Minggu pagi adalah waktu yang tepat bagi seorang Laura untuk bersantai. Jarang sekali ia mau diganggu. Laura lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah saja daripada pergi hangout ke Mall bersama teman-temannya, tapi tidak untuk hari ini. Laura sudah terlanjur membuat janji dengan dokter gigi pribadinya untuk rutin kontrol kawat gigi yang telah lama melekat digiginya sejak satu setengah tahun yang lalu.
Laura mematut dirinya berulang kali di depan kaca sembari memulas wajahnya dengan rangkaian skincare dan lipstik. Hari ini Laura ingin tampil senatural mungkin. Tanpa alas bedak hingga benda apapun yang dapat mengubah penampilannya. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda agar terlihat fresh. Mama menatapnya heran saat Laura menuruni tangga.
“Tumben hari Minggu keluar rumah,” tanya Mama yang tengah menikmati secangkir kopi.
“Kontrol gigi seperti biasa, Ma. Mama juga kok tumben nggak menemani Papa gowes?”
Empat bulan terakhir ini Papa sedang gandrung-gandrungnya gowes keliling bersama teman seusianya. Setiap Sabtu malam ketua squad akan mengirimkan lokasi tujuan dan di mana titik kumpul ke dalam grup Whatsapp. Gowes ini sifatnya santai dan menyenangkan. Karena beberapa anggotanya adalah para bapak-bapak pensiunan yang ingin menikmati hari tua mereka setelah lelah bekerja. Jadi Laura juga ikut senang Papanya punya kesibukan. Mama kembali menatap Laura.
“Sudah kamu pikirkan permintaan Mama kemarin?”
Laura mengangkat bahu. “Permintaan yang mana, Ma?”
Laura bukannya tidak tahu maksud pertanyaan Mama. Ia hanya tidak mau merusak harinya dengan perdebatan yang tidak ada ujungnya ini.
Lagi-lagi perjodohan, batin Laura.
“Kapan kamu bisa ketemuan? Dalam bulan-bulan ini bisa kan ya,” desak Sang Mama.
“Lihat nanti deh, Ma. Kerjaan Laura lagi sibuk-sibuknya. Laura pergi dulu ya. Dah, Mama.”
Laura terburu-buru pamit sebelum Mamanya sempat berkomentar.
***
Laura menggeser tombol hijau saat panggilan telepon Gavin muncul dilayar ponsel miliknya. Suara Gavin terdengar serak diseberang. Seketika Laura mengernyitkan dahinya.
“Kok kamu belum bangun?” tanya Laura penuh penekanan. “Katanya mau antar aku kontrol. Gimana sih kamu?” tambahnya semakin kesal.
“Hah? Pagi ini? Jam berapa sekarang? Aku ke sana sekarang ya.”
“Nggak usah!” potong Laura cepat. “Aku sudah di klinik dari sepuluh menit yang lalu. Payah kamu. Selalu mengentengkan janji.”
“Aku beneran lupa, La. Nanti pasti aku jemput. Kita sekalian keluar makan, ok?”
Begitulah Gavin. Seenaknya melanggar janji, tapi seenaknya juga menyelesaikannya. Ia sama sekali tidak memikirkan perasaan orang yang membuat janji. Semua dianggapnya enteng. Termasuk janjinya pada Laura.
Klinik dokter terlihat sepi dari biasanya. Tidak tahu kenapa dokter yang biasanya menangani Laura mengubah janji menjadi hari ini. Padahal dulu seingatnya tidak pernah ada jadwal kontrol setiap hari Minggu. Sepertinya khusus untuk hari ini ada pengecualian. Nama Laura pun dipanggil masuk. Laki-laki tanpa snelli menyambutnya dengan senyum ala-ala iklan di televisi. Laura tertegun sejenak sebelum melontarkan tanya.
“Dokter nggak salah menghubungi pasien?” tanya Laura to the point. “Selama ini saya biasa sama Dokter Galileo.”
“Kebetulan satu minggu ini Dokter Galileo sedang ada keperluan di luar kota. Dan saya yang akan menggantikannya untuk sementara waktu. Maaf juga karena memajukan jadwal Anda. Perkenalkan, saya Abraham Wibisana.”
Laura mengangguk pelan. “Saya Laura, Dok.”
Proses pemeriksaan rutin selesai lima belas menit kemudian. Benar-benar rekor tercepat menurut Laura. Dokter Wibisana menentukan tanggal kontrol bulan berikutnya dan dengan cepat Laura catat dalam menu planner di ponselnya. Tak lama kemudian mobil Gavin sudah terparkir manis di depan klinik. Gavin tengah bersandar di depan kap mobil sambil berkutat dengan ponsel di tangan ketika Laura menyapanya. Senyumnya benar-benar sumringah.
“Kita jalan sekarang ya,” katanya dan dijawab anggukan oleh Laura.
Cafe bernuansa sangkar burung selalu menjadi tujuan mereka disaat menghabiskan akhir pekan. Disamping makanannya yang terkenal enak, tempatnya juga sangat nyaman. Banyak area-area spot untuk berswafoto baik bersama teman atau pasangan sembari menunggu pesanan yang dipesan datang. Ditambah lagi begitu banyak kenangan Laura yang terjadi di sini bersama Gavin. Laura menatap Gavin lekat-lekat sembari meremas lembut salah satu tangan Gavin yang bebas. Lagi-lagi Gavin mengumbar senyumnya.
“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Laura lembut namun tegas.
“Boleh dong, Sayang. Kamu mau tanya apa?” Gavin balas bertanya. “Kok tumben pakai izin segala.”
Laura menelan ludah. Tiba-tiba saja ia teringat obrolannya dengan Freya waktu lalu.
“Kita ini apa, Vin? Maksudku apa selamanya kita akan seperti ini terus? Aku perlu tahu akan dibawa ke mana hubungan kita ini nantinya.”
Mimik muka Gavin seketika berubah. Laura merasakan Gavin menarik tangannya paksa.
“Aku nggak tahu, La. Kita jalani saja apa adanya sama seperti sekarang.”
“Tapi hubungan kita sudah berlangsung selama dua tahun, Vin. Kita sudah harus memikirkan masa depan. Kita sudah bukan anak ABG lagi yang hanya ingin having fun saja. Kamu paham maksudku, kan?”
Tidak ada tanda-tanda Gavin akan menjawab pertanyaan Laura. Gavin hanya berdiam diri bersandar pada punggung sofa sembari menatap ke arah luar jendela. Sejujurnya Laura tahu akan jadi seperti ini. Bukan hanya satu kali ini saja Gavin mengalihkan pandangan saat Laura bertanya, tapi berulang kali. Dan topik ini seakan menjadi topik tabu di antara mereka.
“Gavin ....” panggil Laura.
Masih tidak ada jawaban atas panggilan Laura itu.
“Gavin ....” panggil Laura sekali lagi.
Gavin menoleh tanpa mengubah posisi duduknya. “Aku belum siap, La,” katanya kemudian. “Aku belum siap untuk menikah.”
Laura tertegun. Padahal Laura sudah tahu jawabannya, tapi masih saja ia ingin mencobanya lagi dan lagi.
“Nggak apa-apa. Tapi paling nggak kamu sudah punya planning tentang masa depan, kan?”
Gavin menggeleng. “Aku nggak tahu. Aku nggak pernah berpikir masa depan denganmu.”
Mendengar pernyataan Gavin membuat aliran darah Laura mendidih. Ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan amarahnya.
“Sialan!!” Laura mengumpat lantang. “Jadi selama ini kamu anggap aku apa, Vin? Hubungan kita selama ini apa nggak ada artinya sama sekali buatmu? Dua tahunku yang berharga habis dengan percuma bersama laki-laki yang nggak punya tujuan? Betapa bodohnya aku selama ini.”
“Nggak gitu maksudku, La,” sanggah Gavin tiba-tiba. “Menikah bukanlah suatu hal mudah yang bisa kita anggap remeh. Kita nggak bisa memaksa seseorang untuk menikah jika belum siap. Aku nggak mau jika nantinya aku menyesal karena terburu-buru menikah. Coba kamu berpikir diposisiku juga, La—”
“Kalau gitu lebih baik kita akhiri saja,” kata Laura menyela. “Percuma. Sudah nggak ada lagi yang bisa kita pertahankan. Kamu yang masih ingin bebas tanpa ikatan nggak akan mengerti posisiku yang butuh kejelasan.”
“La ....”
“It doesn’t work, Gavin. We’re done.”
Laura menggigit bibirnya. Ia kecewa. Keinginannya yang ia gantungkan setinggi langit kandas dalam hitungan detik. Hati Laura sakit sekali. Bahwa apa yang ia lakukan selama ini sia-sia saja. Semuanya sudah berantakan. Laura tidak menyangka sebuah kata pisah menjadi bom atom yang menghancurkan hidup dan masa depannya. Apalagi disaat Gavin mengiyakan ajakannya itu sungguh sudah tidak bisa terbendung lagi gejolak yang Laura rasakan. Bahwa selama ini perasaannya dipermainkan oleh laki-laki itu.
Tak ada sepatah kata pun yang terucapkan. Laura hanya mematung sesaat kemudian pergi meninggalkan laki-laki paling jahat yang ia kenal di muka bumi ini. Berulang-ulang kali Laura meremas dadanya. Rasa sesaknya masih terasa dan bercampur kesal menyatu dalam darah. Laura kesal. Benar-benar kesal. Laura pikir ia akan menangis sejadi-jadinya. Namun ternyata tidak. Laura memang menangis, tapi masih dalam batas kewajaran. Ia jauh lebih tegar dari yang ia bayangkan.
Laura mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. Semua yang berhubungan dengan Gavin dengan segera terhapus dan terblokir tanpa meninggalkan jejak. Dimulai dari nomor telepon serta kenangan di setiap momen berdua yang sempat tersimpan di ponsel, Laura bersihkan sebersih mungkin. Semua sudah tidak diperlukan lagi.
I don’t need this anymore, batin Laura.
Laura melempar tas yang dibawanya ke sembarang tempat. Ia ingin istirahat sejenak setelah mengalami perjalanan yang cukup melelahkan bersama ojek online menuju rumah. Laura menyapa Mama saat tanpa sengaja berpapasan dengan Sang Mama di ruang tamu. Mereka terlibat obrolan sejenak.
“Kamu yakin?” kata Mama antara percaya dan tidak.
Laura tahu kalau ini terdengar konyol. Padahal baru tadi pagi ia menghalau jawaban yang mengundang opini Mamanya mengenai perjodohan. Tapi sekarang malah Laura sendiri yang memulainya. Sepertinya otak Laura memang perlu direparasi. Buktinya saja ia begitu nekat mengabulkan permintaan Mamanya itu dengan emosi yang tertinggal perkara Gavin.
“Kamu nggak berbohong sama Mama kan, Laura? Kamu beneran mau ya?”
See? Wajah Mama benar-benar terlihat senang. Mama benar-benar mengharapkannya.
“Laura hanya bersedia bertemu dengannya, Ma. Nggak lebih,” pungkas Laura menekankan.
Mama sama sekali tidak mendengarkan perkataan Laura lagi. Bagi Mama kata ‘bersedia’ dari mulutnya benar-benar mengandung arti sesungguhnya. Dan sekarang malah Laura berbalik menyesali tindakannya itu.
Hidup memang tidak seindah novel harlequin yang biasa Laura baca. Romansa yang ada tidak semanis yang Laura jalani pula. Kandasnya hubungan Laura dan Gavin buktinya. Di saat sebuah keseriusan dipertanyakan malah kekecewaan yang ia dapatkan. Laura bukanlah perempuan yang terburu-buru dalam pernikahan. Bukan. Ia hanya ingin sebuah kejelasan dalam hubungannya. Laura hanya menuntut label sah atas siapa pemilik dirinya. Sayangnya Gavin tidak sependapat dengannya. Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Freya, sahabat terdekat Laura. Senyuman Freya merekah saat itu. Sahabatnya itu benar-benar lega atas keputusan yang ia ambil. Sejak dulu Laura sebenarnya tahu jika Freya menentangnya berpacaran dengan Gavin. Freya lebih banyak menghin
Tepukan pada bahunya membuat Abraham memalingkan wajah sejenak. Galileo menaikkan sebelah alisnya sembari menatapnya penuh heran. “What’s up, Bro? Dari pagi itu kerutan di dahi nggak surut-surut. Ada masalah?”Abraham tidak berkomentar apa-apa. Karena sekali ia membuka mulut untuk Galileo, maka sama halnya dengan memberikan informasi secara cuma-cuma layaknya di akun gosip yang bertebaran di instagram. Lagipula tidak ada untungnya juga Abraham berbagi c
Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”
Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r
Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa
Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”
Kesepakatan yang terjadi di antara Laura dan Abraham akhirnya terlaksana siang ini di hari Minggu setelah sehari sebelumnya Abraham mengabarinya via Whatsapp. Laura berulang kali membetulkan letak pakaian yang melekat di tubuh semampainya, dan berharap ia tidak salah memilih pakaian. Salahkan Abraham yang tidak memberinya masukan tentang busana apa yang pantas ia kenakan saat bertemu dengan Bundanya nanti—membuat Laura harus putar otak memilah pakaian yang ada di lemarinya saat ini.“Mau pakai pakaian apa saja terserah. Asalkan nggak telanjang.” Begitu balas Abraham tadi. Dibilang kesal, jelas Laura kesalnya bukan main. Walaupun pernikahan ini nantinya hanyalah sebuah perjanjian belaka, tapi setidaknya Laura harus
Dugaan Laura terjawab. Abraham membawa keluarganya datang ke rumahnya satu minggu kemudian. Rona kebahagiaan Bunda terpancar ketika bertemu dengan Mama di garis pintu. Arabella pun bahkan menyapanya dengan pelukan hangat dengan senyum Danesha sebagai penutup. Sementara Abraham? Laki-laki itu memberinya seringai mengesalkan seperti yang biasa laki-laki itu berikan padanya. Pembicaraan dua keluarga berlangsung cukup intimate, penuh canda dan tawa serta kekeluargaan. Sayangnya tidak bagi Laura. Laura bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan yang membelenggu hatinya sendiri—antara kebutuhan ataukah hanya keterpaksaan. Laura cukup memberikan senyum termanis, maka tidak akan ada yang tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang yang sebenarnya.
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …