidup ini sebagian besar dikendalikan oleh uang, Tea. Nomor dua baru cinta. Kita tidak bisa menyangkal bahwa seseorang akan mudah tertarik diberi uang dibanding ditawari cinta. Seorang pria akan mudah diterima lamara
Bab 8 I Know Your Feeling“Maaf, Marvin.”Teala masuk ke dalam kamarnya kemudian merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, sementara isi kepalanya berjalan-jalan entah ke mana.Teala tahu bahwa Marvin menyukainya atau mungkin mencintainya, tapi gadis itu tidak bisa. Perasaannya kepada Marvin tidak pernah lebih dari sekadar perasaan antar sahabat. Baginya, Marvin adalah sahabat terbaik yang ia punya dan itu cukup. Teala tidak pernah bisa mencintai Marvin lebih dari itu.Perlakuan, tatapan mata, hingga bagaimana Marvin selalu ada di sisinya seringkali membuat Teala merasakan rasa bersalah teramat besar. Hatinya bagai dihantam tiap melihat senyum tulus dari pria itu.Menghela napas panjang, Teala memilih mencuci wajah dan segera beristirahat karena besok ia harus mulai bekerja. Namun, saat gadis itu hendak naik ke tempat tidur, ketukkan pada pintu kamarnya membuat Teala urung mengistirahatkan
Teala berpamitan kepada mama dan kakaknya sebelum masuk ke dalam kendaraan roda empat milik Marvin yang sudah terparkir di depan gerbang rumahnya. Gadis itu menyapa Marvin sebentar sebelum memakai sabuk pengaman dan mereka segera menuju tempat pemotretan.Begitu sampai di tempat, Teala dengan cekatan menyapa beberapa staf yang bekerja sebelum berganti pakaian. Gadis itu dengan cepat menjadi dekat dengan tim Marvin karena keramahannya. Ia mulai melaksanakan pemotretan setelah selesai dirias.Banyak yang mengagumi kecantikan Teala dan bagaimana gadis itu memberikan banyak referensi gaya yang tidak monoton namun tetap berkelas, sehingga produk yang dibawakannya tetap muncul dan menjadi titik pusatnya.Gadis itu memberikan pose maksimal hingga pemotretan tersebut berlangsung dengan lancar dan cepat.Setelah jam makan siang tiba, Teala menyampaikan kepada Marvin bahwa dia yang akan membawa makan siang. Gadis itu sudah mempersiapkannya kemarin dengan meminta to
“Kamu baik-baik saja?”Teala mengangguk kecil, kemudian mendekat pada Jenandra.“Ada apa? Kenapa sampai menyusulku kemari?” heran Teala.“Mama menyuruhku untuk memanggilmu karena kamu cukup lama berada di kamar,” jawab Jenandra.Teala mengangguk dan segera mengambil ponselnya dari atas nakas, lantas mengajak Jenandra untuk turun dan bergabung bersama yang lain. Namun, belum sempat menuruni tangga, Jenandra lebih dulu menahan lengan gadis itu, membuat Teala menatapnya dengan kening berkerut heran.“Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu boleh bercerita denganku,” ucap Jenandra.Mendengarnya membuat Teala tersenyum. Senyum yang begitu tulus dan manis. Gadis itu mengangguk kecil, menatap Jenandra dengan mata teduhnya. “Terima kasih kakak ipar. Kak Yasha begitu beruntung mendapatkanmu,” ujarnya.Keduanya bergabung dengan Safa dan Yasha yang tampak sibuk mengobrol di depan tele
“Tea, apa kamu sudah merelakanya?” Teala tidak langsung menjawab pertanyaan mamanya. Gadis itu memilih menatap lurus pada meja di hadapannya. Menghela napas panjang, Teala mulai bersuara. “Aku sudah merelakannya sejak pertamakali aku sadar akan perasaanku, Ma. Aku benar-benar tahu kalau aku tidak akan mendapat kesempatan dan tidak memiliki hak untuk menyukainya terlalu banyak.” “Tapi kamu berhak dicintai,” sela sang mama. “Tapi bukan aku yang dia cintai,” balas Teala. “Bagaimana kalau kamu yang dia cintai?” tanya Safa. “Kalaupun benar begitu, jika situasinya sekarang, aku tetap tidak akan menerimanya, Ma,” jawab Teala yakin. “Apa yang kalian bicarakan? Sepertinya serius sekali.” Yasha masuk dan bergabung bersama mama serta adiknya yang tampak berbincang serius. Gadis itu duduk di sofa, di samping mamanya, menatap ke arah Teala, berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. “Tidak ada. Aku dan mama hanya sedan
“Semangat untuk hari ini, ya?”Baik Teala atau Marvin, menatap Jenandra dengan pandangan tidak dapat diartikan. Namun, menyadari situasinya sekarang, Teala segera tersenyum menatap calon kakak iparnya tersebut.“Terima kasih, Jenan,” jawabnya sebelum masuk ke dalam mobil Marvin.Dua kendaraan roda empat tersebut meninggalkan pelataran rumah Teala. Tidak ada yang bersuara antara Marvin atau Teala. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing, hingga mereka sampai di lokasi pemotretan.Teala segera pamit pada Marvin dan mereka mulai fokus dengan bagian masing-masing.Teala melihat pantulan dirinya di cermin. Membiarkan rambutnya disambung untuk keperluan pemotretan. Eyeliner menghiasi matanya dan perias sengaja menambahkan freckle pada wajah Teala. Setelahnya, ia mengenakan gaun yang sangat pas di tubuhnya. Gaun berkerah rendah yang menampilkan dada putih gadis itu.Baret menjadi pelengkap terakhir riasan Tea
“Tea, kamu sangat cantik.”Semua orang yang ada di tempat tersebut menatap ke arah Jenan. Termasuk Yasha yang saat ini sudah menatap calon suaminya dengan alis bertaut dalam.“Tea emang cantik. Itu kenapa dia bisa menjadi model,” ucap Marvin mencoba memecah keheningan.“Sebenarnya menjadi model tidak cukup dengan cantik saja, ‘kan?” lanjut Teala.“Ayo, kita pergi makan malam dan segera istirahat. Besok masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan, Kak Yasha juga harus segera istirahat supaya tidak sakit menjelang hari pernikahan.” Teala mencoba mengalihkan topik obrolan yang mendadak membuat mereka canggung.Akhirnya, Marvin, Teala, Yasha, dan Jenandra menuju kendaraan masing-masing dan segera pergi ke salahsatu restoran favorit Teala. Gadis itu turun dari mobil dan berjalan berdampingan dengan Marvin, sementara Yasha dan Jenandra menyusul di belakangnya.Begitu masuk dan mendapatkan temp