Zahra menoleh ke arah Marc. Sungguh jangan pernah bertanya bagaimana perasaan lelaki itu? Jantungnya sudah bergejolak bagai debur samudra yang ada di depannya saat ini. Kerudung Zahra yang melambai seakan menantangnya untuk melindungi wanita itu. Mata hitamnya membuat Marc tidak bisa berkutik.
“Tidak apa-apa. Kami sudah bercerai tiga tahun lalu. Sejak perpisahan itu, kami bahkan tidak pernah bertutur sapa lagi. Baru tadi dia menyapaku.” Zahra kembali fokus ke depan. Melihat samudra yang biru dan bergelombang di tepi. Terdapat banyak orang bermain di sana. Namun terasa sangat sepi bagi Zahra. Hidupnya hanya tertuju pada Jelita putri kecilnya. Bukan tidak ada yang ingin membangun mahligai bersamanya. Namun semuanya tidak ditanggapi. Ketakutan Zahra paling besar adalah jika suami barunya tersebut tidak dapat konsisten menyayangi putrinya.
“Separah itu? Kau mengatakan bahwa kalian sudah memiliki anak, apakah dia tidak merindukan anak tersebut?” Marc lebih jauh menanyakannya. Mungkin lelaki itu sudah lancang. Namun anehnya Zahra tidak keberatan dengan hal itu. Dia malah dengan lancar membagikan kisah lukanya. Ini berbeda, dengan Zahra biasanya. Wanita itu cenderung tertutup dengan orang lain. Tapi kenapa tidak dengan Marc. Pria asing yang baru dikenalnya.
“Iya, kami berpisah juga karena putri kami. Jelita nama putriku. Dia berbeda dengan anak lain. Anakku bisu. Raehan malu mengakuinya. Kami memilih berpisah daripada bertengkar terus.” Marc membeo. Dia semakin ingin dekat dengan wanita itu. Air laut mulai terlihat menguning. Marc ingat bahwa Zahra mengatakan dirinya akan makan ketika senja itu tiba. Sekarang adalah waktunya demikian pikir Marc.
“Zahra, kau bilang senja baru akan makan. Apakah sekarang waktunya?” Zahra melihat jam yang melingkar di tangannya. Marc benar. Namun dia belum mendengar suara azan berkumandang. Walau sebagian besar penduduk beragama Hindu, tepi mereka toleransinya tinggi. Marc mengajak Zahra beranjak. Lelaki itu menangkap tubuh Zahra ketika hampir saja wanita itu tercebur ke laut karena terpeleset. Jantung mereka saling berdebar saat dalam posisi seperti itu. Sungguh ini pengalaman pertama Marc merasa jantungnya lompat-lompat tanpa henti saat dekat dengan wanita. Apalagi pertemuan matanya dengan iris mata sayu milik Zahra. Rasanya momen ini ingin dia bekukan hingga wanita itu tidak akan lepas dari pelukannya.
“Terima kasih.” Zahra cepat-cepat menyadari bahwa posisinya ini tidak dibenarkan. Sebab Marc bukanlah orang yang tepat untuk menyentuh tubuhnya.
“Maaf, aku hanya takut kamu jatuh ke laut. Sekali lagi aku minta maaf. Bukan bermaksud kurang ajar.” Marc gugup.
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih untuk bantuannya. Aku harus menghubungi keluargaku. Sepertinya tidak bisa buka dengan mama dan anakku.” Zahra tersenyum canggung. Marc mengangguk saja. Zahra membuka tas kecilnya kemudian mengambil benda pipih itu. Wanita itu menghubungi sang ibu.
“Assalamualaikum, Ma. Zahra tidak bisa buka di rumah.” Mama Zahra di seberang terdengar memaklumi Zahra yang sedang bekerja. Zahra kembali memasukkan ponselnya setelah mengucapkan salam. Marc hanya memperhatikan saja wanita nusantara itu bicara dengan keluarganya.
“Kita makan di kafe itu?” Marc menunjukan ke arah kafe yang sudah hiruk-pikuk karena beberapa orang yang mungkin juga berbuka puasa. Mereka duduk di meja nomor tujuh yang kebetulan masih kosong. Tidak berapa lama, pelayan datang untuk menanyakan pesanan mereka. Wanita berjilbab itu tersenyum dengan pelayan wanita yang menghampiri.
***Meyyis***
Senyum Zahra di sambut oleh sang pelayan tersebut. Marc ikut menyunggingkan senyum. Wanita dengan kostum warna merah maroon dengan celemek di pinggangnya yang menutupi pakaian bawahnya itu menanyakan pesanan mereka.
“Ada menu berbuka?” tanya Zahra.
“Spesial untuk Nona yang sedang berpuasa. Ada kurma dan juga sirup kurma. Ada lagi?” Pelayan itu bersiap untuk mencatat.
“Mungkin itu saja. Marc kau mau pesan apa?” Marc tergagap karena ketahuan memperhatikan Zahra dengan sangat intens.
“Ah, kamu tidak makan besar?” Zahra menggeleng.
“Samakan saja.” Zahra mengerutkan kening.
“Kenapa? Kamu ‘kan tidak berpuasa Marc. Tidak usah mengikutiku. Kamu juga pasti lapar ‘kan?” Zahra memperingatkan lelaki tiga puluhan itu.
“Tapi aku juga tidak makan seperti kamu. Bisa dikatakan aku berpuasa ‘kan?” Zahra tersenyum mendengarnya. Ternyata Marc memperhatikan ucapannya. Mungkin lelaki itu mulai tertarik dengan puasa atau apa yang dilakukannya. Sepertinya hal yang baru memang selalu membuat penasaran.
“Kau tidak mau memesan makanan berat?” tanya Zahra.
“Aku akan memesan apa yang kamu pesan.” Pelayan itu menggaruk rambutnya tanpa disadari mendengar perdebatan mereka berdua. Zahra segera menyadari bahwa mereka ditunggu oleh pelayan tersebut.
“Oh, maaf ya. Jadi menunggu. Baiklah karena teman saya ini keras kepala. Maka saya pesan ayam betutu sekalian.” Wanita itu mencatat ayam betutu yang Zahra minta. Setelah itu Zahra menoleh ke arah Marc dan menanyakan dalam bahasa Prancis apakah lelaki itu makan nasi?
Porsi. Pelayan itu mengulangi pesanan mereka. Kemudian setelah dipastikan tidak ada yang salah, pelayan itu menyuruh menunggu.
“Zahra, berapa hari kamu harus tidak makan seperti itu?” tanya Marc.
“Kurang lebih satu bulan. Namanya puasa Marc. Tapi tidak hanya tidak makan minum. Selain itu harus menjaga perbuatan kita.” Marc menautkan kedua alisnya.
“Maksudnya?” Marc mencondongkan tubuhnya dengan siku bertumpu di meja dan kedua jari-jari tangannya saling menangkup.
“Selain tidak makan dan minum dari terbit fajar, maka kita harus menjaga tingkah laku. Tidak boleh marah, tidak boleh berbohong dan hal-hal lain yang dapat menimbulkan dosa.” Marc menggigit bibir bawahnya seolah merasa sangat takjub dengan yang disampaikan wanita cantik itu.
“Hmmm, aku merasa berubah pikiran setelah kamu jelaskan. Ternyata Islam seindah itu. Tidak seperti gosip yang aku dengar.” Zahra memahami yang dikatakan oleh Marc. Memang citra kaum Muslim buruk ketika banyak terjadi teroris yang berkedok orang muslim. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan sama sekali.
“Kau termasuk orang yang percaya gosip, Marc?” Zahra sedikit tidak percaya bahwa orang berpendidikan seperti Marc bisa mempercayai berita yang belum tentu benar keabsahannya.
“Bukan! Tapi banyak yang terjadi teroris dan bentuk kejahatan lain mengatasnamakan agama.” Zahra mengangguk tanpa menyela. Tidak dipungkiri akhir-akhir ini memang orang dari garis keras menyudutkan kaum Muslim yang sepertinya menjadi bercitra jelek karena ulah dari segelintir orang.
“Kau tidak salah, Marc. Mereka hanya oknum. Nabi Muhammad sang pembawa risalah tidak pernah mengajarkan kekerasan. Namun juga tidak lari dan tetap melawan jika dimusuhi.” Marc mengangguk mendengarnya. Kungkungan atas nama agama yang selama ini membelenggu pikirannya hanya sekejap hilang oleh perkataan Zahra. Wanita itu membukakan pandangan sempit tentang agama Islam yang terlanjur merasuk ke dalam pikirannya.
“Silakan dinikmati!” Dua pelayan membawakan pesanan mereka.
“Terima kasih.” Lagi-lagi Marc mengikuti yang dilakukan Zahra. Dia menengadahkan tangannya. Berkali-kali Marc menoleh berharap mendengar kata doa yang diucapkan Zahra. Sayangnya, wanita itu tidak mengucap. Hanya mulutnya saja yang berkomat-kamit.
Berkali-kali lelaki dengan iris mata berwarna coklat itu menoleh ke arah Zahra. Setelah wanita berkerudung itu meraupkan kedua tangannya ke wajah, maka dirinya ikut melakukannya.“Mari silakan makan, Marc.” Lelaki dengan rambut rapi itu langsung saja memulai menyeruput sari kurma. Suara seruputannya terasa nikmat. Setelah itu, mengambil buah kurma yang ada di depannya.“Kau selalu puasa setiap bulan Ramadan, Zah?” tanya Marc. Dia mulai ketularan orang Indonesia setelah beberapa hari di Indonesia. Memanggil nama seseorang dengan penggalan nama saja.“Ya, kecuali ada uzur.” Marc mengerutkan keningnya.“Maksudnya? Uzur itu apa?” Tentu saja Marc tidak tahu jika wanita menstruasi tidak diperbolehkan puasa.“Seorang wanita memiliki berbagai macam uzur, Marc. Seperti menstruasi, melahirkan, setelah melahirkan. Itu tidak boleh puasa j
Kecanggungan semakin terasa di antara mereka. Keduanya hanya diam saja. Hati mereka merasa kacau. Hanya bungkam yang bisa mereka lakukan. Hanya sesekali Zahra menunjukkan jalan untuk mereka sampai di sebuah tempat. Lelaki dewasa itu hanya menuruti Zahra arah yang dituju. Ternyata mereka sampai di sebuah taman kota. Terlihat bangku-bangku panjang di sana. Permainan anak-anak dan beberapa orang yang menghabiskan waktu bergembira bersama keluarga.Marc meminggirkan mobilnya dan menguncinya. Setelah mendapatan nomor parkir, maka Brian menyusul Zahra yang sudah lebih dulu berjalan. Zahra menemukan bangku kosong di tepi taman yang jauh dari permainan anak-anak agar mereka lebih tenang berbicara. Marc duduk di samping Zahra.“Kita mulai dari mana?” tanya Marc.“Ha?” Zahra belum sepenuhnya kembali ke pikirannya. Dia bertanya maksud Marc.“Kita mulai belajar dari mana?” Zah
Hingga beratus kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Entahlah? Dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak pada lelaki berkebangsaan Prancis itu. Hatinya seperti tersirami melihat tingkah konyol Marc. Lelaki itu sudah berhasil mencuri hatinya.***Meyyis***Zahra pura-pura tidak terpengaruh dengan perbuatan kecil Marc. Dia membuat alaram untuk setiap istiwa sholat. Setelah itu, mengembalikan ponsel Marc kembali. Lelaki itu mengantongi ponselnya kembali. Lelaki tiga puluhan tahun itu mengajak Zahra untuk membeli es krim. Zahra seperti anak kecil berlari ke arah penjual es krim itu. Memang, siapa pun tidak sanggup menolak pesona panganan manis itu. Rasa coklat menjadi pilihan demikian juga dengan Marc.“Kau menyukainya?” tanya Marc.“Iya, demikian juga dengan anakku. Kami penggila es krim.” Wanita pecinta warna coklat itu sesekali menjilat
“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.***Meyyis***Zubaedah mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh putri satu-satunya itu. Dia yang sudah siap dengan mukena menutupi tubuhnya akan pergi ke masjid. Demikian juga dengan putri kecilnya Jelita. Anak kecil yang memiliki keistimewaan itu sudah siap dengan mukena warna merah muda berbunga warna-warni. Anak itu mengatakan dengan tangannya apa yang terjadi?“Tidak apa-apa, Sayang. Ma, mungkin Zahra akan tarawih sendiri di rumah. Kalau tidak nanti menyusul. Belum mandi juga.” Zubaedah mengangguk seraya menggandeng tangan cucunya. Wanita paruh baya itu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Zahra berjalan pelan ke arah kamar mandi. Dengan tang ki
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.“Tidak ada, hanya ngapain tadi telepon sampai banyak banget. Aku mau mengomelimu.” Zahra mengirim pesan itu. Tepat seperti yang dibayangkan bahwa Zahra juga seperti perempuan pada umumnya yang bawel.“Mau tanya salat Tarawih.” Marc menyertakan emotion kepala nyengir.“Oh.” Itu yang di katakan Zahra. Kemudian wanita itu mengirim link vidio agar Marc berajar salat tarawih dari vidio tersebut.“Aku tidak ingin vidio, aku ingin kamu.” Hening ... Zahra hanya terdiam tidak mampu melakukan apa pun. Ah, apa yang dipikirkan oleh lelaki tiga puluh tahun itu? Bukannya sama saja? Malah lebih bervariasi belajar dari you tube.***Meyyis***
“Ada apa Pak Hasan?” tanya Salman yang baru saja datang. Akhirnya Salman yang menawarkan pada Marc, kalimat yang ditanyakan oleh pria bernama Hasan tersebut barulah Marc paham. Marc mengikuti Salman untuk membersihkan diri. ***Meyyis*** Esok harinya Marc menjemput Zahra sudah dengan dirinya yang berbeda. Tidak lagi Marc yang menggoda Zahra. Lelaki itu tampak menjaga diri. Walau sejujurnya dia ingin sesekali menggoda wanita itu. Hari-hari terlewati dengan mulus. Hingga satu hari harus bertemu dengan klien. Kali ini Zahra juga ikut. “Kita ketemu partnert di kantornya, Za. Karena sedang puasa, tidak mungkin bertemu di restoran.” Zahra hanya mengangguk. Sesekali Mrc melirik ke arah Zahra. Meneliti kembali sebenarnya apa yang dimiliki Zahra, sehingga hari-harinya begitu sunyi tanpa wanita itu? Semakin dia menelisik semakin Marc jauh dari kata sepakat dengan hatinya. Kepalanya bilang untuk menghentikan kegilaan ini, karena Marc
Zoya memang gemar belanja mewah dan jalan-jalan ke luar negeri. Berbeda dengan Zahra yang tidak suka berfoya-foya. Hanya sesekali saja, dirinya berbelanja. Hal itu juga kalau tidak butuh-butuh amat.Zahra sudah meremas tangannya. Tatapan Raehan yang terkesan merendahkan membuat Zahra tidak nyaman.***Meyyis***Marc yang menyadari perubahan tingkah laku Zahra mengembuskan napasnya lelah. Mereka berbincang ringan awalnya. Kemudian berbincang sedikit serius sampai menuju ke intinya. “Bisakah tidak ada orang lain saat perbincangan bisnis kita?” Raehan mulai berulah. Marc mengeratkan rahangnya.“Dia bukan orang lain bagi saya. Bagi Anda mungkin sudah menjadi orang lain. Tapi tidak dengan saya. Keputusan saya tergantung dari keikhlasan dia.” Marc dengan gentle membungkam mulut sampah Raehan. Lelaki yang beberapa tahun lebih tua dari Marc tersebut merasa konyol. Kebenciannya pada Zahra sepertinya merubahnya tid
“Kita masuk ke sana lagi?” tanya Zahra. Marc menggeleng. Dia tidak lagi berkeinginan bekerja sama dengan Raehan. Menurutnya, lelaki itu tidak profesional. Bukan hanya tentang perangainya yang buruk terhadap Zahra. Namun akan sangat sulit nantinya bekerja sama dengan orang yang tidak profesional.Zahra merasa menyesal. Seharusnya dia tidak ikut saja tadi, beralasan apa begitu untuk menghindar. Zahra sungguh tidak ingin menjadi penyebab seseorang kehilangan rizeki. Walau itu mantan suaminya, terlebih Marc seorang mualaf yang baru semalam mengikrarkan diri menjadi Muslim.Zahra memandang lekat wajah Marc yang fokus menatapnya. Dia mulai memilin ujung jilbabnya karena merasa tidak nyaman dan merasa bersalah. Sepersekian menit mereka saling diam untuk menarasikan pikirannya masing-masing.“Aku minta maaf, Marc. Karena aku, kau kehilangan miliyaran.” Marc menggelengkan kepala
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga