Siang itu Yudistira Putra (29th)-Tira, sedang bersimpuh di hadapan pusara adiknya Melanie Putri (24th)-Putri. Ia tidak terima atas kematian Putri yang bunuh diri karena calon suaminya berselingkuh.
“Istirahatlah dengan tenang! Mas pasti akan membalas semua perbuatan dua manusia laknat itu,” lirih Tira, sambil menitikan air mata.
Ia mengusap nisan adiknya. Kemudian menggenggam tanah kuburan yang masih merah itu dengan rahang yang mengeras. Hingga garis urat lehernya terlihat. Hal yang paling membuatnya miris adalah Putri meninggal dalam keadaan sedang mengandung. Sehingga dendam Tira begitu besar pada kedua orang yang menyakiti adiknya itu.
“Nyonya dan Tuan sudah menunggu di rumah. Mari kita pulang, Tuan Muda!” ucap asisten Tira yang bernama Panji.
Tira tak menjawab ucapan Panji. Namun ia berpamitan pada Putri. Kemudian bangkit dan meninggalkan makam adik semata wayangnya itu dengan berat hati.
“Cari ponsel Putri! Saya ingin tahu wanita yang telah membuat Putri nekat mengakhiri hidupnya,” pinta Tira, saat ia sudah berada di dalam mobil. Tatapannya kosong, tetapi tajam. Ia seolah ingin menghabisi dua orang yang sedang ia incar itu.
“Baik, Tuan Muda,” sahut Panji. Ia menghubungi asisten rumah tangga untuk mengamankan ponsel milik Putri.
Berhubung mereka merupakan keluarga terpandang, penyebab kematian Putri terpaksa disembunyikan demi nama baik keluarga. Sehingga kejadian ini tidak diusut oleh polisi dan tersebar ke publik.
Sebab, jika sampai polisi mengetahui kejadian ini, maka wartawan akan menyerbu mereka dan kemungkinan besar saham beberapa perusahaan yang mereka miliki pun akan turun.
Tiba di rumah, Tira langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya yang pulang lebih dulu.
“Papah harap kamu tidak memperpanjang masalah ini!” pinta Rahmana Aji Putra-Ayah Tira.
Tira yang sedang menunduk pun langsungg menatap Ayahnya. Keningnya mengerut seolah tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
“Apa aku tidak salah dengar? Putri anak Papah, tapi kenapa Papah bisa dengan santai bicara seperti itu? Apa perusahaan jauh lebih penting bagi Papah?” tanya Tira sambil menyeringai kaku.
Namun, air matanya tak henti mengalir. Hati Tira begitu pilu setiap kali mengingat betapa manjanya Putri. Kedekatan mereka pun begitu erat. Sehingga Tira sangat terpukul atas kepergian adik kesayangannya tersebut.
“Tolong jaga ucapanmu! Orang tua mana yang tidak terpukul saat anaknya meninggal? Papah pun merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan, Tira!” bentak Aji.
“Tapi, jika kamu terus memperpanjang masalah ini, apakah Putri akan tenang di alam sana? Papah mau Putri beristirahat dengan damai. Jadi, papah minta kamu jangan memperkeruh suasana! Ikhlaskanlah masalah ini. Biarkan bajingan itu menanggung karmanya sendiri!” nasihat Aji.
Napas Tira terlihat menggebu. Ia berusaha menahan emosinya yang hampir meledak.
“Apa yang Papah kamu katakan memang benar, Tira. Kasihan adikmu jika kamu terus mengungkitnya,” timpal Sisca-Ibu Tira.
“Baiklah. Kalau begitu, aku mau pulang,” ujar Tira. Ia ingin kembali ke rumahnya. Sebab semenjak memimpin perusahaan, Tira sudah tidak tinggal di rumah besar itu lagi. Tira pun tidak ingin berdebat lagi. Sehingga ia lebih memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Di perjalanan pulang, Tira mengecek ponsel Putri yang sudah didapat dari Panji. Ia melihat sebuah nama yang diyakini bahwa wanita itu adalah selingkuhan dari calon suami adiknya-Ady.
“Ji, cari staf bernama Laras! Bawa dia ke hadapan saya!” pinta Tira dengan tatapan kosong. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan dia lakukan terhadap Laras. Tira pun menyeringai dengan wajah liciknya.
“Baik, Tuan,” jawab Panji. Ia langsung menghubungi anak buahnya untuk mencari Laras.
Sebelumnya Tira mengetahui bahwa wanita yang selingkuh dengan Ady adalah salah satu staf di perusahaannya. Sehingga ia hanya membutuhkan nama wanita tersebut.
Sementara itu, para staf di perusahaan Tira heboh atas kematian Putri. Meski penyebab kematiannya ditutupi. Namun mereka mendengar selentingan bahwa Putri meninggal akibat bunuh diri.
“Kurang apa ya dia? Udah tajir, cantik, tapi masih diselingkuhin juga,” ujar salah seorang staf.
“Iya, calon suaminya aja yang gak tau diri. Cewek sebaik Bu Putri aja masih diselingkuhin. Dasar bajingan!” jawab yang lain.
“Hus! Gak baik ah ngomongin orang yang udah meninggal! Udah, jangan dibahas lagi!” timpal Laras Oktaviani (25th)-Ayas. Ia tidak pernah mau menggunjing orang lain. Terlebih orang itu sudah meninggal.
“Ah, lo mah kebiasaan, Yas. Orang lagi seru juga, ngerusak suasana aja!” Mereka kesal karena Ayas selalu menasihati mereka.
Ayas hanya tersenyum. Ia tidak pernah bosan meskipun teman-temannya sering mengeluh ketika dinasihati.
Malam hari, Ayas baru selesai bekerja. Hari ini ia merasa lelah karena seharian pekerjaannya begitu padat.
Ketika Ayas sedang berjalan di basement menuju parkiran mobil, tiba-tiba ia dihadang oleh satu mobil. Kemudian Ayas dipaksa masuk ke mobil tersebut oleh segerombolan orang tak dikenal. Saat itu kondisi basement sedang sepi, sebab sebagian besar karyawan sudah pulang.
“Siapa kalian?” bentak Ayas. Ia sangat terkejut sekaligus takut. Orang-orang itu terlihat begitu menyeramkan.
“Jangan banyak bicara!” sahut orang itu.
“Lepaskan saya! Atau saya akan berteriak dan melaporkan kalian ke polisi!” Ayas masih berani melawan. Namun, kemudian salah seorang dari mereka memberikan obat bius hingga Ayas tak sadarkan diri.
“Dasar berisik!” cibir orang itu. Kemudian ia menghubungi Tira (Melalui Panji). Untuk melaporkan bahwa mereka telah berhasil mengkap Ayas. Mereka bisa menemukan Ayas dengan mudah, sebab di kantor itu hanya ada satu staf bernama Laras.
Telepon terhubung. Panji memberikan ponselnya pada Tira
“Selamat sore, Tuan Muda,” ucap anak buahnya di seberang telepon.
“Sore. Bagaimana, apa kalian berhasil?” tanya Tira.
“Target sudah di tangan kami. Selanjutnya kami siap menunggu arahan Tuan Muda.”
“Kalau begitu, bawa dia ke hotel! Saya akan menunggu di sana,” ucap Tira sambil menyeringai. Ia sudah siap untuk memberi 'pelajaran' pada Ayas.
Anak buah Tira sudah paham hotel mana yang dimaksud oleh tira. “Siap laksanakan!”
Telepon terputus. Mereka pun bergegas ke hotel untuk mengirim Ayas pada Tira.
“Malam ini kita akan bersenang-senang, Cantik. Aku jamin, kamu tidak akan pernah melupakannya seumur hidupmu,” gumam Tira, sambil menyeringai dengan tatapan tajam penuh kebencian.
Saat ini Tira sedang berdiri sambil memegang gelas wine dan menatap ke arah luar jendela raksasa yang memperlihatkan pemandangan ibu kota malam itu. Ia hanya mengenakan bath robe (Kimono handuk) untuk memudahkan aksinya.Ayas yang masih terbaring di atas tempat tidur mengerejapkan mata untuk menyempurnakan pandangannya yang buram. Ia merasa kepalanya begitu berat karena efek obat bius yang terhirup tadi. Matanya menyipit kala menemukan sosok seorang pria yang sedang memunggunginya.“Dia siapa?” gumam Ayas pelan. Ia belum sadar bahwa dirinya sedang disandra. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa tangan dan kakinya terikat.“Hah, kenapa aku diikat? Ini di mana?” ucapnya, panik. Ia pun berusaha melepaskan ikatan itu.Mendengar suara Ayas, Tira pun menoleh. Kemudian ia menghampiri Ayas sambil menyeringai. “Bagaimana istirahatnya, apa sudah cukup?” tanyanya dengan tatapan licik penuh kebencian.Deg!“Pak Tir
Ayas langsung memalingkan wajahnya saat melihat tubuh Tira tanpa sehelai benang pun. Lututnya terasa lemas kala melihat senjata Tira sudah berdiri tegak. Terlebih ini kali pertama baginya melihat hal seperti itu.“Sepertinya kamu sangat terpesona dengan tubuh saya,” cibir Tira saat melihat wajah Ayas merona. Kemudian ia memainkan bagian sensitif tubuh Ayas hingga wanita itu menggeliat.Sebagai wanita normal, dirangsang oleh seorang pria gagah dan tampan seperti Tira, tentu saja gairah Ayas pun bangkit. Meski hatinya menolak. Namun tubuhnya justru tak mampu melawan sentuhan yang menimbulkan gelenyar kenikmatan itu.“Do you like this?” ejek Tira saat melihat napas Ayas tersenggal dan wajahnya merona.“You are batshit crazy! (Kamu memang sinting),” umpat Ayas dengan napas menggebu. Bahkan ia tak mampu menahan desahannya. Karena kini Tira memainkan lidahnya di sana. Ia pun memberikan gigitan kecil agar Ayas semakin tak taha
Panji terkesiap. Ia yakin saat ini Tira sudah 'melakukannya'. Namun bagaimana bisa salah orang. “Baik, Tuan,” jawabnya. Ia tidak berani membantah ataupun berkomentar.Setelah itu, Tira langsung menutup pintu dan menghampiri Ayas. Kemudian ia duduk di samping Ayas dan mengobati luka di pergelangan tangan wanita itu.“Maaf jika tadi aku berbuat kasar. Aku terlalu gegabah sampai melakukan kesalahan seperti ini,” gumam Tira. Ia tak tega melihat Ayas tersiksa seperti itu.Meski dirinya sendiri yang telah menyiksa Ayas. Hatinya ikut perih membayangkan betapa hancurnya perasaan Ayas karena kesuciannya telah direnggut paksa.Tira bahkan mengecup tangan Ayas sebagai permintaan maafnya. “I’m so sorry … kamu harus jadi milikku,” gumam Tira. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa Ayas bukanlah wanita yang merebut Ady dari Putri.***Saat sinar matahari menembus jendela kamar itu, Ayas pun terbangun karena me
“Kenapa gak diangkat, ya? Apa dia lagi sibuk?” gumam Ayas. Ia mengenal Manager HRD yang sedang dihubungi.Sehingga Ayas bisa menghubungi ponselnya secara langsung. Sebab mereka bekerja di satu lantai.Setelah beberapa kali Ayas berusaha menghubungi HRD. Akhirnya telepon itu dijawab.“Selamat pagi, Pak,” sapa Ayas.“Pagi Mbak Ayas, ada apa?” sahut HRD di seberang telepon.“Begini, saya mohon izin karena sedang kurang sehat,” jawab Ayas.“Oh iya, Mbak. Kalau memang kurang sehat, istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan,” sahut HRD.“Terima kasih, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal.”“Apa itu?”“Kalau saya mau mengajukan resign, apa bisa langsung mengajukan sekarang?” tanya Ayas.“Lho, kenapa mau resign, Mbak?”“Gak apa-apa, Pak. Saya lagi mau istirahat aja. Kalau diizinkan, saya ingin resign sec
Ayas sangat familiar dengan suara itu. Suara dari orang yang sangat ia hindari. Ia pun langsung menoleh ke sampingnya.“Mau apa Anda di sini?” tanya Ayas dingin.“Saya akan bertanggung jawab. Mari kita menikah!” ajak Tira to the point.Ayas menyeringai. Ia menganggap itu hanya sebagai lelucon. Ia pun memalingkan wajah karena tidak sudi melihat wajah yang membuatnya trauma itu.“Apa Anda masih belum puas mempermainkan saya? Apa masih kurang, Anda menghancurkan masa depan saya?” tanya Ayas dengan suara bergetar.“Justru itu saya mau bertanggung jawab. Dengan begitu masa depan kamu akan aman,” ujar Tira yakin.Ayas tersenyum getir. “Mungkin bagi orang seperti Anda, semua bisa dilakukan dengan mudah. Menyakiti orang lain, kemudian memberinya uang atau fasilitas untuk menebus dosa. Padahal ada hal yang jauh leb
Ayas tercengang setelah mendengar pernyataan dokter. Sementara hati Tira berdesir. Dengan begitu harapannya untuk menikahi Ayas bisa terwujud.“M-maksud dokter?” tanya Tira gugup.“Nyonya Laras sedang mengandung. Saat ini usia kehamilannya sudah memasuki satu bulan …,” jelas dokter.Dokter pun menjelaskan secara rinci apa saya yang harus dilakukan dan dihindari oleh Ayas. Ia menyarankan agar Ayas segera memeriksakan kandungannya ke SPOg.Tira sangat ingin tersenyum. Namun ia berusaha menahannya demi menjaga image di depan Ayas.“Terima kasih banyak ya, Dok,” sahut Tira. Ia bingung ingin mengatakan apa lagi. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah rencana pernikahannya dengan Ayas. Ia pun berniat untuk segera memberitahu orang tuanya.“Iya, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu,” sahut dokter. Ia pun menin
Medengar ucapan Tira, Ayas pun langsung panik. “Jangan! Saya tidak mau orang tua saya tahu tentang hal ini atau saya bisa dibunuh oleh Ayah saya,” ucap Ayas, gugup. Ia sangat khawtair orang tuanya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung. “Saya tidak akan mengatakan bahwa kamu sedang hamil. Saya akan mengatakan kita menikah karena cinta,” ucap Tira. Meski ucapannya lembut, tetapi tatapan mata pria itu begitu menakutkan bagi Ayas. Ia ingat betul bagaimana kedua bola mata itu menatapnya dengan tatapan menjijikan kala kesuciannya tengah direnggut waktu itu. Ayas berpikir keras. Sampai kapan pun ia tidak ingin hidup dengan pria menakutkan seperti Tira. Melihat rumahnya yang dijaga ketat saja sudah membuat Ayas takut. Apalagi jika harus tinggal di rumah itu. Ditambah sikap Tira yang berubah-ubah, membuat Ayas semakin yakin untuk menjauhi pria itu. “Oke, saya akan
Ayas terperanjat saat mendengar pintu terbuka. Ia pun langsung menyembunyikan pisau alat yang ia pegang. Jantungnya berdebar hebat. Ia takut Tira kembali ke rumah itu.“Nona sedang apa?” tanya seorang pelayan yang masuk ke kamar itu.Ayas bisa bernapas lega. Setidaknya itu bukan Tira yang datang. Sehingga ia tidak akan mengalami pemaksaan lagi untuk sementara waktu.“Lagi lihat pemandangan aja,” jawab Ayas singkat. Ia malas banyak bicara. Ayas yakin pelayan itu pasti akan melaporkan apa pun pada Tira.“Ini makan siang untuk Nona. Silakan dimakan!” ucap pelayan. Sebenarnya ia mencurigai sesuatu. Namun pelayan itu merasa kasihan pada Ayas. Sehingga ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.“Terima kasih. Saya belum lapar,” jawab Ayas. Ia masih belum beralih dari tempatnya berdiri. Sebab Ayas ingin menutupi bagian tralis yang sudah berhas
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe