“Tenang, Sayang. Kau mau tahu seberapa kayanya suamimu ini? Entar kita telaah satu per satu ya? Biar tidak ada kecurigaan apalagi sampai salah paham. Sekarang pakai dulu. Seberapa cantik kalau istriku ini pakai ini.” Marc meletakkan kotak berisi beludru itu kemudian membuka kerudung sang istri. Zahra hanya menurut saja.
***Meyyis***
Zahra menunduk. Sedangkan Marc memegang dagunya agar sejajar dengan wajanya, lelaki itu sedikit membungkuk. Tanpa mengalihkan padangan meraih kotak beludu yang sudah dia letakkan dis amping Zahra. Marc memakaikan anting itu. Memang terlihat kecil namun jangan tanya harganya. Anting keluaran salah satu perusahaan berlian dari Swiss itu berharga tidak kurang dari seratus milyar. Bisa di cek di sebuah situs resmi.
“Sayang, kau cantik sekali. Aku ingin terus mengagumimu tapi sebentar lagi zuhur. Aku amndi dulu, ya?” Marc melepas jas mahalnya kemudian meletakkannya di keran
“Iya sebentar. Zahra bangkit kemudian mencuci wajahnya. Dia berkali-kali menggososk matanya yang sudah mulai bengkak karena menangis. Ah, ini akan ketahuan semua orang kalau dia habis menangis. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau dia menangis memang matanya jadi bengkak walau cuma sebentar.***MEYYIS***Marc baru pulang dari masjid. Dia melewati ruang makan. “Marc kemarilah! Kita makan siang bareng. Sebentar lagi istrimu pasti datang tidak usah di panggil.” Marc mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi tidak lama Zahra datang. Marc menarikkan kursi untuknya. Marc mengerutkan kening ketika mendapati mata istrinya bengkak. “Istriku menangis? Kenapa, ya?” Marc memandang lekat ke arah Zahra. Semua penghuni mengerutkan kening. Apakah mereka berantem? Mereka seragam berpikir hal yang sama.“Zahra kok diam? Ambilkan makanan untuk suamimu. Zahra tidak bersuara. Dia mengambilkannya kemudian meletakkan di dep
Marc menarik kepala Zahra agar dapat menunggang di lengannya. Dia miring untuk memperlihatkan vidio rekaman itu. Zahra menurut saja. Terlihat memang bukan salah Marc. Setelah Erika lepas, dia berlari dan memeluk Marc. Di sanalah bibir itu mampir ke jas mahal suaminya. Tapi ....***Meyyis***“Nah begitu, ceritanya. Jangan marah lagi, ya? Kamu memaafkanku ‘kan? Bukan disengaja juga. Bukankah hukum ketidaksengajaan itu diperingan? Ayo, dong.” Marc merayu sang istri.“Tetap saja kamu yang salah, Hubby. Kamu menikmatinya ‘kan saat dia memelukmu? Lihatlah! Kalau Jason nggak menariknya pasti kamu juga sayang untuk menghempaskannya.” Zahra gengsi untuk mengakui jika dia sudah cemburu buta kepada sang suami. Sehingga dia tidak mengakui jika sang suami berkata benar.“Kok begitu?” Marc memprotes perkataan istrinya itu.“Iyalah! Mengaku
“Kemari saja! Kita main-main.” Marc menggendong sang putri sambung kemudian mendudukan di tepi ranjang. “Ma, telepon untukmu!” Marc memberikan ponsel tersebut, sehingga Zahra meringsut meraihnya dan mendial nomor sang penelpon.***MEYYIS***Zahra bangkit dan keluar dari kamar karena Marc berisik bercanda dengan Jelita. Dia tidak fokus untuk mendengarkan keterangan yang ada di telepon. Kali ini Ruben yang menelepon karena Marc ditelepon berkali-kali tidak diangkat. Baik oleh Ruben atau oleh Jason.“Halo, ada apa Bang Ben?” tanya Zahra setelah sampai di ruang tengah. Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi yang ada di sana.“Zahra, Marc ada di rumah? Aku telepon dari tadi nggak diangkat.” Zahra melongok ke arah kamarnya.“Iya, aku ada di rumah. Sebentar ya,aku panggilkan dulu.” Zahra beranjak menuju ke kamarnya kembali ketika Marc sedang be
“Enak masakannya. Zahra yang masak?” Jason mencari informasi walau tentu Ruben tidak tahu karena mereka sama-sama baru datang. Tapi tentu Ruben memiliki data yang cukup mengingat dia sering ke mari, walau tidak tahu melalui rasa yang di kecap pasti sudah hafal siapa yang masak.“Bukan, yang masak Bibi. Zahra masak gosong karena inget Marc mulu.” Mereka tertawa tahu informasi itu***Meyyis***“Bukan, yang masak Bibi. Zahra masak gosong karena inget Marc mulu.” Mereka tertawa tahu informasi itu.Setelah makan kenyang, mereka menjarah kulkas melihat minuman dingin. Dua botol minuman bersoda lolos dari dalam kulkas. Ruben melemparkan untuk Jason sehingga lelaki itu yang tidak siap menangkapnya dengan sedikit melompat. “Beh, jago juga, Lo!” puji Ruben.“Gue ngantuk semalem nggak tidur gara-gara si laler ijo itu,” keluh Jason.
Jason, mungkin Marc tidak langsung pulang tetapi membawa mertuanya itu untuk sekedar jalan-jalan. Namun ada mereka berdua yang saat mau berangkat tadi sudah memberi kode akan mengatakan hal yang penting. Marc belum tahu itu apa? Tapi dia menduga terkait masalah Erika dan sekutunya.***MEYYIS***Marc sudah memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah. Semua orang keluar. Termasuk dirinya juga. Setelah bunyi cicitan dua kali, mereka masuk ke dalam rumah. “Bocah-bocah, selalu ceroboh. Molor nggak dikunci.” Zubaedah ngedumel. Dia berlalu meninggalkan dua orang yang masih terlelap itu.“Heh, bangun! Molor aja!” Ruben dan Jason tergagap saat Marc memukul tipis lengan mereka.“Kalian lama, jadinya ketiduran.” Ruben bangun kemudian menuju belakang untuk mencuci muka.“Bangun dulu cuci muka ke belakang.” Marc menghempaskan tubuhnya ke kursi. Sedangkan Zahra
“Apa? Gue tahu lo yang super jahil itu pasti memiliki rencana jahil yang menggemaskan.” Mereka tertawa bersama, sampai Zubaedah mengintrupsi karena membawakan kopi hitam dan juga beberapa camilan.***Meyyis***Jason mengambil camilan yang tadi di bawakan oleh Zubaedah. Singkong yang sudah dibentuk bola-bola dengan kelapa membalut. “Enak, apaan ini?” Jason menggigit kembali dan membolak-baliknya.“Nggak tahu namanya, yang pasti itu dari singkong.” Ruben mengikuti mengambil camilan itu dan menggigitnya. Rasa manis yang bercampur dengan gurih kelapa membuat rasanya nikmat. Belum lagi rasa singkongnya yang pulen. Sepertinya paduan yang sangat nikmat.“Lanjut entar. Kalian nikmatin aja camilannya. Aku salat dulu.” Sudah pukul lima tapi Marc belum Salat Ashar. Dia langsung bergabung dengan mereka tadi. Marc mengambil air wudu kemudian melaksanakan kewajiban s
“Kalian mau pesen apa? Mama mau ke depan.” Ke depan maksudnya ke jalan yang digunakan untuk pasar dadakan. Kalau sore hari ada banyak penjual yang menjajakan makanan. Banyak makanan khas nusantara yang dijajakan tidak hanya khas Bali. Di sini pula temu kangen Zubaedah jika ingin merasakan masakan khas daerahnya. Sepertinya memang dunia serba mudah saat ini.“Apa saja kami lahap, Ma.” Jason kali ini yang bicara.“Baiklah!” Zubaedah tersenyum.***MEYYIS***“Jadi ayah bayinya Erika adalah Nyoman bartender K’Nigh.” Zahra membelalkan matanya Dia bahkan tersedak bola-bola ketela yang dia makan.“Kamu serius, Jas? Aku nggak nyangka. Nyoman itu anaknya Rakai Abiyaksa. Kok bisa begitu?” Zahra masih tidak percaya yang dikatakan oleh jason.dia mengkonfirmasi lagi. Siapa tahu memang telinganya yang bermasalah.&ld
“Kakek Albert sakit? Baiklah aku akan menyampaikan.” Marc yang dari luar sudah mendnegar lamat-lamat kemudian merasa penasaran.“Siapa yang menelpon?” Jason hanya memberikan ponselnya.“Halo, ada apa?”***Meyyis***“Siapa yang menelpon?” Jason hanya memberikan ponselnya.“Halo, ada apa?” Marc sudah hafal bahwa itu telepon dari keluarganya.“Halo, Tuan Muda. Kakek sakit dan ingin bertemu dengan Anda. Beliau meminta Anda pulang.” Hening sejenak. Kemudian Marc memandang lurus ke depan. Dia tahu jika keluarganya menelpon pasti akan ada yang terjadi atau minimal dia disuruh pulang.“Baiklah, aku akan pulang.” Marc memutuskan sambungannya. Dia mengembalikan ponselnya kepada Jason dengan sedikit melemparkannya.“Ais, kalau j
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.
Kenapa menatapku begitu? Baru nyadar kalau suamimu ganteng?”“Hem, narsis.”“Bukan narsis tapi percaya diri.”“Beda tipis.”“Kenapa? Emang aku nggak ganteng? Lebih ganteng mana aku dengan Marc marquez.”“Hem, gantengan kamu sedikit, banyakan dia.”“Oh, jadi gitu.” Fatih menggelitiki sang istri.***MEYYIS***Sore ini sudah siap sedia Diva dan Fatih akan bernagkat ke Mesir. Entah mengapa ada rasa yang tak biasa ketika akan meninggalkan Abi dan Umi. Diva berkali-kali membalikkan badan merasa berat meninggalkan mereka. Rasaanya sesak dan nyeri. “Kita akan kembali, Sayang. Paling lama dalam satu bulan.” Fatih berbisik kepada sang istri agar Diva lebih merelakan kepergiannya kali ini. Diva hanya mengangguk dan mengikuti Fatih. Mereka akhirnya mengud
Diva sudah tertidur. Puas Fatih memperhatikan sang istri. Dengkuran halus membuat dia mengangkat kepala sang istri kemudian tubuhnya untuk di baringkan ke atas ranjang dengan bantal sebagai pengganjal kepalanya. Lelaki itu kemudian tidur di sampingnya. “Selamat tidur, Bidadariku. Terima kasih kau sudah membuat aku menjadi suami seutuhnya. Semoga***Meyyis***Pagi ini Diva merasakan nyeri di bagian bawah pusarnya. Padahal nanti sore harus terbang bersama suaminya menuju ke Mesir untuk mengikutinya. Dia masih tidur di ranjangnya ketika suaminya sudah selesai mandi untuk salat Subuh. “Sayang, bangun dulu, yuk salat Subuh. Nanti kesiangan.” Fatih membuat Diva mengulat.“Boleh nggak, sih aku libur salat? Capek banget dan sakit.” Bekas jejak-jejak cinta yang Fatih buat membuat kulitnya memerah dan masih terasa sakit. Tapi yang lebih sakit bagian alat vitalnya.
“Mas,” ucap Diva.“Hem,”“Apa kamu kecewa, karena aku belum siap melakukan itu? Aku masih takut. Beri waktu aku sampai malam ini untuk meyakinkan diri.” Fatih membelai wajah Diva agar wanita itu lebih tennag bahwa lelakinya ini bisa menunggunya.***MEYYIS***Malam ini Diva sudah tampil cantik. Tentu saja Umi Fitri yang mendandaninya. Dia tersenyum malu-malu pada Fatih yang kali ini berada di ranjang mereka sedang membaca entah kitab apa? Fatih menghentikan aktivitasnya setelah melihat istrinya datang. Fatih menepuk tempat di sebelahnya. “Kamu selalu cantik, terima kasih sudah berusaha.” Satu kecupan mesra mendarat di kening Diva.“Aku akan mencoba, Mas. Aku sudah menjadi istrimu.” Fatih menangkup wajah istrinya. setelah menunggu beberapa hari, kini di malam yang syahdu Diva menyerahkan diri. Sesungguhnya, Fatih juga sangat takut. Baga