“Ya Allah, apakah orang bule memang demikian? Raehan dulu satu dua paling. Astagfirullah! Kenapa aku membandingkan? Ya Allah ampuni aku.” Zahra cepat-cepat meraih handuk untuk keluar dari kamar mandi. Takut sang suami pulang dari masjid, jika dia belum berbusana pasti akan diterkam lagi. Zahra, Zahra ada-as aja. Memang buaya bisa menerkam?
***Meyyis***
Marc sudah pulang dari masjid. Dia mengucapkan salam sehingga seluruh penghuni rumah menoleh ke arahnya heran. “Kalau Marc dari masjid? Maka Zahra pagi menjerit kenapa?” Zubaedah Bertanya dalam hati. Zubaedah dan Zaenab serta yang lainnya saling pandang. Mereka seragam memikirkan jeritan pagi hari tadi.
“Marc, kamu dari mana?” tanya Zubaedah padahal dia sudah tahu jika pasti Marc dari masjid.
“Dari masjid, Ma.” Mereka semua membeo. Ziya sangat penasaran. Tidak mungkin ‘kan Marc buru-buru mandi kemud
Marc berganti pakaian oleh raga, sedangkan Zahra memakai kerudung karena akan menyiapkan minuman untuk sang suami. “Sayang, aku pingin jus saja.” Zahra mengangguk. Ah, indah sekali perut rata Marc. Zahra menarik napas agar tidak tergoda dengan tubuh suaminya yang telanjang dada.***MEYYIS***Zahra cepat-cepat keluar dari kamar karena takut tergoda lagi dengan sang suami. Nggak lucu ‘kan pagi-pagi buta sudah, ehem ... ah tau ah si author pikirannya kemana-mana. Maka marc melanjutkan ganti bajunya. Zahra menyiapkan jus yang diminta suaminya.“Pagi-pagi membuat jus? Untuk siapa?” tanya Zubaedah yang masih mengaduk nasi uduk. Pagi ini menunya nasi uduk. Dia kangen buat nasi uduk. Mumpung masih ada Zaenab juga. Esok hari, Zaenab sudah pulang kampung karena memang sudah lebih longgar peraturannya. Tidak seperti saat lebaran kemarin semua dicegat karena larangan mudik katanya.“O
“Jadi pingin, deh.” Zahra membelakkan matanya, saat tangan kekar itu mencolek dagunya.“Mandi dulu, ih. Bau kecut!” Marc mencuri cium kemudian ngacir ke kamar mandi. Zahra tersipu karenanya. Tiap saat ada saja tingkahnya yang membuat gagal fokus***Meyyis***“Mandi dulu, ih. Bau kecut!” Marc mencuri cium kemudian ngacir ke kamar mandi. Zahra tersipu karenanya. Tiap saat ada saja tingkahnya yang membuat gagal fokus.Zahra keluar dari kamarnya. Penghuni rumah memindai siapa tahu, Marc juga hadir nersama Zahra. Maka ketika dipastikan tidak ada Marc, mereka bertanya pada Zahra diwakili oleh Zaenab. “Za, sebenarnya kamu menjarit pagi-pagi kenapa sih?” Zahra kaget. Bukan kaget tapi lebih karena tertegun. Yang dibicarakan suaminya pagi tadi menjadi nyata. Ah, keluarganya memang biangnya kepo. Dia ‘kan jadi malu dan bersemu merah semerah tomat cherry.
“Zah, duduk dulu kembali. Belum selesai ‘kan sarapannya?” Zahra mengangguk kemudian duduk kembali. Ah, dia seperti duduk di kursi pesakitan. Keluarganya memandang penuh tanya.***MEYYIS***Marc sampai di rumah Jason. Lebih tepatnya apartemennya. Terlihat sedikit berantakan. Marc mengerutkan keningnya. Mengapa bisa? Marc mulai masuk ke belakang. Dia membelalakan matanya ketika mendapati Erika dalam keadaan terikat. Mulutnya di sumpak menggunakan sapu tangan, sedangkan Jason terlelap berada di ranjang itu.“Ya Allah apa yang terjadi? Jas! Jas!! Bangun! Apa yang kamu lakukan?” Jason membuka matanya yang masih berat karena semalam selain dia memberikan minuman keras untuk Erika agar mau mengakui perbuatannya, dia juga meminum sisanya. Lelaki itu memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Marc menggelengkan kepalanya.“Sudah aku bilang ‘kan? Jangan minum di rumah. Itu membaw
“Marc, please! Aku ....” Erika mencoba bernegoisasai. “Stop! Turuti aku atau tempatmu penjara.” Nada itu masih lugas tapi lagi-lagi penuh intimidasi. ***Meyyis*** Erika masih duduk diam. Hari ini batal sudah Marc tidak jadi ketemu dengan klien karena hal ini. Pikirannya kacau. Lelaki itu keluar dari kamarnya kemudian terdengar menelpon. “Halo, Ben. Ada tiket ke Prancis nggak? Siapkan satu atas nama Erika Guarantee. Aku kirim nanti biodata paspornya. Lo sekalian jemput ke apartemen gue ya?” Marc memutuskan sambungan telepon. Erika ditinggal Jason dan juga Marc dalam kamar. Kedua lelaki itu mengunci dia di dalam kamar. Sedangkan Marc pergi ke tempat favoritnya yaitu balkon. “Jas, aku tahu kamu emosi. Tapi dia masih mengandung.” Jason menoleh ke arah Marc dan merapat ke teralis untuk lebih dekat dengan Marc. “Marc, Marc, kamu terlalu baik sehingga ke
“Dah ah. Ngelantur malah entar bumbu yang ku goreng gosong. Bye.” Zahra akan menutup teleponnya.“Eh, tunggu! Tu es tre’s belle quand tu rougis. (Kau sangat cantik kalau tersipu). Aku mencintaimu.” Zahra menutup teleponnya. Dia memeluk ponselnya karena merasa bahagia.***MEYYIS***Marc berkendara dengan kecepatan sedang. Dia tersipu membayangkan wajah sang istri yang pasti sudah malu-malu kucing. Ah, rasanya jadi pingin cepat sampai rumah. Sedangkan di rumah Zahra kaget karena masakannya bau gosong.“Zahra ada apa? Kok bau gososng? Ya Allah, bumbu kamu gososng, Za. Jadi arang deh. Pasti melamun. Makanya fokus. Tadi dibantuin nggak mau.” Zubaedah mematikan kompor yang isinya sudah menjadi arang hitam semua. Zubaedah melihat isi kulkas apa yang hareus dilakukan. Bumbu sudah habis tidak ada. Hanya ada bawang merah dan bawang putih. Maka jadilah tumis saja. Untuk ayam dan juga
“Tenang, Sayang. Kau mau tahu seberapa kayanya suamimu ini? Entar kita telaah satu per satu ya? Biar tidak ada kecurigaan apalagi sampai salah paham. Sekarang pakai dulu. Seberapa cantik kalau istriku ini pakai ini.” Marc meletakkan kotak berisi beludru itu kemudian membuka kerudung sang istri. Zahra hanya menurut saja.***Meyyis***Zahra menunduk. Sedangkan Marc memegang dagunya agar sejajar dengan wajanya, lelaki itu sedikit membungkuk. Tanpa mengalihkan padangan meraih kotak beludu yang sudah dia letakkan dis amping Zahra. Marc memakaikan anting itu. Memang terlihat kecil namun jangan tanya harganya. Anting keluaran salah satu perusahaan berlian dari Swiss itu berharga tidak kurang dari seratus milyar. Bisa di cek di sebuah situs resmi.“Sayang, kau cantik sekali. Aku ingin terus mengagumimu tapi sebentar lagi zuhur. Aku amndi dulu, ya?” Marc melepas jas mahalnya kemudian meletakkannya di keran
“Iya sebentar. Zahra bangkit kemudian mencuci wajahnya. Dia berkali-kali menggososk matanya yang sudah mulai bengkak karena menangis. Ah, ini akan ketahuan semua orang kalau dia habis menangis. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau dia menangis memang matanya jadi bengkak walau cuma sebentar.***MEYYIS***Marc baru pulang dari masjid. Dia melewati ruang makan. “Marc kemarilah! Kita makan siang bareng. Sebentar lagi istrimu pasti datang tidak usah di panggil.” Marc mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi tidak lama Zahra datang. Marc menarikkan kursi untuknya. Marc mengerutkan kening ketika mendapati mata istrinya bengkak. “Istriku menangis? Kenapa, ya?” Marc memandang lekat ke arah Zahra. Semua penghuni mengerutkan kening. Apakah mereka berantem? Mereka seragam berpikir hal yang sama.“Zahra kok diam? Ambilkan makanan untuk suamimu. Zahra tidak bersuara. Dia mengambilkannya kemudian meletakkan di dep
Marc menarik kepala Zahra agar dapat menunggang di lengannya. Dia miring untuk memperlihatkan vidio rekaman itu. Zahra menurut saja. Terlihat memang bukan salah Marc. Setelah Erika lepas, dia berlari dan memeluk Marc. Di sanalah bibir itu mampir ke jas mahal suaminya. Tapi ....***Meyyis***“Nah begitu, ceritanya. Jangan marah lagi, ya? Kamu memaafkanku ‘kan? Bukan disengaja juga. Bukankah hukum ketidaksengajaan itu diperingan? Ayo, dong.” Marc merayu sang istri.“Tetap saja kamu yang salah, Hubby. Kamu menikmatinya ‘kan saat dia memelukmu? Lihatlah! Kalau Jason nggak menariknya pasti kamu juga sayang untuk menghempaskannya.” Zahra gengsi untuk mengakui jika dia sudah cemburu buta kepada sang suami. Sehingga dia tidak mengakui jika sang suami berkata benar.“Kok begitu?” Marc memprotes perkataan istrinya itu.“Iyalah! Mengaku
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga