Ketika sedang mewawancarai Ayas, HRD mendapat telepon dari asisten Yoga yang bernama Vito.
Kring! Kring!
“Maaf, tunggu sebentar!” ucap HRD pada Ayas. Ia pun mengangkat telepon yang ada di mejanya.
Ayas mempersilakannya, kemudian ia menunggu dengan tenang.
Telepon terhubung.
“Ya, halo,” sapa HRD.
“Halo, Pak. Saya Vito,” jawab Vito di seberang telepon.
“Oh iya, Mas Vito. Ada apa?” tanya HRD.
“Begini. Pak Yoga minta agar Bapak menerima calon staf yang saat ini sedang diinterview,” ujar Vito.
HRD langsung menoleh ke arah Ayas.
“Oh, iya Mas,” jawabnya. Dengan melihat penampilan Ayas, ia sudah dapat menebak mengapa Yoga memintanya untuk menerima Ayas.
“Baik kalau begitu. Tapi tolong ja
Yoga tersenyum saat melihat Ayas ternganga dan sedikit malu melihatnya duduk di kursi direktur. “Iya, saya Yoga yang kemarin bertemu kamu di lift,” ucapnya. Ayas tersenyum kaku. Seandainya ia tahu Yoga adalah direktur perusahaan itu, sudah pasti dirinya akan lebih menghormati Yoga. “Oh, maaf saya tidak tahu, Pak,” ucap Ayas kikuk. “It’s okay, santai saja! Silakan duduk!” sahut Yoga. Ia menyuruh Ayas duduk untuk yang ke dua kalinya. “Terima kasih,” jawab Ayas. Ia pun masuk dan duduk di hadapan Yoga. Saat itu kondisi mereka masih canggung karena ini kali pertama mereka duduk berhadapan. Terlebih Ayas, ia malu karena kemarin tidak mengenali Yoga, bahkan menjawab pertanyaan Yoga dengan sedikit malas. “Terima kasih ya, Pak,” ucap Yoga pada HRD. “Oh iya, silakan dilanjut!” jawab HRD. Ia pun menutup pintu dari luar. Yoga tersenyum
Saat Tira sedang melamun, tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk ke ruangannya.Brak!Orang itu mendobrak pintu ruangan Tira.“Maaf, Tuan. Saya sudah melarangnya masuk. Tapi dia tetap memaksa,” ucap sekertaris Tira. Ia terlihat panik karena tahu Tira memintanya untuk melarang orang itu masuk.“Ya sudah, biarkan saja!” jawab Tira, sinis. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh pria yang memaksa masuk itu.Akhirnya sekertaris Tira pun dengan berat hati membiarkan pria tersebut. Kemudian ia meninggalkan ruangan Tira tanpa menutup pintu. Sebab, ia khawatir akan terjadi sesuatu terhadap tuannya.Saat diizinkan masuk, pria itu langsung berlutut di hadapan Tira. “Saya mohon ampuni saya, Tuan. Tolong kembalikan perusahaan saya,” lirih orang itu dengan tampang memelas.Tira menyeringai dengan penuh kebe
Bak tertimpa langit runtuh. Harapan Yoga seketika hancur kala mengetahui Ayas sedang mengandung.“Iya, Mas. Sebelumnya saya sudah mengatakan pada HRD, tapi beliau bilang tidak masalah,” jelas Ayas.Saat Vito menghubungi HRD, Ayas memang mengatakan sedang mengandung. Namun, karena Vito meminta HRD menerima Ayas, ia tidak mempedulikan hal itu.Entah memang tidak mendengar atau terlalu patuh pada arahan Yoga.“Oh, jadi kamu sudah menikah?” lirih Yoga. Ia berusaha tegar meski saat ini sedang terguncang.Ayas menelan saliva. Ia bingung ingin mengatakan apa. Ia pun menjawabnya sambil menunduk. “Saya diperkosa, Mas,” ucapnya sambil menahan napas.Hatinya terasa perih karena pertanyaan Yoga telah membuka luka lamanya.Yoga terhenyak. Ia tak menyangka ternyata wanita yang ia cintai memiliki beban hidup yang cuku
Ayas terkesiap saat menyadari bahwa klien Yoga adalah orang yang ia kenal.Mendengar nama Ayas disebut dengan panggilan yang asing, Yoga langsung menoleh ke arahnya. “Kamu kenal Pak Fajar?” tanya Yoga.“Iya, Fajar ini temen kuliah aku,” jawab Ayas. Ia menyebut nama karena mereka memang satu angkatan. Oleh karena itu Fajar pun mengetahui nama panggilan Ayas.“Oh, pantesan … dunia sempit sekali, ya?” gumam Yoga untuk mencairkan suasana.“Apa kabar, Yas?” Fajar terlihat antusias bisa bertamu dengan Ayas di Solo.Akhirnya mereka pun basa basi, kemudian membahas pekerjaan mereka. Selama pembahasan itu Ayas gelisah. Ia khawatir Fajar akan mengatakan keberadaannya di Solo pada rekan yang lain dan Tira akan mengetahui hal itu.Setelah selesai membahas pekerjaan, Ayas mengajak Fajar untuk berbicara empat mata. &ld
Panji bingung melihat Tira tiba-tiba berbelok dan mengejar seorang wanita. “Laras!” panggil Tira. Ia bahkan berlari kecil demi mengejar wanita yang ia yakini adalah Laras. Padahal selama ini Tira tidak pernah berlari demi menjaga wibawanya. Hingga akhirnya Tira dapat meraih tangan wanita itu dan langsung menarik ke pelukannya. “Kamu ke mana aja? Aku sampai putus asa mencari kamu ke mana-mana,” desis Tira sambil memeluk wanita tadi. “Maaf, Anda siapa?” tanya wanita itu. Deg! Tira menyadari ada yang salah. Suara wanita tersebut jauh berbeda dengan Laras. Ia pun segera melepaskan pelukannya. Benar saja, dia memang bukan Laras. “Maaf, saya salah orang,” ucap Tira, kikuk. Ia pun langsung berbalik dan kembali melanjutkan jalannya. Wanita yang Tira peluk hampir marah. Namun, ketika melihat wajah Tira begitu tampan dan aroma tubuhnya h
Ayas sudah tiba di hotel. Sebelumnya ia sudah melakukan reservasi di hotel tersebut dengan nama lain. Saat turun dari mobil, Ayas mengenakan masker dan kacamata hitam.Ia bahkan mengubah penampilannya agar tak dikenali oleh Tira seandainya mereka tak sengaja bertemu.“Huuh, akhirnya selamat,” gumam Ayas. Ia sangat lega karena berhasil lolos dari Tira. Padahal ia memang tidak bertemu Tira sama sekali. Hanya saja Ayas selalu merasa dikejar oleh pria itu.Saat ini Ayas baru saja tiba di kamarnya. Ketika ia hendak duduk, bel pintu kamarnya berbunyi.Ting-tong!Ayas mengerutkan keningnya. “Apa itu Mamah, ya?” gumam Ayas.Ia sedikit gugup karena jika Sri melihat perutnya yang sudah mulai membesar, pasti akan sangat shock. “Oke, aku sudah siap.” Ia pun melangkah ke arah pintu dan mengintip dari lubang pintu tersebut.Ayas m
Tebakkan Panji benar. Tira terkesiap setelah mendengar ucapan Panji. “Maksud kamu apa?” tanyanya. Ia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kemungkinan Nona Laras ada di hotel tersebut, Tuan,” jawab Panji.Tira pun langsung berdiri. “Maaf, saya ada urusan mendesak. Selebihnya bisa kita atur ulang jadwal untuk membahas hal ini lagi,” ucap Tira. Kemudian ia berlalu.“Kenapa kamu tidak mengatakan sejak tadi?” tanya Tira, kesal.“Maaf, Tuan. Saya pun baru mendapat laporan. Tadi mereka melihat orang tua Nona Laras masuk ke hotel dan ketika mereka keluar dari hotel, kondisi mereka terlihat seperti sedang kesal serta bersedih,” jelas Panji sambil membuntuti Tira.Tira langsung mengehntikan langkahnya. “Jadi, maksud kamu kemungkinan mereka bersedih dan kesal karena mengetahui kehamilan Laras?” tebak Tira.
“Jangan khawtair! Aku sudah menyewa jet pribadi dan data kamu akan aman,” ujar Yoga.Ayas ternganga mendengar jawaban Yoga. “Serius, Mas? Ngapain Mas buang-buang uang kayak gitu, sih?” Ayas tahu berapa biaya untuk menyewa pesawat jet.“Pake nanya lagi, ya demi kamu, lah,” sahut Yoga sambil tersenyum.Raut wajah Ayas langsung berubah. “Mas ini susah banget dibilangin, ya? Lagian heran, deh. Apa sih bagusnya aku? Udah bukan gadis, lagi hamil pula,” keluh Ayas.Ia tak habis pikir mengapa Yoga masih menaruh hati padanya. Padahal dilihat dari segi mana pun dia merasa tidak ada hal yang istimewa darinya. Justru Ayas merasa memiliki banyak kekurangan.“Kelebihan kamu itu bisa mengusik yang ada di sini, Vi,” ucap Yoga sambil menyentuh dadanya.“Sejak pertama kali kita ketemu di bandara, kamu udah narik
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe