“Kenapa gak diangkat, ya? Apa dia lagi sibuk?” gumam Ayas. Ia mengenal Manager HRD yang sedang dihubungi.
Sehingga Ayas bisa menghubungi ponselnya secara langsung. Sebab mereka bekerja di satu lantai.
Setelah beberapa kali Ayas berusaha menghubungi HRD. Akhirnya telepon itu dijawab.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Ayas.
“Pagi Mbak Ayas, ada apa?” sahut HRD di seberang telepon.
“Begini, saya mohon izin karena sedang kurang sehat,” jawab Ayas.
“Oh iya, Mbak. Kalau memang kurang sehat, istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan,” sahut HRD.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal.”
“Apa itu?”
“Kalau saya mau mengajukan resign, apa bisa langsung mengajukan sekarang?” tanya Ayas.
“Lho, kenapa mau resign, Mbak?”
“Gak apa-apa, Pak. Saya lagi mau istirahat aja. Kalau diizinkan, saya ingin resign secara baik-baik dari kantor,” jelas Ayas.
“Hem … bisa saja, sih. Tapi prosedurnya setelah mengajukan itu Mbak Ayas masih harus bekerja dulu sampai kami mendapat penggantinya,” jelas HRD.
Ayas merasa kecewa karena tidak sesuai harapan. Padahal hatinya sudah tidak nyaman jika harus kembali ke kantor itu lagi. Seandainya bisa, bahkan ia tidak ingin menginjakkan kaki lagi di sana.
“Maksimal berapa lama ya, Pak?” tanya Ayas, lemas.
“Normalnya sih satu bulan ya, Mbak. Jika Mbak Ayas mengikuti prosedur, maka kami akan memberikan uang pesangon dan surat keterangan pengalaman bekerja. Jika tidak, maka Mbak Ayas dianggap mengundurkan diri secara tidak terhormat,” jelas HRD.
Ayas tercenung. ‘Satu bulan? Apa aku sanggup berada di kantor itu selama satu bulan? Bagaimana jika aku bertemu dengan iblis itu lagi?’ pikirnya.
“Apa ada yang ingin ditanyakan lagi, Mbak?” tanya HRD paruh baya itu.
“Tidak, Pak. Terima kasih banyak atas infonya, ya?” sahut Ayas. Ia pun memutus sambungan teleponnya.
Ayas kembali tercenung. Ia mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Jika mengikuti prosedur, ia khawatir akan bertemu dengan pria itu meski tidak sengaja.
Namun, jika langsung keluar begitu saja, ia tidak akan mendapat surat keterangan pengalaman kerja yang sangat dibutuhkan untuk melamar pekerjaan di tempat lain. Saat ini pun mobil Ayas masih ada di basement kantor. Ia belum berniat untuk mengambilnya.
“Satu bulan itu lama banget ya ampun … apa gak bisa satu minggu aja?” gumam Ayas. Ia merasa itu sangat berat.
Di tempat lain, HRD sedang menghadap Tira yang baru saja tiba di ruangannya. Ia memanfaatkan momen ini agar bisa lebih dekat dengan Tira.
“Bagaimana?” tanya Tira yang sedang duduk di kursi kerjanya. Matanya tetap fokus membaca berkas yang ada di tangannya.
“Dugaan Tuan memang benar. Barusan Mbak Laras menghubungi saya untuk mengajukan pengunduran diri,” ujar HRD.
Tira menyeringai. Ia sedikit lega karena sudah mengantisipasi hal itu. Sebelum Ayas berhasil menghubungi HRD, Tira sudah meneleponnya lebih dulu dan meminta HRD untuk mempersulit jika Ayas ingin mengundurkan diri.
“Lalu apa dia tetap mengundurkan diri?” tanya Tira.
“Untuk sementara beliau belum memberi keputusan. Mungkin besok atau nanti jika Mbak Ayas sudah kembali bekerja, Tuan,” jelas HRD.
“Oke, tolong laporkan apa pun yang menyangkut dirinya. Jangan sampai ada yang terlewat!” pinta Tira.
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu.” HRD pun meninggalkan ruangan Tira. Ia tidak ingin tahu ada hubungan apa antara Tira dan Ayas. Yang terpenting baginya adalah ia bisa mencuri simpatik Tira dengan mengikuti semua perintahnya.
Saat HRD meninggalkan ruangannya, Tira menaruh berkas itu. Kemudian ia memutar kursi menghadap ke jendela raksaasa yang ada di sampingnya.
“Kamu terlalu mudah untuk aku tebak. Silakan saja jika kamu mau berusaha lari dari aku. Tapi aku pastikan kamu tidak akan bisa lolos,” gumam Tira dengan angkuhnya.
Ia sangat yakin Ayas tidak akan lolos dari genggamannya. Untuk sementara Tira bisa bersantai sambil memantau pergerakan Ayas. Ia bahkan sudah menyiapkan beberapa orang untuk mengawasi Ayas. Termasuk menjaga rumahnya.
***
Hari ini Ayas datang ke kantor untuk menyerahkan pengajuan resign. Namun ia tetap harus bekerja agar bisa mendapatkan surat keterangan pengalaman kerja.
“Oke, satu bulan. Aku pasti bisa. Anggap saja ini persiapan aku untuk pergi dari kota ini,” gumam Ayas. Ia harus menyiapkan banyak hal agar bisa pergi dari kota itu.
Ayas bahkan ingin menjual mobilnya untuk ia jadikan modal. Saat ini ia belum yakin akan pergi ke kota mana. Namun, tekadnya sudah bulat ingin meninggalkan kota tersebut.
Apalagi jika sampai dirinya mengandung. Meski tidak mengharapkan hal itu, tetapi Ayas sudah memutuskan untuk mengurus anaknya sendiri apabila hal itu sampai terjadi.
Ayas datang ke kantor dengan mengenakan masker. Meski orang lain tidak mengetahui masalah yang ia alami. Namun Ayas merasa malu. Ia pun takut tiba-tiba berpapasan dengan Tira dan itu pasti akan membuat mentalnya semakin down.
Saat tiba di dekat lobby, Ayas melihat mobil Tira berhenti di sana. Ia pun segera melipir dan bersembunyi di balik pilar. Sayangnya Tira yang sudah terlanjur terpesona olehnya itu sangat mengenali Ayas meski hanya melihatnya dari belakang. Ia ingat bagaimana bentuk kaki, punggung dan rambut Ayas.
Ketika turun dari mobil, Tira menoleh ke arah Ayas. “Apa aku sangat menakutkan sampai dia bersembunyi seperti itu?” gumam Tira sambil menyeringai.
Ia merasa Ayas sangat menggemaskan karena berusaha bersembunyi darinya. Tira yang sadar Ayas sedang berusaha menghindar pun tidak ingin mengusiknya untuk sementara waktu. Sambil menunggu laporan Panji mengenai wanita selingkuhan Ady.
Tira masuk ke lobby dan naik ke eskalator yang ada di depan pintu lobby. Kemudian, ia menoleh ke arah Ayas yang sedang bersembunyi di balik pilar. Hingga tatapan mereka bertemu.
Deg!
Ayas langsung memalingkan wajahnya. Ia terkejut kala Tira menatapnya. Rasanya ia ingin menangis. Melihat Tira membuatnya teringat akan malam yang menyakitkan itu.
“Kamu terlalu naif,” gumam Tira. Ia merasa Ayas sangat bodoh karena berusaha keras menghindarinya. Padahal sudah jelas kuasanya cukup besar. Sehingga Ayas tidak mungkin lolos dari pandangannya. Itulah yang ia yakini hingga saat ini.
Setelah beberapa saat, Ayas masuk ke gedung dan menuju ruangan HRD untuk memberikan surat resignnya.
Tuk, tuk, tuk!
Ayas mengetuk pintu ruang manager HRD.
“Masuk!” sahut HRD dari dalam.
Cklek!
Ayas membuka pintunya. “Permisi, Pak,” ucapnya.
“Oh, silakan masuk, Mbak!” jawab HRD ramah. Ia tahu Tira sedang memperhatikan Ayas. Sehingga HRD itu bersikap ramah terhadap Ayas.
Ayas pun masuk dan duduk di hadapan HRD.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya HRD lagi.
“Ini, saya ingin menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Ayas sambil menyerahkan surat tersebut.
“Jadi Mbak Laras sudah yakin ingin mengundurkan diri dari sini? Sayang sekali, ya. Padahal kinerja Mbak Laras cukup baik dan saya yakin gaji di sini pun menjanjikan,” ujar HRD. Ia masih berusaha menahan Ayas karena itulah permintaan Tira.
“Iya, Pak. Jujur saya sendiri memang betah kerja di sini. Perusahaan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Tapi ada hal lain yang membuat saya terpaksa harus mengundurkan diri dari sini,” jelas Ayas.
“Hem … tapi Mbak Ayas tidak langsung pergi, kan?”
“Tidak, Pak. Saya akan tetap menjalankan prosedurnya,” jawab Ayas.
“Baiklah kalau begitu. Jika Mbak Ayas sudah yakin, saya pun tidak bisa memaksanya.” HRD cukup lega karena Ayas sudah memutuskan untuk bertahan sampai bulan depan.
“Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya?”
“Baik, silakan!”
Setelah Ayas pergi dari ruangannya, HRD segera mengabari Tira melalui sambungan intercom (Telepon lokal perusahaan).
“Ternyata dia sangat nekat,” gumam Tira setelah selesai menerima telepon dari HRD. Padahal Tira yakin perusahaannya sangat bergengsi sehingga hampir tidak pernah ada karyawan yang ingin mengundurkan diri dari sana.
Mengetahui hal itu, Tira semakin yakin bahwa Ayas memang menghindarinya. Ia pun memikirkan cara agar bisa mengikat Ayas.
***
Hari ini Ayas pulang tepat waktu. Ia tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di kantor itu. Ia pun berjalan ke basement untuk mengambil mobilnya yang sudah dua hari terparkir di sana.
Sebenarnya Ayas trauma karena terakhir kali ia diculik di tempat itu. Namun, Ayas tidak memiliki pilihan lain. Ia harus mengambil mobilnya. Setelah itu mungkin besok Ayas tidak akan membawa mobil itu lagi ke kantor.
Nit-nit!
Ayas menekan tombol sensor kunci dari kejauhan sambil mendekat ke arah mobil itu. Kemudian Ayas pun masuk dan menyalakan mesin mobil. Namun hal tak terduga terjadi. Tiba-tiba ada seseorang masuk dan langsung duduk di sampingnya.
“Apa kabar?” sapa Tira.
Ayas sangat familiar dengan suara itu. Suara dari orang yang sangat ia hindari. Ia pun langsung menoleh ke sampingnya.“Mau apa Anda di sini?” tanya Ayas dingin.“Saya akan bertanggung jawab. Mari kita menikah!” ajak Tira to the point.Ayas menyeringai. Ia menganggap itu hanya sebagai lelucon. Ia pun memalingkan wajah karena tidak sudi melihat wajah yang membuatnya trauma itu.“Apa Anda masih belum puas mempermainkan saya? Apa masih kurang, Anda menghancurkan masa depan saya?” tanya Ayas dengan suara bergetar.“Justru itu saya mau bertanggung jawab. Dengan begitu masa depan kamu akan aman,” ujar Tira yakin.Ayas tersenyum getir. “Mungkin bagi orang seperti Anda, semua bisa dilakukan dengan mudah. Menyakiti orang lain, kemudian memberinya uang atau fasilitas untuk menebus dosa. Padahal ada hal yang jauh leb
Ayas tercengang setelah mendengar pernyataan dokter. Sementara hati Tira berdesir. Dengan begitu harapannya untuk menikahi Ayas bisa terwujud.“M-maksud dokter?” tanya Tira gugup.“Nyonya Laras sedang mengandung. Saat ini usia kehamilannya sudah memasuki satu bulan …,” jelas dokter.Dokter pun menjelaskan secara rinci apa saya yang harus dilakukan dan dihindari oleh Ayas. Ia menyarankan agar Ayas segera memeriksakan kandungannya ke SPOg.Tira sangat ingin tersenyum. Namun ia berusaha menahannya demi menjaga image di depan Ayas.“Terima kasih banyak ya, Dok,” sahut Tira. Ia bingung ingin mengatakan apa lagi. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah rencana pernikahannya dengan Ayas. Ia pun berniat untuk segera memberitahu orang tuanya.“Iya, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu,” sahut dokter. Ia pun menin
Medengar ucapan Tira, Ayas pun langsung panik. “Jangan! Saya tidak mau orang tua saya tahu tentang hal ini atau saya bisa dibunuh oleh Ayah saya,” ucap Ayas, gugup. Ia sangat khawtair orang tuanya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung. “Saya tidak akan mengatakan bahwa kamu sedang hamil. Saya akan mengatakan kita menikah karena cinta,” ucap Tira. Meski ucapannya lembut, tetapi tatapan mata pria itu begitu menakutkan bagi Ayas. Ia ingat betul bagaimana kedua bola mata itu menatapnya dengan tatapan menjijikan kala kesuciannya tengah direnggut waktu itu. Ayas berpikir keras. Sampai kapan pun ia tidak ingin hidup dengan pria menakutkan seperti Tira. Melihat rumahnya yang dijaga ketat saja sudah membuat Ayas takut. Apalagi jika harus tinggal di rumah itu. Ditambah sikap Tira yang berubah-ubah, membuat Ayas semakin yakin untuk menjauhi pria itu. “Oke, saya akan
Ayas terperanjat saat mendengar pintu terbuka. Ia pun langsung menyembunyikan pisau alat yang ia pegang. Jantungnya berdebar hebat. Ia takut Tira kembali ke rumah itu.“Nona sedang apa?” tanya seorang pelayan yang masuk ke kamar itu.Ayas bisa bernapas lega. Setidaknya itu bukan Tira yang datang. Sehingga ia tidak akan mengalami pemaksaan lagi untuk sementara waktu.“Lagi lihat pemandangan aja,” jawab Ayas singkat. Ia malas banyak bicara. Ayas yakin pelayan itu pasti akan melaporkan apa pun pada Tira.“Ini makan siang untuk Nona. Silakan dimakan!” ucap pelayan. Sebenarnya ia mencurigai sesuatu. Namun pelayan itu merasa kasihan pada Ayas. Sehingga ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.“Terima kasih. Saya belum lapar,” jawab Ayas. Ia masih belum beralih dari tempatnya berdiri. Sebab Ayas ingin menutupi bagian tralis yang sudah berhas
Ayas terbelalak. Ia sangat takut mereka benar-benar mengecek ke dalam pos. ‘Gimana ini? Aku gak mau kembali ke rumah itu,’ batin Ayas. Ia sangat ketakutan sampai lututnya terasa lemas. “Maaf, Pak. Pos itu termasuk privacy saya. Jadi tidak pantas jika kalian masuk ke sana,” jawab satpam. Mereka pun curiga karena satpam itu berusaha menghalangi mereka. “Kenapa Anda berusaha menghalangi kami? Apa Anda menyembunyikan sesuatu di dalam sana?” tanya pengawal. “Bukan urusan kalian. Lebih baik kalian pergi dari sini!” pinta satpam itu, tegas. “Maaf, kami harus mengeceknya.” Deg! Ayas semakin panik. Kali ini ia sudah tidak dapat menghindar lagi. Pengawal itu pun memaksa masuk ke dalam pos. “Kenapa kalian tidak sopan sekali? Saya punya hak untuk melarang kalian masuk ke pos saya,”
”Bagaimana?” tanya Tira saat sudah tiba di bandara. Ia sengaja mendatangi bandara lebih dulu karena Tira pikir kemungkinan besar Ayas akan naik pesawat menuju ke Bali. Panji hanya menggelengkan kepala. Ia bingung bagaimana cara menjawabnya. Sebab, jawaban apa pun akan salah selama Ayas tidak ditemukan. “Argh! Kenapa mencari satu wanita saja kalian tidak becus?” bentak Tira. Suaranya menggelegar hingga mengalihkan pandangan semua orang. “Maaf, Tuan. Tapi sepertinya Nona Laras tidak datang ke bandara,” ujar Panji, gugup. Tira yang sedang kesal pun terhenyak. “Apa kamu sudah mengirim orang ke stasiun?” tanya Tira lagi. “Sudah, Tuan. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda kedatangan Nona Laras di stasiun mana pun,” jawab Panji lagi. Tira pun berpikir keras. Ia bingung bagaimana cara mencari Ayas. “TERMINAL!” Ia baru teringat
Ketika sedang mewawancarai Ayas, HRD mendapat telepon dari asisten Yoga yang bernama Vito.Kring! Kring!“Maaf, tunggu sebentar!” ucap HRD pada Ayas. Ia pun mengangkat telepon yang ada di mejanya.Ayas mempersilakannya, kemudian ia menunggu dengan tenang.Telepon terhubung.“Ya, halo,” sapa HRD.“Halo, Pak. Saya Vito,” jawab Vito di seberang telepon.“Oh iya, Mas Vito. Ada apa?” tanya HRD.“Begini. Pak Yoga minta agar Bapak menerima calon staf yang saat ini sedang diinterview,” ujar Vito.HRD langsung menoleh ke arah Ayas.“Oh, iya Mas,” jawabnya. Dengan melihat penampilan Ayas, ia sudah dapat menebak mengapa Yoga memintanya untuk menerima Ayas.“Baik kalau begitu. Tapi tolong ja
Yoga tersenyum saat melihat Ayas ternganga dan sedikit malu melihatnya duduk di kursi direktur. “Iya, saya Yoga yang kemarin bertemu kamu di lift,” ucapnya. Ayas tersenyum kaku. Seandainya ia tahu Yoga adalah direktur perusahaan itu, sudah pasti dirinya akan lebih menghormati Yoga. “Oh, maaf saya tidak tahu, Pak,” ucap Ayas kikuk. “It’s okay, santai saja! Silakan duduk!” sahut Yoga. Ia menyuruh Ayas duduk untuk yang ke dua kalinya. “Terima kasih,” jawab Ayas. Ia pun masuk dan duduk di hadapan Yoga. Saat itu kondisi mereka masih canggung karena ini kali pertama mereka duduk berhadapan. Terlebih Ayas, ia malu karena kemarin tidak mengenali Yoga, bahkan menjawab pertanyaan Yoga dengan sedikit malas. “Terima kasih ya, Pak,” ucap Yoga pada HRD. “Oh iya, silakan dilanjut!” jawab HRD. Ia pun menutup pintu dari luar. Yoga tersenyum
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe