“Aku membencimu, Tea.”
Yasha menatap pintu kamarnya yang tertutup. Matanya menunjukkan sorot tajam dan datar namun ada sebersit kebencian di dalamnya. Yasha akui, ia memiliki tempat tersendiri untuk membenci adiknya.
Teala selalu mendapat perhatian dan pujian lebih dari semua orang. Orang tua dan keluarga besarnya selalu memuji pencapaian Teala. Pintar, catik, sopan, rendah hati, berteman dengan semua orang. Semua hal baik ada pada Teala dan Yasha tidak suka.
Orang-orang menganggapnya manja dan cerewet. Mereka tidak melihat pencapaiannya. Padahal Yasha tidak kalah berprestasi dengan Teala. Ia berhasil menulis banyak lirik lagu dan menjadi penyanyi yang menerima banyak penghargaan. Namun, semua orang hanya melihat Teala dan Yasha benci fakta itu.
Dulu, mamanya menjadi satu-satunya orang yang akan membelanya namun setelah kematian sang papa, mamanya ikut membela Teala.
Yasha begitu kesal dan marah. Ia ingin berteriak dan mengatakan kepada
“Jika bisa meminta, aku tidak ingin kamu sebagai adikku, Teala.”Teala tersentak di tempatnya, gadis itu membelalakkan mata, hampir tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Telinganya berdengung, ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar hanya salah paham dan karenanya, Teala mendongak, menatap tepat ke arah Yasha. Namun, balasan mata Yasha yang dingin membuat Teala urung bertanya, sebab ia pikir, ia sudah mengetahui jawabannya.Yasha bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Teala yang masih terdiam di tempatnya. Ia sama sekali masih belum percaya. Badannya gemetar dan dadanya terasa sesak. Masih mencoba menyangkal bahwa yang di dengarnya tadi buka kenyataannya.“Tea, ayo mulai lagi,” ucap Marvin sembari menepuk pelan bahu Teala yang membuat gadis itu tersentak kaget. Bahkan Marvin sempat heran, mengapa Teala bisa sampai seterkejut itu hanya dengan tepukkan pelan di bahunya.“Ah, iya, maaf. Ayo, kita mulai lagi dan seger
“Tea, apa ada yang membuatmu tidak nyaman?”Pertanyaan Jenandra membuat Teala dan Marvin menoleh pada pria itu. Teala diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, menggeleng kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Jenandra.“Kalian pesan apa, aku sudah sangat lapar,” ucap Yasha membuyarkan lamunan ketiganya.“Tea, jangan mie, ya. Kamu makan daging saja dan sup,” ujar Marvin yang dibalas anggukkan oleh gadis itu.Teala memilih diam sembari menunggu pesanan mereka datang. Menjadi pendengar atas cerita kakaknya dan Jenandra yan tampak sangat menyenangkan. Matanya memanas saat kembali teringat dengan ucapan Yasha beberapa jam lalu. Bahkan, hingga pesanan mereka tersaji di meja, Teala memilih diam. Hanya menanggapi Marvin dengan gelengan atau anggukkan.Sampai waktu pulang tiba, Marvin menggenggam tangan Teala tanpa canggung. Abai pada tatapan bertanya Jenandra dan semakin mengeratkan genggaman tangannya. Jika Teala protes,
“Apa pun, apa pun akan aku lakukan untukmu. Meski kamu tidak pernah menoleh padaku.”Teala masih tersenyum ke arah Marvin. Ia merasa beruntug bertemu dengan pria seperti Marvin.“Sudah lebih baik? Mau pulang sekarang atau mau mampir dulu?” tanya Marvin.“Boleh kita jalan-jalan terlebih dahulu? Aku takut mata sembabku akan disadari Mama,” jawab Teala.Marvin mengangguk kemudian mengajak Teala untuk turun dan berjalan-jalan di sekitar sungai tersebut.Keduanya menkmati angin malam tanpa suara. Teala merasa nyaman karena Marvin juga tidak bertanya hal lain yang mungkin akan membuatnya tidak nyaman. Barulah, gadis itu mengajak Marvin pulang setelah hampir setengah jam berjalan di sekitar tempat tersebut.Begitu sampai di rumah, Teala segera melambai pada Marvin dan masuk ke dalam rumah setelah mobil pria itu tidak lagi terlihat. Gadis itu cukup terkejut karena Jenandra belum kembali ke rumahnya.
“Jaga batasanmu.”Jenandra menarik kembali tangannya yang hendak mengusap puncak kepala Teala. Ia cukup terkejut mendapati gadis di depannya tersebut menatapnya datar dan terkesan dingin. Jenandra tidak pernah ditatap sedemikiannya oleh Teala.Berdeham kecil, pria itu memilih turun dan membukakan pintu untuk Teala. Suasana canggung keduanya tidak dapat dihindarkan, sementara Teala seolah tidak tertarik membuka obrolan untuk mencairkan suasana.Setelah mengambil nomor antrean, Jenandra duduk di sebelah Teala tanpa bersuara. Keduanya diam dan sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sampai nama Teala dipanggil dan keduanya masuk ke ruangan tersebut, melakukan pemeriksaan dan mendapat resep dari dokter.Jenandra masih membantu Teala dengan menuntun gadis itu sampai ke mobil. Setelahnya, melajukan kendaraan roda empat tersebut menuju kediaman Teala.Keduanya tidak melakukan obrolan apa pun. Teala sendiri memilih tidur selama di perjalanan, me
“Jangan manja dan membuatku malu.”Teala menatap kakaknya sejenak. Matanya kembali memanas namun gadis itu sebisa mungkin menahan diri agar air mata tidak jatuh di pipinya. Ia tidak mau membuat sang mama khawatir.“Iya, Kak.” Teala menjawab singkat, sebelum berlalu kembali ke kamarnya, meninggalkan sang mama yang tengah menatapnya sendu, sementara Yasha seolah tidak merasa bersalah.“Yasha, kenapa bilang begitu pada adikmu?” ucap Safa.“Kenapa? Aku hanya memperingatkannya supaya tidak membuat masalah di hari bahagiaku,” jawab Yasha.Safa hanya mampu menghela napas lelah, enggan menjawab putrinya atau akan terjadi perdebatan lebh panjang. Ia memilih bangkit dan menuju kamar putri bungsunya, memastikan bahwa Teala baik-baik saja.Begitu sampai di kamar gadis itu, Safa bisa melihat Teala tengah duduk melamum menatap keluar jendela.Mendekatinya, Safa memegang pelan pundak Teala, membuat put
“Aku membencimu.”Teala menatap punggung Jenandra dengan tatapan sendu. Ia juga tidak ingin berada di situasi ini. Ia ingin menikah karena keinginannya, sekalipun Jenandra adalah orang yang ia cintai. Tidak sekalipun Teala berharap atau berniat merebut Jenandra dari kakaknya. Bahkan, kalau dia tahu kakaknya akan pergi begitu saja, Teala pasti akan menahannya.Menghela napas panjang, Teala menahan air matanya yang jatuh. Setidaknya, ia harus berpura-pura kembali untuk sekarang. Memasang senyum paling manis dan bertingkah seolah segalanya baik-baik saja.Begitu tiba di hadapan Jenandra, gadis itu menatap pria di depannya dengan tatapan dalam, sebelum janji suci terucap dari mulut keduanya, dan secara sah, mereka menjadi suami istri.Saya mengambil engkau, Jenandra Jarka, menjadi suami saya, untuk saling menjaga dan memiliki, di waktu susah dan senang, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit, untuk sali
“Sama, aku juga.” Teala menoleh, mendapati seorang gadis berambut pendek tengah berdiri sambil memegang satu kaleng minuman. Gadis itu duduk di samping Teala, kemudian mengulurkan kaleng lainnya ke arahnya, membuat Teala menerimanya dengan senang hati. Namun, begitu menyesap sedikit cairan dalam kaleng tersebut, Teala mengerutkan dahinya. Gadis itu membaca merk minuman itu dan bergumam terkejut, “Beralkohol.”“Kenapa? Kau tidak suka alkohol?” tanyanya.“Tidak,” bohong Teala. Gadis itu bukan tidak menyukai alkohol, tapi Teala tidak bisa mengkonsumsi alkohol meski kadar alkoholnya rendah.Keduanya diam, sibuk dengan isi kepala masing-masing. Teala terus menyesap minuman beralkohol tersebut, meski tenggorokkannya terasa panas dan kepalanya mulai pusing. Ia hanya ingin melupakan segalanya, termasuk rasa lelah yang hari ini di deritanya.“Kenapa perempuan cantik sepertimu ber
Keesokan paginya, Teala memilih memesan makanan, ia tidak melihat Jenandra ada di kamar mereka. Teala tidak peduli, ia ingin menenangkan diri karena melihat Jenandra hanya akan membuatnya sakit hati. Keberadaan Jenandra hanya membuat mereka bertengkar dan lebihbaik bagi keduanya untuk tidak saling melihat, meskipun Teala harus berpura-pura di depan keluarga mereka bahwa hubungan keduanya baik-baik saja.Selesai mandi, Teala merias diri di depan cermin. Setidaknya, ia harus terlihat bahagia agar orang tuanya tidak bertanya-tanya. Lamunannya buyar ketika mendengar bel pintu. Ia bangkit, mengira bahwa makanannya datang, tapi Teala justru melihat Jenandra.“Aku lupa membawa kartu kamar, Bunda meminta kita sarapan bersama,” ucap Jenandra tanpa melihat ke arah Teala.“Aku sudah memesan makanan, biar aku tunggu makanannya datang dan aku menyusul. Katakan saja aku sedang mandi,” jawab Teala.Jenandra mengangguk singkat kemudian berlalu dari hadapan Teala. Tepat ketika Jenandra pergi, pesanann