Panji terkesiap. Ia yakin saat ini Tira sudah 'melakukannya'. Namun bagaimana bisa salah orang. “Baik, Tuan,” jawabnya. Ia tidak berani membantah ataupun berkomentar.
Setelah itu, Tira langsung menutup pintu dan menghampiri Ayas. Kemudian ia duduk di samping Ayas dan mengobati luka di pergelangan tangan wanita itu.
“Maaf jika tadi aku berbuat kasar. Aku terlalu gegabah sampai melakukan kesalahan seperti ini,” gumam Tira. Ia tak tega melihat Ayas tersiksa seperti itu.
Meski dirinya sendiri yang telah menyiksa Ayas. Hatinya ikut perih membayangkan betapa hancurnya perasaan Ayas karena kesuciannya telah direnggut paksa.
Tira bahkan mengecup tangan Ayas sebagai permintaan maafnya. “I’m so sorry … kamu harus jadi milikku,” gumam Tira. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa Ayas bukanlah wanita yang merebut Ady dari Putri.
***
Saat sinar matahari menembus jendela kamar itu, Ayas pun terbangun karena merasakan hangatnya sentuhan sinar mentari pagi yang membelai kulitnya.
“Astaga!” Ayas langsung terduduk saat ia ingat apa yang terjadi semalam. Saat Ayas menoleh ke samping, ia melihat Tira masih terlelap memunggunginya. Semalaman pria itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena rasa bersalahnya terhadap Ayas.
Tira mengingat-ingat apa saja yang telah ia lakukan. Ia sangat menyesal atas perbuatan kasarnya yang bahkan sampai menampar wajah mulus gadis itu.
Ayas yang merasakan perih di ujung bibirnya pun langsung meringis dan menyentuh bibirnya. Namun, ternyata Tira sudah membalutnya dengan plester kecil. Ia pun menyadari bahwa pergelangan tangannya sudah diobati.
Kening Ayas mengerut. “Siapa yang melakukannya?” gumam Ayas sambil melihat tangannya itu. Ia tidak yakin Tira melakukan hal seperti itu. Namun, di sana tidak ada orang lain lagi.
“Apa dia tidak waras? Semalam dia menyiksaku seperti iblis. Lalu kenapa dia juga mengobati lukaku?” Ayas tidak habis pikir bagaimana Tira bisa bersikap seperti orang yang memiliki kepribadian ganda.
“Lebih baik aku segera pergi dari tempat terkutuk ini,” ucap Ayas. Ia tidak ingin Tira bangun sebelum dirinya meninggalkan tempat itu. Ayas pun buru-buru turun dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya yang semalam dilucuti oleh Tira.
Awalnya Ayas ingin mandi terlebih dahulu. Namun ia takut tidak sempat melarikan diri dari Tira. Hingga akhirnya Ayas memutuskan untuk langsung mengenakan pakaiannya dan kabur dari tempat itu.
Dengan tangan gemetar, Ayas membuka kunci pintu kamar tersebut. “Aku harap tidak pernah bertemu dengan manusia iblis itu lagi,” gumam Ayas sambil menoleh sekilas. Kemudian ia meninggalkan kamar itu.
Rasa takutnya terhadap Tira mengalahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ayas mengambil ponsel untuk memesan taksi online agar ketika ia tiba di lobby, tidak perlu menunggu lama lagi.
Pagi itu wajah Ayas terlihat pucat. Ia pun tak berani pulang ke rumah orang tuanya. “Aku harus pulang ke mana?” gumam Ayas. Ia melihat begitu banyak panggilan tak terjawab dari orang tuanya. Ayas bingung harus berkata apa jika ia pulang ke rumah. Sebab, saat ini kondisi tubuhnya terluka dan pasti akan dipertanyakan.
“Ah iya, ke apartemen Gita aja, kebetulan deket dari sini,” ucap Ayas. Ia mengetahui lokasi hotel itu dari map taksi online yang akan ia pesan. Setelah memutuskan akan pulang ke tempat Gita, Ayas pun segera memesan taksi online tersebut.
“Semoga gak lama,” harapnnya. Ia khawatir jika terlalu lama menunggu di lobby, Tira atau anak buahnya akan menemukannya. Sebab, Ayas yakin Tira belum puas hanya menyiksanya seperti itu.
Beruntung tak jauh dari hotel itu banyak taksi yang standby. Sehingga ketika Ayas tiba di lobby, taksi pesanannya pun sudah datang. Ayas bergegas masuk seperti orang yang sedang dikejar penjahat.
“Huuh! Akhirnya,” gumam Ayas. Ia baru bisa bernapas lega setelah masuk ke mobil itu.
Sopir taksi tidak menanyakan apa pun. Ia hanya melirik sekilas dari kaca spion tengah. Seorang wanita cantik keluar dari hotel sepagi ini dengan kondisi wajah yang pucat, membuat sopir taksi itu mengira bahwa Ayas adalah wanita panggilan.
Sebenarnya Ayas sangat malu keluar dari hotel sepagi itu. Namun ia tak memiliki pilihan lain. Menunggu sampai siang sama saja menyerahkan diri pada singa yang sedang lapar.
Sepanjang jalan Ayas melamun. Ia masih tidak habis pikir mengapa Tira melakukan hal itu padanya. ‘Apa salahku sampai dia tega menghancurkan masa depanku? Tapi semalam dia mengatakan bahwa aku telah mengusiknya. Pasti dia salah orang, kan?’ batinnya.
Saat ini Ayas menatap kosong ke luar jendela mobil yang ia tumpangi. Air matanya masih terus mengalir karena mengingat masa depannya sudah dirusak oleh Tira. ‘Jika memang salah orang, keterlaluan sekali dia merenggut kesucianku padahal aku yakin bukan aku orang yang dia maksud,’ gumam Ayas dalam hati.
Rasanya Ayas ingin menghajar pria itu. Namun ia sadar bahwa dirinya tidak mungkin menjangkau Tira. Ayas sendiri tidak berniat minta pertanggung jawaban dari Tira. Sebab ia yakin pria itu tidak mungkin mau menikahinya. Terlebih semalam ia terlihat seperti menaruh dendam terhadap Ayas.
Lagi pula, Ayas sudah terlanjur benci pada Tira. Seandainya Tira berniat untuk tanggung jawab pun, ia tidak akan sudi menerimanya. Sebab, Ayas trauma atas perlakuan kasar Tira yang telah memperlakukannya seperti binatang.
‘Tapi bagaimana jika aku hamil? Semalam dia melepaskannya di dalam, kan?’ pikirnya. Saat ini pikiran Ayas sedang kalut. Begitu banyak spekulasi kemungkinan yang akan terjadi. Hal itu membuat Ayas semakin gelisah.
Tiba di apartemen, Ayas langsung menuju kamar Gita. Sebelumnya ia sudah sering bermalam di sana. Sebab apartemen Gita terletak di dekat kantor Ayas. Ia bahkan sudah diberi aksess kode pintu masuk apartemen tersebut karena persahabatannya dengan Gita sudah sangat dekat.
“Mudah-mudahan si Gita udah berangkat ke kantor. Bisa heboh dia kalau lihat kondisi aku kayak gini,” gumam Ayas. Ia sadar kondisinya saat ini sangat tidak layak. Orang terdekatnya pasti dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu terhadapnya.
Dengan gugup, Ayas masuk ke apartemen tersebut. “Good morning,” lirihnya. Ia berharap tidak ada yang menjawab.
“Yess, aman.” Ayas senang karena tidak ada jawaban. Ia pun bisa masuk dengan lega.
Tiba di dalam, Ayas segera menghubungi Gita untuk meminta izin istirahat dan meminjam pakaian Gita. Tak lupa ia pun menghubungi orang tuanya dan mengatakan bahwa semalam dirinya lembur. Sehingga bermalam di apartemen Gita.
Setelah itu, Ayas bergegas membersihkan tubuhnya. Ia sudah merasa jijik pada dirinya sendiri. Ayas ingin menghilangkan jejak pria jahat itu. Namun, ia kesal setiap kali mengingat apa yang ia lakukan semalam.
“Bodoh kamu, Yas! Bisa-bisanya kamu malah menikmati padahal sudah jelas dia sedang memaksamu!” maki Ayas pada dirinya sendiri.
Selesai mandi, Ayas mengenakan pakaian. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Hari ini Ayas tidak berniat masuk ke kantor. Ia menghubungi bagian HRD untuk Izin dengan alasan sakit.
“Aku harus resign dari kantor itu. Aku tidak ingin bertemu dengan pria iblis itu lagi. Aku pun tidak sudi makan uang dari perusahaannya,” gumam Ayas. Sepertinya ia sudah sangat anti dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tira.
Ayas pun mengambil ponsel yang sedang ia charge. Ia mencabut kabel casan, kemudian menghubungi HRD tempat ia bekerja untuk konsultasi mengenai masalah resign.
Di tempat lain, Tira baru saja terbangun. Saat membuka matanya, hal pertama yang ingin ia lihat adalah Ayas. Namun sayang, ia tidak dapat menemukan wanita itu.
“Ke mana, dia?” gumam Tira. Ia bergegas turun dari tempat tidur dan mencari Ayas ke kamar mandi.
“Laras, kamu di mana?” panggil Tira. Ia mengingat nama gadis yang telah melewati malam bersama dirinya itu.
Saat berdiri di depan pintu kamar mandi, ia melihat pintunya tidak dikunci. Tira pun langsung membukanya dan Ayas tidak ada di sana. Kemudian Tira mengecek pakaian serta barang Ayas. “Dia pergi? Kenapa dia bisa pergi dari sini? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun?”
Seolah tanpa dosa. Tira bingung karena Ayas pergi meninggalkannya begitu saja. Ia pikir Ayas tidak akan melakukan hal itu dan pasti meminta pertanggung jawabannya. “Aku harus segera menghubungi HRD,” gumam Tira. Ia ingin mengantisipasi kemungkinan Ayas mengundurkan diri karena perbuatannya.
“Kenapa gak diangkat, ya? Apa dia lagi sibuk?” gumam Ayas. Ia mengenal Manager HRD yang sedang dihubungi.Sehingga Ayas bisa menghubungi ponselnya secara langsung. Sebab mereka bekerja di satu lantai.Setelah beberapa kali Ayas berusaha menghubungi HRD. Akhirnya telepon itu dijawab.“Selamat pagi, Pak,” sapa Ayas.“Pagi Mbak Ayas, ada apa?” sahut HRD di seberang telepon.“Begini, saya mohon izin karena sedang kurang sehat,” jawab Ayas.“Oh iya, Mbak. Kalau memang kurang sehat, istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan,” sahut HRD.“Terima kasih, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal.”“Apa itu?”“Kalau saya mau mengajukan resign, apa bisa langsung mengajukan sekarang?” tanya Ayas.“Lho, kenapa mau resign, Mbak?”“Gak apa-apa, Pak. Saya lagi mau istirahat aja. Kalau diizinkan, saya ingin resign sec
Ayas sangat familiar dengan suara itu. Suara dari orang yang sangat ia hindari. Ia pun langsung menoleh ke sampingnya.“Mau apa Anda di sini?” tanya Ayas dingin.“Saya akan bertanggung jawab. Mari kita menikah!” ajak Tira to the point.Ayas menyeringai. Ia menganggap itu hanya sebagai lelucon. Ia pun memalingkan wajah karena tidak sudi melihat wajah yang membuatnya trauma itu.“Apa Anda masih belum puas mempermainkan saya? Apa masih kurang, Anda menghancurkan masa depan saya?” tanya Ayas dengan suara bergetar.“Justru itu saya mau bertanggung jawab. Dengan begitu masa depan kamu akan aman,” ujar Tira yakin.Ayas tersenyum getir. “Mungkin bagi orang seperti Anda, semua bisa dilakukan dengan mudah. Menyakiti orang lain, kemudian memberinya uang atau fasilitas untuk menebus dosa. Padahal ada hal yang jauh leb
Ayas tercengang setelah mendengar pernyataan dokter. Sementara hati Tira berdesir. Dengan begitu harapannya untuk menikahi Ayas bisa terwujud.“M-maksud dokter?” tanya Tira gugup.“Nyonya Laras sedang mengandung. Saat ini usia kehamilannya sudah memasuki satu bulan …,” jelas dokter.Dokter pun menjelaskan secara rinci apa saya yang harus dilakukan dan dihindari oleh Ayas. Ia menyarankan agar Ayas segera memeriksakan kandungannya ke SPOg.Tira sangat ingin tersenyum. Namun ia berusaha menahannya demi menjaga image di depan Ayas.“Terima kasih banyak ya, Dok,” sahut Tira. Ia bingung ingin mengatakan apa lagi. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah rencana pernikahannya dengan Ayas. Ia pun berniat untuk segera memberitahu orang tuanya.“Iya, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu,” sahut dokter. Ia pun menin
Medengar ucapan Tira, Ayas pun langsung panik. “Jangan! Saya tidak mau orang tua saya tahu tentang hal ini atau saya bisa dibunuh oleh Ayah saya,” ucap Ayas, gugup. Ia sangat khawtair orang tuanya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung. “Saya tidak akan mengatakan bahwa kamu sedang hamil. Saya akan mengatakan kita menikah karena cinta,” ucap Tira. Meski ucapannya lembut, tetapi tatapan mata pria itu begitu menakutkan bagi Ayas. Ia ingat betul bagaimana kedua bola mata itu menatapnya dengan tatapan menjijikan kala kesuciannya tengah direnggut waktu itu. Ayas berpikir keras. Sampai kapan pun ia tidak ingin hidup dengan pria menakutkan seperti Tira. Melihat rumahnya yang dijaga ketat saja sudah membuat Ayas takut. Apalagi jika harus tinggal di rumah itu. Ditambah sikap Tira yang berubah-ubah, membuat Ayas semakin yakin untuk menjauhi pria itu. “Oke, saya akan
Ayas terperanjat saat mendengar pintu terbuka. Ia pun langsung menyembunyikan pisau alat yang ia pegang. Jantungnya berdebar hebat. Ia takut Tira kembali ke rumah itu.“Nona sedang apa?” tanya seorang pelayan yang masuk ke kamar itu.Ayas bisa bernapas lega. Setidaknya itu bukan Tira yang datang. Sehingga ia tidak akan mengalami pemaksaan lagi untuk sementara waktu.“Lagi lihat pemandangan aja,” jawab Ayas singkat. Ia malas banyak bicara. Ayas yakin pelayan itu pasti akan melaporkan apa pun pada Tira.“Ini makan siang untuk Nona. Silakan dimakan!” ucap pelayan. Sebenarnya ia mencurigai sesuatu. Namun pelayan itu merasa kasihan pada Ayas. Sehingga ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.“Terima kasih. Saya belum lapar,” jawab Ayas. Ia masih belum beralih dari tempatnya berdiri. Sebab Ayas ingin menutupi bagian tralis yang sudah berhas
Ayas terbelalak. Ia sangat takut mereka benar-benar mengecek ke dalam pos. ‘Gimana ini? Aku gak mau kembali ke rumah itu,’ batin Ayas. Ia sangat ketakutan sampai lututnya terasa lemas. “Maaf, Pak. Pos itu termasuk privacy saya. Jadi tidak pantas jika kalian masuk ke sana,” jawab satpam. Mereka pun curiga karena satpam itu berusaha menghalangi mereka. “Kenapa Anda berusaha menghalangi kami? Apa Anda menyembunyikan sesuatu di dalam sana?” tanya pengawal. “Bukan urusan kalian. Lebih baik kalian pergi dari sini!” pinta satpam itu, tegas. “Maaf, kami harus mengeceknya.” Deg! Ayas semakin panik. Kali ini ia sudah tidak dapat menghindar lagi. Pengawal itu pun memaksa masuk ke dalam pos. “Kenapa kalian tidak sopan sekali? Saya punya hak untuk melarang kalian masuk ke pos saya,”
”Bagaimana?” tanya Tira saat sudah tiba di bandara. Ia sengaja mendatangi bandara lebih dulu karena Tira pikir kemungkinan besar Ayas akan naik pesawat menuju ke Bali. Panji hanya menggelengkan kepala. Ia bingung bagaimana cara menjawabnya. Sebab, jawaban apa pun akan salah selama Ayas tidak ditemukan. “Argh! Kenapa mencari satu wanita saja kalian tidak becus?” bentak Tira. Suaranya menggelegar hingga mengalihkan pandangan semua orang. “Maaf, Tuan. Tapi sepertinya Nona Laras tidak datang ke bandara,” ujar Panji, gugup. Tira yang sedang kesal pun terhenyak. “Apa kamu sudah mengirim orang ke stasiun?” tanya Tira lagi. “Sudah, Tuan. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda kedatangan Nona Laras di stasiun mana pun,” jawab Panji lagi. Tira pun berpikir keras. Ia bingung bagaimana cara mencari Ayas. “TERMINAL!” Ia baru teringat
Ketika sedang mewawancarai Ayas, HRD mendapat telepon dari asisten Yoga yang bernama Vito.Kring! Kring!“Maaf, tunggu sebentar!” ucap HRD pada Ayas. Ia pun mengangkat telepon yang ada di mejanya.Ayas mempersilakannya, kemudian ia menunggu dengan tenang.Telepon terhubung.“Ya, halo,” sapa HRD.“Halo, Pak. Saya Vito,” jawab Vito di seberang telepon.“Oh iya, Mas Vito. Ada apa?” tanya HRD.“Begini. Pak Yoga minta agar Bapak menerima calon staf yang saat ini sedang diinterview,” ujar Vito.HRD langsung menoleh ke arah Ayas.“Oh, iya Mas,” jawabnya. Dengan melihat penampilan Ayas, ia sudah dapat menebak mengapa Yoga memintanya untuk menerima Ayas.“Baik kalau begitu. Tapi tolong ja
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe