Hingar bingar gemerlapnya dunia malam benar-benar membuat pusing yang dirasa Laura sejak siang kian menjadi-jadi. Semua ini karena obrolannya bersama Sang Mama lewat telepon yang membuat Laura tidak bisa tidur hampir semalaman. Padahal besok harinya ia harus datang ke kantor lebih pagi dari biasanya. Perkataan Mama bagaikan bom Hiroshima dan Nagasaki yang meluluh lantakkan gendang telinga.
Menikah.
Satu kata ajaib yang seketika membuat Laura badmood. Bukan kali ini saja Sang Mama ingin ia segera menikah diusianya sekarang. Laura tahu betul betapa kedua orang tuanya itu merindukan seorang cucu di dalam rumah, Laura pun demikian. Ia menginginkan seorang anak yang akan melengkapi hidupnya kelak. Tapi, tentu saja bukan seperti ini caranya. Tanpa sepengetahuan Laura, Mama menjodohkannya dengan anak dari teman masa kuliahnya dulu. Wajar saja kan kalau Laura murka? Seharusnya Mama tahu jika ia paling tidak suka dipaksa. Apalagi dipaksa menikah. Sejenak Laura teringat kata-kata Mamanya semalam.
“Kamu belum apa-apa sudah menolak. Ketemu dulu baru ambil keputusan,” bujuk Mama.
“Nggak mau, Ma. Karena kata ‘iya’ Mama dan Laura itu berbeda.”
“Loh? Apa salahnya sih?” sahut Mama keukeuh. “Mama nggak mungkin menjerumuskanmu, Nak. Percaya sama Mama. Dia calon terbaik yang Mama pilihkan.”
Mendengar itu jujur saja Laura ingin membanting ponsel ditangannya sekarang juga.
“Terbaik menurut Mama belum tentu terbaik untuk Laura.”
Begitulah. Hasil perdebatan singkat antara Laura dengan Sang Mama. Karena setelah itu Laura menonaktifkan ponselnya sepanjang hari dan baru mengaktifkannya sekarang. Dan sungguh melegakan karena tidak ada pesan masuk dari Sang Mama. Itulah kenapa Laura bisa berada di sini. Ajakan teman sekantornya siang tadi disambut Laura tanpa harus berpikir dua kali. Karena Laura tidak punya keberanian untuk menginjakkan kaki sendirian kemari. Apalagi tanpa alasan.
Pergi sendirian ke club malam?
Bisa dikira aku perempuan nggak bener, batin Laura.
Kerasnya detuman musik seolah membuat resonansi tersendiri untuk jantungnya. Ini adalah kedua kalinya bagi seorang Laura Wilona kembali mengerti seperti apa rasanya berada ditengah-tengah meja yang dikelilingi oleh berbagai jenis dan warna minuman. Laura bukan tipikal perempuan penikmat dunia malam. Tapi bukan pula tipikal perempuan kuno yang anti dengan hal-hal berbau alkohol. Laura mungkin ketinggalan jaman jika dibandingkan generasi millenial sekarang yang sudah terlampau terbiasa dengan dunia malam. Sesekali have fun bersama teman tidak masalah selagi tetap berada pada jalur yang aman. Setidaknya begitulah prinsip Laura. Biasanya ia hanya akan duduk menjaga tas-tas yang ditinggalkan, memandangi sekitarnya, sembari menikmati musik yang dimainkan DJ. Walaupun Laura sendiri tidak yakin ia benar-benar menikmatinya.
Laura memandang layar ponselnya kembali. Tidak ada tanda-tanda kekasih yang telah dipacarinya hampir dua tahun itu membalas pesan yang telah dikirimnya. Jujur, Laura sendiri tidak mengerti kenapa masih saja mempertahankan hubungan yang terbilang berat sebelah itu. Padahal kapan pun jika Laura mau, ia bisa saja mengakhirinya dan berpaling dengan yang lain. Sayangnya Laura tidak sejahat itu. Dan sayangnya lagi Laura terlanjur mencintai laki-laki itu. Meskipun hingga sekarang Laura tidak tahu akan dibawa ke mana hubungan ini nantinya.
“Kamu nggak ikutan turun sama anak-anak ?” sapa Clara, Si Ratu Clubbing. Dialah cikal bakal yang mengundang hampir setengah dari karyawan kantor untuk ke club malam ini. Dan tentu semua bill dia yang menanggung. Anak orang kaya sih bebas.
Laura menggeleng pelan. “Aku di sini saja. Kalian nggak ada yang mabok, kan?”
Clara menggeleng. “Nggak tahu. Mudah-mudahan saja nggak ada. Aku sudah mengancam mereka satu per satu. Besok meeting koordinasinya jadi jam 10, kan?”
“Dimajukan jadi jam 9. Katanya biar cepat selesai sebelum jam makan siang.”
Clara tampak mengecek planner di menu ponselnya kemudian menghela napas.
“Baguslah kalau begitu. Habis makan siang aku sudah keburu ada meeting dengan vendor. Eh, itu bukannya pacarmu, La?”
Laura menoleh. Ya, itu memang Gavin. Dan Gavin juga melambaikan tangan pertanda melihat dirinya. Dengan gesture tubuh bak top model papan atas Gavin menghampiri Laura. Tak lupa pula senyuman mautnya menghiasi wajah tampannya.
“Halo, Clara, “ sapa Gavin. “Seneng banget ya kamu mengajak pacarku clubbing hampir setiap malam?”
“Nggak usah lebay. Yang penting nggak sampai mabok, kan?” balas Clara.
“Mabok atau nggak tinggal masalah waktu saja, Cla. Laura itu berbeda denganmu.”
Clara berdecak. Terlihat sekali jika ia menahan amarah.
“Dengar ya!” kata Clara. “Hari ini aku lagi nggak mood buat meladenimu. Tolong lebih sopan kalau bicara.”
Clara pun berlalu. Meninggalkan Laura dan Gavin yang menjadi penghuni satu-satunya meja bar sekarang. Laura menatap Gavin tanpa berkata-kata. Bukan sekali ini saja Gavin bersikap seperti itu pada Clara. Bahkan sejak perkenalannya setahun yang lalu.
“Kamu bisa nggak sih bersikap ramah sedikit sama Clara? Dia punya salah apa sama kamu?”
Gavin tertegun sembari mengangkat bahu. “Apa untungnya buatku, La? Kalau nggak suka ya kenapa juga aku harus bersikap ramah.”
“Iya tahu. Tapi segala sesuatunya jelas ada alasan dong.”
Gavin menggeleng pelan kemudian menegak habis gelas berisikan softdrink yang sedari tadi dipegang Laura.
“Ini yang aku suka darimu. Nggak peduli mau di mana pun kamu berada selalu minuman softdrink yang kamu pesan.”
“Memangnya salah? Kamu tahu kan kalau aku nggak bisa minum alkohol.”
Gavin mengangguk. “But you’re in the club, Babe. Tempatnya bersenang-senang.”
“Bersenang-senang bukan berarti harus mabok kan, Gavin,” balas Laura tak mau kalah.
Gavin terkekeh. Ia tidak menyangka akan mendapat sanggahan menggemaskan seperti itu.
“Selalu di luar dugaan. Kita jadi pulang sekarang?”
Sepinya jalan membuat perjalanan pulang Laura cukup lancar. Bahkan Laura dan Gavin pun tidak sempat menikmati perjalanan karena terlalu lancarnya. Mereka hanya mengobrol sesekali sampai akhirnya tidak ada satupun yang mengawali obrolan lagi. Pukul setengah dua belas malam mobil Gavin tiba di depan pagar rumah Laura. Rumah minimalis itu tampak sepi.
“Aku nggak mampir ya,” kata Gavin memulai. “Jangan main hape dan langsung tidur.”
“Aku nggak janji kalau itu,“ balas Laura penuh tawa. “Tapi akan kuusahakan.”
“Dasar!”
Kecupan lembut mendarat dipucuk kepala Laura yang disambut dengan dekapan Laura pada tubuh atletis Gavin sebelum laki-laki itu kembali mengecup pucuk kepalanya lagi.
“Aku sayang kamu, La.”
Bullshit, batin Laura.
***
Dengan tatapan heran Freya menatap Laura. Ketidakhadiran Laura sebagai divisi keuangan di meeting pagi tadi mengundang tanda tanya. “Kenapa tadi nggak ikut meeting?”
Laura menatap Freya dalam diam. “Bukankah sudah ada Mbak Evi yang mewakilkan?” jawab Laura tanpa berniat mengalihkan fokusnya pada layar notebook di depannya.
“Iya tapi ini aneh. Tidak seperti biasanya kamu seperti ini. Kamu nggak mabok karena clubbing bareng Clara semalam, kan?”
Laura menghela napasnya cukup berat. Mood swingnya memang sedang tidak bagus sedari pagi. Ditambah karena pengaruh ungkapan receh Gavin kepadanya semalam semakin membuat Laura tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaan.
“Gavin lagi?” tembak Freya dan langsung mendapat anggukan kepala karena tepat sasaran.
Gavin, Laura, dan Freya adalah teman sejawat satu alumni. Mereka bertiga menjadi dekat sejak berada di dalam satu kelompok KKN kala itu. Dua perempuan diapit seorang laki-laki tentunya menuai begitu banyak cibiran teman-teman seangkatan mereka. Apalagi ketika Gavin akhirnya menjalin hubungan dengan Freya, cibiran itu malah semakin menjadi-jadi. Dan untungnya baik Gavin maupun Freya tidak peduli dengan omongan para netizen dan bersikap seperti biasa pada Laura.
Sangat disayangkan hubungan Gavin dan Freya harus kandas satu tahun setelahnya. Gavin memutuskan melanjutkan studinya ke Jerman. Lantas, bagaimana ceritanya Gavin bisa berpacaran dengan Laura? Entah. Semua berjalan begitu saja. Laura bahkan tidak tahu sejak kapan. Lupa lebih tepatnya.
Jam istirahat memenuhi cafe langganan Laura dan Freya siang itu. Untung saja Laura telah melakukan reservasi dua jam sebelumnya.
“Kalau kamu rasa putus adalah jalan terbaik ya putusin saja, La. Kalian berdua nggak jelas juga kan mau lanjut ke jenjang serius atau nggak,” pungkas Freya.
Laura tak bergeming. Masih berputar dengan pikirannya.
“Kamu itu perempuan cerdas, La. Dua tahun kalian pacaran apa pernah menyinggung soal pernikahan? Nggak, kan? Jangan buang-buang waktu untuk laki-laki seperti itu, La. Masih banyak laki-laki di luaran sana yang lebih menjanjikan.”
“Contohnya dengan menikahi laki-laki yang nggak kamu kenal, gitu? Aku memang ingin sekali menikah, tapi aku nggak akan mengambil langkah segila itu, Frey.”
“Siapa yang bilang, wait ....” Freya meletakkan sendoknya dan mencondongkan tubuhnya ke Laura. Dahinya lalu berkerut. “Apa maksud kata-katamu tadi?”
Giliran Laura yang meletakkan sendoknya. “Mama menjodohkanku. Dan kali ini dengan anak teman sekampusnya dulu.”
“Lagi?!?”
Anggukan kepala Laura membuat Freya menghela napas. Laura tahu sahabatnya itu pasti juga ikut bosan mendengar curhatan yang selalu didominasi dengan perjodohan sebelah pihak dari Mamanya. Yah, mau bagaimana lagi. Beginilah nasib perempuan mapan secara finansial dan cukup umur, tapi belum memiliki pendamping hidup.
“Untuk sekarang ini Mama sulit sekali diajak kompromi, Frey. Sepertinya pencapaian terbesar Mama tahun ini adalah melihatku menikah. Firasatku juga mengatakan perjodohan kali ini akan berhasil jika aku bersedia menemui laki-laki itu.”
Freya terdiam. Berusaha mencerna perkataannya. “Dengan kata lain mau menemui berarti setuju dengan perjodohan, gitu?”
Laura kembali mengangguk.
“Artinya kamu menikah atas dasar keterpaksaan, La. Akan jadi seperti apa keluarga kecilmu nanti?” sahut Freya tidak terima. “Hidupmu adalah milikmu. Kamu yang menjalaninya bukan orang lain.”
Laura bersandar dipunggung kursi. “Menurutmu apa aku bisa berkata seperti itu ke Mama?”
Freya kembali terdiam. Perkataan Laura barusan seolah mencubit dirinya. Tentu saja Laura tidak akan mungkin berkata seperti itu pada Mamanya. Sekesal apapun suasana hatinya.
“Jadi apa rencanamu sekarang? Mencoba membujuk Gavin untuk menikahimu? Setidaknya hanya itu satu-satunya jalan daripada harus menghabiskan hidup bersama orang yang nggak dikenal, kan.”
Laura menghela napas. Tatapannya beralih pada padatnya mobilitas kota Surabaya ditengah terik matahari dari balik kaca cafe.
“Kenapa nilai seorang perempuan harus diukur dengan pernikahan ya, Frey?” katanya tanpa mengalihkan pandang. “Padahal ini hidupku, tapi seperti bukan aku yang menjalaninya. Aku kesal. Nggak Mama. Nggak juga Gavin. Dua-duanya punya pemikiran sendiri. Mereka seolah nggak peduli dengan pemikiranku.”
“La ....”
“Frey, kamu sahabatku satu-satunya. Dan aku mempercayaimu. Menurutmu apakah Gavin adalah laki-laki yang tepat untuk kuajak berkomitmen?”
Dahi Freya berkerut. “Kok tanya aku? Harusnya kamu yang lebih tahu dong, La.”
Laura beralih menatap Freya kemudian tersenyum selebar mungkin. Freya benar. Kenapa ia malah bertanya seperti itu. “Aku hanya bercanda kok. Ayo kita makan!”
Obrolan serius itu berakhir begitu saja. Sebenarnya bukan penyelesaian yang Laura inginkan. Ia hanya ingin berbagi cerita dengan sahabatnya. Tentu saja keputusan akhir akan selalu ada pada kendali Laura beserta resiko yang dialaminya nanti. Baik atau buruknya itu sudah bukan kuasa Laura lagi. Karena semua itu sudah tertulis dalam lembaran kontraknya dengan Sang Pencipta jauh sebelum ia dilahirkan ke dunia. Tidak banyak yang Laura inginkan selain diberi kesiapan hati jika suatu saat apa yang ia takutkan benar-benar terjadi.
Dahinya berkerut dengan mata yang masih setengah terpejam. Ia benar-benar terganggu dengan ketukan bertubi-tubi pada pintu kamarnya. Abraham menguap lebar. Kemudian menutup telinganya dengan bantal serapat mungkin guna meredam bunyi bising yang mendera indera pendengarannya. Namun sepertinya Abraham lupa mengunci pintu kamar semalam. Karuan saja kenop pintu terbuka dan menampilkan Danesha tengah berdiri sembari bersandar pada tiang pintu.“Sudah lewat waktu sarapan, Mas. Ditunggu Bunda di bawah.”Abraham tidak menyahut. Ia
Minggu pagi adalah waktu yang tepat bagi seorang Laura untuk bersantai. Jarang sekali ia mau diganggu. Laura lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah saja daripada pergi hangout ke Mall bersama teman-temannya, tapi tidak untuk hari ini. Laura sudah terlanjur membuat janji dengan dokter gigi pribadinya untuk rutin kontrol kawat gigi yang telah lama melekat digiginya sejak satu setengah tahun yang lalu.Laura mematut dirinya berulang kali di depan kaca sembari memulas wajahnya dengan rangkaian skincare dan lipstik. Hari ini Laura ingin tampil senatural mungkin. Tanpa alas bedak hingga benda apapun yang dapat mengubah penampilannya. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda agar terlihat fresh. Mama menatapnya heran saat Laura menuruni
Hidup memang tidak seindah novel harlequin yang biasa Laura baca. Romansa yang ada tidak semanis yang Laura jalani pula. Kandasnya hubungan Laura dan Gavin buktinya. Di saat sebuah keseriusan dipertanyakan malah kekecewaan yang ia dapatkan. Laura bukanlah perempuan yang terburu-buru dalam pernikahan. Bukan. Ia hanya ingin sebuah kejelasan dalam hubungannya. Laura hanya menuntut label sah atas siapa pemilik dirinya. Sayangnya Gavin tidak sependapat dengannya. Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Freya, sahabat terdekat Laura. Senyuman Freya merekah saat itu. Sahabatnya itu benar-benar lega atas keputusan yang ia ambil. Sejak dulu Laura sebenarnya tahu jika Freya menentangnya berpacaran dengan Gavin. Freya lebih banyak menghin
Tepukan pada bahunya membuat Abraham memalingkan wajah sejenak. Galileo menaikkan sebelah alisnya sembari menatapnya penuh heran. “What’s up, Bro? Dari pagi itu kerutan di dahi nggak surut-surut. Ada masalah?”Abraham tidak berkomentar apa-apa. Karena sekali ia membuka mulut untuk Galileo, maka sama halnya dengan memberikan informasi secara cuma-cuma layaknya di akun gosip yang bertebaran di instagram. Lagipula tidak ada untungnya juga Abraham berbagi c
Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”
Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r
Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa
Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …