Wanita dengan kulit kuning langsat dan selalu berkerudung rapi itu mengganti gaunnya dan memakai jilbab. Baju yang dia pakai sekarang berwarna krem dengan bunga-bunga kecil melingkar bertebaran hampir di ujung gaunnya. Jelita sang putri tercinta menarik gaun sang mama.
“Jelita, Sayang. Mama harus kerja, oke? Untuk apa?” Jelita menunduk.
“Oh, jangan bersedih! Jelita main sama Nenek dulu, ya? Jelita ‘kan anak baik, anak soleha.” Anak kecil itu mengangguk.
“Kemari, Sayang. Jelita ingin membeli peralatan gambar ‘kan? Mama harus kerja untuk membelinya.” Jelita terlihat berbinar. Anak kecil berusia enam tahun itu berlari ke arah neneknya yang masih ada di dapur untuk membersihkan sisa makan siang hari ini.
“Ma, Zahra pergi dulu.” Zubaedah mengelap tangannya dan keluar dari dapur untuk menyambangi sang anak yang akan pergi bekerja. Dia mengulurkan tangannya sedangkan Zahra juga menyambut tangannya dan menciumnya. Sedangkan putri kecilnya juga melakukan hal yang sama. Zahra mencium keningnya. Putri kecilnya itu mengatakan selamat bekerja dengan jari-jarinya.
“Tentu, Sayang. Terima kasih doanya ya? Mama pergi dulu.” Di luar tukang ojek online sudah menunggu. Zahra menantang panas dan melaju bersama tukang ojek online tersebut. Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai ke kantor Ruben. Zahra membayar sejumlah uang setelah turun dari boncengan. Terlihat kantor tempat dia bekerja tersebut sudah sedikit ramai. Walau bisa pesan online, tapi mereka lebih senang langsung ke kantor. Sebab bisa kenal langsung dengan tour guide yang akan menjadi pemandu.
“Zahra, itu dia datang.” Terlihat seorang laki-laki dengan jambang yang baru saja tumbuh. Rambut-rambut halus mulai terlihat mewarnai wajahnya. Sekilas Zahra menatap pria itu kemudian menunduk karena memang tidak diperkenankan bagi seorang muslim perempuan menatap lawan jenisnya terlalu lama. Demikian juga sebaliknya. Sebenarnya hal itu diperuntukan agar tidak timbul perasaan yang akan mengubah tindakan menjadi sembrono.
“Iya, Bang Ruben.” Zahra duduk di depan Ruben dan pria tersebut. Pria itu sepertinya orang bule demikian sebutan untuk orang luar negeri. Zahra dengan sopan menyapa dua orang laki-laki tersebut. Keduanya berwajah khas orang Eropa dengan tinggi badan yang menjulang, berkulit putih dengan bulu-bulu halus di sekitar wajah.
“Zahra, ada pekerjaan untukmu. Silakan kalian kenalan terlebih dahulu.” Zahra mengangguk sedangkan Ruben pamit meninggalkan mereka. Salah satu lelaki itu mengulurkan tangan. Namun Zahra hanya menangkupkan tangannya saja dan mengangkat mendekatkan ke arah dada. Lelaki itu terlihat bingung tapi akhirnya mengerti.
“Oh, oke. Saya Marc. Ini teman saya Jason.” Lelaki bernama Marc tersebut mulai memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris.
“Oh, saya Zahra. Saya yang akan menjadi tour guide kalian selama di Indonesia.” Marc tidak lepas pandangan terhadap Zahra. Dia sedikit heran. Biasanya, di mana pun berada para wanita akan histeris dan tidak lepas memandang tubuh atletisnya. Tapi berbeda dengan wanita bernama Zahra tersebut. Wanita khas memiliki wajah Indonesia dengan kulit kuning langsat, mata bulat lebar, bulu mata yang lebat dan iris mata yang berwarna hitam gelap. Tunggu! Matanya yang paling indah diantara anggota tubuh yang lainnya. Sepersekian detik Marc mengabsen seluruh tubuh Zahra.
“Nona Zahra, apakah ada perjanjian khusus sebelum kami menandatangani surat perjanjian dengan agensi tour?” Jason sahabatnya yang berbicara kali ini karena Marc sedang sibuk mengagumi siluet tubuh milik Zahra. Sedangkan wanita cantik dengan bulu mata lentik itu mengangguk dan mulai berbicara apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jika bekerja sama dengan dirinya. Rupanya Zahra bisa berbahasa Prancis. Itu lebih mengagumkan lagi.
***Meyyis***
Zahra mengembuskan napas halus. Dia sedikit ragu menyampaikan keinginannya. Namun dengan kekuatan istigfar dia menutup mata dan mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya. “Baiklah, Tuan. Karena Anda yang meminta maka saya akan mengatakannya. Saya hanya meminta libur di akhir pekan karena mengurus anak saya, saya meminta beberapa menit untuk salat. Sepertinya hanya itu.” Dengan mantap Zahra menganggukkan kepalanya. Marc masih saja memandang Zahra sangat intens. Lembut suaranya, membuat lelaki itu terlena. Zahra tidak bersolek seperti wanita pada umumnya. Namun wajahnya sudah cantik natural.
“Saya rasa urusan kontrak bisa di baca dulu?” Ruben memang mengurus kontrak untuk Zahra berbeda dengan yang lainnya. Zahra adalah sahabatnya sejak SMA, selain itu pendukung paling setia saat mulai mendirikan agensi ini. Jadi ada poin-poin khusus untuk dirinya.
“Oke, kami tidak masalah. Bagaimana dengan kamu Marc?” Jason menyenggol lengan Marc hingga lelaki itu tersadar dari lamunannya.
“Oh, iya, saya juga oke.” Mereka melakukan penandatanganan itu. Jason dan Marc mengajak Zahra makan siang. Sebagai tour guidenya, maka wanita itu menuruti tapi hanya menemani saja. Wanita itu tidak memesan makanan*.
“Kamu tidak memesan?” tanya Marc.
“Maaf, Saya sudah makan siang di rumah.” Zahra menangkupkan kedua tangannya tandanya minta maaf.
“Oh, baiklah. Kamu bisa pesan minum mungkin?” Marc memanggil pelayan. Lelaki itu bertanya apa yang diinginkan Zahra. Wanita dengan kerudung yang menutupi seluruh kepalanya itu meminta segelas air jeruk saja. Maka mengangguk dan memesankan air jeruk tersebut untuk Zahra. Jason sesekali melirik ke arah Marc. Ada yang berbeda dengan sahabatnya itu. Sepertinya Marc menginginkan wanita yang ada di depannya itu. Jason dan Marc bersahabat sudah cukup lama. Marc belum pernah memandang wanita sedalam itu. Tidak berapa lama, maka segelas air jeruk sudah tersaji. Zahra mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut.
“Nona, mungkin hari ini cukup sekian .... “ Jason menjeda ucapannya melihat Marc masih tercenung memandang Zahra yang hanya menunduk saja. Jason menyenggol tangan Marc sehingga lelaki itu kaget dan menumpahkan segelas air putih yang ada di depannya.
“Oh, maafkan aku! Kau jadi basah.” Zahra tersenyum dan meloloskan tisu yang tersedia di meja. Dia mengusapkan tisu tersebut pada bajunya yang basah. Marc bangkit akan membersihkannya. Tapi Zahra menolak. Sehingga Marc merasa bodoh. Dia lupa dengan hal-hal yang sudah dikatakan Jason sahabatnya kemarin sore. Zahra memang berbeda. Jika wanita lain, mungkin hal itu menjadi kesempatan emas untuk dekat dengan dirinya. Tidak dengan Zahra. Dia bahkan terkesan menolak ketampanannya.
“Hati-hati, Marc. Kami akan permisi pulang, Zahra. Kamu mau numpang?” Jason menawari tumpangan kepada Zahra.
“Terima kasih tidak usah. Saya sudah pesan ojek online.” Marck masih bengong saja sehingga Jason menarik tangan Marc. Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tingkah dua lelaki dewasa itu aneh.
“Aneh banget. Dua orang dewasa, seperti layaknya anak-anak SMP yang mencuri perhatian dari orang yang dia taksir. Tunggu! Segeer itukah aku?” Zahra tersenyum, menertawakan dirinya sendiri. Sepertinya, tingkah bule itu sudah sedikit mencuri perhatiannya, karena sedikit berbeda
Marc dan Jason sudah hilang dari pandangan Zahra. Saat akan membayar makanan tersebut, ternyata sudah diselesaikan pembayarannya. Zahra mengucapkan terima kasih setelah itu keluar dari restoran tersebut. Sementara itu, Jason dan Marc berdebat di dalam mobil yang melaju.“Kau ini bagaimana, Je. Aku masih ingin bersama Zahra.” Marc merajuk seperti anak-anak yang marah mainannya diambil.“Marc, kau tidak berperasaan. Kontrak kita baru besok berjalan. Zahra mempunyai keluarga.” Marc bedecak. Dia tidak lagi mendebat sahabatnya itu. Dia memilih manyun dan melihat ke arah jendela. Sedangkan Jason kembali fokus menyetir. Lelaki berkebangsaan Prancis itu hanya menggeleng. Mereka sudah sampai di apartemen yang disewa Marc saat berada di Indonesia ini. Lelaki itu berjalan mendahului Jason. Dia masuk ke dalam apartemen setelah melalui lift. Jason sendiri santai berjalan ke arah hunian tersebut.“Marc, k
Marc mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Azahra tidak ingin makan bersamanya. Lelaki berdada bidang itu mempersilakan dengan tangannya untuk wanita berjilbab itu diantar pulang.“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanya Marc.“Apa tidak merepotkan?” Zahra menatap Marc yang sudah berdiri di depannya.Marc tersenyum dengan manisnya seluruh gula menempel di bibirnya. Bahkan senyum itu baru pertama kali tersungging untuk sang wanita.“Sama sekali tidak. Ayo!” Mereka berjalan beriringan. Ingin jari-jari Marc meraih pundak Zahra yang ada di sampingnya. Kemudian ingat beberapa kalimat yang diucapkan oleh Jason Bahwa itu termasuk tidak sopan bagi wanita Muslim semacam Zahra. Marc menggaruk tengkuknya untuk menetralkan perasaannya. Belum pernah dirinya salah tingkah di depan seseorang apalagi seorang wanita. Apa sebenarnya yang dimiliki Zahra? Marc sendiri tidak mampu men
Zahra menoleh ke arah Marc. Sungguh jangan pernah bertanya bagaimana perasaan lelaki itu? Jantungnya sudah bergejolak bagai debur samudra yang ada di depannya saat ini. Kerudung Zahra yang melambai seakan menantangnya untuk melindungi wanita itu. Mata hitamnya membuat Marc tidak bisa berkutik.“Tidak apa-apa. Kami sudah bercerai tiga tahun lalu. Sejak perpisahan itu, kami bahkan tidak pernah bertutur sapa lagi. Baru tadi dia menyapaku.” Zahra kembali fokus ke depan. Melihat samudra yang biru dan bergelombang di tepi. Terdapat banyak orang bermain di sana. Namun terasa sangat sepi bagi Zahra. Hidupnya hanya tertuju pada Jelita putri kecilnya. Bukan tidak ada yang ingin membangun mahligai bersamanya. Namun semuanya tidak ditanggapi. Ketakutan Zahra paling besar adalah jika suami barunya tersebut tidak dapat konsisten menyayangi putrinya.“Separah itu? Kau mengatakan bahwa kalian sudah memiliki anak, apakah dia tidak merinduka
Berkali-kali lelaki dengan iris mata berwarna coklat itu menoleh ke arah Zahra. Setelah wanita berkerudung itu meraupkan kedua tangannya ke wajah, maka dirinya ikut melakukannya.“Mari silakan makan, Marc.” Lelaki dengan rambut rapi itu langsung saja memulai menyeruput sari kurma. Suara seruputannya terasa nikmat. Setelah itu, mengambil buah kurma yang ada di depannya.“Kau selalu puasa setiap bulan Ramadan, Zah?” tanya Marc. Dia mulai ketularan orang Indonesia setelah beberapa hari di Indonesia. Memanggil nama seseorang dengan penggalan nama saja.“Ya, kecuali ada uzur.” Marc mengerutkan keningnya.“Maksudnya? Uzur itu apa?” Tentu saja Marc tidak tahu jika wanita menstruasi tidak diperbolehkan puasa.“Seorang wanita memiliki berbagai macam uzur, Marc. Seperti menstruasi, melahirkan, setelah melahirkan. Itu tidak boleh puasa j
Kecanggungan semakin terasa di antara mereka. Keduanya hanya diam saja. Hati mereka merasa kacau. Hanya bungkam yang bisa mereka lakukan. Hanya sesekali Zahra menunjukkan jalan untuk mereka sampai di sebuah tempat. Lelaki dewasa itu hanya menuruti Zahra arah yang dituju. Ternyata mereka sampai di sebuah taman kota. Terlihat bangku-bangku panjang di sana. Permainan anak-anak dan beberapa orang yang menghabiskan waktu bergembira bersama keluarga.Marc meminggirkan mobilnya dan menguncinya. Setelah mendapatan nomor parkir, maka Brian menyusul Zahra yang sudah lebih dulu berjalan. Zahra menemukan bangku kosong di tepi taman yang jauh dari permainan anak-anak agar mereka lebih tenang berbicara. Marc duduk di samping Zahra.“Kita mulai dari mana?” tanya Marc.“Ha?” Zahra belum sepenuhnya kembali ke pikirannya. Dia bertanya maksud Marc.“Kita mulai belajar dari mana?” Zah
Hingga beratus kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Entahlah? Dia bahkan tidak dapat mengatakan tidak pada lelaki berkebangsaan Prancis itu. Hatinya seperti tersirami melihat tingkah konyol Marc. Lelaki itu sudah berhasil mencuri hatinya.***Meyyis***Zahra pura-pura tidak terpengaruh dengan perbuatan kecil Marc. Dia membuat alaram untuk setiap istiwa sholat. Setelah itu, mengembalikan ponsel Marc kembali. Lelaki itu mengantongi ponselnya kembali. Lelaki tiga puluhan tahun itu mengajak Zahra untuk membeli es krim. Zahra seperti anak kecil berlari ke arah penjual es krim itu. Memang, siapa pun tidak sanggup menolak pesona panganan manis itu. Rasa coklat menjadi pilihan demikian juga dengan Marc.“Kau menyukainya?” tanya Marc.“Iya, demikian juga dengan anakku. Kami penggila es krim.” Wanita pecinta warna coklat itu sesekali menjilat
“Aku bukannya anak muda atau belia yang penuh dengan cinta-cinta monyet saat bertemu dengan pria pujaan hati ‘kan? Tapi kok dadaku terasa bergetar.” Zahra berbisik pada dirinya sendiri. Dia membuka pintu rumahnya kemudian menutup kembali dan bersandar di belakangnya.***Meyyis***Zubaedah mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh putri satu-satunya itu. Dia yang sudah siap dengan mukena menutupi tubuhnya akan pergi ke masjid. Demikian juga dengan putri kecilnya Jelita. Anak kecil yang memiliki keistimewaan itu sudah siap dengan mukena warna merah muda berbunga warna-warni. Anak itu mengatakan dengan tangannya apa yang terjadi?“Tidak apa-apa, Sayang. Ma, mungkin Zahra akan tarawih sendiri di rumah. Kalau tidak nanti menyusul. Belum mandi juga.” Zubaedah mengangguk seraya menggandeng tangan cucunya. Wanita paruh baya itu membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Zahra berjalan pelan ke arah kamar mandi. Dengan tang ki
“Apa yang mau ditulis? Aku menunggumu. Mengapa tidak dikirim-kirim?” Marc kesal sendiri ketika Zahra tidak juga mengirim pesannya. Zahra di seberang sana menepuk keningnya. Ternyata Marc mengintainya.“Tidak ada, hanya ngapain tadi telepon sampai banyak banget. Aku mau mengomelimu.” Zahra mengirim pesan itu. Tepat seperti yang dibayangkan bahwa Zahra juga seperti perempuan pada umumnya yang bawel.“Mau tanya salat Tarawih.” Marc menyertakan emotion kepala nyengir.“Oh.” Itu yang di katakan Zahra. Kemudian wanita itu mengirim link vidio agar Marc berajar salat tarawih dari vidio tersebut.“Aku tidak ingin vidio, aku ingin kamu.” Hening ... Zahra hanya terdiam tidak mampu melakukan apa pun. Ah, apa yang dipikirkan oleh lelaki tiga puluh tahun itu? Bukannya sama saja? Malah lebih bervariasi belajar dari you tube.***Meyyis***
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga