Aku menarik Cinta saat malam juga. Alangkah baiknya memang saat kita mandi di pantai malam saja. Kalau pagi bagaimana jika mereka semua melihat kemolekan tubuh Cinta. Tapi, saat Cinta ada di hadapanku, aku masih resah. Rasa tubuhku belum sembuh. Cinta juga menatapku aneh. Sebaiknya aku mulai pergi saja.
“Cinta jangan saling memandang. Itu yang terbaik yang harus kita lakukan,” kataku membuat Cinta dan aku saling memalingkan wajah.
“Agus, kalau satu kali lagi gimana?”
“Hah? Cinta, jangan! Kita sudah melakukannya lebih dari lima kali, masak masih kuran? Aku bisa-bisa tidak bisa berjalan ini,” protesku sambil menariknya. Tapi, tangannya masih menahan tubuhku.
“Bagaimana jika memang manjur? Sebaiknya kita lakukan sekali lagi agar aku bisa meredakan hatiku, Agus. Aku masih sangat takut jika bulan depan yang tinggal dua minggu lagi menggagalkanku,” jelas Cinta sempat membuatku diam.
“Kita mandi di pan
Tidak aku sangka, di belakang kami sudah berdiri dua aparat yang mengarahkan kepalan tangannya.“Agus, apa kita akan dipenjara?” tanya Cinta resah. Aku masih memeluknya dan tidak tahu harus berkata apa. Kedua aparat itu melambaikan tangan agar kami menghampiri mereka. Perlahan aku menarik Cinta dan mendekati mereka.“Wait!” teriakan sopir yang sama sekali tidak aku duga. Dia datang kembali dan menarik kedua aparat itu. Apa yang dikatakan mereka aku sama sekali tidak paham. Mereka masih mendebatkan sesuatu dan pastinya mengenai aku yang melanggar perintah. Yang terpenting, sekarang aku dengan Cinta sudah normal kembali.“Im sory. I cant help u,” perkataan sopir itu membuat kami melotot. Tidak aku percaya kami digiring menuju mobil aparat.“Its oke. Thank u,” jawabku sambil menerima jaket kami yang sempat tertinggal di taxinya.“Agus, apa kita benar-benar akan di penjara?” tanya Cinta sekali
Aku tidak mengerti dengan dokter ini. Kejadian di Palangkaraya pasti terjadi lagi. Aku menatap Cinta yang sudah merasa kesal melihat dokter itu hanya mengamati kertas berisi hasil kami. Namun, saat aku akan mengambil kacamatanya, “Oke, good!” katanya singkat mengejutkanku, dan Rahman bersalaman dengannya. Dokter itu mengambil kacamatanya kembali dan baru memakainya. Aku semakin tidak mengerti.“Agus, dia membaca dulu, baru memakai kacamatanya? Ini tidak benar,” bisik Cinta kesal.“Sudah, sabar dulu Cinta. Kita tunggu Rahman,” balasku sambil memeluknya.Kuputuskan aku akan menunggu Rahman saja untuk menceritakan. Kami ikut tersenyum dan bersalaman. Kemudian keluar dari ruangan.“Man, piye hasilnya. Kamu itu manggut-manggut saja dari tadi.” Aku dengan Cinta menatap Rahman yang memegang dagunya. Perasaanku sangat tidak enak rasanya.“Hmm, yah pokoknya hasilnya oke, kan katanya tadi, Gus,” jaw
Cinta melempar ponselku hingga terbagi tiga di jalan beraspal. Suasana romantis yang harusnya terjalin, malah kebalikannya. Cinta memegang kepalanya yang pastinya terasa sakit. Aku memunguti ponselku dan memasukkan ke saku jaket tebal yang aku pakai.“Agus, kenapa Minah menghubungimu?” teriaknya sekali lagi. Aku berusaha memeluknya yang terus menampisku.“Jangan sentuh aku!” Cinta berlari. Aku segera mengejarnya. Semua mata memandangku seakan aku akan menculik wanita yaitu Cinta. Malah, salah satu aparat yang melintas akan menangkapku sekali lagi. Aku tersenyum ke semua arah agar semua orang tidak menganggapku aneh.“Cinta!” teriakku sambil terus memanggilnya, namun dia tidak segera berhenti. Aku semakin melangkah cepat hingga akhirnya sangat mudah menangkap Cinta. Dia memeluk dan menagis di dadaku. Air matanya yang kesekian kali membasahi tubuhku, hingga aku menghembuskan nafas kekawatiran. Aku masih terus berpikir bagaimana
Minah semakin mendekatiku. Sedangkan Cinta, terus berjalan tanpa menungguku. Ibunya dari kejauhan menatapnya sendu. Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja. Aku akan berusaha bersamanya. Tapi, bagaimana dengan Minah? Hingga terbesit rencana untuk menghindarinya.“Man, sekarang saatnya kamu mendekati Minah. Ini adalah waktu yang sangat tepat. Bantu aku agar bisa menghindarinya dan bersama Cinta.”“Aman, Gus. Alias beres,” jawabnya sambil memberikan jempol.Minah semakin dekat di hadapanku. Namun, saat langkahnya tinggal beberapa lagi, “Minah bidadari jatuh dari Jogja. Wajahnya asri nan alami. Seperti pohon yang mengitari bandara. Kecantikannya luar biasa,” rayuan tidak jelas dari mulut Rahman yang membuat Minah menghentikan langkahnya dan menatap kesal Rahman. Mungkin jika aku menjadi Minah, aku juga akan menonjok Rahman. Rayuan kok begitu.“Minggir!” teriak Minah. Tapi, Rahman masih saja menghalanginya,
Minah menyerobot mobil Rahman dengan cepat, hingga mengejutkan kami. Mobilnya berhenti mendadak menghadang mobil Rahman yang masih berjalan. Pedal gas Rahman tekan seketika, mendadak membuat kami menahan tubuh agar tidak tersungkur ke depan.“Gus, itu bukan kucing. Itu Minah. Kucingnya cantik, Gus,” ucap Rahman sambil melongo melihat Minah keluar dari mobil dan menuju ke arah kami. Namun, pandangan Rahman sedikit berubah saat melihat Minah menatap kami dengan tajam.“Hus, masak wanita gitu kamu samakan kucing, Man,” protesku. Rahman masih saja menganga melihat Minah apalagi mengenakan rok pendek. Minah berkacak pinggang sambil berteriak.“Agus, keluar!”“Gawat ini, Man. Dia sangat marah,” kataku sambil menepuk pundak Rahman.“Man, atasi!”Rahman menggeleng cepat. Tidak aku percaya dia melakukan itu. “Man, katanya kamu suka sama yang galak karena enak. Kok, sekarang kamu begitu
Sudah satu hari aku tidak bertemu Cinta. Aku sedih, merana, sakit. Hatiku hampa, tanpa arah. Wanita jutek, galak, cerewet, tidak seperti kriteriaku sama sekali, namun membuatku jatuh cinta, hilang tanpa kabar. Hasratku melemah, tulang rusukku menghilang. Apalah daya aku dengan hidupku sekarang ini.“Cinta!” Kali ini Rahman menjauh dari posisiku. Sejak kami berpelukan sambil menangis merana, aku merasakan aneh. Mana ada sahabat seperti itu. Apalagi kami sama-sama laki-laki. Mengerikan.“Gus, kamu butuh sandaran?” tanyanya mengejutkanku sekali lagi.“Tidak!” jawabku singkat sambil meliriknya aneh.“Sandaran di kursi yang aku bawa ini. Emangnya sandaran apa? Kayu?” Aku terkejut melihat Rahman membawa kursi. Pikiranku ternyata salah. Aku mengambil kursi itu dan mendudukinya. Memang sejak dari tadi aku berdiri hingga lututku nyilu.“Kamu itu kayak upacara saja. Berdiri sejam di sini. Bikin aku ikut p
Aku mencium Cinta dan sedikit mendorong tubuhnya hingga terjebur di kolam. “Byur!”“Agus, kolamnya nanti merah. Gimana sih, kamu itu!” protes Cinta. Aku segera menariknya keluar. Rahman hanya menatap kami santai sambil memakan siomay.“Wes, kalian itu!” ucapnya sambil mengunyah dengan lahap.“Kring!”“Gus, ponselmu berdering. Minah!”“Opo?”Tidak aku percaya dengan apa yang dikatakan Rahman. Dari mana sebenarnya dia mengetahui nomor ponselku. Rahman terus menatapku aneh. Aku merasakan dia yang mengatakannya.“Man, kamu ngaku. Kenapa nomorku ada di Minah!” tunjukku ke wajah Rahman yang kaku seketika. Tapi, dia menggaruk kepalanya, padahal tidak terasa gatal.“Kamu punya kutu?”“Hmm, gak, Gus!”“Lalu?”Aku sangat hafal dengan ekspresinya. Dia pasti melakukan sesuatu yang ak
Aku terperanjat bersama Cinta. Tirai kamar aku buka dan melihat siapa wanita yang berteriak di halaman rumahku. Namun, aku terkejut sosok wanita tidak asing berdiri sambil berkacak pinggang. Cinta yang awalnya biasa saja, kini memperlihatkan wajah juteknya.“Jangan keluar!” katanya tegas, menarik lenganku saat aku mau keluar dari kamar menyelesaikan masalah ini.“Cinta, kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?” tanyaku resah.“Selama dia wanita, tidak akan ada masalah denganku. Paling juga nanti saling menjambak,” katanya santai berjalan keluar kamar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Cinta tidak boleh seperti ini. Aku tidak mau terjadi apapun dengannya. Dengan segera aku memakai pakaian lengkap, dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.“Kau, Minah tidak tahu diri! Beraninya menggangguku malam seperti ini!” teriak Cinta membalas tatapan tajamnya.“Haha, aku adalah calon istri laki-lak
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny