Aku tidak mengerti dengan dokter ini. Kejadian di Palangkaraya pasti terjadi lagi. Aku menatap Cinta yang sudah merasa kesal melihat dokter itu hanya mengamati kertas berisi hasil kami. Namun, saat aku akan mengambil kacamatanya, “Oke, good!” katanya singkat mengejutkanku, dan Rahman bersalaman dengannya. Dokter itu mengambil kacamatanya kembali dan baru memakainya. Aku semakin tidak mengerti.
“Agus, dia membaca dulu, baru memakai kacamatanya? Ini tidak benar,” bisik Cinta kesal.
“Sudah, sabar dulu Cinta. Kita tunggu Rahman,” balasku sambil memeluknya.
Kuputuskan aku akan menunggu Rahman saja untuk menceritakan. Kami ikut tersenyum dan bersalaman. Kemudian keluar dari ruangan.
“Man, piye hasilnya. Kamu itu manggut-manggut saja dari tadi.” Aku dengan Cinta menatap Rahman yang memegang dagunya. Perasaanku sangat tidak enak rasanya.
“Hmm, yah pokoknya hasilnya oke, kan katanya tadi, Gus,” jaw
Cinta melempar ponselku hingga terbagi tiga di jalan beraspal. Suasana romantis yang harusnya terjalin, malah kebalikannya. Cinta memegang kepalanya yang pastinya terasa sakit. Aku memunguti ponselku dan memasukkan ke saku jaket tebal yang aku pakai.“Agus, kenapa Minah menghubungimu?” teriaknya sekali lagi. Aku berusaha memeluknya yang terus menampisku.“Jangan sentuh aku!” Cinta berlari. Aku segera mengejarnya. Semua mata memandangku seakan aku akan menculik wanita yaitu Cinta. Malah, salah satu aparat yang melintas akan menangkapku sekali lagi. Aku tersenyum ke semua arah agar semua orang tidak menganggapku aneh.“Cinta!” teriakku sambil terus memanggilnya, namun dia tidak segera berhenti. Aku semakin melangkah cepat hingga akhirnya sangat mudah menangkap Cinta. Dia memeluk dan menagis di dadaku. Air matanya yang kesekian kali membasahi tubuhku, hingga aku menghembuskan nafas kekawatiran. Aku masih terus berpikir bagaimana
Minah semakin mendekatiku. Sedangkan Cinta, terus berjalan tanpa menungguku. Ibunya dari kejauhan menatapnya sendu. Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja. Aku akan berusaha bersamanya. Tapi, bagaimana dengan Minah? Hingga terbesit rencana untuk menghindarinya.“Man, sekarang saatnya kamu mendekati Minah. Ini adalah waktu yang sangat tepat. Bantu aku agar bisa menghindarinya dan bersama Cinta.”“Aman, Gus. Alias beres,” jawabnya sambil memberikan jempol.Minah semakin dekat di hadapanku. Namun, saat langkahnya tinggal beberapa lagi, “Minah bidadari jatuh dari Jogja. Wajahnya asri nan alami. Seperti pohon yang mengitari bandara. Kecantikannya luar biasa,” rayuan tidak jelas dari mulut Rahman yang membuat Minah menghentikan langkahnya dan menatap kesal Rahman. Mungkin jika aku menjadi Minah, aku juga akan menonjok Rahman. Rayuan kok begitu.“Minggir!” teriak Minah. Tapi, Rahman masih saja menghalanginya,
Minah menyerobot mobil Rahman dengan cepat, hingga mengejutkan kami. Mobilnya berhenti mendadak menghadang mobil Rahman yang masih berjalan. Pedal gas Rahman tekan seketika, mendadak membuat kami menahan tubuh agar tidak tersungkur ke depan.“Gus, itu bukan kucing. Itu Minah. Kucingnya cantik, Gus,” ucap Rahman sambil melongo melihat Minah keluar dari mobil dan menuju ke arah kami. Namun, pandangan Rahman sedikit berubah saat melihat Minah menatap kami dengan tajam.“Hus, masak wanita gitu kamu samakan kucing, Man,” protesku. Rahman masih saja menganga melihat Minah apalagi mengenakan rok pendek. Minah berkacak pinggang sambil berteriak.“Agus, keluar!”“Gawat ini, Man. Dia sangat marah,” kataku sambil menepuk pundak Rahman.“Man, atasi!”Rahman menggeleng cepat. Tidak aku percaya dia melakukan itu. “Man, katanya kamu suka sama yang galak karena enak. Kok, sekarang kamu begitu
Sudah satu hari aku tidak bertemu Cinta. Aku sedih, merana, sakit. Hatiku hampa, tanpa arah. Wanita jutek, galak, cerewet, tidak seperti kriteriaku sama sekali, namun membuatku jatuh cinta, hilang tanpa kabar. Hasratku melemah, tulang rusukku menghilang. Apalah daya aku dengan hidupku sekarang ini.“Cinta!” Kali ini Rahman menjauh dari posisiku. Sejak kami berpelukan sambil menangis merana, aku merasakan aneh. Mana ada sahabat seperti itu. Apalagi kami sama-sama laki-laki. Mengerikan.“Gus, kamu butuh sandaran?” tanyanya mengejutkanku sekali lagi.“Tidak!” jawabku singkat sambil meliriknya aneh.“Sandaran di kursi yang aku bawa ini. Emangnya sandaran apa? Kayu?” Aku terkejut melihat Rahman membawa kursi. Pikiranku ternyata salah. Aku mengambil kursi itu dan mendudukinya. Memang sejak dari tadi aku berdiri hingga lututku nyilu.“Kamu itu kayak upacara saja. Berdiri sejam di sini. Bikin aku ikut p
Aku mencium Cinta dan sedikit mendorong tubuhnya hingga terjebur di kolam. “Byur!”“Agus, kolamnya nanti merah. Gimana sih, kamu itu!” protes Cinta. Aku segera menariknya keluar. Rahman hanya menatap kami santai sambil memakan siomay.“Wes, kalian itu!” ucapnya sambil mengunyah dengan lahap.“Kring!”“Gus, ponselmu berdering. Minah!”“Opo?”Tidak aku percaya dengan apa yang dikatakan Rahman. Dari mana sebenarnya dia mengetahui nomor ponselku. Rahman terus menatapku aneh. Aku merasakan dia yang mengatakannya.“Man, kamu ngaku. Kenapa nomorku ada di Minah!” tunjukku ke wajah Rahman yang kaku seketika. Tapi, dia menggaruk kepalanya, padahal tidak terasa gatal.“Kamu punya kutu?”“Hmm, gak, Gus!”“Lalu?”Aku sangat hafal dengan ekspresinya. Dia pasti melakukan sesuatu yang ak
Aku terperanjat bersama Cinta. Tirai kamar aku buka dan melihat siapa wanita yang berteriak di halaman rumahku. Namun, aku terkejut sosok wanita tidak asing berdiri sambil berkacak pinggang. Cinta yang awalnya biasa saja, kini memperlihatkan wajah juteknya.“Jangan keluar!” katanya tegas, menarik lenganku saat aku mau keluar dari kamar menyelesaikan masalah ini.“Cinta, kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?” tanyaku resah.“Selama dia wanita, tidak akan ada masalah denganku. Paling juga nanti saling menjambak,” katanya santai berjalan keluar kamar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Cinta tidak boleh seperti ini. Aku tidak mau terjadi apapun dengannya. Dengan segera aku memakai pakaian lengkap, dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.“Kau, Minah tidak tahu diri! Beraninya menggangguku malam seperti ini!” teriak Cinta membalas tatapan tajamnya.“Haha, aku adalah calon istri laki-lak
Rahman memang keterlaluan. Masak kemah adiknya yang dia berikan kepadaku. Warna pink dengan ukuran anak-anak. Bagaimana ini?“Cinta, ini kecil dan cukup satu orang.”“Sudah tidak masalah, suamiku. Nanti, aku diatasmu tidurnya,” kata Cinta santai menjawabnya.Aku mendekatinya. “Kalau kau di atasku, bagaimana nanti? Aku bisa berteriak terus Cinta. Roketnya kerja terus bagaimana?” ucapku melepas senyum malu.“Ya sudah, nanti aku yang akan di bawahmu,” katanya sekali lagi membuatku menggeleng.“Kalau kayak gitu malah roketnya meledak Cinta …,” liirihku tersenyum sipu.Tidak aku sadari kok malah genit sama istriku sendiri. Bagaimana tidak, dia sangat cantik begitu. Apalagi jika jaketnya di buka melihatkan lengannya yang mulus. Ha …“Loh, loh, jangan dibuka jaketnya, Dipakai lagi. Itu lengannya terlihat. Aku tidak mau semua orang melihatnya.” Aku mengeratk
Semua orang yang menikmati api unggun itu berlari menuju kemahku. Dengan jelas aku bisa melihatnya di celah kain kemah yang agak sedikit robek. Namun, aku mengkawatirkan sesuatu. “Cinta, celanaku semakin melorot. Kamu singkirkan kakimu itu,” ucapku pelan.“Bagaimana caranya? Kita terjebak seperti ini,” balas Cinta.“Iya juga ya.”Aku masih berpikir dan semua orang menatap kami di luar sambil menunduk. “Cinta, kita sebaiknya diam saja. Mereka ada di depan kemah ini sambil mengernyit.”“Kalian kenapa?” tanya salah satu warga kepada anak kecil yang masih menangis mengira kita hantu.“Itu kemahnya bergerak sendiri,” katanya sambil menunjukkan jarinya kearah kemah kami.“Bukankah itu kemah pasangan pemuda tadi?” tanya salah satunya dan berjalan kearah kami.“Gawat,” batinku masih diam memeluk Cinta. Aku bersamanya sudah sangat pasrah dengan ini