Aku mencium Cinta dan sedikit mendorong tubuhnya hingga terjebur di kolam. “Byur!”
“Agus, kolamnya nanti merah. Gimana sih, kamu itu!” protes Cinta. Aku segera menariknya keluar. Rahman hanya menatap kami santai sambil memakan siomay.
“Wes, kalian itu!” ucapnya sambil mengunyah dengan lahap.
“Kring!”
“Gus, ponselmu berdering. Minah!”
“Opo?”
Tidak aku percaya dengan apa yang dikatakan Rahman. Dari mana sebenarnya dia mengetahui nomor ponselku. Rahman terus menatapku aneh. Aku merasakan dia yang mengatakannya.
“Man, kamu ngaku. Kenapa nomorku ada di Minah!” tunjukku ke wajah Rahman yang kaku seketika. Tapi, dia menggaruk kepalanya, padahal tidak terasa gatal.
“Kamu punya kutu?”
“Hmm, gak, Gus!”
“Lalu?”
Aku sangat hafal dengan ekspresinya. Dia pasti melakukan sesuatu yang ak
Aku terperanjat bersama Cinta. Tirai kamar aku buka dan melihat siapa wanita yang berteriak di halaman rumahku. Namun, aku terkejut sosok wanita tidak asing berdiri sambil berkacak pinggang. Cinta yang awalnya biasa saja, kini memperlihatkan wajah juteknya.“Jangan keluar!” katanya tegas, menarik lenganku saat aku mau keluar dari kamar menyelesaikan masalah ini.“Cinta, kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?” tanyaku resah.“Selama dia wanita, tidak akan ada masalah denganku. Paling juga nanti saling menjambak,” katanya santai berjalan keluar kamar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Cinta tidak boleh seperti ini. Aku tidak mau terjadi apapun dengannya. Dengan segera aku memakai pakaian lengkap, dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.“Kau, Minah tidak tahu diri! Beraninya menggangguku malam seperti ini!” teriak Cinta membalas tatapan tajamnya.“Haha, aku adalah calon istri laki-lak
Rahman memang keterlaluan. Masak kemah adiknya yang dia berikan kepadaku. Warna pink dengan ukuran anak-anak. Bagaimana ini?“Cinta, ini kecil dan cukup satu orang.”“Sudah tidak masalah, suamiku. Nanti, aku diatasmu tidurnya,” kata Cinta santai menjawabnya.Aku mendekatinya. “Kalau kau di atasku, bagaimana nanti? Aku bisa berteriak terus Cinta. Roketnya kerja terus bagaimana?” ucapku melepas senyum malu.“Ya sudah, nanti aku yang akan di bawahmu,” katanya sekali lagi membuatku menggeleng.“Kalau kayak gitu malah roketnya meledak Cinta …,” liirihku tersenyum sipu.Tidak aku sadari kok malah genit sama istriku sendiri. Bagaimana tidak, dia sangat cantik begitu. Apalagi jika jaketnya di buka melihatkan lengannya yang mulus. Ha …“Loh, loh, jangan dibuka jaketnya, Dipakai lagi. Itu lengannya terlihat. Aku tidak mau semua orang melihatnya.” Aku mengeratk
Semua orang yang menikmati api unggun itu berlari menuju kemahku. Dengan jelas aku bisa melihatnya di celah kain kemah yang agak sedikit robek. Namun, aku mengkawatirkan sesuatu. “Cinta, celanaku semakin melorot. Kamu singkirkan kakimu itu,” ucapku pelan.“Bagaimana caranya? Kita terjebak seperti ini,” balas Cinta.“Iya juga ya.”Aku masih berpikir dan semua orang menatap kami di luar sambil menunduk. “Cinta, kita sebaiknya diam saja. Mereka ada di depan kemah ini sambil mengernyit.”“Kalian kenapa?” tanya salah satu warga kepada anak kecil yang masih menangis mengira kita hantu.“Itu kemahnya bergerak sendiri,” katanya sambil menunjukkan jarinya kearah kemah kami.“Bukankah itu kemah pasangan pemuda tadi?” tanya salah satunya dan berjalan kearah kami.“Gawat,” batinku masih diam memeluk Cinta. Aku bersamanya sudah sangat pasrah dengan ini
Rahman melesatkan mobilnya dengan kencang. Kami menuju ke rumah sakit terdekat dalam beberapa menit. Aku segera membuka pintu mobil berlari masuk ke dalam unit gawat darurat. Menemui suster penjaga.“Suster, istri saya demam tinggi!” teriakku.Suster serontak berdiri dan menemui suster lain yang bertugas. Mereka mengambil sebuah kasur beroda untuk membawa Cinta yang sangat lemas di alam mobil. Rahman segera membuka pintu mobil membantuku menarik Cinta hingga berada di atas kasur itu untuk segera di bawa menuju ruangan dokter.“Kuat ya Cinta,” ucapku sambil memegang tangannya yang terus berkeringat. Cinta membalasnya dengan sedikit senyuman, membuatku semakin sedih. Senyuman itu sangat lemas dan pucat.“Mas tunggu di luar. Kami akan memeriksanya,” kata salah satu suster menahanku masuk ke dalam ruangan. Dalam beberapa menit, dokter wanita masuk ke dalam dengan alatnya. Aku melihatnya dari luar Jendela bersama Rahman.
“Tidak …,” lirihku lemas.Aku memelas sambil memandang wajah Cinta yang semakin pucat. Dia hanya diam di dalam pelukan ibunya. Entahlah bagaimana perasaannya. Pasti sangat sakit, seperti diriku yang merana ini. Rasanya nyilu, pusing, kayak pengen kerokan yang keras, dan Rahman biasanya yang membantuku.“Man, aku kerokin ya, aku masuk angin,” kataku memegang lengannya dan dia mengernyit.“Kalau masuk angin itu ke spa pijit refleksi, malah minta kerok. Direktur kok gitu,” bisik Rahman membuatku mencep melihatnya.“Mau, apa ndak?” tanyaku kembali.“Iyo, habis rapat,” jawabnya menggeleng.Sementara Bapak masih saja menjelaskan bagaimana ahli waris harus dilahirkan dengan secepatnya. Aku sendiri tidak paham dengan semua situasi ini.“Gus, Gus!” panggilan Bapak yang mengejutkanku saat melamun. Rahman menepuk pundakku. Aku hanya terfokus dengan Cinta yang masih mu
Cinta menarikku untuk melanjutkan. Sementara Minah berteriak kencang menangis tidak karuan. Untung ada Rahman di sebelahnya. Dia seketika memeluk Minah sambil tersenyum menatapku dan memberikan jempol kanannya.“Sudah, wes, sabar … untung ada Mas Rahman yang sangat super ganteng ini. Minah ayu bisa menyandarkan kepalanya dengan tenang,” kata Rahman meringis keenakan mengelus-elus punggung Minah yang masih tidak sadar dengan itu semua.“Agus, kamu kok jahat sih?” tanyanya masih menyembunyikan wajahnya di dada kekar Rahman.“Wes, sabar Minah ayu,” ucap Rahman masih meringis kesenangan.Aku segera merapatkan resletingku. Berjalan menutup pintu kamar dengan rapat.“Brak!”Cinta menatapku dengan manyun, membuatku panik. Tiada yang membuatku panik melihat wajah manyunnya.“Gus, ingat anjuran dokter!” teriak Rahman sekali lagi.Aku menggeleng dan mendekatI Cinta. &ldqu
Tidak aku percaya semua kondisi ini semakin membuatku resah. Apalagi dengan kekadiran Minah yang melekat kayak perangko. Dia mengikutiku kemana saja. Perasaan Cinta pasti akan sangat sakit saat melihatnya. Bagaimana jika kita bersama dengan wanita yang dicalonkan buat suami kita selalu berada di tengah-tengah kita? Aku sangat memahaminya. Aku sendiri menahan perasaan itu. Semoga Cinta bisa melalui kondisi ini.Sambil berjalan, aku segera masuk ke dalam kamar di mana Cinta sudah terbaring lemas dengan selang infus yang sudah menancap di lengan kanannya. Lirikan sayu dia lemparkan ke arahku. Tanpa memperhatikan sekitar, aku terus mendekati Cinta yang kini telapak tangannya ada digenggamanku.“Cinta …,” lirihku. Dia hanya melirik belakangku. Yah, melirik calon istri keduaku dan sahabat konyolku yang super baik bernama si ganteng Rahman, katanya.“Cinta, anggap mereka tidak ada. Dan hanya aku suamimu yang sangat tampan ini yang berada di kam
Tamparan keras melayang di pipi kanan Minah. Cinta menarik bungkus bulat berisi cairan infus dari tiang besi yang menyangganya. Dia berjalan mendekati Minah dan, “Plak!” Suaranya sangat kencang sekali. Minah diam seketika menatap tajam Cinta.Aku dan Rahman diam melotot saat melihatnya. Minah menarik napas panjang, dan dia sangat murka. “Aku, akan mengadukan ini, hingga membuatmu terpisah dengan Agus sampai kita menikah!” bentakan Minah membuatku tersulut emosi. Tidak aku percaya dia mengatakan hal gila.“Minah, kau harus pulang bersama Rahman, dan tidak boleh menolak. Cinta, membutuhkan istirahat, dan kalian harus pergi dari sini,” tegasku membuat Rahman ketakutan segera menarik Minah paksa.“Lepaskan!” Minah meronta, tidak membuat Rahman menyerah. Dia mengangkat tubuh Minah hingga akhirnya berhasil membawanya keluar kamar. Aku segera berjalan mengunci pintu kamar dua kali tekanan.“Rahman!” ter