Ayas sudah tiba di hotel. Sebelumnya ia sudah melakukan reservasi di hotel tersebut dengan nama lain. Saat turun dari mobil, Ayas mengenakan masker dan kacamata hitam.
Ia bahkan mengubah penampilannya agar tak dikenali oleh Tira seandainya mereka tak sengaja bertemu.
“Huuh, akhirnya selamat,” gumam Ayas. Ia sangat lega karena berhasil lolos dari Tira. Padahal ia memang tidak bertemu Tira sama sekali. Hanya saja Ayas selalu merasa dikejar oleh pria itu.
Saat ini Ayas baru saja tiba di kamarnya. Ketika ia hendak duduk, bel pintu kamarnya berbunyi.
Ting-tong!
Ayas mengerutkan keningnya. “Apa itu Mamah, ya?” gumam Ayas.
Ia sedikit gugup karena jika Sri melihat perutnya yang sudah mulai membesar, pasti akan sangat shock. “Oke, aku sudah siap.” Ia pun melangkah ke arah pintu dan mengintip dari lubang pintu tersebut.
Ayas m
Tebakkan Panji benar. Tira terkesiap setelah mendengar ucapan Panji. “Maksud kamu apa?” tanyanya. Ia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kemungkinan Nona Laras ada di hotel tersebut, Tuan,” jawab Panji.Tira pun langsung berdiri. “Maaf, saya ada urusan mendesak. Selebihnya bisa kita atur ulang jadwal untuk membahas hal ini lagi,” ucap Tira. Kemudian ia berlalu.“Kenapa kamu tidak mengatakan sejak tadi?” tanya Tira, kesal.“Maaf, Tuan. Saya pun baru mendapat laporan. Tadi mereka melihat orang tua Nona Laras masuk ke hotel dan ketika mereka keluar dari hotel, kondisi mereka terlihat seperti sedang kesal serta bersedih,” jelas Panji sambil membuntuti Tira.Tira langsung mengehntikan langkahnya. “Jadi, maksud kamu kemungkinan mereka bersedih dan kesal karena mengetahui kehamilan Laras?” tebak Tira.
“Jangan khawtair! Aku sudah menyewa jet pribadi dan data kamu akan aman,” ujar Yoga.Ayas ternganga mendengar jawaban Yoga. “Serius, Mas? Ngapain Mas buang-buang uang kayak gitu, sih?” Ayas tahu berapa biaya untuk menyewa pesawat jet.“Pake nanya lagi, ya demi kamu, lah,” sahut Yoga sambil tersenyum.Raut wajah Ayas langsung berubah. “Mas ini susah banget dibilangin, ya? Lagian heran, deh. Apa sih bagusnya aku? Udah bukan gadis, lagi hamil pula,” keluh Ayas.Ia tak habis pikir mengapa Yoga masih menaruh hati padanya. Padahal dilihat dari segi mana pun dia merasa tidak ada hal yang istimewa darinya. Justru Ayas merasa memiliki banyak kekurangan.“Kelebihan kamu itu bisa mengusik yang ada di sini, Vi,” ucap Yoga sambil menyentuh dadanya.“Sejak pertama kali kita ketemu di bandara, kamu udah narik
“Laras, kenapa kamu meninggalkan aku? Aku tersiksa hidup tanpa kamu, Ras,” lirih Tira.“Bagaimana caranya agar kamu mau memaafkan aku? Aku akan melakukan apa pun demi kamu dan anak kita.” Tira bersimpuh di hadapan Ayas. Ia memohon agar Ayas mau menerimanya.Namun, Ayas tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya bergeming sambil memalingkan wajahnya. Seolah tak sudi melihat Tira. Ia bahkan menggendong erat anaknya. Seakan Tira hendak merebut anak itu dari tangannya.“Tolong izinkan aku menggendong anak kita! Aku mohon,” ucap Tira dengan wajah memelas.Akan tetapi, bukannya memberikan anak itu, Ayas justru pergi menjauh, meninggalkan Tira.“Ras, jangan pergi! Aku ingin menggendong anak kita!” Tira berusaha mengejar Ayas.Ayas seolah tak mendengar ucapan Tira. Ia terus melangkah meninggalkan pria itu dan lama ke l
Yoga menelan salivanya. “I-iya, Dok,” jawabnya, gugup. Ia tak berani menolak permintaan dokter. Padahal Yoga belum siap jika harus mendampingi Ayas melahirkan.Akhirnya Yoga beranjak dan masuk ke ruang bersalin. Saat melihat Ayas sedang terbaring dengan kaki yang terbuka lebar, Yoga langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat sesuatu yang tidak pantas ia lihat. Lututnya pun terasa lemas.Sementara itu, Ayas yang sedang kesakitan sudah tidak dapat memikirkan apa pun. Ia hanya fokus pada rasa sakit dan memikirkan cara agar rasa itu segera hilang.Yoga diarahkan untuk duduk di dekat kepala Ayas. “Silakan duduk di sini, Pak!” ucap suster.“Iya, Sus,” jawab Yoga, kikuk. Jantungnya berdebar hebat. Ini kali pertama Yoga mendampingi orang melahirkan. Padahal dirinya sendiri belum menikah.“Bapak bisa beri treatment Ibu supaya lebih tenan
"Kamu sudah cari di mana saja, Ji?" tanya Tira saat mereka sedang berada di perjalanan."Saya sudah meminta mereka untuk mencari di seluruh rumah sakit Bali, Jakarta dan beberapa kota besar seperti Bogor, Surabaya serta Bandung, Tuan," jelas Panji."Oke, fokuskan di Bali dan Jakarta lebih dulu. Mungkin sebenarnya dia memang masih berada di Jakarta," pinta Tira.Mereka sama sekali tidak dapat menebak di mana Ayas bersembunyi. Shingga Tira dan Panji tidak terpikirkan sama sekali dengan kota Solo. Terlebih selama ini Tira meyakini bahwa Ayas ada di Bali.***“Vi, kamu gak mungkin kan ngurus bayi sendirian? Gimana kalau pulang dari rumah sakit, kamu tinggal di rumah aku dulu?” tawar Yoga.Ayas tersenyum mendengar pernawaran Yoga. Sampai kapan pun ia tidak akan mau tinggal di rumah pria itu. Sebab, Ayas tidak ingin memberi harapan palsu pada Yoga.&ldqu
Jantung Tira berdebar cepat setiap kali membayangkan bahwa dirinya sudah memiliki anak dari Ayas.“Kira-kira anakku laki-laki atau perempuan ya, Ji?” gumam Tira. Hatinya berbunga-bunga memikirkan anaknya. Ia yakin anaknya akan sangat lucu dan menggemaskan.Panji sangat bingung melihat sikap bosnya. Ia tidak tega jika sampai Tira tidak dapat menemukan Ayas. Selama ini Tira tidak pernah secinta itu pada seorang wanita. Terlebih hubungan mereka hanya kesalahpahaman.Pertemuan mereka pun masih bisa dihitung jari. Namun mengapa perasaan Tira begitu dalam untuk Ayas.Meski tidak dijawab oleh Panji, Tira tidak mempermasalahkannya. Ia memang hanya ingin mengungkapan pikirannya. Tidak membutuhkan jawaban apa pun.“Ji, bagaimana mengenai rencana pembangunan kantor cabang baru?” tanya Tira.“Saat ini masih tahap proses pembebasan lahan, Tua
Ayas terlihat panik dan bingung. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Aduh, gimana ini?” gumamnya. Kemudian Ayas pun menggigit jarinya sambil memikirkan cara agar bisa segera menyelesaikan administrasinya.“Apa aku telepon Mas Yoga aja?” gumam Ayas. Tidak ada orang lain yang dapat dimintai tolong selain Yoga. Sehingga saat ini hanya nama itu yang terlintas di pikirannya.Akhirnya Ayas pun memutuskan untuk menghubungi Yoga. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membantunya. Sementara saat ini Vano sedang butuh tindakan segera.“Semoga aku ingat nomornya,” gumam Ayas. Kemudian ia bicara pada kasir yang sejak tadi memperhatikannya. Kebetulan hari sudah tengah malam, sehingga bagian pendaftaran cukup sepi.“Maaf, Mbak, tadi saya buru-buru ke sini, jadi lupa bawa dompet,” ucap Ayas.“Lalu bagaimana?” tanya kasir. Ia
Yoga ternganga setelah mendengar ucapan kasir barusan. “Maksudnya apa?” tanya Yoga, dingin.“Iya, Pak. Kalau ruang VIP itu mahal. Bahkan satu malamnya saja bisa mencapai 5 juta. Jadi, saya sarankan lebih baik-”Ucapan staf itu terputus karena Yoga langsung mencekalnya.“Oh, jadi maksud Anda, kami tidak mampu?” tanya Yoga, sambil menahan emosi.Sebagai pemilik perusahaan, tentu saja Yoga sangat marah ketika ada seseorang yang meremehkannya seperti itu.“Maaf, bukan seperti itu, Pak. Tapi saya hanya menyarankan karena perbedaan harganya lumayan jauh antara VIP dan kelas 2,” jelas kasir.Ayas pun kesal karena staf itu telah membuang waktunya. Namun, ia hanya diam karena saat ini dirinya sedang tidak memegang apapun.Yoga tidak ingin berdebat lagi. Ia langsung mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu berw
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe