Tira dan Ayas baru saja mendarat di Jakarta. Mereka harus segera menyudahi bulan madunya karena ada masalah penting di kantor pusat Tira.
Tiba di bandara, Tira dan Ayas masuk ke mobil mewah yang menjemput mereka. Kemudian mobil itu membawa mereka menuju kantor.
“Pi, aku tunggu di apartemen Gita, ya?” tanya Ayas.
“Kenapa gak ikut ke kantor aja, Sayang?” Tira balik bertanya.
“Apa kata orang nanti kalau mereka melihat kita bersama?” tanya Ayas lagi.
“Anggap saja kita klien. Kan mereka sudah biasa melihat aku berjalan dengan klien wanita,” jawab Tira, santai.
Ayas langsung terdiam sambil menatap Tira, kaku.
Tira menyadari ada yang salah dengan ucapannya. “Hei! Jangan salah paham dulu. Meski begitu, aku tidak pernah berjalan berdua. Selalu ada Panji di dekatku. Iya kan, Ji?” tanya Tir
Saat Tira memasuki ruangan meeting, para direksi saling menoleh. Mereka heran karena melihat bibir Tira merah. Namun merahnya tidak merata.“Selamat siang,” sapa Tira dengan tampang dinginnya. Namun lipstick warna merah itu seolah menjatuhkan wibawa Tira yang tegas tersebut.Mereka semua pun berdiri dan memberi hormat pada Tira. “Siang, Tuan Tira,” sapa mereka.“Silakan duduk!” sahut Tira. Ia pun duduk.“Astaga! Kenapa bisa begitu?” gumam Panji, pelan. Ia tidak habis pikir bosnya itu sangat ceroboh sampai meninggalkan jejak lipstick di bibirnya sendiri.Panji memutar otak agar bisa memberi tahu Tira tentang lipstick tersebut. Ia tidak ingin wibawa bosnya itu jatuh hanya karena noda di bibir.‘Ya Tuhan. Apa otaknya tidak berfungsi jika sedang berhadapan dengan Nyonya?’ batin Panji, gemas. Ia kesal kar
Melihat wajah Tira yang sedikit kusut, akhirnya Ayas pun pasrah, ia tidak tega jika membiarkan suaminya pusing menghadapi masalah. Ayas pikir mungkin ini merupakan salah satu cara Tira untuk mengalihkan stressnya.Melihat istrinya pasrah, Tira pun semakin mencumbu bibir Ayas dengan ganas. Ia bahkan melepaskan jasnya dan melempar ke sembarang arah. Kemudian melepaskan kancing kemejanya karena sudah sesak akan hasrat yang menggebu itu.Ayas membantu Tira melepaskan kancing kemeja suaminya itu. Setelah terlepas semua, Tira pun menanggalkan kemejanya tersebut.Kemudian, Tira melepas ikat pinggang yang ada di celananya. Lalu ia duduk bersandar dan menarik Ayas agar duduk di pangkuannya.“Aku sangat butuh kamu saat ini, Sayang,” ucap Tira sambil menatap Ayas. Kemudian tangannya menarik resleting yang ada di punggung istrinya itu. Hingga gaun yang Ayas kenakan pun luruh ke bawah.
Bruk! Tira membopong Ayas ke kamar yang ada di dalam ruangan tersebut, lalu Tira merobohkan dirinya beserta Ayas di atas ranjang yang empuk. “Kamu sudah siap untuk ronde kedua, Sayang?” tanya Tira, sembari menatap mata Ayas. Ayas hanya mengangguk pelan sembari melingkarkan lengannya di leher Tira yang sedang mengukungnya. Sret! “Aaahh!” desah Ayas seraya Tira mendorong pinggulnya menghentak tubuh Ayas. Tira terus memompa tubuhnya hingga Ayas yang sebelumnya sudah mencapai puncak pun dibuat blingsatan oleh Tira, desahan Ayas benar-benar sangat keras hingga membuat nafsu Tira semakin menjadi-jadi. “Pi! Aku—“ Tira tahu betul jika Istrinya saat ini sudah hampir mencapai puncak untuk yang kedua kalinya. “Aaaahhhh!” Dan benar saja tidak lama kemudian tubuh Ayas mengejang hebat serta melengkung ke atas, kepalanya mendongak dan kedua kakinya menahan pinggul Tira dengan sangat kuat. Tira pun dapat merasak
Ady masih ingat betul saat Tira merendahkan dirinya saat itu.Padahal Ady sudah membuang harga dirinya di hadapan Tira, tetapi Tira malah menghina dan mengusir Ady saat Ady meminta belas kasihan Tira.Tap! Tap! Tap!Saat ini Ady berada di sebuah rumah besar yang tampak mewah, Ady berjalan menuju ke salah satu kamar yang ada di rumah tersebut.Ceklek!Saat Ady membuka pintu kamar tersebut, terlihat seorang wanita sedang duduk di sudut ruangan dengan raut wajah yang pucat.Wanita itu terlihat berantakan sembari mengukung kedua kakinya, bibirnya tampak gemetar dan ditambah lagi tatapan mata wanita tersebut tampak kosong.“Sayang!” panggil Ady, sambil berjalan mendekati wanita tersebut secara perlahan.Tap! Tap! Tap!Langkah kaki Ady benar-benar lembut seolah-olah Ady tidak sedang melangkah, secara perlahan ia mendekati wanita tersebut hendak membelai rambut wanita itu.Plak!“PERGI!” Wa
“Pi, tetep aja lho ... rasanya tuh ga enak banget deh, ada apa ya?” Ayas sejak tadi memang merasa gelisah walaupun ia tidak tahu kenapa bisa seperti itu.“Mungkin hanya perasaan kamu saja,” ucap Tira, mencoba menenangkan Ayas yang sedang gelisah.Walaupun saat ini kekhawatiran Ayas memang tidak mendasar dan terkesan tidak mungkin, Namun sebagai seorang Ibu nalurinya sangat kuat dan tidak bisa dianggap remeh.“Kok tiba-tiba aku jadi kangen Vano, ya Pi?” gumam Ayas.“Ya sudah, kamu telepon saja Vano!” sahut Tira.“Ya kali aku telepon Vano kaya gini,” ucap Ayas, agak menyentak.Wajar saja Ayas menolak, karena saat ini Ayas dan Tira masih belum berpakaian.“Oh, iya juga ya. Aku sampe lupa, hehehe!” balas Tira.“Ayo kita mandi dulu, Pi!” ajak Ayas.“Boleh nambah lagi gak?” goda Tira.“Yang tadi masih kurang, Pi?”
Saat Tira baru saja keluar dari kamar mandi dan bertanya padanya, Ayas tampak cemberut dan menekuk wajahnya.Tentu saja hal tersebut membuat Tira khawatir dengan keadaan Vano, karena sebelumnya Tira tahu kalau perasaan Ayas sedang tidak tenang secara tiba-tiba.“Ini gara-gara kamu, Pi!” ketus Ayas, sembari menekuk wajahnya.“Ada apa, Mi? Apa yang terjadi dengan Vano? Dia ga apa-apa, kan?” Sontak saja Tira panik bukan main, ia merasa jika apa yang terjadi pada Vano adalah kesalahannya.“Vano nagih minta Ade terus, tuh!” jawab Ayas, ketus.“Hah? Jadi karena itu kamu cemberut? Hahaha!” Dengan santainya Tira malah menertawakan Ayas.Tentu saja hal tersebut membuat Ayas semakin manyun, “Kok ketawa sih, Pi? Nyebelin, ih!” marah Ayas.“Lagian kamu itu lucu, sih!” balas Tira, tersenyum.“Lucu gimana sih?” tanya Ayas, tidak terima.“Ya kan V
“Aduh! Gimana nih?” gumam Gita, panik. Sambil terus mundur sejak tadi.Ting! Nong!“Hah?” Gita sontak terperanjat saat mendengar suara bel apartemen tempat ia tinggal berbunyi.“Waduh! Jangan-jangan itu—“ Gita masih berharap orang yang berada di depan pintu apartemennya bukanlah Yoga, karena ia benar-benar belum siap kalau harus menerima kedatangan Yoga untuk saat ini.Gita pun berjalan menuju ke arah pintu untuk melihat siapa orang yang ada di depan pintu, setelah itu ia memicingkan mata untuk mengintip melalui lubang khusus yang sudah tersedia.“Huuhhh! Syukurlah, bukan Mas Yoga,” lirih Gita, lega. Karena orang yang ada di depan pintu ternyata adalah seorang pegawai apartemen yang ingin memberikan sebuah amplop pada Gita.“Saya permisi ya, Bu!” pamit pegawai apartemen.“Iya, Mas. Makasih ya!” balas Gita, senyum.Gita pun penasaran dengan isi dari su
Melihat Ibu Mertuanya keluar dari mobil membuat Ayas sempat mematung, karena walaupun kedua orang tua Tira sudah menyetujui pernikahan mereka.Tetap saja dalam hati dan pikiran Atas masih ada rasa khawatir dan tidak nyaman.“Ternyata benar kalau kalian ada di sini,” ucap Sisca, pada Ayas dan Tira.“Mamah mencari kami?” tanya Tira.Saat itu Ayas benar-benar terlihat kaku seolah-olah seperti sebuah patung hidup, sampai akhirnya Tira menyadarkan dirinya.“Mi, sadar Mi!” bisik Tira, pelan. Setelah beberapa kali Tira menyenggol Ayas, akhirnya Ayas pun kembali tersadar.“Eh, Mamih! Eee ...,” ucap Ayas terhenti melihat ke arah langit karena ragu sudah siang atau masih pagi.“Selamat siang!” balas Mamah Tira, lebih dahulu. Sontak Ayas pun terlihat semakin kikuk di hadapan Ibu Mertuanya.“I-iya, Mah. Selamat siang,” ucap Ayas, gugup. Seolah tidak berani menatap mata