Minah menyerobot mobil Rahman dengan cepat, hingga mengejutkan kami. Mobilnya berhenti mendadak menghadang mobil Rahman yang masih berjalan. Pedal gas Rahman tekan seketika, mendadak membuat kami menahan tubuh agar tidak tersungkur ke depan.
“Gus, itu bukan kucing. Itu Minah. Kucingnya cantik, Gus,” ucap Rahman sambil melongo melihat Minah keluar dari mobil dan menuju ke arah kami. Namun, pandangan Rahman sedikit berubah saat melihat Minah menatap kami dengan tajam.
“Hus, masak wanita gitu kamu samakan kucing, Man,” protesku. Rahman masih saja menganga melihat Minah apalagi mengenakan rok pendek. Minah berkacak pinggang sambil berteriak.
“Agus, keluar!”
“Gawat ini, Man. Dia sangat marah,” kataku sambil menepuk pundak Rahman.
“Man, atasi!”
Rahman menggeleng cepat. Tidak aku percaya dia melakukan itu. “Man, katanya kamu suka sama yang galak karena enak. Kok, sekarang kamu begitu
Sudah satu hari aku tidak bertemu Cinta. Aku sedih, merana, sakit. Hatiku hampa, tanpa arah. Wanita jutek, galak, cerewet, tidak seperti kriteriaku sama sekali, namun membuatku jatuh cinta, hilang tanpa kabar. Hasratku melemah, tulang rusukku menghilang. Apalah daya aku dengan hidupku sekarang ini.“Cinta!” Kali ini Rahman menjauh dari posisiku. Sejak kami berpelukan sambil menangis merana, aku merasakan aneh. Mana ada sahabat seperti itu. Apalagi kami sama-sama laki-laki. Mengerikan.“Gus, kamu butuh sandaran?” tanyanya mengejutkanku sekali lagi.“Tidak!” jawabku singkat sambil meliriknya aneh.“Sandaran di kursi yang aku bawa ini. Emangnya sandaran apa? Kayu?” Aku terkejut melihat Rahman membawa kursi. Pikiranku ternyata salah. Aku mengambil kursi itu dan mendudukinya. Memang sejak dari tadi aku berdiri hingga lututku nyilu.“Kamu itu kayak upacara saja. Berdiri sejam di sini. Bikin aku ikut p
Aku mencium Cinta dan sedikit mendorong tubuhnya hingga terjebur di kolam. “Byur!”“Agus, kolamnya nanti merah. Gimana sih, kamu itu!” protes Cinta. Aku segera menariknya keluar. Rahman hanya menatap kami santai sambil memakan siomay.“Wes, kalian itu!” ucapnya sambil mengunyah dengan lahap.“Kring!”“Gus, ponselmu berdering. Minah!”“Opo?”Tidak aku percaya dengan apa yang dikatakan Rahman. Dari mana sebenarnya dia mengetahui nomor ponselku. Rahman terus menatapku aneh. Aku merasakan dia yang mengatakannya.“Man, kamu ngaku. Kenapa nomorku ada di Minah!” tunjukku ke wajah Rahman yang kaku seketika. Tapi, dia menggaruk kepalanya, padahal tidak terasa gatal.“Kamu punya kutu?”“Hmm, gak, Gus!”“Lalu?”Aku sangat hafal dengan ekspresinya. Dia pasti melakukan sesuatu yang ak
Aku terperanjat bersama Cinta. Tirai kamar aku buka dan melihat siapa wanita yang berteriak di halaman rumahku. Namun, aku terkejut sosok wanita tidak asing berdiri sambil berkacak pinggang. Cinta yang awalnya biasa saja, kini memperlihatkan wajah juteknya.“Jangan keluar!” katanya tegas, menarik lenganku saat aku mau keluar dari kamar menyelesaikan masalah ini.“Cinta, kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?” tanyaku resah.“Selama dia wanita, tidak akan ada masalah denganku. Paling juga nanti saling menjambak,” katanya santai berjalan keluar kamar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Cinta tidak boleh seperti ini. Aku tidak mau terjadi apapun dengannya. Dengan segera aku memakai pakaian lengkap, dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.“Kau, Minah tidak tahu diri! Beraninya menggangguku malam seperti ini!” teriak Cinta membalas tatapan tajamnya.“Haha, aku adalah calon istri laki-lak
Rahman memang keterlaluan. Masak kemah adiknya yang dia berikan kepadaku. Warna pink dengan ukuran anak-anak. Bagaimana ini?“Cinta, ini kecil dan cukup satu orang.”“Sudah tidak masalah, suamiku. Nanti, aku diatasmu tidurnya,” kata Cinta santai menjawabnya.Aku mendekatinya. “Kalau kau di atasku, bagaimana nanti? Aku bisa berteriak terus Cinta. Roketnya kerja terus bagaimana?” ucapku melepas senyum malu.“Ya sudah, nanti aku yang akan di bawahmu,” katanya sekali lagi membuatku menggeleng.“Kalau kayak gitu malah roketnya meledak Cinta …,” liirihku tersenyum sipu.Tidak aku sadari kok malah genit sama istriku sendiri. Bagaimana tidak, dia sangat cantik begitu. Apalagi jika jaketnya di buka melihatkan lengannya yang mulus. Ha …“Loh, loh, jangan dibuka jaketnya, Dipakai lagi. Itu lengannya terlihat. Aku tidak mau semua orang melihatnya.” Aku mengeratk
Semua orang yang menikmati api unggun itu berlari menuju kemahku. Dengan jelas aku bisa melihatnya di celah kain kemah yang agak sedikit robek. Namun, aku mengkawatirkan sesuatu. “Cinta, celanaku semakin melorot. Kamu singkirkan kakimu itu,” ucapku pelan.“Bagaimana caranya? Kita terjebak seperti ini,” balas Cinta.“Iya juga ya.”Aku masih berpikir dan semua orang menatap kami di luar sambil menunduk. “Cinta, kita sebaiknya diam saja. Mereka ada di depan kemah ini sambil mengernyit.”“Kalian kenapa?” tanya salah satu warga kepada anak kecil yang masih menangis mengira kita hantu.“Itu kemahnya bergerak sendiri,” katanya sambil menunjukkan jarinya kearah kemah kami.“Bukankah itu kemah pasangan pemuda tadi?” tanya salah satunya dan berjalan kearah kami.“Gawat,” batinku masih diam memeluk Cinta. Aku bersamanya sudah sangat pasrah dengan ini
Rahman melesatkan mobilnya dengan kencang. Kami menuju ke rumah sakit terdekat dalam beberapa menit. Aku segera membuka pintu mobil berlari masuk ke dalam unit gawat darurat. Menemui suster penjaga.“Suster, istri saya demam tinggi!” teriakku.Suster serontak berdiri dan menemui suster lain yang bertugas. Mereka mengambil sebuah kasur beroda untuk membawa Cinta yang sangat lemas di alam mobil. Rahman segera membuka pintu mobil membantuku menarik Cinta hingga berada di atas kasur itu untuk segera di bawa menuju ruangan dokter.“Kuat ya Cinta,” ucapku sambil memegang tangannya yang terus berkeringat. Cinta membalasnya dengan sedikit senyuman, membuatku semakin sedih. Senyuman itu sangat lemas dan pucat.“Mas tunggu di luar. Kami akan memeriksanya,” kata salah satu suster menahanku masuk ke dalam ruangan. Dalam beberapa menit, dokter wanita masuk ke dalam dengan alatnya. Aku melihatnya dari luar Jendela bersama Rahman.
“Tidak …,” lirihku lemas.Aku memelas sambil memandang wajah Cinta yang semakin pucat. Dia hanya diam di dalam pelukan ibunya. Entahlah bagaimana perasaannya. Pasti sangat sakit, seperti diriku yang merana ini. Rasanya nyilu, pusing, kayak pengen kerokan yang keras, dan Rahman biasanya yang membantuku.“Man, aku kerokin ya, aku masuk angin,” kataku memegang lengannya dan dia mengernyit.“Kalau masuk angin itu ke spa pijit refleksi, malah minta kerok. Direktur kok gitu,” bisik Rahman membuatku mencep melihatnya.“Mau, apa ndak?” tanyaku kembali.“Iyo, habis rapat,” jawabnya menggeleng.Sementara Bapak masih saja menjelaskan bagaimana ahli waris harus dilahirkan dengan secepatnya. Aku sendiri tidak paham dengan semua situasi ini.“Gus, Gus!” panggilan Bapak yang mengejutkanku saat melamun. Rahman menepuk pundakku. Aku hanya terfokus dengan Cinta yang masih mu
Cinta menarikku untuk melanjutkan. Sementara Minah berteriak kencang menangis tidak karuan. Untung ada Rahman di sebelahnya. Dia seketika memeluk Minah sambil tersenyum menatapku dan memberikan jempol kanannya.“Sudah, wes, sabar … untung ada Mas Rahman yang sangat super ganteng ini. Minah ayu bisa menyandarkan kepalanya dengan tenang,” kata Rahman meringis keenakan mengelus-elus punggung Minah yang masih tidak sadar dengan itu semua.“Agus, kamu kok jahat sih?” tanyanya masih menyembunyikan wajahnya di dada kekar Rahman.“Wes, sabar Minah ayu,” ucap Rahman masih meringis kesenangan.Aku segera merapatkan resletingku. Berjalan menutup pintu kamar dengan rapat.“Brak!”Cinta menatapku dengan manyun, membuatku panik. Tiada yang membuatku panik melihat wajah manyunnya.“Gus, ingat anjuran dokter!” teriak Rahman sekali lagi.Aku menggeleng dan mendekatI Cinta. &ldqu