Home / Romansa / After We Kissed / 6. Ketemu Dia Lagi

Share

6. Ketemu Dia Lagi

Author: Gitapuccino
last update Last Updated: 2020-11-10 22:21:22

Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.

“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”

“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”

Timbul perasaan bersalah pada diri Laura. Ia tidak bisa melihat kedua orangtuanya seperti ini. Sejak dulu Laura selalu menjadi anak yang penurut. Laura akan senantiasa menurut apa yang orangtuanya suruh. Apapun itu. Terlepas suka atau tidak dirinya. Semuanya akan selalu Laura lakukan dengan suka cita. Tapi tidak untuk yang satu ini. Pertama kalinya Laura mati-matian mempertahankan egonya. Walaupun Laura tahu itu menyakiti hatinya sendiri.

“Mama dan Papa nggak salah. Kita yang kurang saling mengerti. Laura juga mau menikah, Ma, tapi Laura mohon jangan lagi memaksa Laura menikah dengan orang yang nggak Laura kenal. Nggak salah kalau Mama dan Papa mau menjodohkan Laura, tapi tolong kasih Laura jeda.”

“Nggak, La. Papa dan Mama sepakat nggak akan memaksamu lagi. Karena kebahagiaanmu itu jauh lebih penting dari segalanya.”

Pembahasan mengenai perjodohan berakhir dalam damai. Intinya baik Laura maupun kedua orangtuanya sama-sama kurang berinteraksi satu sama lain. Kesibukannya di kantor memang membuat benteng tak kasat mata di antara mereka. Laura yang terlalu sibuk membuat Mama beranggapan kalau anaknya terlalu acuh dengan masalah mencari pendamping hidup. Mama tidak tahu kalau sebenarnya Laura juga pusing memikirkannya.

Laura mematikan notebook dan bersiap-siap meninggalkan meja kerjanya. Ia meregangkan punggungnya sejenak. Tugasnya sebagai sekretaris perusahaan akhir-akhir ini menyita banyak waktu pribadinya. Laura bahkan tidak sempat pulang ke rumah untuk beberapa saat dan lebih memilih menumpang di apartemen Freya karena seringnya pulang malam. Untungnya Freya tidak keberatan sama sekali.

Clara muncul dengan tergesa-gesa ketika pintu lift hampir tertutup. Napasnya ngos-ngosan, tapi kemudian dia malah tertawa.

“Untung masih sempat,” celotehnya. Clara menatap ke arah Laura yang masih kaget dengan aksinya barusan. “Kaget, La?”

“Gila kamu ya, Cla! Gitu kalau kamu kejepit gimana?” sahut Laura. “Iya sih itu nggak mungkin, tapi tetap saja bahaya.”

Clara tertawa sembari mengibaskan tangannya. “Itulah teknologi, La. Jam segini kamu mau langsung pulang? Having fun dulu yuk. Aku yang traktir.”

Having fun yang Clara maksud tentu saja adalah clubbing seperti waktu itu. Dan benar tinggal tunggu waktu saja kapan ia akan mabok kalau terus bergaul dengan Clara.

“Aku skip dulu deh. Ada yang mau kukerjakan dulu sambil menumpang wifi di seberang.”

Clara mengangguk pelan. Kemudian mereka berdua pun berpisah saat pintu lift terbuka. Laura mempercepat langkahnya menuju coffee shop yang terletak di seberang gedung kantornya. Semerbak wangi kopi menusuk hidung Laura ketika ia membuka pintu. Laura bukan pecinta kopi, tapi ia paling suka menghabiskan waktu di sini. Kenapa? Karena chocolate frappe di sini benar-benar membuat Laura kecanduan.

Laura mengambil posisi duduk paling ujung sembari membawa chocolate frappe disebelah tangannya. Notebook kembali Laura nyalakan dan mulailah pekerjaan yang sempat ia tunda. Detik demi detik, menit demi menit, hingga jam demi jam. Tiga jam tidak terasa telah berlalu. Laura meraih ponsel yang ia abaikan di meja sembari meluruskan punggungnya sejenak. Ada beberapa notifikasi yang ia dapatkan saat mengecek akun instagram. Seseorang yang tidak ia kenal mengiriminya DM. Seseorang yang tiba-tiba saja sudah duduk di depannya.

“Masih ingat denganku? Aku Danesh. Kita pernah ketemu baru-baru ini.” Senyuman laki-laki itu membuat Laura tertegun. Siapa sih yang tidak kaget di dekati laki-laki tampan selarut ini?

“Ingat Abe? Atau Abraham? Aku adiknya.”

Oh adiknya dia toh, batin Laura.

Laura akhirnya mengangguk. “Sori ya aku memang payah mengingat wajah orang apalagi kita baru ketemu sekali. Mas Danesh apa kabar?”

“Aku baik. Sori juga ya mengganggu waktunya. Jam segini masih sibuk sama pekerjaan? Kerja keras sekali kamu ya.”

“Sudah tuntutan, Mas. Kebetulan saja jadwalnya memang lagi padat. Suka minum kopi di sini juga ternyata.”

“Ya, lumayan suka juga,” sambut Danesha masih dengan senyumnya. “Boleh nggak kita bicara sesuatu yang lebih private?”

Laura menatap Danesha datar. Sepertinya ia bisa menduga apa yang akan Danesha tanyakan padanya nanti. “Aku selesaikan ini dulu ya, Mas. Keberatan nggak kalau menunggu tiga puluh menit? Soalnya ini pekerjaan penting.”

“No problem, La. Aku akan duduk diam di sini selagi menunggu. Anggap saja aku nggak ada.”

***

Kerutan didahi Laura semakin dalam. Ia masih mencoba memahami maksud dari perkataan Danesha. Kecurigaan Laura ternyata membuahkan hasil. Semua pernyataan Danesha seolah menyangkut-pautkan dengan keputusannya menolak perjodohan tempo hari. Padahal semua itu murni atas kesepakatan bersama antara ia dan Abraham. Tapi kenapa sikap laki-laki ini seolah semua adalah kesalahannya? Seolah Laura tidak punya andil menentukan apa yang ia mau.

“Itu sudah kesepakatan kita berdua, Mas. Kok malah Mas yang kebingungan? Coba deh kalau posisinya dibalik. Mas mau dijodohkan? Lagipula tindakan Mas sekarang ini sama saja dengan menjatuhkan harga diri kakak Mas itu loh.”

“Makanya kita buat kesepakatan, La. Jangan sampai Mas Abe tahu.”

“Kesepakatan seperti apa?!?” Nada bicara Laura tanpa sadar meninggi. “Kalau memang ada kesepakatan, maka itu murni terjadi antara Mas Abe denganku. Bukan dengan Mas Danesh.”

“Kesalahan Mas Abe hanya karena dia nggak bersikap jujur, La. Masa hanya karena itu kalian membatalkan perjodohan? Kekanakan sekali.”

“Kekanakan?!?” Laura kembali meninggikan nada bicaranya. Membuat beberapa pengunjung mulai mengalihkan pandangan ke arah mereka. “Hubungan itu dibangun atas dasar kejujuran, Mas. Apalagi membangun rumah tangga.”

“Aku tahu, La. Tapi—”

“Stop!!” potong Laura tiba-tiba. “Obrolan ini nggak akan pernah ada habisnya, Mas. Masalah perjodohan ini sudah selesai. Dan keputusanku tetap sama.”

Laura tidak lagi menghiraukan Danesha yang masih mematung di tempatnya. Laura capek. Ia ingin segera pulang dan istirahat. Kehadiran Danesha yang entah disengaja atau tidak benar-benar telah mengganggunya. Laura menoleh sekilas. Laki-laki itu masih di tempat yang sama. Danesha belum beranjak satu senti pun dari tempatnya. Menit kemudian Danesha berpaling, tapi Laura memalingkan wajah. Laki-laki itu aneh. Padahal itu bukanlah porsinya. Dan ... ah, Laura menepis pikirannya cepat-cepat.

Malam pun semakin larut. Dan pengunjung cafe berangsur-angsur mulai sepi. Taksi online yang Laura pesan terparkir di depan cafe tidak lama kemudian. Laura membuka pintu mobil setelah menyapa sopir taksi online itu ramah.

“Laura ....”

Seseorang memanggil Laura dan tiba-tiba saja menariknya paksa agar turun dari dalam mobil. Tidak hanya Laura yang terkejut. Sopir taksi online itu juga sama terkejutnya. Laura menoleh. Gavin berdiri tepat dibelakangnya dengan napas terengah-engah.

“Kita perlu bicara,” katanya lagi.

Laura menggeleng. Tapi semakin Laura menolak, maka semakin kuat pula Gavin menariknya agar turun dari mobil.

“Pak, maaf. Saya cancel ya. Ini kompensasi dari saya,” kata Laura kemudian memberikan uang lembaran lima puluh ribu pada sopir taksi online itu. Gavin membawa Laura ke parkiran mobil di mana mobilnya ia parkirkan. “Di sini saja, Vin. Tolong bicara cepat,” kata Laura kesal. Kesal karena perbuatan Gavin. Kesal karena harus dua kali bertemu dengan laki-laki aneh. 

“Kita pindah tempat ya, La. Nggak enak bicara di sini.”

“Di sini atau aku pulang? Mau bicara sekarang atau nggak sama sekali. Tinggal pilih.”

“La ....”

Laura menepis tangan Gavin yang mencoba menyentuh pundaknya. “Then, I’m leaving.”

“Ok, di sini. Aku akan bicara di sini,” cegah Gavin saat melihat Laura beranjak dari tempatnya.

Laura melihat Gavin menyandarkan diri di depan kap mobil. Laki-laki itu melipat kedua lengan didada. Tatapan matanya seolah menembus ke dasar hati Laura. Seakan Laura adalah mangsa yang sudah diincarnya sejak lama. Laura bergidik. Sejujurnya ditatap dengan tatapan seperti itu malah membuat dirinya semakin tidak nyaman. Malam-malam di parkiran. Di tempat sepi pula.

“Aku mau kita kembali kayak dulu.” Gavin mendekat ke arah Laura kemudian memberanikan diri memeluknya. Aroma citrus menusuk hidung Laura dan memaksanya memanggil semua memori lama ketika ia masih berstatus kekasih laki-laki itu. “Aku ingin kita memulai semuanya lagi dari awal, La. Aku ingin kita sama-sama lagi,” lanjut Gavin lagi.

Laura mendorong pelan tubuh Gavin sembari menggeleng. “Telat, Vin. Aku sudah nggak ada rasa apa-apa lagi sama kamu. Aku sudah terlanjur kecewa.”

“Tapi aku masih sayang sama kamu, La.”

“Kalau kamu sayang sama aku, kamu nggak akan pernah mengambil keputusan seperti waktu itu. Kamu akan lebih memikirkan aku. Tapi apa? Apa, Vin? Kamu hanya peduli dengan dirimu sendiri. Hanya ada kamu dan nggak pernah ada aku.”

“Laura, kamu nggak mengerti.”

“Kamu yang nggak mau mengerti!!” Gema suara Laura membuat Gavin terpana. Ini pertama kalinya ia mendengar Laura meninggikan suaranya.

Selama berpacaran dengannya, Laura tak pernah sekalipun berkata kasar. Selalu bertutur kata santun malah. Membuat kedua orangtua Gavin amat sangat menyayanginya. Namun lihatlah sekarang. Lauranya telah hilang. Dan itu adalah kesalahannya. Gavin meremas pundak Laura perlahan, tapi lagi-lagi Laura menghindar. Ia benar-benar telah ditolak oleh perempuan yang masih dicintainya.

“Aku mau pulang,” kata Laura.

“Aku antar ya. Plis kali ini saja jangan menolakku lagi, La.”

“Nggak ....” sahut Laura singkat.

“La ....” Gavin menarik salah satu lengannya yang membuat tubuh Laura mundur ke belakang.

“Jangan nekat. Aku bisa teriak kalau aku mau.”

“Ada apa ini?” Laura dan Gavin menoleh bersamaan.

Sosok laki-laki menegur mereka berdua dengan suara beratnya. Laki-laki itu berdiri tepat di bawah bayangan lampu yang membuatnya terlihat misterius. Laura menarik lengannya paksa dari genggaman tangan Gavin ketika sosok laki-laki misterius itu mendekat ke arahnya. Laura terpana. Demikian juga laki-laki itu. Abraham menjulang di sana. “Mas Abe mau pulang juga? Aku ikut dong.”

Abraham bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Belum sempat ia memahami apa yang terjadi di depannya, tapi Laura sudah lebih dulu menyapanya. Terlebih dengan kata-kata yang sengaja dibuat-buat pula.

“Boleh deh, kalau kamu mau ikut. Temanmu ditinggal nggak apa-apa nih?” balas Abraham.

“Nggak apa-apa kok, Mas. Kita sudah selesai bicara.”

Laura melenggang mendekati Abraham tanpa mempedulikan Gavin yang masih terpaku. Ia mengikuti ke mana Abraham menuntunnya menuju mobil yang bahkan baru sepuluh menit yang lalu ia parkirkan. Laura melirik Abraham dari sudut matanya. Begitu pun juga laki-laki itu. Tak perlu waktu lama Abraham telah melarikan mobilnya menuju rumah Laura.

***

“Kenapa Dokter bisa ada di sana? Dokter menguntitku lagi?”

Abraham tertegun. Ya, ia kehabisan kata-kata lebih tepatnya. “Tolong kalau ngomong yang jelas. Untungnya apa buatku menguntitmu?”

“Mana aku tahu. Itu kan hobi Dokter. Bisa-bisanya muncul di sana dan membuatku terpaksa harus bermain peran.”

Apa? What did she say? Batin Abraham.

Tanpa kata-kata Laura keluar begitu saja dari mobil Abraham. Sungguh perbuatan yang tidak bisa ditolerir olehnya.

“Tunggu!!” cegah Abraham kemudian ikut turun dari mobil. “Tidak ada ucapan terima kasih setelah memaksaku mengikuti skenario ini?”

Sebelah alis Laura terangkat. “Untuk apa?”

“Untuk apa katamu?!” Abraham meninggikan nada bicaranya. Pertama kalinya dalam sejarah, Abraham dibuat malu oleh seorang perempuan yang bahkan baru dikenalnya bulan lalu. Dan perempuan itu adalah calon pilihan ibundanya. Untung saja perjodohan itu tidak benar-benar terjadi. Punya istri dengan tabiat seperti ini? Mana mau Abraham. Apa kata dunia?

“Dasar perempuan alien!” kata Abraham lalu melarikan mobilnya tanpa mempedulikan Laura yang menahan kesal dengan tangan mengepal.

Dasar kampret, umpat Laura.

Related chapters

  • After We Kissed   7. Sentuhan

    Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r

    Last Updated : 2020-11-14
  • After We Kissed   8. Rasanya Seperti Permen

    Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa

    Last Updated : 2020-11-14
  • After We Kissed   9. Ide Gila

    Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”

    Last Updated : 2020-11-14
  • After We Kissed   10. Deal!

    Kesepakatan yang terjadi di antara Laura dan Abraham akhirnya terlaksana siang ini di hari Minggu setelah sehari sebelumnya Abraham mengabarinya via Whatsapp. Laura berulang kali membetulkan letak pakaian yang melekat di tubuh semampainya, dan berharap ia tidak salah memilih pakaian. Salahkan Abraham yang tidak memberinya masukan tentang busana apa yang pantas ia kenakan saat bertemu dengan Bundanya nanti—membuat Laura harus putar otak memilah pakaian yang ada di lemarinya saat ini.“Mau pakai pakaian apa saja terserah. Asalkan nggak telanjang.” Begitu balas Abraham tadi. Dibilang kesal, jelas Laura kesalnya bukan main. Walaupun pernikahan ini nantinya hanyalah sebuah perjanjian belaka, tapi setidaknya Laura harus

    Last Updated : 2020-11-16
  • After We Kissed   11. Cekcok Sebelum Nikah (1)

    Dugaan Laura terjawab. Abraham membawa keluarganya datang ke rumahnya satu minggu kemudian. Rona kebahagiaan Bunda terpancar ketika bertemu dengan Mama di garis pintu. Arabella pun bahkan menyapanya dengan pelukan hangat dengan senyum Danesha sebagai penutup. Sementara Abraham? Laki-laki itu memberinya seringai mengesalkan seperti yang biasa laki-laki itu berikan padanya. Pembicaraan dua keluarga berlangsung cukup intimate, penuh canda dan tawa serta kekeluargaan. Sayangnya tidak bagi Laura. Laura bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan yang membelenggu hatinya sendiri—antara kebutuhan ataukah hanya keterpaksaan. Laura cukup memberikan senyum termanis, maka tidak akan ada yang tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang yang sebenarnya.

    Last Updated : 2020-12-06
  • After We Kissed   12. Cekcok Sebelum Nikah (2)

    “Pantesan,” celetuk Laura ketika ia turun dari kursi gigi yang selalu ia duduki hampir setiap bulan untuk kontrol. Bulan ini adalah waktunya Laura kontrol gigi seperti biasanya. Mungkin karena sekarang Laura jauh lebih mengenal Galileo, makanya suasana di dalam ruangan jauh lebih santai ketimbang sebelumnya. “Memangnya Abe nggak pernah cerita?” Laura menggeleng. “Kebangetan manusia kanebo satu itu. Masa calon istrinya harus tahu dari orang lain,” tambah Galileo kemudian sembari mensterilkan alat-alat yang habis ia pakai.Singkatnya klinik yang biasanya Laura kunj

    Last Updated : 2020-12-06
  • After We Kissed   13. Cekcok Sebelum Nikah (3)

    Area pantry menjadi salah satu tempat rehat ternyaman hampir seluruh staf dikala mereka penat karena harus berkutat di depan laptop sejak pagi. Begitu pula dengan Laura. Ia tengah menyeduh cokelat kemasan ketika Freya berdiri di garis pintu sembari mendekap lengannya di dada.“Yang mau nikah beda ya. Sibuk sampai nggak ada waktu buat temannya sendiri,” sindir Freya.Laura terkekeh menimpalinya. “Harap maklum dong. Persiapannya malah nggak sampai tiga bulan. Nggak hanya pesta, mentalku pun harus sudah siap,” sahut Laura sambil lalu. “Kenapa? Kamu kesepian karena nggak ad

    Last Updated : 2020-12-07
  • After We Kissed   14. Munculnya Alana

    From : GalileoGue tahu kalau lo nggak suka gue dekat-dekat sama Laura, tapi bukan berarti kayak gini juga caranya, Ab.

    Last Updated : 2020-12-15

Latest chapter

  • After We Kissed   Last Part - After We Kissed

    Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c

  • After We Kissed   Extra Part 3 - Putri Kecilku

    Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran

  • After We Kissed   Extra Part 2 - Anugerah Tuhan

    Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l

  • After We Kissed   Extra Part 1 - Perayaan Ultah

    Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb

  • After We Kissed   60. Perubahan dan Bahagia

    Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten

  • After We Kissed   59. Fakta Oliver

    Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?

  • After We Kissed   58. Welcome, Anak-Anakku

    Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.

  • After We Kissed   57. Kejutan Berdarah (3)

    Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”

  • After We Kissed   56. Kejutan Berdarah (2)

    Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …

DMCA.com Protection Status