"Ai!" Aisyah kembali mendongak, mata wanita itu basah dan sembab, ia usap dengan jari tangannya sendiri, lalu berkata, "Ada apa, Mas?" "Jangan menangis lagi, kumohon!" Aisyah mengangguk, ia raba wajah pria yang saat ini semakin membuat besar rasa cinta dan sayang di dalam jiwa dan hatinya, meskipun di tempat yang terhina. "O, ya, kamu sama siapa ke sini?" kata Bram mengalihkan kesedihan istrinya. "Sama Pak Leo, Mas!" jawab Aisyah lalu menoleh ke belakang. "Panggil Mas Leo aja, gak apa-apa kok, Ai. Permintaanku terlalu tidak tahu diri dengan semua kesedihan yang kuberikan untukmu!" "Mau sehina dan seburuk apa pun suamiku, selama permintaannya tidak melanggar norma-norma yang berlaku, maka aku wajib mematuhinya, Mas, kamu suamiku, syurgaku ada di kamu!" kata Aisyah lagi. Ia tahu saat ini kondisi mental suaminya sedang ada di titik terendahnya, maka dari itu, sebisa mungkin Aisyah mencoba untuk mengembalikan kepercayaan suaminya tersebut. Tak mudah memang, di balik s
"Papa, Papa udah sadar? Alhamdulillah ya, Robb!" Aisyah segera menghubungi dokter melalui alat penghubung yang ada di ruangan papanya ini. Beberapa saat kemudian, "Dokter Sindi?" "Sayang!" Dokter Sindi tersenyum, lalu memeluk tubuh istri keponakannya tersebut dengan penuh rasa sayang. "Sabar ya, Cah Ayu, Allah ingin menaikan derajat keluargamu!" kata dokter Sindi dengan satu jari tangan yang mengusap air mata yang mengalir tanpa bisa ia cegah di wajahnya. "MasyaAllah, Dok, semoga ini bisa menjadi penggugur dosa-dosa Aisyah, Dok!" kata Aisyah setelah pelukan itu terlerai. "Beneran gak mau manggil Tante aja?" ucap dokter Sindi berseloroh, memecah kecanggungan yang tercipta. "Iya, Tante!" kata Aisyah menanggapi ucapan dokter Sindi. "Mas Usman!" kata Dokter Sindi, sebelum memeriksa satu persatu organ vital kakak iparnya itu. "Apa yang dirasakan sekarang, Mas?" tanya dokter Sindi setelah selesai memeriksa tubuh Usman. "Emm, emm emm!" Aisyah dan juga dokter Sind
"Seandainya bisa kuulang waktu, mungkin saat ini, bukan di sini tempat yang indah untuk kita bercerita. Seandainya bisa kuulang dan kuperbaiki setiap kata yang pernah terucap, mungkin sakit hati dan luka di dalam hatimu itu tidak akan pernah tercipta. Aku menyesal, namun, ada yang lebih berguna dari apa yang harus kusesali, Aisyah, yaitu memanfaatkan waktu yang masih diberikan dengan memberikanmu sedikit kebahagiaan meskipun kutau itu tidak akan pernah sebanding dengan luka dan derita yang selama ini kamu rasakan!" Bramantyo terkejut, tentu saja dia tak menyangka, Aisyah akan kembali datang menemuinya, bukan Soffi ataupun yang lainnya. Hanya Aisyah! "Kamu sakit, hem?" kata Bram. Saat ini mereka sudah duduk di ruangan lain, seperti biasanya saat Aisyah datang menjenguk suaminya itu. Aisyah meraba wajahnya, pelan-pelan ia perhatikan juga area tangan hingga ke jari kakinya. Wanita itu mendongak lalu tersenyum dalam gelengan kepalanya yang pelan. "Alhamdulillah, aku baik-baik
"Assalamualaikum!" ucap Aisyah dengan kepala dan tubuh yang sedikit menunduk. Wanita berhijab hitam itu terus berjalan, hingga kini sudah duduk di samping ayah mertuanya, tanpa sedikitpun melihat kepada sosok pria yang menyapanya tadi. "Papa udah makan?" "Sudah, baru saja, itu bekas makanan Papa!" Bukan, itu bukan jawaban yang keluar dari bibir Usman Sastro Nugroho, melainkan dari bibir pria yang menyapa Aisyah dengan sebutan kakak ipar. "Silakan keluar, Adik ipar, kita dilarang berada di satu ruangan yang sama seperti ini. Bi Onah!" Aisyah sedikit mengeraskan suaranya agar sang bibi mendengar panggilannya itu. "Kita akan lebih sering bersama, Kakak Ipar!" Aisyah tak peduli dengan ucapan adik iparnya itu, dia fokus membersihkan area wajah sang ayah mertua menggunakan kain yang sudah ia basahi dengan air hangat sebelumnya. "Aku akan menggantikan posisi Bramantyo sebagai CEO di perusahaan Papa!" Prang! Sebuah piring stainless jatuh ke lantai dari tangan Aisyah ya
Hening beberapa saat, Adrian meradang karena tamparan yang dilayangkan oleh istri dari kakaknya itu. "Saya pikir pendidikan Anda yang tinggi bisa terpancar dari nilai kata demi kata yang keluar dari mulut Anda, namun ternyata saya salah, Anda berilmu tapi melupakan adab!" Aisyah melangkah cepat menjauh dari Adrian, adik iparnya itu. "Pak Leo, saya ke kantor dengan kendaraan umum, Bapak langsung ke kantor saja ya!" Pesan terkirim, Aisyah kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku kemejanya. "Astaghfirullah, ampuni hamba, Ya Robby, hamba tidak mampu mengendalikan emosi dan amarah hamba sehingga berkata kasar dan buruk kepada adik ipar hamba sendiri!" ucap Aisyah lirih. Pandangan mata wanita itu lurus ke depan, jauh menatap jalanan ibu kota yang selalu saja padat merayap di jam sibuk seperti pagi ini. Sementara itu, "Aku salah? Bukankah yang kukatakan tadi itu adalah sebuah fakta? Mereka sudah menikah, dan ... argghh, sial, apa pria itu penyuka hutan homogen?
"Mencintai istri kakaknya sendiri, oh sungguh kasihan!" kata Soffi yang kemudian ikut juga meninggalkan kafe itu. "Aisyah, hidupmu menderita sekali ya, setelah suamimu dipenjara, sekarang kamu harus pontang-panting kerja pagi pulang sore demi perusahaan, lalu harus kemabli disibukkan dengan papa mertua yang sudah gak berguna itu!" ucap Soffi lagi sebelum masuk ke dalam kendaraan pribadi miliknya. Sementara itu di tempat berbeda, "Saya ingin bertemu dengan Bramantyo Sastro Nugroho!" Setelah berucap demikian, pria bertubuh kekar itu pun duduk, membuka sebentar layar ponselnya, memperhatikan grafik demi grafik perusahaan milik papanya yang akhir-akhir ini merosot meskipun tidak terlalu drastis, akan tetapi cukup membuat kening pria itu mengernyit. "Ternyata bisa segila ini, apakah ini perbuatan Mama? Ah, Mam
Malam semakin sunyi, dinginnya memeluk setiap hati dan jiwa yang kesepian dalam himpitan dan timbunan rasa lelah yang terus mengudara. Hanya suara desahan nafas yang teratur naik turun seirama dengan bunyi jarum jam yang terus menderu meninggalkan sang waktu. "Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh kesedihan, Pak Tua!" ucap Bram saat pria di sampingnya itu belum juga memejamkan kedua Indra penglihatannya. Tubuh pria itu sudah ia rebahkan di atas tikar lusuh yang sudah tidak bermotif lagi. Kepalanya ia sandarkan pada pergelangan tangannya yang mulai keriput dimakan usia. "Panggil aku Hasan, Bram!" Bramantyo menoleh, menciutkan pandangan matanya dengan alis mata tersentak bersama-sama. "Hasan?" ucap Bram dengan alis mengernyit heran. "Iya, Hasan, kenapa, apakah kamu pernah mendengar namaku ini sebelumnya?" Bram menggeleng, "Kenapa baru memberitahu setelah kita akan berpisah?" kata Bram. Pria dengan alis mata tebal itu pun menggeser duduknya agar lebih dekat.
"Mas Bram, maafkan aku karena tak mampu melanjutkan amanah yang sudah kamu percayakan ini. Aku tidak memiliki kuasa di perusahaan Papa ini, Mas, maaf!" ucap Aisyah dengan suara lirih. Satu tangannya sibuk memasukkan benda-benda penting miliknya ke dalam tas, sementara satu tangan yang lainnya sibuk menyeka bulir bening yang terus saja mengalirm tanpa bisa dicegah dan juga dijeda. Mengalir seolah tak peduli dengan sejuta sesak dan sakit di dalam dada yang sibuk mencari perisainya sendiri-sendiri di dalam sepinya hati. Tak ada sakit yang seperih ini, saat dia menangis dan tangan yang dia harapkan nyatanya tidak akan pernah ada di dekatnya, dia jauh, bahkan terlalu jauh ustat bisa dia sentuh saat ini. Coba untuk membungkam semua asa yang selalu ada, meskipun terasa begitu susah dan seakan malah memberi harapan kosong dan hampa. Akan tetapi, semakin dia coba, mengapa
Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram
Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian
Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah
Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be
"Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj
Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .
Beberapa jam sebelumnya. "Bram, udah dijemput?" Pak Hasan berjalan mendekati Bramantyo yang sudah siap untuk meninggalkan tempat terkutuk baginya ini. "Pulang sendiri, Pak!" jawab Bram, lalu akhirnya ikut duduk di samping Hasan. "Bram, boleh saya tanya sesuatu ke kamu?" "Tentang apa? Semua hal akan kuberitahu, selain tentang bidadari syurgaku!" "Aisyah?" kata Hasan yang membuat mata elang Bram menukik tajam menatap tak suka. Semua boleh menghinanya, tapi tidak dengan istrinya. Meskipun yang diucapkan oleh Hasan belum tentu seperti yang ia sangkakan, namun tetap saja dia marah dan tak suka. "Anda pikir?" kata Bram menunjukkan sisi dominan yang memang selalu dia tunjukan selama di dalam bilik tahanan ini. "Ya kali, wanita abal-abal sejenis nini kunti ataupun sundel bolong yang dengan butanya kamu jadikan bidadari, syurga lagi! Hahahha, cukup keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, jangan kamu juga ikut-ikutan!" ucap Hasan yang disertai suara t
"Mas Bram, maafkan aku karena tak mampu melanjutkan amanah yang sudah kamu percayakan ini. Aku tidak memiliki kuasa di perusahaan Papa ini, Mas, maaf!" ucap Aisyah dengan suara lirih. Satu tangannya sibuk memasukkan benda-benda penting miliknya ke dalam tas, sementara satu tangan yang lainnya sibuk menyeka bulir bening yang terus saja mengalirm tanpa bisa dicegah dan juga dijeda. Mengalir seolah tak peduli dengan sejuta sesak dan sakit di dalam dada yang sibuk mencari perisainya sendiri-sendiri di dalam sepinya hati. Tak ada sakit yang seperih ini, saat dia menangis dan tangan yang dia harapkan nyatanya tidak akan pernah ada di dekatnya, dia jauh, bahkan terlalu jauh ustat bisa dia sentuh saat ini. Coba untuk membungkam semua asa yang selalu ada, meskipun terasa begitu susah dan seakan malah memberi harapan kosong dan hampa. Akan tetapi, semakin dia coba, mengapa
Malam semakin sunyi, dinginnya memeluk setiap hati dan jiwa yang kesepian dalam himpitan dan timbunan rasa lelah yang terus mengudara. Hanya suara desahan nafas yang teratur naik turun seirama dengan bunyi jarum jam yang terus menderu meninggalkan sang waktu. "Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh kesedihan, Pak Tua!" ucap Bram saat pria di sampingnya itu belum juga memejamkan kedua Indra penglihatannya. Tubuh pria itu sudah ia rebahkan di atas tikar lusuh yang sudah tidak bermotif lagi. Kepalanya ia sandarkan pada pergelangan tangannya yang mulai keriput dimakan usia. "Panggil aku Hasan, Bram!" Bramantyo menoleh, menciutkan pandangan matanya dengan alis mata tersentak bersama-sama. "Hasan?" ucap Bram dengan alis mengernyit heran. "Iya, Hasan, kenapa, apakah kamu pernah mendengar namaku ini sebelumnya?" Bram menggeleng, "Kenapa baru memberitahu setelah kita akan berpisah?" kata Bram. Pria dengan alis mata tebal itu pun menggeser duduknya agar lebih dekat.