Sudah satu hari aku tidak bertemu Cinta. Aku sedih, merana, sakit. Hatiku hampa, tanpa arah. Wanita jutek, galak, cerewet, tidak seperti kriteriaku sama sekali, namun membuatku jatuh cinta, hilang tanpa kabar. Hasratku melemah, tulang rusukku menghilang. Apalah daya aku dengan hidupku sekarang ini.
“Cinta!” Kali ini Rahman menjauh dari posisiku. Sejak kami berpelukan sambil menangis merana, aku merasakan aneh. Mana ada sahabat seperti itu. Apalagi kami sama-sama laki-laki. Mengerikan.
“Gus, kamu butuh sandaran?” tanyanya mengejutkanku sekali lagi.
“Tidak!” jawabku singkat sambil meliriknya aneh.
“Sandaran di kursi yang aku bawa ini. Emangnya sandaran apa? Kayu?” Aku terkejut melihat Rahman membawa kursi. Pikiranku ternyata salah. Aku mengambil kursi itu dan mendudukinya. Memang sejak dari tadi aku berdiri hingga lututku nyilu.
“Kamu itu kayak upacara saja. Berdiri sejam di sini. Bikin aku ikut p
Aku mencium Cinta dan sedikit mendorong tubuhnya hingga terjebur di kolam. “Byur!”“Agus, kolamnya nanti merah. Gimana sih, kamu itu!” protes Cinta. Aku segera menariknya keluar. Rahman hanya menatap kami santai sambil memakan siomay.“Wes, kalian itu!” ucapnya sambil mengunyah dengan lahap.“Kring!”“Gus, ponselmu berdering. Minah!”“Opo?”Tidak aku percaya dengan apa yang dikatakan Rahman. Dari mana sebenarnya dia mengetahui nomor ponselku. Rahman terus menatapku aneh. Aku merasakan dia yang mengatakannya.“Man, kamu ngaku. Kenapa nomorku ada di Minah!” tunjukku ke wajah Rahman yang kaku seketika. Tapi, dia menggaruk kepalanya, padahal tidak terasa gatal.“Kamu punya kutu?”“Hmm, gak, Gus!”“Lalu?”Aku sangat hafal dengan ekspresinya. Dia pasti melakukan sesuatu yang ak
Aku terperanjat bersama Cinta. Tirai kamar aku buka dan melihat siapa wanita yang berteriak di halaman rumahku. Namun, aku terkejut sosok wanita tidak asing berdiri sambil berkacak pinggang. Cinta yang awalnya biasa saja, kini memperlihatkan wajah juteknya.“Jangan keluar!” katanya tegas, menarik lenganku saat aku mau keluar dari kamar menyelesaikan masalah ini.“Cinta, kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?” tanyaku resah.“Selama dia wanita, tidak akan ada masalah denganku. Paling juga nanti saling menjambak,” katanya santai berjalan keluar kamar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Cinta tidak boleh seperti ini. Aku tidak mau terjadi apapun dengannya. Dengan segera aku memakai pakaian lengkap, dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.“Kau, Minah tidak tahu diri! Beraninya menggangguku malam seperti ini!” teriak Cinta membalas tatapan tajamnya.“Haha, aku adalah calon istri laki-lak
Rahman memang keterlaluan. Masak kemah adiknya yang dia berikan kepadaku. Warna pink dengan ukuran anak-anak. Bagaimana ini?“Cinta, ini kecil dan cukup satu orang.”“Sudah tidak masalah, suamiku. Nanti, aku diatasmu tidurnya,” kata Cinta santai menjawabnya.Aku mendekatinya. “Kalau kau di atasku, bagaimana nanti? Aku bisa berteriak terus Cinta. Roketnya kerja terus bagaimana?” ucapku melepas senyum malu.“Ya sudah, nanti aku yang akan di bawahmu,” katanya sekali lagi membuatku menggeleng.“Kalau kayak gitu malah roketnya meledak Cinta …,” liirihku tersenyum sipu.Tidak aku sadari kok malah genit sama istriku sendiri. Bagaimana tidak, dia sangat cantik begitu. Apalagi jika jaketnya di buka melihatkan lengannya yang mulus. Ha …“Loh, loh, jangan dibuka jaketnya, Dipakai lagi. Itu lengannya terlihat. Aku tidak mau semua orang melihatnya.” Aku mengeratk
Semua orang yang menikmati api unggun itu berlari menuju kemahku. Dengan jelas aku bisa melihatnya di celah kain kemah yang agak sedikit robek. Namun, aku mengkawatirkan sesuatu. “Cinta, celanaku semakin melorot. Kamu singkirkan kakimu itu,” ucapku pelan.“Bagaimana caranya? Kita terjebak seperti ini,” balas Cinta.“Iya juga ya.”Aku masih berpikir dan semua orang menatap kami di luar sambil menunduk. “Cinta, kita sebaiknya diam saja. Mereka ada di depan kemah ini sambil mengernyit.”“Kalian kenapa?” tanya salah satu warga kepada anak kecil yang masih menangis mengira kita hantu.“Itu kemahnya bergerak sendiri,” katanya sambil menunjukkan jarinya kearah kemah kami.“Bukankah itu kemah pasangan pemuda tadi?” tanya salah satunya dan berjalan kearah kami.“Gawat,” batinku masih diam memeluk Cinta. Aku bersamanya sudah sangat pasrah dengan ini
Rahman melesatkan mobilnya dengan kencang. Kami menuju ke rumah sakit terdekat dalam beberapa menit. Aku segera membuka pintu mobil berlari masuk ke dalam unit gawat darurat. Menemui suster penjaga.“Suster, istri saya demam tinggi!” teriakku.Suster serontak berdiri dan menemui suster lain yang bertugas. Mereka mengambil sebuah kasur beroda untuk membawa Cinta yang sangat lemas di alam mobil. Rahman segera membuka pintu mobil membantuku menarik Cinta hingga berada di atas kasur itu untuk segera di bawa menuju ruangan dokter.“Kuat ya Cinta,” ucapku sambil memegang tangannya yang terus berkeringat. Cinta membalasnya dengan sedikit senyuman, membuatku semakin sedih. Senyuman itu sangat lemas dan pucat.“Mas tunggu di luar. Kami akan memeriksanya,” kata salah satu suster menahanku masuk ke dalam ruangan. Dalam beberapa menit, dokter wanita masuk ke dalam dengan alatnya. Aku melihatnya dari luar Jendela bersama Rahman.
“Tidak …,” lirihku lemas.Aku memelas sambil memandang wajah Cinta yang semakin pucat. Dia hanya diam di dalam pelukan ibunya. Entahlah bagaimana perasaannya. Pasti sangat sakit, seperti diriku yang merana ini. Rasanya nyilu, pusing, kayak pengen kerokan yang keras, dan Rahman biasanya yang membantuku.“Man, aku kerokin ya, aku masuk angin,” kataku memegang lengannya dan dia mengernyit.“Kalau masuk angin itu ke spa pijit refleksi, malah minta kerok. Direktur kok gitu,” bisik Rahman membuatku mencep melihatnya.“Mau, apa ndak?” tanyaku kembali.“Iyo, habis rapat,” jawabnya menggeleng.Sementara Bapak masih saja menjelaskan bagaimana ahli waris harus dilahirkan dengan secepatnya. Aku sendiri tidak paham dengan semua situasi ini.“Gus, Gus!” panggilan Bapak yang mengejutkanku saat melamun. Rahman menepuk pundakku. Aku hanya terfokus dengan Cinta yang masih mu
Cinta menarikku untuk melanjutkan. Sementara Minah berteriak kencang menangis tidak karuan. Untung ada Rahman di sebelahnya. Dia seketika memeluk Minah sambil tersenyum menatapku dan memberikan jempol kanannya.“Sudah, wes, sabar … untung ada Mas Rahman yang sangat super ganteng ini. Minah ayu bisa menyandarkan kepalanya dengan tenang,” kata Rahman meringis keenakan mengelus-elus punggung Minah yang masih tidak sadar dengan itu semua.“Agus, kamu kok jahat sih?” tanyanya masih menyembunyikan wajahnya di dada kekar Rahman.“Wes, sabar Minah ayu,” ucap Rahman masih meringis kesenangan.Aku segera merapatkan resletingku. Berjalan menutup pintu kamar dengan rapat.“Brak!”Cinta menatapku dengan manyun, membuatku panik. Tiada yang membuatku panik melihat wajah manyunnya.“Gus, ingat anjuran dokter!” teriak Rahman sekali lagi.Aku menggeleng dan mendekatI Cinta. &ldqu
Tidak aku percaya semua kondisi ini semakin membuatku resah. Apalagi dengan kekadiran Minah yang melekat kayak perangko. Dia mengikutiku kemana saja. Perasaan Cinta pasti akan sangat sakit saat melihatnya. Bagaimana jika kita bersama dengan wanita yang dicalonkan buat suami kita selalu berada di tengah-tengah kita? Aku sangat memahaminya. Aku sendiri menahan perasaan itu. Semoga Cinta bisa melalui kondisi ini.Sambil berjalan, aku segera masuk ke dalam kamar di mana Cinta sudah terbaring lemas dengan selang infus yang sudah menancap di lengan kanannya. Lirikan sayu dia lemparkan ke arahku. Tanpa memperhatikan sekitar, aku terus mendekati Cinta yang kini telapak tangannya ada digenggamanku.“Cinta …,” lirihku. Dia hanya melirik belakangku. Yah, melirik calon istri keduaku dan sahabat konyolku yang super baik bernama si ganteng Rahman, katanya.“Cinta, anggap mereka tidak ada. Dan hanya aku suamimu yang sangat tampan ini yang berada di kam
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny