“Semangat untuk hari ini, ya?”
Baik Teala atau Marvin, menatap Jenandra dengan pandangan tidak dapat diartikan. Namun, menyadari situasinya sekarang, Teala segera tersenyum menatap calon kakak iparnya tersebut.
“Terima kasih, Jenan,” jawabnya sebelum masuk ke dalam mobil Marvin.
Dua kendaraan roda empat tersebut meninggalkan pelataran rumah Teala. Tidak ada yang bersuara antara Marvin atau Teala. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing, hingga mereka sampai di lokasi pemotretan.
Teala segera pamit pada Marvin dan mereka mulai fokus dengan bagian masing-masing.
Teala melihat pantulan dirinya di cermin. Membiarkan rambutnya disambung untuk keperluan pemotretan. Eyeliner menghiasi matanya dan perias sengaja menambahkan freckle pada wajah Teala. Setelahnya, ia mengenakan gaun yang sangat pas di tubuhnya. Gaun berkerah rendah yang menampilkan dada putih gadis itu.
Baret menjadi pelengkap terakhir riasan Tea
“Tea, kamu sangat cantik.”Semua orang yang ada di tempat tersebut menatap ke arah Jenan. Termasuk Yasha yang saat ini sudah menatap calon suaminya dengan alis bertaut dalam.“Tea emang cantik. Itu kenapa dia bisa menjadi model,” ucap Marvin mencoba memecah keheningan.“Sebenarnya menjadi model tidak cukup dengan cantik saja, ‘kan?” lanjut Teala.“Ayo, kita pergi makan malam dan segera istirahat. Besok masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan, Kak Yasha juga harus segera istirahat supaya tidak sakit menjelang hari pernikahan.” Teala mencoba mengalihkan topik obrolan yang mendadak membuat mereka canggung.Akhirnya, Marvin, Teala, Yasha, dan Jenandra menuju kendaraan masing-masing dan segera pergi ke salahsatu restoran favorit Teala. Gadis itu turun dari mobil dan berjalan berdampingan dengan Marvin, sementara Yasha dan Jenandra menyusul di belakangnya.Begitu masuk dan mendapatkan temp
“Tea, kamu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.” Teala menoleh kala rungunya mendengar Marvin bergumam, meski tidak jelas kalimat apa yang disampaikan pria itu.“Marvin, kamu mengatakan sesuatu?” tanyanya.“Tidak ada. Ayo, kembali ke meja kita selesaikan makananmu yang sudah dingin dan setelah itu pulang. Besok masih ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan,” ajak Marvin dan dianggukki oleh Teala.Keduanya kembali ke meja mereka dan melanjutkan acara makan malam yang sempat tertunda. Segera beranjak begitu selesai dan Marvin serta Jenandra mengantar kakak-beradik tersebut ke rumah masing-masing.Begitu sampai di rumah, Teala melambai singkat pada sahabatnya kemudian masuk, mengabaikan Jenandra yang tengah berbincang dengan mama dan kakaknya setelah dipersilakan masuk. Gadis itu ingin segera istirahat, sebab badannya cukup lelah. Belum lagi, ia berencana bangun sedikit lebih pagi agar bisa
“Yasha, apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu?”Yasha merasa terusik dengan usapan Jenandra. Gadis itu membuka mata dan langsung dihadiahi senyum manis kekasihnya. Ia ikut tersenyum sembari menatap wajah Jenandra, sebelum kembali menyamankan diri dan memejamkan mata, nyaman dengan usapan lembut di kepalanya.“Bangun, Sayang. Sudah siang. Kamu bilang mau ke kantor,” ujar Jenandra lembut.“Sebentar lagi, lima menit,” gumam Yasha.Jenandra tidak merespon, ia masih setia mengusap surai kekasihnya, hingga lima menit kemudian Yasha benar-benar membuka matanya.Gadis itu duduk dan memeluk Jenandra dengan nyaman, mendusel di leher pria itu, membuat Jenandra tersenyum simpul dan mengusap punggung sempit calon istrinya.“Kamu sudah lama datang?” tanya Yasha.“Sudah. Aku mengantar Bunda untuk membantu Mama membuat bento,” jawab Jenandra.Yasha mengangguk paham, kemu
“Tea, berangkat denganku saja.”Baik Marvin maupun Teala sepenuhnya menoleh setelah mendengar suara Jenandra. Keduanya menatap bingung pada pria itu.“Supaya Marvin bisa dengan yang lain. Maksudku kalau kamu denganku, nanti sekalian pulangnya aku mau ke rumah kamu,” lanjut Jenandra setelah menyadari kecanggungan ketiganya.“Aku yang menjemputnya di rumah, jadi aku yang akan mengantarkannya pulang,” jawab Marvin dengan sorot datarnya.“Ayo, berangkat. Kita sudah ditunggu yang lain. Aku dengan Marvin saja, Jen,” ucap Teala memotong perdebatan mereka.Teala menarik pergelangan tangan Marvin pelan, mengajak pria itu agar segera pergi, sementara Jenandra masih berdiri di tempatya, menatap Teala yang sudah berlalu dari hadapannya.Begitu sampai di restoran, mereka segera memesan makanan. Sembari menunggu, obrolan ringan keluar dari mulut masing-masing, memenuhi meja tersebut.Teala tampak asik
“Tea, istirahatlah. Kamu kelelahan.”Teala menoleh ke arah sang mama. Ia tersenyum simpul dengan kedua mata setengah terpejam.“Tidak apa, Ma, aku—““Kamu kelelahan. Istirahat sekarang jika tidak ingin berakhir di rumah sakit lagi. Kalian bisa membahasnya besok pagi atau Yasha bisa membahasnya dengan Jenandra saja dan menyampaikan konsepnya esok.” Safa menatap tegas pada putrinya.Menghela napas panjang, Teala akhirnya mengalah. Ia bangkit dari tempatnya dan menghampiri sang mama. “Maaf, Kak. Aku lanjut besok, ya. Mataku berat sekali,” ujar gadis itu.“Selamat malam, nyonya besar,” lanjut Teala sembari mengecup pipi mamanya.Setelahnya, Teala beranjak ke kamar dan memejamkan mata. Rasanya begitu lega saat punggungnya yang pegal menyentuh tempat tidur. Ia sudah tidak peduli dengan pembahasan yang ada di lantai satu. Ia bahkan tidak tahu, kalau sekarang, Safa tengah menatap Yash
“Aku membencimu, Tea.”Yasha menatap pintu kamarnya yang tertutup. Matanya menunjukkan sorot tajam dan datar namun ada sebersit kebencian di dalamnya. Yasha akui, ia memiliki tempat tersendiri untuk membenci adiknya.Teala selalu mendapat perhatian dan pujian lebih dari semua orang. Orang tua dan keluarga besarnya selalu memuji pencapaian Teala. Pintar, catik, sopan, rendah hati, berteman dengan semua orang. Semua hal baik ada pada Teala dan Yasha tidak suka.Orang-orang menganggapnya manja dan cerewet. Mereka tidak melihat pencapaiannya. Padahal Yasha tidak kalah berprestasi dengan Teala. Ia berhasil menulis banyak lirik lagu dan menjadi penyanyi yang menerima banyak penghargaan. Namun, semua orang hanya melihat Teala dan Yasha benci fakta itu.Dulu, mamanya menjadi satu-satunya orang yang akan membelanya namun setelah kematian sang papa, mamanya ikut membela Teala.Yasha begitu kesal dan marah. Ia ingin berteriak dan mengatakan kepada
“Jika bisa meminta, aku tidak ingin kamu sebagai adikku, Teala.”Teala tersentak di tempatnya, gadis itu membelalakkan mata, hampir tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Telinganya berdengung, ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar hanya salah paham dan karenanya, Teala mendongak, menatap tepat ke arah Yasha. Namun, balasan mata Yasha yang dingin membuat Teala urung bertanya, sebab ia pikir, ia sudah mengetahui jawabannya.Yasha bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Teala yang masih terdiam di tempatnya. Ia sama sekali masih belum percaya. Badannya gemetar dan dadanya terasa sesak. Masih mencoba menyangkal bahwa yang di dengarnya tadi buka kenyataannya.“Tea, ayo mulai lagi,” ucap Marvin sembari menepuk pelan bahu Teala yang membuat gadis itu tersentak kaget. Bahkan Marvin sempat heran, mengapa Teala bisa sampai seterkejut itu hanya dengan tepukkan pelan di bahunya.“Ah, iya, maaf. Ayo, kita mulai lagi dan seger
“Tea, apa ada yang membuatmu tidak nyaman?”Pertanyaan Jenandra membuat Teala dan Marvin menoleh pada pria itu. Teala diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, menggeleng kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Jenandra.“Kalian pesan apa, aku sudah sangat lapar,” ucap Yasha membuyarkan lamunan ketiganya.“Tea, jangan mie, ya. Kamu makan daging saja dan sup,” ujar Marvin yang dibalas anggukkan oleh gadis itu.Teala memilih diam sembari menunggu pesanan mereka datang. Menjadi pendengar atas cerita kakaknya dan Jenandra yan tampak sangat menyenangkan. Matanya memanas saat kembali teringat dengan ucapan Yasha beberapa jam lalu. Bahkan, hingga pesanan mereka tersaji di meja, Teala memilih diam. Hanya menanggapi Marvin dengan gelengan atau anggukkan.Sampai waktu pulang tiba, Marvin menggenggam tangan Teala tanpa canggung. Abai pada tatapan bertanya Jenandra dan semakin mengeratkan genggaman tangannya. Jika Teala protes,