Hidup memang tidak seindah novel harlequin yang biasa Laura baca. Romansa yang ada tidak semanis yang Laura jalani pula. Kandasnya hubungan Laura dan Gavin buktinya. Di saat sebuah keseriusan dipertanyakan malah kekecewaan yang ia dapatkan. Laura bukanlah perempuan yang terburu-buru dalam pernikahan. Bukan. Ia hanya ingin sebuah kejelasan dalam hubungannya. Laura hanya menuntut label sah atas siapa pemilik dirinya. Sayangnya Gavin tidak sependapat dengannya.
Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Freya, sahabat terdekat Laura. Senyuman Freya merekah saat itu. Sahabatnya itu benar-benar lega atas keputusan yang ia ambil. Sejak dulu Laura sebenarnya tahu jika Freya menentangnya berpacaran dengan Gavin. Freya lebih banyak menghindar. Freya lebih sering menjauhinya. Salah Laura juga kenapa menerimanya. Jelas-jelas Laura sadar akan ada perasaan seperti ini nantinya.
“Gimana respon Si Gavin?” tanya Freya setelah mencomot kentang goreng pesanannya. “Dia nggak ada pembelaan apa gitu?”
Laura menggeleng. “Dia setuju tanpa perlawanan. Nggak asik, kan? Itu yang membuatku kesal sampai sekarang. Selama ini dia sama sekali nggak ada pikiran buat ke sana. Sia-sia aku menunggunya selama ini.”
“Nggak dong. Kamu hanya berusaha sesuai dengan kemampuanmu. Kalau hasilnya memang seperti ini ya sudah. Kamu sudah mengambil keputusan yang bagus sebelum terlambat. Tapi gimana rasanya jadi perempuan yang minta dinikahi duluan?”
Kata-kata Freya terdengar mengejek sekali di telinga Laura. Apalagi senyumnya yang juga tertahan semakin menambah kekesalannya. “Aku nggak mikir sampai sana, Frey. Kemarin itu yang ada dipikiranku cuma kesal dan kesal. Kalau dipikir-pikir nekat juga ya aku.”
Freya tertawa. Kali ini tertawa lepas tanpa menahannya. “Nekat adalah salah satu kelebihan yang kamu punya, La. Terkadang kita perlu nekat untuk berubah.”
Laura mengangguk tanda setuju. “Kamu benar.”
Pembicaraan mengenai Gavin berakhir begitu saja. Dimulai dari topik obrolan ringan yang hampir tidak pernah mereka bahas terjadi. Termasuk siapa yang sedang dekat dengan Freya sekarang. Sahabat Laura itu memang agak tertutup dengan masalah pribadinya. Freya memang blak-blakan soal apapun, tapi masalah percintaan ia akan menutupnya serapat mungkin. Berbeda dengan Laura. Laura jauh lebih terbuka dengan masalah percintaannya, tapi sebaliknya akan menutup rapat mulutnya kalau sudah menyangkut kehidupannya. Untuk itulah keduanya ditakdirkan bertemu satu sama lain. Mereka bisa saling mengerti.
Selang beberapa lama seorang laki-laki muncul dihadapan mereka berdua. Laki-laki dengan potongan rambut short dan spiky menyapa meja mereka. Laura bergantian pandang dengan Freya yang sudah lebih dulu menarik laki-laki itu menjauh dari mejanya.
“Sebentar ya, La.”
Laura mengikut Freya dengan matanya. Freya terlibat obrolan cukup serius dengan laki-laki itu di kejauhan. Pertama kalinya Laura melihat sahabatnya itu bersama seorang laki-laki. Perempuan berparas cantik seperti Freya sungguh tidak mungkin jika ia masih sendiri sampai sekarang. Pasti akan ada satu atau dua laki-laki yang mencoba mendekatinya. Dan omongan Laura terbukti.
“La ....” panggil Freya.
Laura menoleh dan mendapati Freya sudah ada di depannya bersama laki-laki maskulin tadi. Freya mengambil tas tangan disamping kursi lalu melingkarkannya di salah satu bahunya.
“Maaf ya nggak bisa menemanimu lama-lama. Aku harus pergi sekarang.”
Laura mengangguk. “Tapi boleh dong aku dikenalin sama yang bening ini dulu.”
“Tentu boleh dong,” kata Freya penuh tawa. “Sayang, ini Laura. Laura ini Bryan.”
Sayang? Wow, batin Laura.
“Boyfriend?” tanya Laura saat menyambut uluran tangan Bryan. Bryan mengangguk penuh keyakinan lalu berkata. “Nice to meet you.”
Walaupun singkat, tapi Laura cukup senang hari ini. Tidak sia-sia ia mengajak Freya quality time bersama sambil belanja di Mall selepas kerja. Dengan begitu Laura bisa tahu siapa laki-laki yang tengah dipacari sahabatnya itu meski tidak sengaja.
Perjalanan pulang menuju ke rumah sedikit terlambat dari biasanya. Hujan lebat tiba-tiba menerjang ketika Laura keluar dari gedung Mall. Jalanan jelas macet. Bahkan taksi online juga sulit dijangkau karena antrian permintaan yang tinggi. Ditambah lagi baterai ponsel Laura menipis. Lengkap sudah.
Laura mengambil payung lipatnya dari dalam tas. Setelah terbuka dengan sempurna, Laura melarikan kakinya menjauhi gedung Mall. Seingat Laura ada minimarket tidak jauh dari sini. Dan tebakan Laura benar. Letak minimarket itu memang tidak jauh, tapi cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Laura terpaksa kemari mengingat di sini ia bisa mengisi daya ponselnya yang hampir mati.
Untung saja minimarket yang Laura datangi tidak terlalu sepi. Ada banyak pejalan kaki yang berteduh di sana. Laura mengambil posisi paling pojok dekat dengan mesin ATM berburu stop kontak listrik untuk segera mengisi daya ponselnya. Suara derasnya hujan membawa Laura pada lamunan. Perjodohan.
Apa iya aku harus menerima perjodohan itu? Batin Laura.
Laura tidak membenci namanya perjodohan. Ia hanya tidak ingin dipaksa saja. Buktinya saja ia selalu menurut jika Mama mengenalkannya pada laki-laki mana pun. Tapi tidak untuk kali ini. Kali ini Mama benar-benar akan menjodohkannya suka ataupun tidak.
Tepukan lembut dipundak membuyarkan lamunan Laura. Seorang laki-laki yang baru saja ia temui beberapa hari yang lalu menyapanya dengan senyuman.
“Dokter Wibi? Sedang berteduh juga?” tanya Laura seketika.
“Oh, kalau saya....” Abraham menunjukkan kantong plastik ditangannya. “Membeli pesanan orang rumah. Sedang apa kamu di sini malam-malam? Berteduh?”
Laura mengangguk. “Sekalian mengisi daya ponsel. Mau pesan taksi online ponsel tiba-tiba mati, Dok.”
“Kamu tinggal di mana? Saya di daerah Darmo. Mari saya antar pulang daripada di sini.”
“Nggak apa-apa nih, Dok. Rumah saya jauh loh.”
Abraham tertawa. “Saya kan mengantar naik mobil bukan jalan kaki. Jadi tidak masalah buat saya.”
***
Cara Laura pulang ke rumah benar-benar tidak disangka-sangka. Bisa diantar dokter tampan tentu tidak ada dalam kamus besarnya. Laura melirik sesekali pada laki-laki tampan di balik kemudi. Sungguh indah sekali ciptaan-Nya, begitu pikir Laura.
“Boleh saya bertanya agak sedikit pribadi?” tanya Abraham membuka obrolan. “Maaf bukan maksud saya ingin mengorek kehidupan pribadimu. Saya hanya ingin mendengar pandangan dari orang luar.”
Laura terdiam sesaat. “Bagaimana? Nggak keberatan?” ulang Abraham lagi.
“Kalau dengan mengobrol dengan saya bisa membantu Dokter, maka saya ikut senang.”
“Menurutmu pernikahan dikatakan ideal itu pernikahan yang seperti apa?” tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya pada kemudi. “Apakah harus dengan orang yang saling mencintai?”
Laura menyandarkan punggungnya. Tatapannya ikut teralihkan pada guyuran hujan yang membasahi jalanan di balik kaca mobil.
“Menurut saya nggak harus, Dok,” kata Laura setelah beberapa saat berpikir.
“Alasannya?” Abraham balas bertanya. “Jawabanmu cukup menarik perhatian saya.”
Laura tersenyum banyak arti. “Cinta saja nggak cukup memuaskan segalanya, Dok. Karena bagi saya cinta itu hanya sebagai pelengkap.”
Abraham tertegun. “Pelengkap? Layaknya cakue di atas bubur ayam, gitu?”
Laura tertawa mendengarnya. “Perumpamaan yang bagus sekali, Dok.”
“Jadi menurutmu apa yang membuatnya menjadi ideal?”
Laura kembali tertawa. “Dokter sedang melakukan survey pranikah dengan saya ya?”
Abraham tampak salah tingkah ditanya seperti itu. “M-Maaf kalau saya terlalu ingin tahu.”
Laura menggeleng lalu beradu pandang dengan laki-laki disebelahnya. “Menikahlah dengan perempuan yang satu frekuensi, Dok. Karena itu adalah modal membina rumah tangga.”
“Meskipun tanpa cinta?” lanjut Abraham.
“Cinta akan hadir karena sebuah kenyamanan. Lagipula yang dibutuhkan dalam pernikahan adalah sebuah kesetiaan. Kalau Dokter bisa menjaganya, maka cinta pun juga akan terjaga.”
Obrolan berakhir ketika tanpa terasa mobil Abraham berhenti di depan rumah Laura. Laura mengucapkan terima kasih kemudian masuk ke rumah setelah mobil Abraham hilang dalam radius pandangnya. Laura tidak tahu kenapa ia bisa bicara blak-blakan seperti itu. Padahal tidak dijawab serius pun seharusnya bisa Laura lakukan. Tapi entah kenapa topiknya pas sekali dengan apa yang menimpa Laura sekarang.
“Pulangnya malam sekali,” sapa Mama yang tiba-tiba muncul dari arah dapur. “Kamu sudah makan malam?”
Laura mengangguk sembari menenggak segelas air putih dingin yang diambilnya dari kulkas.
“Mama sudah menghubungi pihak sana. Mereka setuju kalau pertemuannya akan dilakukan di rumah kita hari Sabtu mendatang.”
Air putih yang tengah Laura minum menyembur keluar karena kaget. “Apa, Ma? Sabtu ini? Kok Mama nggak diskusi dulu sama Laura? Kalau di hari itu Laura ada acara bagaimana? Kenapa sih Mama selalu maunya serba terburu-buru.”
“Terlalu lama kalau Mama harus tanya kamu dulu. Kamu selalu banyak alasan. Lebih cepat lebih baik, La. Pokoknya Mama sudah sampaikan sama kamu ya. Pastikan saja hari itu kamu nggak ke mana-mana.”
“Tapi, Ma?”
“Nggak ada tapi-tapian, La. Semua sudah diputuskan.”
Laura hanya tertegun menatap Sang Mama. Lagi-lagi Laura tidak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Tepukan pada bahunya membuat Abraham memalingkan wajah sejenak. Galileo menaikkan sebelah alisnya sembari menatapnya penuh heran. “What’s up, Bro? Dari pagi itu kerutan di dahi nggak surut-surut. Ada masalah?”Abraham tidak berkomentar apa-apa. Karena sekali ia membuka mulut untuk Galileo, maka sama halnya dengan memberikan informasi secara cuma-cuma layaknya di akun gosip yang bertebaran di instagram. Lagipula tidak ada untungnya juga Abraham berbagi c
Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”
Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r
Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa
Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”
Kesepakatan yang terjadi di antara Laura dan Abraham akhirnya terlaksana siang ini di hari Minggu setelah sehari sebelumnya Abraham mengabarinya via Whatsapp. Laura berulang kali membetulkan letak pakaian yang melekat di tubuh semampainya, dan berharap ia tidak salah memilih pakaian. Salahkan Abraham yang tidak memberinya masukan tentang busana apa yang pantas ia kenakan saat bertemu dengan Bundanya nanti—membuat Laura harus putar otak memilah pakaian yang ada di lemarinya saat ini.“Mau pakai pakaian apa saja terserah. Asalkan nggak telanjang.” Begitu balas Abraham tadi. Dibilang kesal, jelas Laura kesalnya bukan main. Walaupun pernikahan ini nantinya hanyalah sebuah perjanjian belaka, tapi setidaknya Laura harus
Dugaan Laura terjawab. Abraham membawa keluarganya datang ke rumahnya satu minggu kemudian. Rona kebahagiaan Bunda terpancar ketika bertemu dengan Mama di garis pintu. Arabella pun bahkan menyapanya dengan pelukan hangat dengan senyum Danesha sebagai penutup. Sementara Abraham? Laki-laki itu memberinya seringai mengesalkan seperti yang biasa laki-laki itu berikan padanya. Pembicaraan dua keluarga berlangsung cukup intimate, penuh canda dan tawa serta kekeluargaan. Sayangnya tidak bagi Laura. Laura bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan yang membelenggu hatinya sendiri—antara kebutuhan ataukah hanya keterpaksaan. Laura cukup memberikan senyum termanis, maka tidak akan ada yang tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang yang sebenarnya.
“Pantesan,” celetuk Laura ketika ia turun dari kursi gigi yang selalu ia duduki hampir setiap bulan untuk kontrol. Bulan ini adalah waktunya Laura kontrol gigi seperti biasanya. Mungkin karena sekarang Laura jauh lebih mengenal Galileo, makanya suasana di dalam ruangan jauh lebih santai ketimbang sebelumnya. “Memangnya Abe nggak pernah cerita?” Laura menggeleng. “Kebangetan manusia kanebo satu itu. Masa calon istrinya harus tahu dari orang lain,” tambah Galileo kemudian sembari mensterilkan alat-alat yang habis ia pakai.Singkatnya klinik yang biasanya Laura kunj
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?
Laura masih belum dapat melupakan raut wajah Abraham ketika mendengar permintaannya beberapa hari yang lalu. Wajah tampan suaminya itu mendadak berubah dingin saat menutup pintu kamar mandi dan menghabiskan waktunya di sana. Laura tahu permintaannya kali ini cukup sulit. Status Oliver sudah jelas. Anak itu bukanlah darah daging Abraham namun kenapa Laura masih mengajukan permintaan yang membuat Abraham bingung? Entahlah. Laura juga tidak tahu. Laura hanya ingin mengikuti kata hati yang menuntunnya saja. Menginginkan anak orang lain agar menjadi miliknya mungkin terdengar gila. Dan Laura menyadarinya. Tapi mata tanpa dosa yang tengah menatapnya kala itu seakan meminta pertolongan. Seorang ibu mana yang tega ditatap dengan raut wajah memelas seperti itu? Laura pikir tentu tidak akan ada.“Memastikan kehidupan Oliver bisa kita lakukan dari jauh bukan berarti harus membawanya ikut serta pulang ke rumah.”Kata-kata Abraham terus terngiang-ngiang di kepala Laura.
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. “Anak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.” Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. “Disamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.”
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …