Marc dan Jason sudah hilang dari pandangan Zahra. Saat akan membayar makanan tersebut, ternyata sudah diselesaikan pembayarannya. Zahra mengucapkan terima kasih setelah itu keluar dari restoran tersebut. Sementara itu, Jason dan Marc berdebat di dalam mobil yang melaju.
“Kau ini bagaimana, Je. Aku masih ingin bersama Zahra.” Marc merajuk seperti anak-anak yang marah mainannya diambil.
“Marc, kau tidak berperasaan. Kontrak kita baru besok berjalan. Zahra mempunyai keluarga.” Marc bedecak. Dia tidak lagi mendebat sahabatnya itu. Dia memilih manyun dan melihat ke arah jendela. Sedangkan Jason kembali fokus menyetir. Lelaki berkebangsaan Prancis itu hanya menggeleng. Mereka sudah sampai di apartemen yang disewa Marc saat berada di Indonesia ini. Lelaki itu berjalan mendahului Jason. Dia masuk ke dalam apartemen setelah melalui lift. Jason sendiri santai berjalan ke arah hunian tersebut.
“Marc, kau lucu.” Jason menilai sahabatnya tersebut. Sedangkan Marc sendiri hanya menoleh saja mendengar pendapat Jason. Lelaki berambut cepak itu bersedekap dan menyandarkan tubuhnya di sebuah pintu kaca. Marc bangkit dari sofa tempat dia duduk dan berjalan ke arah balkon. Setelah membuka kunci pintu, membuka daun pintu dan berjalan sampai ke ujung balkon.
“Aku tidak tahu kenapa? Wanita itu terus mengganggu pikiranku. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi, Dude. Dia .... “ Marc melayangkan tangannya ke udara. Siang itu begitu terik hingga silau sang mentari menambah ganteng wajahnya yang penuh dengan keringat. Bulu-bulu halus yang seakan menghalangi laju keringatnya membuat efek mengesankan. Dia membuka satu kancing kemejanya paling atas. Dengan tangan sebelahnya menggulung kemejanya. Sedangkan jas semi casualnya sudah dia lemparkan di sofa tadi.
“Sepertinya kau sudah terkena virus.” Jason menepuk pundak sahabatnya itu. Marc menoleh ke arah Jason seraya menanyakan maksudnya.
“Virus? Maksud kamu?” Jason tertawa mendengar pertanyaan Marc.
“Virus jatuh cinta.” Marc mengepalkan tangan kanannya sedangkan tangan kiri mengurung kepalannya tersebut. Dengan gagah meletakkan tangan tersebut di depan mulutnya untuk menutupi rasa malunya. Mungkin sahabatnya itu benar. Dia telah jatuh cinta. Tapi sejak kapan dia percaya dengan cinta dan komitmen?
“Tapi hati-hati, Dude. Orang Indo beda dengan di Paris. Mereka menginginkan menikah untuk melanjutkan ke hubungan ranjang.” Marc berbalik agar berhadapan dengan sahabatnya tersebut.
“Benarkah? Sepertinya aku harus banyak belajar dari kamu, kamu memahami tentang karakter orang Indonesia sepertinya?” Marc antusias ingin mengetahui lebih jauh. Sepertinya Zahra sudah membuatnya gila.
“Tentu! Aku bolak-balik ke Indonesia selama ini. Kau aja yang nggak mau bisnis di sini. Orang-orang Indonesia itu sangat telaten dan kompeten.” Jason berjalan dan berhenti di samping Marc. Dia menyarungkan tangannya ke dalam saku celananya. Sedangkan Marc juga berbalik untuk melihat hiruk pikuk jalanan yang masih sibuk. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Matahari mulai bersemu jingga karena mulai senja. Lelaki dengan alis tegas dan iris coklat itu menatap sang mentari yang nampak akan masuk ke peraduannya. Marc masih setia memandang senja sampai menghilang. Sedangkan Jason masuk untuk membersihkan diri. Dia membiarkan sahabatnya itu termenung untuk merasakan artinya jatuh cinta. Suara gemericik air yang ditimbulkan oleh Jason karena menghidupkan shower tidak membangkitkan diri Marc untuk berlalu dari balkon tersebut. Sampai senja berganti kerlipan lampu. Jalanan juga semakin padat dengan mobil-mobil dan sorot lampunya.
***Meyyis***
Esok harinya Marc dan Jason menemui Zahra lagi. Hari ini adalah hari pertama di bulan Ramadan. Zahra berpuasa. Tentu saja Marc tidak tahu. Sedangkan Jason tahu karena beberapa kali saat Ramadan tiba lelaki berkulit putih itu pernah datang ke Indonesia. “Zahra kamu tidak pesan?” Marc menawarkan untuk pesan makanan.“Saya minta maaf, Tuan Marc. Saya sedang puasa.” Marc mengerutkan keningnya.
“Puasa? Apa itu puasa?” Kali ini Jason yang bertanya.
“Jadi saya seorang Muslim. Setiap bulan Ramadan harus berpuasa. Puasa itu tidak makan dan minum .... “ Marc mendengarkan penuturan Zahra dengan seksama. Satu hal unik yang ditemukan dari wanita berpenutup kepala. Marc baru mendengar hal itu. Di negaranya tidak pernah ada berita seperti itu. Lebih tepatnya Marc tidak memperhatikannya. Lelaki itu semakin mengagumi wanita berparas cantik itu. Sedangkan Jason yang sudah mengetahuinya hanya diam tidak bereaksi yang berlebihan seperti halnya Marc.
“Oke aku mengerti. Bisakah kita bicara lebih santai?” Marc meminta agar Zahra tidak terlalu menggunakan bahasa yang formal.
“Oh, baiklah. Hanya saja, aku kurang begitu pintar dengan bahasa gaul di negara kalian.” Zahra berbicara jujur. Dia memang hanya mengetahui bahasa formal yang dipelajari dari saat kuliah dan beberapa saluran chanel pelatihan.
“Baiklah, aku akan menjadi pemandu bahasa untukmu. Apalagi pemandu hatimu. Aku lebih suka lagi.” Zahra mengerutkan kening. Lelaki bule itu sungguh berani. Namun memang sebuah resiko. Untung saja Marc dan Jason sopan. Biasanya mereka cenderung berbicara frontal.
“Ehem, ada maunya itu, Zahra. Jangan mau! Baiklah karena tidak jadi makan maka aku pamit ke bandara. Aku harus kembali ke Prancis malam ini juga.” Zahra mengangguk.
“Oh, jadi hanya Anda ah maksudku kamu yang harus saya temani?” Demikian Zahra mengulang kata-katanya. Masih terdengar kaku oleh Marc dan Jason. Namun tidak masalah. Setidaknya Zahra sudah mencoba.
“Baik-baik kalian, aku permisi.” Maka Justin beranjak dan meninggalkan meja itu. Marc membayar seluruh makanan bahkan sebelum tersaji. Dia mengajak Zahra keluar dari restoran tersebut. Zahra merasa bingung tapi dia tidak berkomentar apa pun. Dia mengikuti lelaki itu saja dari belakang.
Setelah menyelesaikan pembayaran, Marc menuju ke tempat parkir. Dia memang membawa mobil mungkin untuk mempermudah mobilitas. Zahra berterima kasih ketika lelaki berperawakan tinggi itu membukakan pintu mobil untuknya. Ya, Marc memang sangat tinggi. Untuk ukuran orang Indonesia Zahra sudah termasuk tinggi. Dia memiliki ukuran tinggi badan seratus tujuh puluh lima. Sedangkan jika jalan berdampingan, Zahra hanya sepundaknya Marc kemungkinan lelaki itu bertinggi badan sekitar seratus delapan puluh limaan.
“Zahra, kamu bilang senja boleh bisa makan ‘kan? Ini sudah pukul lima. Berarti sebentar lagi?” Zahra tersenyum dan mengangguk.
“Oh, kenapa kita tidak menunggu saja tadi?” Marc menepuk keningnya. Entah mengapa dia begitu gugup hingga mengalami beku otak. Sama sekali tidak dapat berpikir jika di depan Zahra. Dia sendiri masih bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Apa yang dimiliki wanita itu?
“Saya harus buka di rumah, Marc. Sudah ditunggu.” Sejenak Marc membeku. Wanita ini sungguh hebat. Bahkan dia memikirkan perasaan keluarganya. Marc merasa ingin mengenal wanita itu lebih jauh. Kesan pertama begitu menggoda. Dengan awal mengenal yang namanya puasa. Berkali-kali lelaki itu melirik ke arahnya saat Zahra berjalan lebih dahulu keluar dari ruangan itu. Marc sedang menyelesaikan transaksi pembayaran makanan itu. Dia mengerutkan kening, ketika ada seorang laki-laki berpapasan dengan Zahra. Laki-laki itu terlihat mengenal Zahra tapi sepertinya terjadi ketegangan.
Marc mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Azahra tidak ingin makan bersamanya. Lelaki berdada bidang itu mempersilakan dengan tangannya untuk wanita berjilbab itu diantar pulang.“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanya Marc.“Apa tidak merepotkan?” Zahra menatap Marc yang sudah berdiri di depannya.Marc tersenyum dengan manisnya seluruh gula menempel di bibirnya. Bahkan senyum itu baru pertama kali tersungging untuk sang wanita.“Sama sekali tidak. Ayo!” Mereka berjalan beriringan. Ingin jari-jari Marc meraih pundak Zahra yang ada di sampingnya. Kemudian ingat beberapa kalimat yang diucapkan oleh Jason Bahwa itu termasuk tidak sopan bagi wanita Muslim semacam Zahra. Marc menggaruk tengkuknya untuk menetralkan perasaannya. Belum pernah dirinya salah tingkah di depan seseorang apalagi seorang wanita. Apa sebenarnya yang dimiliki Zahra? Marc sendiri tidak mampu men
Zahra menoleh ke arah Marc. Sungguh jangan pernah bertanya bagaimana perasaan lelaki itu? Jantungnya sudah bergejolak bagai debur samudra yang ada di depannya saat ini. Kerudung Zahra yang melambai seakan menantangnya untuk melindungi wanita itu. Mata hitamnya membuat Marc tidak bisa berkutik.“Tidak apa-apa. Kami sudah bercerai tiga tahun lalu. Sejak perpisahan itu, kami bahkan tidak pernah bertutur sapa lagi. Baru tadi dia menyapaku.” Zahra kembali fokus ke depan. Melihat samudra yang biru dan bergelombang di tepi. Terdapat banyak orang bermain di sana. Namun terasa sangat sepi bagi Zahra. Hidupnya hanya tertuju pada Jelita putri kecilnya. Bukan tidak ada yang ingin membangun mahligai bersamanya. Namun semuanya tidak ditanggapi. Ketakutan Zahra paling besar adalah jika suami barunya tersebut tidak dapat konsisten menyayangi putrinya.“Separah itu? Kau mengatakan bahwa kalian sudah memiliki anak, apakah dia tidak merinduka
Berkali-kali lelaki dengan iris mata berwarna coklat itu menoleh ke arah Zahra. Setelah wanita berkerudung itu meraupkan kedua tangannya ke wajah, maka dirinya ikut melakukannya.“Mari silakan makan, Marc.” Lelaki dengan rambut rapi itu langsung saja memulai menyeruput sari kurma. Suara seruputannya terasa nikmat. Setelah itu, mengambil buah kurma yang ada di depannya.“Kau selalu puasa setiap bulan Ramadan, Zah?” tanya Marc. Dia mulai ketularan orang Indonesia setelah beberapa hari di Indonesia. Memanggil nama seseorang dengan penggalan nama saja.“Ya, kecuali ada uzur.” Marc mengerutkan keningnya.“Maksudnya? Uzur itu apa?” Tentu saja Marc tidak tahu jika wanita menstruasi tidak diperbolehkan puasa.“Seorang wanita memiliki berbagai macam uzur, Marc. Seperti menstruasi, melahirkan, setelah melahirkan. Itu tidak boleh puasa j
Kecanggungan semakin terasa di antara mereka. Keduanya hanya diam saja. Hati mereka merasa kacau. Hanya bungkam yang bisa mereka lakukan. Hanya sesekali Zahra menunjukkan jalan untuk mereka sampai di sebuah tempat. Lelaki dewasa itu hanya menuruti Zahra arah yang dituju. Ternyata mereka sampai di sebuah taman kota. Terlihat bangku-bangku panjang di sana. Permainan anak-anak dan beberapa orang yang menghabiskan waktu bergembira bersama keluarga.Marc meminggirkan mobilnya dan menguncinya. Setelah mendapatan nomor parkir, maka Brian menyusul Zahra yang sudah lebih dulu berjalan. Zahra menemukan bangku kosong di tepi taman yang jauh dari permainan anak-anak agar mereka lebih tenang berbicara. Marc duduk di samping Zahra.“Kita mulai dari mana?” tanya Marc.“Ha?” Zahra belum sepenuhnya kembali ke pikirannya. Dia bertanya maksud Marc.“Kita mulai belajar dari mana?” Zah
Hingga beratus kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Entahlah? Dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak pada lelaki berkebangsaan Prancis itu. Hatinya seperti tersirami melihat tingkah konyol Marc. Lelaki itu sudah berhasil mencuri hatinya.***Meyyis***Zahra pura-pura tidak terpengaruh dengan perbuatan kecil Marc. Dia membuat alaram untuk setiap istiwa sholat. Setelah itu, mengembalikan ponsel Marc kembali. Lelaki itu mengantongi ponselnya kembali. Lelaki tiga puluhan tahun itu mengajak Zahra untuk membeli es krim. Zahra seperti anak kecil berlari ke arah penjual es krim itu. Memang, siapa pun tidak sanggup menolak pesona panganan manis itu. Rasa coklat menjadi pilihan demikian juga dengan Marc.“Kau menyukainya?” tanya Marc.“Iya, demikian juga dengan anakku. Kami penggila es krim.” Wanita pecinta warna coklat itu sesekali menjilat
“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.***Meyyis***Zubaedah mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh putri satu-satunya itu. Dia yang sudah siap dengan mukena menutupi tubuhnya akan pergi ke masjid. Demikian juga dengan putri kecilnya Jelita. Anak kecil yang memiliki keistimewaan itu sudah siap dengan mukena warna merah muda berbunga warna-warni. Anak itu mengatakan dengan tangannya apa yang terjadi?“Tidak apa-apa, Sayang. Ma, mungkin Zahra akan tarawih sendiri di rumah. Kalau tidak nanti menyusul. Belum mandi juga.” Zubaedah mengangguk seraya menggandeng tangan cucunya. Wanita paruh baya itu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Zahra berjalan pelan ke arah kamar mandi. Dengan tang ki
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.“Tidak ada, hanya ngapain tadi telepon sampai banyak banget. Aku mau mengomelimu.” Zahra mengirim pesan itu. Tepat seperti yang dibayangkan bahwa Zahra juga seperti perempuan pada umumnya yang bawel.“Mau tanya salat Tarawih.” Marc menyertakan emotion kepala nyengir.“Oh.” Itu yang di katakan Zahra. Kemudian wanita itu mengirim link vidio agar Marc berajar salat tarawih dari vidio tersebut.“Aku tidak ingin vidio, aku ingin kamu.” Hening ... Zahra hanya terdiam tidak mampu melakukan apa pun. Ah, apa yang dipikirkan oleh lelaki tiga puluh tahun itu? Bukannya sama saja? Malah lebih bervariasi belajar dari you tube.***Meyyis***
“Ada apa Pak Hasan?” tanya Salman yang baru saja datang. Akhirnya Salman yang menawarkan pada Marc, kalimat yang ditanyakan oleh pria bernama Hasan tersebut barulah Marc paham. Marc mengikuti Salman untuk membersihkan diri. ***Meyyis*** Esok harinya Marc menjemput Zahra sudah dengan dirinya yang berbeda. Tidak lagi Marc yang menggoda Zahra. Lelaki itu tampak menjaga diri. Walau sejujurnya dia ingin sesekali menggoda wanita itu. Hari-hari terlewati dengan mulus. Hingga satu hari harus bertemu dengan klien. Kali ini Zahra juga ikut. “Kita ketemu partnert di kantornya, Za. Karena sedang puasa, tidak mungkin bertemu di restoran.” Zahra hanya mengangguk. Sesekali Mrc melirik ke arah Zahra. Meneliti kembali sebenarnya apa yang dimiliki Zahra, sehingga hari-harinya begitu sunyi tanpa wanita itu? Semakin dia menelisik semakin Marc jauh dari kata sepakat dengan hatinya. Kepalanya bilang untuk menghentikan kegilaan ini, karena Marc
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga