Cinta tiba-tiba datang dan menangis saat mendengar kata Paman. Dia sangat marah, dan aku menjadi panik.
“Kenapa kalian semua memikirkan diri sendiri. Aku sudah berusaha, dan bisakah kalian menungguku? Kenapa kami harus selalu wajib melakukan perintah keluarga. Kami sudah menikah, dan seharusnya, itu semua menjadi urusanku sendiri!” bentak Cinta yang semakin membuat Paman diam tegang menghadapi Cinta. Aku harus menghentikannya. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa berani dengan seseorang yang lebih tua. Masalah harus terselesaikan dengan baik.
“Cinta, tenangkan hatimu. Kita akan membicarakan baik-baik. Paman hanya memberikan saran,” ucapku untuk meredakannya.
“Tidak, kalian sangat keterlaluan!”
Cinta menampisku dan berlari. Aku ingin mengejarnya, namun aku masih harus menemui Paman.
“Gus, mungkin kau bisa memikirkan perkataanku ini. Tapi, Cinta memang benar. Semua keputusan ada di tangan Cinta dan dirimu. Pama
Tidak aku percaya dengan apa yang aku lihat. Minah adalah wanita yang akan menikahiku? Ini tidak bisa aku biarkan. Cinta menatapku tajam, dan aku tidak tahu harus berkata apa. Minah berjalan dan mendekatiku.“Agus, aku meminta maaf. Dulu aku menolakmu karena aku buta. Tapi, saat Bapak ama Ibu mengatakan aku harus menikahimu, aku setuju dan aku sangat senang.”Minah semakin bergelayut manja denganku, tanpa mempedulikan Cinta yang menariknya. Aku masih panik tidak bisa berpikir sama sekali dengan situasi ini.“Ibu, apa-apa’an ini?” tanya Cinta menarikku agar Minah tidak mendekatiku.“Gus, sadar!” Rahman menepuk pundakku dan aku kembali waras kembali. Aku segera berdiri dan menatap semua orang yang melihatku.“Bapak, maafkan … Agus tidak bisa menerima,” ucapku pelan dan menarik Cinta agar berada di belakangku.“Agus, kau harus menerimanya. Aku adalah cinta pertamamu, dan a
Aku tidak menyangka jika Cinta mengatakan hal yang sangat menyakitkan hatiku. Tapi, mungkin dia memang benar. Aku tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan dia tidak segera mengandung. Dan perkataannya adalah benar. Aku duduk lemas, merasakan hati yang sangat sendu. Cinta berada di balkon kamar, berdiri dengan sedih hingga meneteskan air matanya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kuputuskan untuk mengambil jaket dan pergi meninggalkan kamar untuk mencari udara segar. Mungkin dia lebih baik sendiri.Aku berjalan meninggalkan hotel dan terus berjalan hingga sampai di pinggir taman kota yang dipenuhi muda mudi saling bercanda, bahkan banyak sekali sepasang kekasih saling di mabuk asmara. Aku terdiam menyaksikan mereka.“Apa yang harus aku lakukan, Cinta?” batinku masih berjalan tanpa arah, hingga aku tersadar.“Loh, di mana aku? Gawat ini. Aku tidak tahu harus ke mana,” gumamku sambil mengamati sekitar dan tidak tahu tujuan. Kuhampiri la
Cinta menggigit milikku. Tapi, seperti biasa, aku melayang dan akhirnya aku menariknya.“Aw, Cinta, kamu ini ya …”Dia berada di atas tubuhku dan membuatku melayang. Dada kekarku dia perlahan raba dengan pelan, hingga aku bergetar. “Cinta, aku tidak tahan,” kataku dan segera menyelesaikan tugasku. Aku memeluknya dan selalu tersenyum jika memandangnya. Hatiku yang sebenarnya resah, aku sembunyikan dengan baik. Paling tidak aku akan membuatnya bahagia sampai kita kembali ke Indonesia, dan aku sangat berharap Cinta bisa memberikan ahli waris.Kami tertidur dengan lelap, hingga melupakan makan malam yang tertunda. Pagi menjelang, aku segera bangun dan memesankan sarapan romantis di kamar. Pelayan dengan segera merubah balkon kamar menjadi indah saat Cinta masih terlelap.“Thank u,” kataku kepada beberapa pelayan yang tersenyum dan meninggalkan kamar kami. Aku kembali mengatur semua bunga mawar segar yang aku pesan. K
Aku menarik Cinta saat malam juga. Alangkah baiknya memang saat kita mandi di pantai malam saja. Kalau pagi bagaimana jika mereka semua melihat kemolekan tubuh Cinta. Tapi, saat Cinta ada di hadapanku, aku masih resah. Rasa tubuhku belum sembuh. Cinta juga menatapku aneh. Sebaiknya aku mulai pergi saja.“Cinta jangan saling memandang. Itu yang terbaik yang harus kita lakukan,” kataku membuat Cinta dan aku saling memalingkan wajah.“Agus, kalau satu kali lagi gimana?”“Hah? Cinta, jangan! Kita sudah melakukannya lebih dari lima kali, masak masih kuran? Aku bisa-bisa tidak bisa berjalan ini,” protesku sambil menariknya. Tapi, tangannya masih menahan tubuhku.“Bagaimana jika memang manjur? Sebaiknya kita lakukan sekali lagi agar aku bisa meredakan hatiku, Agus. Aku masih sangat takut jika bulan depan yang tinggal dua minggu lagi menggagalkanku,” jelas Cinta sempat membuatku diam.“Kita mandi di pan
Tidak aku sangka, di belakang kami sudah berdiri dua aparat yang mengarahkan kepalan tangannya.“Agus, apa kita akan dipenjara?” tanya Cinta resah. Aku masih memeluknya dan tidak tahu harus berkata apa. Kedua aparat itu melambaikan tangan agar kami menghampiri mereka. Perlahan aku menarik Cinta dan mendekati mereka.“Wait!” teriakan sopir yang sama sekali tidak aku duga. Dia datang kembali dan menarik kedua aparat itu. Apa yang dikatakan mereka aku sama sekali tidak paham. Mereka masih mendebatkan sesuatu dan pastinya mengenai aku yang melanggar perintah. Yang terpenting, sekarang aku dengan Cinta sudah normal kembali.“Im sory. I cant help u,” perkataan sopir itu membuat kami melotot. Tidak aku percaya kami digiring menuju mobil aparat.“Its oke. Thank u,” jawabku sambil menerima jaket kami yang sempat tertinggal di taxinya.“Agus, apa kita benar-benar akan di penjara?” tanya Cinta sekali
Aku tidak mengerti dengan dokter ini. Kejadian di Palangkaraya pasti terjadi lagi. Aku menatap Cinta yang sudah merasa kesal melihat dokter itu hanya mengamati kertas berisi hasil kami. Namun, saat aku akan mengambil kacamatanya, “Oke, good!” katanya singkat mengejutkanku, dan Rahman bersalaman dengannya. Dokter itu mengambil kacamatanya kembali dan baru memakainya. Aku semakin tidak mengerti.“Agus, dia membaca dulu, baru memakai kacamatanya? Ini tidak benar,” bisik Cinta kesal.“Sudah, sabar dulu Cinta. Kita tunggu Rahman,” balasku sambil memeluknya.Kuputuskan aku akan menunggu Rahman saja untuk menceritakan. Kami ikut tersenyum dan bersalaman. Kemudian keluar dari ruangan.“Man, piye hasilnya. Kamu itu manggut-manggut saja dari tadi.” Aku dengan Cinta menatap Rahman yang memegang dagunya. Perasaanku sangat tidak enak rasanya.“Hmm, yah pokoknya hasilnya oke, kan katanya tadi, Gus,” jaw
Cinta melempar ponselku hingga terbagi tiga di jalan beraspal. Suasana romantis yang harusnya terjalin, malah kebalikannya. Cinta memegang kepalanya yang pastinya terasa sakit. Aku memunguti ponselku dan memasukkan ke saku jaket tebal yang aku pakai.“Agus, kenapa Minah menghubungimu?” teriaknya sekali lagi. Aku berusaha memeluknya yang terus menampisku.“Jangan sentuh aku!” Cinta berlari. Aku segera mengejarnya. Semua mata memandangku seakan aku akan menculik wanita yaitu Cinta. Malah, salah satu aparat yang melintas akan menangkapku sekali lagi. Aku tersenyum ke semua arah agar semua orang tidak menganggapku aneh.“Cinta!” teriakku sambil terus memanggilnya, namun dia tidak segera berhenti. Aku semakin melangkah cepat hingga akhirnya sangat mudah menangkap Cinta. Dia memeluk dan menagis di dadaku. Air matanya yang kesekian kali membasahi tubuhku, hingga aku menghembuskan nafas kekawatiran. Aku masih terus berpikir bagaimana
Minah semakin mendekatiku. Sedangkan Cinta, terus berjalan tanpa menungguku. Ibunya dari kejauhan menatapnya sendu. Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja. Aku akan berusaha bersamanya. Tapi, bagaimana dengan Minah? Hingga terbesit rencana untuk menghindarinya.“Man, sekarang saatnya kamu mendekati Minah. Ini adalah waktu yang sangat tepat. Bantu aku agar bisa menghindarinya dan bersama Cinta.”“Aman, Gus. Alias beres,” jawabnya sambil memberikan jempol.Minah semakin dekat di hadapanku. Namun, saat langkahnya tinggal beberapa lagi, “Minah bidadari jatuh dari Jogja. Wajahnya asri nan alami. Seperti pohon yang mengitari bandara. Kecantikannya luar biasa,” rayuan tidak jelas dari mulut Rahman yang membuat Minah menghentikan langkahnya dan menatap kesal Rahman. Mungkin jika aku menjadi Minah, aku juga akan menonjok Rahman. Rayuan kok begitu.“Minggir!” teriak Minah. Tapi, Rahman masih saja menghalanginya,