“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.
***Meyyis***
Zubaedah mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh putri satu-satunya itu. Dia yang sudah siap dengan mukena menutupi tubuhnya akan pergi ke masjid. Demikian juga dengan putri kecilnya Jelita. Anak kecil yang memiliki keistimewaan itu sudah siap dengan mukena warna merah muda berbunga warna-warni. Anak itu mengatakan dengan tangannya apa yang terjadi?
“Tidak apa-apa, Sayang. Ma, mungkin Zahra akan tarawih sendiri di rumah. Kalau tidak nanti menyusul. Belum mandi juga.” Zubaedah mengangguk seraya menggandeng tangan cucunya. Wanita paruh baya itu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Zahra berjalan pelan ke arah kamar mandi. Dengan tang kirinya dia menyambar haduk dan mandi. Dengan guyuran air yang dingin wanita itu merasa rileks. Tidak butuh waktu lama wanita itu sudah selesai mandi. Mungkin saja, masih ada waktu untuk berjamaah salat Tarawih. Namun terlebih dahulu dirinya salat Isya munfarid di rumah. Saat dia sedang salat Isya, terdengar bunyi berdering dari poselnya. Setelah salam, Zahra menengok siapa gerangan yang telah mengganggunya waktu-waktu penting seperti itu.
Zahra mengembuskan napas kasar. Resiko menjadi tour guide seperti itu. Tidak tahu waktu. Apalagi si bule yang tidak mengerti adat Ramadan. Zahra membiarkan saja. Dia bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan salat Tarawih walau sudah terlambat.
Marc berkali-kali menelpon Zahra untuk menanyakan bagaimana caranya melaksanakan salat Tarawih. Selepas mandi tadi, dia mencari-cari artikel di mesin pencarian untuk mengetahui hal-hal dasar dari Islam termasuk kajian Ramadan. Lelaki berhidung mancung itu sedikit kesal ketika panggilan ke tiga puluh kalinya tidak direspon oleh Zahra. Kemudian dia menepuk keningnya sendiri karena merasa tindakannya konyol. Jam sekarang pasti Zahra sedang salat Tarawih seperti yang diberitakan artikel itu.
Lelaki ras Eropa itu meraih gelas air yang ada di rak dan menuangkan air putih ke dalam gelas bening tersebut. Biasanya jam segini dia sudah berburu club malam untuk melepas penat dengan mendengarkan dentuman musik keras. Tapi sejak mengenal Zahra dia tidak berminat. Bukan karena tahu bahwa dugem tidak diperkenankan. Entah mengapa dunianya berfokus pada Zahra seorang.
Lelaki bermata almond itu meletakkan gelasnya di atas bar kecil dapurnya. Setelah itu tempat favoritnya adalah balkon. Memandang langit dan hiruk pikuk jalanan seakan menjadi aktivitasnya yang paling di sukai. Di langit yang sudah menggelap itu, terlihat wajah ayu sang bidadari bernama Azahra Ardillah memenuhi langit malam itu. Mata Marc berkedip-kedip seolah dapat menanggalkan pandangan tentang wanita itu dari bayangan matanya. Tidak berapa lama, dia kembali ke dalam untuk melihat apakah Zahra sudah online? Maka Marc tersenyum ketika Zahra terlihat mengetik di dinding aplikasi berwarna hijau itu.
Lelaki itu berselebrasi seakan memenangkan sesuatu. Dengan percaya diri dia menyisir rambutnya yang masih basah dengan jari-jari tangannya. Pergerakannya itu membuat karismanya terpancar dari sorot matanya yang tajam. Senadainya saja, Zahra melihatnya.
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.“Tidak ada, hanya ngapain tadi telepon sampai banyak banget. Aku mau mengomelimu.” Zahra mengirim pesan itu. Tepat seperti yang dibayangkan bahwa Zahra juga seperti perempuan pada umumnya yang bawel.“Mau tanya salat Tarawih.” Marc menyertakan emotion kepala nyengir.“Oh.” Itu yang di katakan Zahra. Kemudian wanita itu mengirim link vidio agar Marc berajar salat tarawih dari vidio tersebut.“Aku tidak ingin vidio, aku ingin kamu.” Hening ... Zahra hanya terdiam tidak mampu melakukan apa pun. Ah, apa yang dipikirkan oleh lelaki tiga puluh tahun itu? Bukannya sama saja? Malah lebih bervariasi belajar dari you tube.***Meyyis***
“Ada apa Pak Hasan?” tanya Salman yang baru saja datang. Akhirnya Salman yang menawarkan pada Marc, kalimat yang ditanyakan oleh pria bernama Hasan tersebut barulah Marc paham. Marc mengikuti Salman untuk membersihkan diri. ***Meyyis*** Esok harinya Marc menjemput Zahra sudah dengan dirinya yang berbeda. Tidak lagi Marc yang menggoda Zahra. Lelaki itu tampak menjaga diri. Walau sejujurnya dia ingin sesekali menggoda wanita itu. Hari-hari terlewati dengan mulus. Hingga satu hari harus bertemu dengan klien. Kali ini Zahra juga ikut. “Kita ketemu partnert di kantornya, Za. Karena sedang puasa, tidak mungkin bertemu di restoran.” Zahra hanya mengangguk. Sesekali Mrc melirik ke arah Zahra. Meneliti kembali sebenarnya apa yang dimiliki Zahra, sehingga hari-harinya begitu sunyi tanpa wanita itu? Semakin dia menelisik semakin Marc jauh dari kata sepakat dengan hatinya. Kepalanya bilang untuk menghentikan kegilaan ini, karena Marc
Zoya memang gemar belanja mewah dan jalan-jalan ke luar negeri. Berbeda dengan Zahra yang tidak suka berfoya-foya. Hanya sesekali saja, dirinya berbelanja. Hal itu juga kalau tidak butuh-butuh amat.Zahra sudah meremas tangannya. Tatapan Raehan yang terkesan merendahkan membuat Zahra tidak nyaman.***Meyyis***Marc yang menyadari perubahan tingkah laku Zahra mengembuskan napasnya lelah. Mereka berbincang ringan awalnya. Kemudian berbincang sedikit serius sampai menuju ke intinya. “Bisakah tidak ada orang lain saat perbincangan bisnis kita?” Raehan mulai berulah. Marc mengeratkan rahangnya.“Dia bukan orang lain bagi saya. Bagi Anda mungkin sudah menjadi orang lain. Tapi tidak dengan saya. Keputusan saya tergantung dari keikhlasan dia.” Marc dengan gentle membungkam mulut sampah Raehan. Lelaki yang beberapa tahun lebih tua dari Marc tersebut merasa konyol. Kebenciannya pada Zahra sepertinya merubahnya tid
“Kita masuk ke sana lagi?” tanya Zahra. Marc menggeleng. Dia tidak lagi berkeinginan bekerja sama dengan Raehan. Menurutnya, lelaki itu tidak profesional. Bukan hanya tentang perangainya yang buruk terhadap Zahra. Namun akan sangat sulit nantinya bekerja sama dengan orang yang tidak profesional.Zahra merasa menyesal. Seharusnya dia tidak ikut saja tadi, beralasan apa begitu untuk menghindar. Zahra sungguh tidak ingin menjadi penyebab seseorang kehilangan rizeki. Walau itu mantan suaminya, terlebih Marc seorang mualaf yang baru semalam mengikrarkan diri menjadi Muslim.Zahra memandang lekat wajah Marc yang fokus menatapnya. Dia mulai memilin ujung jilbabnya karena merasa tidak nyaman dan merasa bersalah. Sepersekian menit mereka saling diam untuk menarasikan pikirannya masing-masing.“Aku minta maaf, Marc. Karena aku, kau kehilangan miliyaran.” Marc menggelengkan kepala
“Hai, Jelita.” Marc berbicara dengan tangannya mengeja nama Jelita. Lelaki itu terlihat mahir melakukannya.***Meyyis***Zahra menganga sampai mulutnya terbuka. Lelaki itu penuh kejutan. Dia bahkan lebih piawai dari pada dirinya. Wanita tiga berhidung mancung itu sepersekian detik terpaku dengan yang dilakukan oleh pria berkebangsaan Prancis tersebut.“Kondisikan mulutmu, nanti batal kalau lalat mampir.” Selalu Marc mampu membuat Zahra tak berkutik. Sedangkan Jelita memandang bergantikan wajah mamanya yang shock dan wajah lelaki yang katanya teman mamanya itu.“Oh, mama lupa mengenalkan pada Jelita. Itu namanya Uncle Marc.” Ajaib! Jelita langsung mendekat dan memeberikan tangannya untuk meraih tangan Marc dan menciumnya. Ini kejadian langka. Sebab, selama ini Jelita takut dengan makhluk yang bernama laki-laki. Dengan Ruben yang sering berkunjung ke ru
“Dia baik, sepertinya menyukai Jelita juga. Kau tidak berpikir untuk menikah dengannya?” Zahra hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa ibunya berpikir demikian. Marc adalah kliennya. Dia hanya bekerja pada Marc sebagai tour guide untuk menemani perjalanannya. Belum tentu Marc mencintainya juga. Apalagi dengan statusnya.BAB XIKAU SUDAH KHITAN?“Ma, aneh-aneh saja. Mana mungkin dia menyukaiku. Marc itu klienku, jadi jangan berpikir macam-macam.kebetulan saja, dia bisa bahasa isyarat.” Zubaedah tersenyum. Dia sudah banyak makan asam garam. Mendekati Jelita adalah trik Marc untuk mengambil hati Zahra. Tidak mungkin Zubaedah salah menerka. Bahkan pandangan lelaki itu terhadap putrinya adalah tatapan terpesona dan mengharap.“Kalau dia menyukaimu?” Zahra berhenti mengangkat pakaian itu. Dia berpikir sejenak, kemudian menggeleng.&ldqu
Ternyata dia seorang psikolog, kenapa berbisnis? Bisnisnya juga jauh dari keahliannya. Zahra mulai menaruh kekaguman terhadap lelaki itu. Bukan pria terhadap wanita pada umumnya. Tapi manusia kepada manusia yang memiliki tingkat kecerdasan yang melebihi dirinya.***Meyyis***Hari demi hari urusan Marc hampir tidak ada kendala. Dirinya juga menyempatkan diri mengikuti kajian. Malam hari praktis dirinya jarang di apartemen. Waktunya digunakan di pondok pesantren untuk mengkaji agama. Satu yang luput ditanyakan oleh Kyai Kholid. Bahwa dirinya sudah khitan atau belum.“Pak Kyai, saya ingin menikah. Bagaimana hukumnya?” Pak Kyai Kholid tertawa mendengarnya.“Dengan wanita muslimah?” tanya Kyai Kholid.“Tentu saja.” Pak Kyai Kholid mengangguk. Lelaki paruh baya itu baru ingat satu hal. Bahwa Marc berasal dari luar negeri. Jarang orang s
Angin malam melambaikan rambutnya tersebut hingga aura ketampanannya sulit dihempaskan dari wajahnya. Remang cahaya rembulan tepat menusuk ke wajah gagahnya. Sampai sangat larut, lelaki itu berada di balkon. Angin malam yang menusuk karena mulai dini, membuat dia goyah dan masuk ke dalam.Rasa kantuk mulai menggerayangi matanya. Dia berbaring. Sebelum itu, membuka ponselnya dan terlihat walpappernya wajah Zahra yang sedang tersenyum bersama Jelita di pangkuannya. Lelaki itu tersenyum dan mengapsen setiap inci kulit gambar itu, kemudian mengecup layar ponselnya. Biarkan malam ini hanya layar ponsel yang menyentuh bibirnya. Dalam hati dia yakin bahwa suatu hari Allah akan menjawab setiap doa-doanya.***Meyyis***&nbs
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga