Jenandra menuju kamar Teala, membuka pintu kamar wanita itu pelan, melihat tubuh Teala meringkuk di atas tempat tidur. Tampak kecil, membuat Jenandra ingin merengkuh dan melindunginya. Jenandra bisa menghirup aroma vanila dan mawar setelah masuk ke dalam kamar Teala. Ia mendekati ranjang, duduk di ujung tempat tidur, menatap wajah damai Teala. Dia seolah tidak terusik dengan keberadaan Jenandra, hingga pria itu memilih diam sambil memandangi wajah Teala.
Jujur, Jenandra tidak tahu apa yang akan ia lakukan seandainya Yaha kembali. Entah hingga saat itu, perasaannya kepada Yasha masih sama atau tidak. Bukan berarti ia meragukan perasaannya terhadap Yasha namun Jenandra juga ingin berusaha untuk menerima Teala. Bagaimanapun juga, keberadaan Teala saat ini bukan keinginannya, setidaknya Jenandra harus memperlakukannya dengan baik. Tidak peduli di masa depan Jenandra menyukai Teala atau tidak, ia hanya tidak ingin menyakiti lebih banyak orang lagi.
Teala menuju ruang makan, dikejutkan dengan kehadiran Marvin di ruang tamu. Ia bisa melihat pria itu dari ujung tangga, hingga tanpa menunggu, Teala berteriak, memanggil Marvin dan tanpa aba-aba memeluk pria itu dengan erat. Hal itu bukan hanya membuat Marvin terkejut, tapi Jenandra sampai tersedah minumannya.Teala tidak sungkan sama sekali menyampaikan kalau dia merindukan Marvin, mencari pria itu, mengerutu sebal karena Marvin hanya mengirim email tentang penundaan pekerjaan mereka. Teala kesal sekalius khawatir. Ia tidak ingin kehilanan Marvin sebaai sahabatnya pria itu selalu menemaninya di setiap situasi dan akan sangat menyedihkan untuk Teala jika ia kehilangan satu-satunya sahabatnya.Marvin sendiri hanya menepuk-nepuk punggung Teala pelan, menenangkan wanita itu. Meskipun, ia setengah takut denan tatapan Jenandra yang sekarang melihat ke arah mereka dengan tatapan datar dan menusuk. Kerinduannya pada Teala juga tidak bisa dibendu
Teala menyiapkan makan malamnya dengan Jenandra. Ia turun setelah membersihkan diri. Tidak banyak bersuara dan Jenandra agaknya tidak ingin membuka obrolan lebih dulu. Jadi, Teala memutukan diam dan memakan makan malamnya dengan tenang. Ia sadar kalau Jenandra memperhatikannya sedari tadi, tapi ia memilih tak acuh karena jujur saja, tatapan Jenandra membuatnya gugup.Setelah selesai makan, Teala segera membersihkan piring kotor mereka, tidak menyangka kalau Jenandra akan menyusul dan ikut membersihkan piring kotor keduanya. Sesekali, Jenandra melirik Teala, hendak mengatakan sesuatu, tapi tertahan.“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Teala tidak sabar membuat Jenandra gelagapan. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian menghela napas panjang. Ia mengangguk kecil, kemudian mengajak Teala duduk di ruang tamu.“Apa kamu sudah berbicara dengan Marvin?” tanya Jenandra.“Belum, dia menga
“Alasan aku menjadi lemah adalah kamu, Teala.”Teala tertegun, menatap Marvin penuh tanya, takut kalau yang dia dengar salah. Namun, melihat Marvin menatapnya serius, Teala yakin kalau dia tidak salah dengar. Jelas, Teala terkejut dan menerka-nerka maksud ucapan Marvin. Dia tidak mau menyimpulkan dengan mudah, biar pria itu menjelaskan lebih dulu.“Teala, aku menyukaimu, aku mencintaimu, sejak pertemuan pertama kita. Ha ini mungkin terdengar klise, tapi aku sudah tertarik bahkan saat pertamakali kita saling bicara.” Marvin mulai membuka suara.“Tadinya, aku pikir, ini hanya perasaan tertarik sekilas. Namun, setelah menyadari kalau aku ingin selalu melihatmu atau setidaknya berada di sekitarmu, aku menjadi yakin kalau aku menyukaimu dan perasaan itu berlanjut. Aku semakin tidak bisa menghilangkan rasa sukaku, padahal aku mengira kalau perasaanku akan hilang seiring waktu,” lanjutnya.“Perasaanku semakin besar dan alasan mengapa aku selalu mengusahakan yang terbaik untukmu bukan hanya k
Saat Jenandra membuka mata, ia tidak menemukan Teala di sampingnya. Mengedarkan pandangan, Jenandra segera bangun, setengah panik saat tidak menemukan Teala di kamar mereka. Ia pikir, Teala pergi, marah, atau tidak nyaman dengan aktivitas mereka semalam. Namun, Teala tidak mengatakan apapun da justru memberinya kesempatan untuk memulai erita mereka.Bangkit dari atas tempat tidur, Jenandra berjalan keluar dan menghela napas lega begitu menemukan Teala sedang sibuk memasak di dapur. Ia mendekati wanita itu kemudian berdiri tepat di samping Teala, membuat wanita itu terkejut dan hampir melempar sendok sayur di tangannya.Jenandra meringis ketika melihat Teala melotot ke arahnya. Wanita itu menggerutu, kesal atas tingkah pria itu. Namun, bukannya tersinggung, Jenandra justru tertawa kecil. Ia mengusak puncak kepala istrinya, lega karena Teala bersikap biasa dan merespon kehadirannya. Jenandra yakin kalau Teala tidak mengingkari janjinya untu
“Apa Marvin sudah mengakui perasaannya?”Mendengar pertanyaan Jenandra, Teala mendongak, menatap suaminya. Ia tidak menduga kalau Jenandra mengetahui perasaan Marvin.Menghela napas panjang, Teala mengangguk kecil. Ia mengajak pria itu masuk dan sekarang duduk di depan televisi. Kepalanya bersandar nyaman pada bahu Jenandra, merasa lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah pernyataan Marvin yang tiba-tiba. Teala hanya butuh waktu untuk menenangkan diri sejenak, bukan berarti ia menjadi ragu atas perasaannya pada Jenandra. Tidak pernah sekalipun sejak ia menyadari kalau hatinya memilih Jenandra, Teala tidak yakin.Jenandra yang menyadari Teala enggan bicara banyak hanya mengusap kepala wanita itu pelan. Ia tahu kalau Teala akan bercerita tanpa diminta. Saat ini, ia tidak akan memaksa, mungkin istrinya masih membutuhkan waktu untuk beristirahat dan mencerna semuanya dengan tenang.Setelah hampir 15 menit, Teala menegakkan duduknya, ia menceritakan semuanya kepada Jenandra tanpa menamb
Jenandra pulang dengan wajah bingung. Ia masih memikirkan kejadian siang tadi namun berusaha bersikap biasa saja. Meskipun begitu, Teala yang selalu lebih peka dengan sekitarnya tentu menyadari perubahan raut wajah Jenandra. Namun, wanita itu memilih diam, memberikan kesempatan pada Jenandra untuk bercerita. Ia percaya kalau pria itu akan bercerita padanya.Selesai bersih-bersih dan makan malam, Jenandra menuju ruang kerjanya, memilah beberapa foto yang akan dijadikan cover maupun isi majalah. Isi kepalanya kembali mengingat foto dirinya dan Yasha dan hal itu sangat mengganggunya. Jenandra tidak ingin menyakiti Teala lagi. Walaupun, Jenandra penasaran dengan pengirim paket tersebut, ia lebih tidak mau membuat Teala sedih lagi. Jika memang Yasha yang mengirimnya, Jenandra akan menunggu gadis itu menemuinya lebih dulu.Teala masuk ke ruang kerja Jenandra, meletakkan teh di atas meja kecil di samping meja utama, kemudian menghampiri Jenandra
Teala bahagia, ia disambut baik oleh ayah dan ibu Jenandra. Mereka bahkan berbincang dan bercanda. Ayah Jenandra yan terkenal kaku melempar banyak candaan padanya. Keduanya berbicara santai karena cocok dengan topik obrolannya. Teala merasa mendapat teman diskusi kembali setelah bertahun-tahun hanya berbincang santai karena kebanyakan teman-teman disekitarnya kurang suka membahas sesuatu dengan topik serius.Sementara Jenandra kini duduk berdua dengan sang ibu di teras belakang. Pria itu menimang apakah harus menceritakan kegelisahannya, termasuk kejadian kemarin, atau menyimpannya sendiri dan mencaritahu kebenarannya. Namun, tepukkan sang ibu pada punggung tangannya membuat jenandra tersadar. Ia menatap perempuan paruh baya tersebut yang kini sedang tersenyum ke arahnya. Jenandra tersentak, ibunya seolah tahu isi kepalanya.Setelah hampir tiga menit kembali diam, Jenandra akhirnya bersuara. Ia menceritakan perasaannya selama satu bulan l
“Aku tidak mau, kamu saja, di sana sangat panas.” Teala menatap lapangan kuda di depannya malas. Terik matahari dan debu berterbangan menambah rasa malasnya. Belum lagi membayangkan dirinya akan kesulitan naik kuda. Teala mernding kalau tiba-tiba ia jatuh dari hewan itu kemudian terinjak. Rasanya pasti akan sangat menyakitkan walaupun ia sering membayangkan bisa menaiki kuda.Jenandra masih berusaha membujuk Teala agar mau berkuda dengannya. Mengatakan pada wanita itu bahwa segalanya akan baik-baik saja karena ada pawang kuda bersamanya. Bahkan, Jenandra menawari Teala untuk naik bersamanya, tapi wanita itu justru semakin ketakutan karena khawatir kalau kuda yang mereka tumangi marah menahan berat dua manusia.Menyerah, Jenandra akhirnya meninggalkan Teala dengan lesu. Bayangannya menunggang kuda dengan romantis buyar sudah. Teala sangat keukeh dengan pendiriannya. Jenandra kalah telak, tidak bisa lagi membujuk istrinya.