Jenandra pulang dengan wajah bingung. Ia masih memikirkan kejadian siang tadi namun berusaha bersikap biasa saja. Meskipun begitu, Teala yang selalu lebih peka dengan sekitarnya tentu menyadari perubahan raut wajah Jenandra. Namun, wanita itu memilih diam, memberikan kesempatan pada Jenandra untuk bercerita. Ia percaya kalau pria itu akan bercerita padanya.
Selesai bersih-bersih dan makan malam, Jenandra menuju ruang kerjanya, memilah beberapa foto yang akan dijadikan cover maupun isi majalah. Isi kepalanya kembali mengingat foto dirinya dan Yasha dan hal itu sangat mengganggunya. Jenandra tidak ingin menyakiti Teala lagi. Walaupun, Jenandra penasaran dengan pengirim paket tersebut, ia lebih tidak mau membuat Teala sedih lagi. Jika memang Yasha yang mengirimnya, Jenandra akan menunggu gadis itu menemuinya lebih dulu.
Teala masuk ke ruang kerja Jenandra, meletakkan teh di atas meja kecil di samping meja utama, kemudian menghampiri Jenandra
Teala bahagia, ia disambut baik oleh ayah dan ibu Jenandra. Mereka bahkan berbincang dan bercanda. Ayah Jenandra yan terkenal kaku melempar banyak candaan padanya. Keduanya berbicara santai karena cocok dengan topik obrolannya. Teala merasa mendapat teman diskusi kembali setelah bertahun-tahun hanya berbincang santai karena kebanyakan teman-teman disekitarnya kurang suka membahas sesuatu dengan topik serius.Sementara Jenandra kini duduk berdua dengan sang ibu di teras belakang. Pria itu menimang apakah harus menceritakan kegelisahannya, termasuk kejadian kemarin, atau menyimpannya sendiri dan mencaritahu kebenarannya. Namun, tepukkan sang ibu pada punggung tangannya membuat jenandra tersadar. Ia menatap perempuan paruh baya tersebut yang kini sedang tersenyum ke arahnya. Jenandra tersentak, ibunya seolah tahu isi kepalanya.Setelah hampir tiga menit kembali diam, Jenandra akhirnya bersuara. Ia menceritakan perasaannya selama satu bulan l
“Aku tidak mau, kamu saja, di sana sangat panas.” Teala menatap lapangan kuda di depannya malas. Terik matahari dan debu berterbangan menambah rasa malasnya. Belum lagi membayangkan dirinya akan kesulitan naik kuda. Teala mernding kalau tiba-tiba ia jatuh dari hewan itu kemudian terinjak. Rasanya pasti akan sangat menyakitkan walaupun ia sering membayangkan bisa menaiki kuda.Jenandra masih berusaha membujuk Teala agar mau berkuda dengannya. Mengatakan pada wanita itu bahwa segalanya akan baik-baik saja karena ada pawang kuda bersamanya. Bahkan, Jenandra menawari Teala untuk naik bersamanya, tapi wanita itu justru semakin ketakutan karena khawatir kalau kuda yang mereka tumangi marah menahan berat dua manusia.Menyerah, Jenandra akhirnya meninggalkan Teala dengan lesu. Bayangannya menunggang kuda dengan romantis buyar sudah. Teala sangat keukeh dengan pendiriannya. Jenandra kalah telak, tidak bisa lagi membujuk istrinya.
Jenandra menatap wajah damai Teala. Sesekali, ia mengusap dan mengecup kening wanita itu. Ia mendadak teringat ucapan Teala kalau dia melihat Yasha dan hal itu mengusik pikirannya. Kalau Yasha benar-benar kembali dan meminta mengulang semuanya dari awal, Jenandra takut perasaannya meragu dan berakhir menyakiti Teala lagi.Kembali mengecup kening istrinya, Jenandra menuju ruang kerja miliknya. Ia mengambil foto dan surat yang dikirim Yasha hampir sebulan lalu. Entah respon seperti apa yang akan Jenandra berikan jika wanita itu benar-benar kembali. Meski begitu, Jenandra harus menyelesaikan urusannya dengan Yasha. Saat ini, ia sudah bersama Teala dan Jenandra harus lebih tegas. Ia tidak mau menyesal di kemudian hari seperti yang ibunya katakan.Setelah menenangkan diri, Jenandra kembali ke kamar, merebahan tubuhnya di samping sang istri yang terlihat mengerutkan keningnya dalam. Tangan jenandra terulur mengusap kerutan di dahi istrinya. Teala tampa gelisah dalam tidurnya, bahkan keringa
Entah apa yang Jenandra pikirkan, bisa-bisanya sekarang dirinya duduk di depan Yasha yang tiga bulan terakhir menghilang begitu saja di hari pernikahannya. Ia melihat wajah Yasha sekali lagi, memastikan kalau wanita itu memang baik-baik saja. Yasha tampak sehat dengan wajah cantiknya. Tidak terlihat kurus sama sekali, justru Yasha terlihat semakin berisi.“Apa kabar?” tanya Yasha setelah cukup lama keduanya tidak bersuara.Jenndr ingin marah, ia ingin mengumpat pada wanita di depannya, tai mengingat ada sedikit dari hatinya penasaran dengan kepergian Yasha yang tiba-tiba, Jenandra menahan diri. Ia mengangguk kecil, menjawab sekenanya pertanyaan Yasha. Ia lebih penasaran tentang cerita wanita itu.“Jadi, ke mana kamu?” tanya Jenandra.Yasha terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap kosong makanan di depannya kemudian menghela napas panjang. Wanita itu menatap Jenandra dalam, mulai menceritakan alasan dirinya pergi dan ke mana perginya.Yasha mengungkapkan perasaan bersalahnya setelah men
Jenandra membuka pintu rumahnya, menatap ekeliling dan tidak menemukan Teala sedang menonton televisi. Berjalan menuju dapur, Jenandra melihat Teala tertidur di meja makan dengan makanan yang masih utuh. Jenandra menghampiri istrinya, menatap wajah teduh wanita itu ketika tidur. Perasaan bersalah kembali memenuhi perasaannya. Jenandra lupa kalau Teala mengajaknya makan malam bersama.Mengecup kening Teala, Jenandra berhasil mengejutkan wanita itu, hingga Teala tampak membuka mata. Jenandra mengusap kepala wanita di depanna, menyampaikan penyesalannya karena terlambat dan dihadiahi senyuman oleh istrinya. Teala tidak keberatan sama sekali dan mengerti alasan Jenandra yang memawa alasan pekerjaan mendadak.Wanita itu bangkit, menawarkan untuk menghangatkan makan malam mereka sembari Jenandra membersihkan diri. Pria itu tidak menolak, segera ke kamarnya, sedangkan Teala mulai menghangatkan makanan yang suda dirinya buat. Ia juga membuatkan teh hangat untuk suaminya dan tepat setelah Teal
Jenandra memeluk Teala dengan erat. Perasaan haru memenuhi hatinya, hingga pria itu hampir menangis. Pelukkannya semakin erat seiring usapan Teala pada punggungnya. Jenandra semakin yakin untuk hanya mencintai Teala dan menjadkan wanita itu satu-satunya, memutus masalalunya dengan Yasha. Ia akan bicara dengan Yasha untuk menyelesaikan semuanya.Mencium kening Teala, Jenandra menggenggam tangan wanita itu, mengajaknya memberitahu sang ibu dengan kabar baik tersebut.Teala tidak menolak, sebab ia sendiri tidak sabar membertahu ibunya dan melihat wajah bahagia perempuan paruh baya tersebut.Keduanya menuju rumah Teala, tidak lupa mengabari orang tua Jenandra agar datang ke rumah besan mereka karena akan ada kabar baik yang Teala dan Jenandra sampaikan. Teala bahkan membeli bunga dan beberapa makanan. Senyumnya tidak luntur sejak dari rumah sakit dan hal itu membuat perasaan Jenandra bahagia. Ia ikut tersenyum melihat Teala menampakkan wajah berbinar miliknya. Ekspresinya mampu menarik pe
Teala melambai pada kedua orang tua Jenandra dan ibunya sebelum masuk ke dalam kendaraan roda empat milik suaminya. Wanita itu menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ada kursi penumpang.Jenandra yang melihat Teala tampak kelelahan berinisiatif mengusap kepala wanita itu, membuat Teala merasa nyaman. Jenandra mengusap kening Teala sebentar lalu melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah Safa.Matanya fokus menatap jalanan, sesekali melirik Teala yang sudah terpejam. Jenandra mengira istrinya kelelahan karena aktivitas hari ini dan sedikit banyak membuat Jenandra khawatir karena kehamilan Teala yang masih sangat muda. Tangannya meraih jemari Teala dan menggenggamnya lembut. Hatinya mengahangat melihat wajah damai Teala.Sampai di rumah mereka, Jenandra tidak langsung membangunkan wanita itu. Ia memilih turun dari mobilnya kemudian mengangkat Teala perlahan. Wanita itu bergerak sebentar, membuat Jenandra memeluknya erat agar Teala nyaman dalam tidurnya. Ia tidak mau
Marvin mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya terlihat. Rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam menatap lantai. Jantungnya berdetak kencang dan dadanya bergemuruh. Tepat saat Marvin mendengar langkah kaki mendekat dengan terburu-buru, ia mendongak, menatap wajah Jenandra yang terlihat khawatir.Belum sempat mendengar ucapan Jenandra selesai, Marvin lebih dulu memukul rahang pria itu. Napasnya memburu, Marvin merendahkan tubuhnya menatap Jenandra tajam.“Kalau kamu memang tidak bisa mencintai Teala, setidaknya kamu bsa menjaganya dan calon anak kalian.” Marvin menatap Jenandra memburu.Jenandra yang sejak awal tidak siap dengan pukulan Marvin hanya terduduk di lantai. Pukulan sahabatnya tidak main-main, menciptakan ruam kemerahan pada rahangnya yang sekarang tampak ngilu dan sedikit asin. Ia membiarkan Marvin mencengkeram kerahnya dengan kuat.Begitu Marvin melepaskan cengkeraman di lehernya, Jenandra segera bangkit dari tempatnya, masuk ke dalam ruangan istrinya, melihat T