“Tea, kamu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.”
Teala menoleh kala rungunya mendengar Marvin bergumam, meski tidak jelas kalimat apa yang disampaikan pria itu.
“Marvin, kamu mengatakan sesuatu?” tanyanya.
“Tidak ada. Ayo, kembali ke meja kita selesaikan makananmu yang sudah dingin dan setelah itu pulang. Besok masih ada pekerjaan yang harus kamu selesaikan,” ajak Marvin dan dianggukki oleh Teala.
Keduanya kembali ke meja mereka dan melanjutkan acara makan malam yang sempat tertunda. Segera beranjak begitu selesai dan Marvin serta Jenandra mengantar kakak-beradik tersebut ke rumah masing-masing.
Begitu sampai di rumah, Teala melambai singkat pada sahabatnya kemudian masuk, mengabaikan Jenandra yang tengah berbincang dengan mama dan kakaknya setelah dipersilakan masuk. Gadis itu ingin segera istirahat, sebab badannya cukup lelah. Belum lagi, ia berencana bangun sedikit lebih pagi agar bisa
“Yasha, apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu?”Yasha merasa terusik dengan usapan Jenandra. Gadis itu membuka mata dan langsung dihadiahi senyum manis kekasihnya. Ia ikut tersenyum sembari menatap wajah Jenandra, sebelum kembali menyamankan diri dan memejamkan mata, nyaman dengan usapan lembut di kepalanya.“Bangun, Sayang. Sudah siang. Kamu bilang mau ke kantor,” ujar Jenandra lembut.“Sebentar lagi, lima menit,” gumam Yasha.Jenandra tidak merespon, ia masih setia mengusap surai kekasihnya, hingga lima menit kemudian Yasha benar-benar membuka matanya.Gadis itu duduk dan memeluk Jenandra dengan nyaman, mendusel di leher pria itu, membuat Jenandra tersenyum simpul dan mengusap punggung sempit calon istrinya.“Kamu sudah lama datang?” tanya Yasha.“Sudah. Aku mengantar Bunda untuk membantu Mama membuat bento,” jawab Jenandra.Yasha mengangguk paham, kemu
“Tea, berangkat denganku saja.”Baik Marvin maupun Teala sepenuhnya menoleh setelah mendengar suara Jenandra. Keduanya menatap bingung pada pria itu.“Supaya Marvin bisa dengan yang lain. Maksudku kalau kamu denganku, nanti sekalian pulangnya aku mau ke rumah kamu,” lanjut Jenandra setelah menyadari kecanggungan ketiganya.“Aku yang menjemputnya di rumah, jadi aku yang akan mengantarkannya pulang,” jawab Marvin dengan sorot datarnya.“Ayo, berangkat. Kita sudah ditunggu yang lain. Aku dengan Marvin saja, Jen,” ucap Teala memotong perdebatan mereka.Teala menarik pergelangan tangan Marvin pelan, mengajak pria itu agar segera pergi, sementara Jenandra masih berdiri di tempatya, menatap Teala yang sudah berlalu dari hadapannya.Begitu sampai di restoran, mereka segera memesan makanan. Sembari menunggu, obrolan ringan keluar dari mulut masing-masing, memenuhi meja tersebut.Teala tampak asik
“Tea, istirahatlah. Kamu kelelahan.”Teala menoleh ke arah sang mama. Ia tersenyum simpul dengan kedua mata setengah terpejam.“Tidak apa, Ma, aku—““Kamu kelelahan. Istirahat sekarang jika tidak ingin berakhir di rumah sakit lagi. Kalian bisa membahasnya besok pagi atau Yasha bisa membahasnya dengan Jenandra saja dan menyampaikan konsepnya esok.” Safa menatap tegas pada putrinya.Menghela napas panjang, Teala akhirnya mengalah. Ia bangkit dari tempatnya dan menghampiri sang mama. “Maaf, Kak. Aku lanjut besok, ya. Mataku berat sekali,” ujar gadis itu.“Selamat malam, nyonya besar,” lanjut Teala sembari mengecup pipi mamanya.Setelahnya, Teala beranjak ke kamar dan memejamkan mata. Rasanya begitu lega saat punggungnya yang pegal menyentuh tempat tidur. Ia sudah tidak peduli dengan pembahasan yang ada di lantai satu. Ia bahkan tidak tahu, kalau sekarang, Safa tengah menatap Yash
“Aku membencimu, Tea.”Yasha menatap pintu kamarnya yang tertutup. Matanya menunjukkan sorot tajam dan datar namun ada sebersit kebencian di dalamnya. Yasha akui, ia memiliki tempat tersendiri untuk membenci adiknya.Teala selalu mendapat perhatian dan pujian lebih dari semua orang. Orang tua dan keluarga besarnya selalu memuji pencapaian Teala. Pintar, catik, sopan, rendah hati, berteman dengan semua orang. Semua hal baik ada pada Teala dan Yasha tidak suka.Orang-orang menganggapnya manja dan cerewet. Mereka tidak melihat pencapaiannya. Padahal Yasha tidak kalah berprestasi dengan Teala. Ia berhasil menulis banyak lirik lagu dan menjadi penyanyi yang menerima banyak penghargaan. Namun, semua orang hanya melihat Teala dan Yasha benci fakta itu.Dulu, mamanya menjadi satu-satunya orang yang akan membelanya namun setelah kematian sang papa, mamanya ikut membela Teala.Yasha begitu kesal dan marah. Ia ingin berteriak dan mengatakan kepada
“Jika bisa meminta, aku tidak ingin kamu sebagai adikku, Teala.”Teala tersentak di tempatnya, gadis itu membelalakkan mata, hampir tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Telinganya berdengung, ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar hanya salah paham dan karenanya, Teala mendongak, menatap tepat ke arah Yasha. Namun, balasan mata Yasha yang dingin membuat Teala urung bertanya, sebab ia pikir, ia sudah mengetahui jawabannya.Yasha bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Teala yang masih terdiam di tempatnya. Ia sama sekali masih belum percaya. Badannya gemetar dan dadanya terasa sesak. Masih mencoba menyangkal bahwa yang di dengarnya tadi buka kenyataannya.“Tea, ayo mulai lagi,” ucap Marvin sembari menepuk pelan bahu Teala yang membuat gadis itu tersentak kaget. Bahkan Marvin sempat heran, mengapa Teala bisa sampai seterkejut itu hanya dengan tepukkan pelan di bahunya.“Ah, iya, maaf. Ayo, kita mulai lagi dan seger
“Tea, apa ada yang membuatmu tidak nyaman?”Pertanyaan Jenandra membuat Teala dan Marvin menoleh pada pria itu. Teala diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, menggeleng kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Jenandra.“Kalian pesan apa, aku sudah sangat lapar,” ucap Yasha membuyarkan lamunan ketiganya.“Tea, jangan mie, ya. Kamu makan daging saja dan sup,” ujar Marvin yang dibalas anggukkan oleh gadis itu.Teala memilih diam sembari menunggu pesanan mereka datang. Menjadi pendengar atas cerita kakaknya dan Jenandra yan tampak sangat menyenangkan. Matanya memanas saat kembali teringat dengan ucapan Yasha beberapa jam lalu. Bahkan, hingga pesanan mereka tersaji di meja, Teala memilih diam. Hanya menanggapi Marvin dengan gelengan atau anggukkan.Sampai waktu pulang tiba, Marvin menggenggam tangan Teala tanpa canggung. Abai pada tatapan bertanya Jenandra dan semakin mengeratkan genggaman tangannya. Jika Teala protes,
“Apa pun, apa pun akan aku lakukan untukmu. Meski kamu tidak pernah menoleh padaku.”Teala masih tersenyum ke arah Marvin. Ia merasa beruntug bertemu dengan pria seperti Marvin.“Sudah lebih baik? Mau pulang sekarang atau mau mampir dulu?” tanya Marvin.“Boleh kita jalan-jalan terlebih dahulu? Aku takut mata sembabku akan disadari Mama,” jawab Teala.Marvin mengangguk kemudian mengajak Teala untuk turun dan berjalan-jalan di sekitar sungai tersebut.Keduanya menkmati angin malam tanpa suara. Teala merasa nyaman karena Marvin juga tidak bertanya hal lain yang mungkin akan membuatnya tidak nyaman. Barulah, gadis itu mengajak Marvin pulang setelah hampir setengah jam berjalan di sekitar tempat tersebut.Begitu sampai di rumah, Teala segera melambai pada Marvin dan masuk ke dalam rumah setelah mobil pria itu tidak lagi terlihat. Gadis itu cukup terkejut karena Jenandra belum kembali ke rumahnya.
“Jaga batasanmu.”Jenandra menarik kembali tangannya yang hendak mengusap puncak kepala Teala. Ia cukup terkejut mendapati gadis di depannya tersebut menatapnya datar dan terkesan dingin. Jenandra tidak pernah ditatap sedemikiannya oleh Teala.Berdeham kecil, pria itu memilih turun dan membukakan pintu untuk Teala. Suasana canggung keduanya tidak dapat dihindarkan, sementara Teala seolah tidak tertarik membuka obrolan untuk mencairkan suasana.Setelah mengambil nomor antrean, Jenandra duduk di sebelah Teala tanpa bersuara. Keduanya diam dan sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sampai nama Teala dipanggil dan keduanya masuk ke ruangan tersebut, melakukan pemeriksaan dan mendapat resep dari dokter.Jenandra masih membantu Teala dengan menuntun gadis itu sampai ke mobil. Setelahnya, melajukan kendaraan roda empat tersebut menuju kediaman Teala.Keduanya tidak melakukan obrolan apa pun. Teala sendiri memilih tidur selama di perjalanan, me